pertanahan sampai saat ini.”
Berpijak pada sejarah, dirumuskan kembali fungsi lembaga pertanahan yang ideal sesuai dengan amanat UUD 45 dan perkembangan masyarakat ke depan. Sejarah lembaga pertanahan dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode sebelum dan sesudah UUPA. Pada tahun 1950an, kelembagaan yang pertama kali dibentuk adalah Departemen Agraria, yang kemudian disederhanakan menjadi Direktorat Jenderal, di bawah Departemen Dalam Negeri. Pasang surut kelembagaan pertanahan, dari Departemnen, Badan,
Sistem Informasi Managemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan
Sistem Keamanan Dokumen
Pertanahan.
Penataan kelembagaan pertanahan dan keagrariaan perlu diikuti dengan penyegaran aparat pemerintahan yang berjiwa kerakyatan, bersikap bijaksana, bermental tangguh dan solid tentu menjadi syarat pokok yang akan menggerakkan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia ke arah yang tepat sesuai dengan visi misi kelembagaannya.
Meningkatkan administrasi dan pelayanan pertanahan adalah kunci
pengembangan kepercayaan
masyarakat pada pengelolaan
pertanahan di Indonesia. Secara struktural kelembagaan sebagiaman
terejawantahkan dalam struktur
organisasi saat ini masih memadai
untuk menjalankan pengelolaan
pertanahan di Indonesia, namun demikian sesuai dinamika pengelolaan pertanahan ke depan, dapat saja kelembagaan pertanahan berubah dan harus dikembangkan lagi.
Diperlukan bekal kesadaran baru dan pemahaman serta komitmen bagi
aparat pemerintah di bidang
pertanahan yang mengisi struktur Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dari pusat hingga daerah. Pemahaman objektif atas persoalan agraria dan pertanahan yang dihadapi bangsa dan semangat juang untuk
menjalankan reforma agraria yang memihak rakyat banyak. Untuk itu, diperlukan juga kesiap-sediaan untuk dekat dan bekerja sungguh untuk kemakmuran rakyat yang selama ini mengalami banyak hambatan dan keterbatas untuk tumbuh dan berkembang.
Reforma agraria adalah keniscayaan untuk meningkatkan keadilan dalam
P4T, mengurangi kemiskinan,
menciptakan lapangan kerja,
memberikan akses rakyat kepada
keekonomian pertanahan,
meminimalkan konflik dan sengketa
pertanahan, melindungi dan
mempertahankan lingkungan hidup, dan memperkuat ketahanan pangan dan energi.
Oleh sebab itu, reforma agraria membutuhkan kebijakan nasional hingga daerah secara konsisten dan
menyeluruh. Karena itulah,
kewenangan pemerintah di bidang pertanahan mesti sinergi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, lintas sektor dan lembaga. Pemerintah membagi kewenangan di bidang pernahan secara proporsional. Yang dipentingkan adalah komunikasi dan koordinasi internal pemerintahan agar kebijakan pertanahan berjalan lebih efektif dan mengalir lancar dari pusat/nasional, provinsi, kabupaten/ kota, hingga kecamatan dan desa/ kelurahan.
keinginan tersebut, diperlukan sinergi antara BPN RI bersama seluruh unsur pemerintahan terkait lainnya dengan berbagai komponen sosial menuju penataan agraria menyeluruh. Para pelaku gerakan reforma agraria -- seperti gerakan tani, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin kota
bersama para pendukungnya,
hendaknya meletakkan penataan
kelembagaan pertanahan dan
keagrariaan ini sebagai tantangan untuk menyiapkan berbagai pra-kondisi sosial dan politik yang diperlukan untuk melaksanakan reforma agraria sejati secara utuh dan menyeluruh.
Pelaksanaan pengelolaan
pertanahan telah banyak menghasilkan hal-hal sebagaimana diharapkan. Namun demikian, masih terdapat beberapa masalah kelembagaaan pertanahan yang masih perlu ditindak lanjuti antara lain sebagai berikut :
1) Organisasi :
Pelaksanaan tupoksi Badan
Pertanahan Nasional Republik
Indonesia belum seluruhnya berjalan efektif karena berdasarkan hasil evaluasi dijumpai satuan kerja di tingkat kantor wilayah dan kantor pertanahan tidak linear dengan kedeputian di tingkat pusat. Kondisi demikian menyebabkan kegiatan pembinaan menjadi kurang efektif. Ketimpangan beban kerja antar wilayah dan antar satuan kerja perlu
dikaji kembali dengan melakukan analisis beban kerja dan menetapkan tipologi kantor.
2) Sumber Daya Manusia
Pengadaan pegawai belum disusun
berdasarkan kompetensi yang
dibutuhkan. Untuk peningkatan
kompetensi pegawai sesuai dengan jabatan yang diembannya memerlukan standar baku pendidikan dan pelatihan yang saat ini belum dimiliki.
Maraknya pengembangan wilayah dengan terbentuknya kabupaten/kota baru menjadi masalah bagi Badan
Pertanahan Nasional Republik
Indonesia karena keterbatasan jumlah pegawai untuk mengisi kantor pertanahan kabupaten/kota baru.
Dengan demikian, penambahan
pegawai baru perlu dipertimbangkan. Di samping itu kelengkapan dan
akurasi data kepegawaian,
penyempurnaan pola karir, menjadi hal penting yang harus segera dilakukan agar penempatan dan promosi pegawai dapat berjalan
sebagaimana yang diharapkan
organisasi.
Kedisiplinan dan budaya kerja pegawai masih harus mendapat perhatian yang serius. Pemahaman
terhadap peraturan kedisiplinan
pegawai perlu ditingkatkan dan pelaksanaan reward and punishment harus diterapkan dengan konsisten. Dalam hal kesejahteraan pegawai, dengan beban kerja yang ada dan
reformasi birokrasi yang terus
dilaksanakan Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia
seyogyanya harus diikuti dengan dilaksanakannya renumerasi terkait dengan gaji pegawai.
b. Pengembangan Kelembagaan Kelembagaan pertanahan yang baik dan yang hidup (living institution) adalah lembaga yang mampu
mengemban tugas pengelolaan
pertanahan dan tugas lain yang berkaitan dengan pertanahan, yang semuanya ditujukan kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat. Bertitik tolak dari suatu kelembagaan yang hidup, maka kelembagaan tidak boleh stagnance, tidak boleh statis, tidak boleh resisten, melainkan lembaga
yang responsif dan mudah
dikembangkan untuk menjalankan tugas dan peran negara kepada masyarakat.
dikembangkan. Kelembagaan
pertanahan perlu dikembangkan ke arah memperkuat fungsi perencanaan peruntukan dan penatagunaan tanah untuk lebih menjamin terwujudnya tanah bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Untuk memperkuat fungsi perencanaan ini, maka kelembagaan ini perlu menyelenggarakan fungsi penataan ruang secara lebih terfokus dan sistematis.
Hal di atas beralasan kuat mengingat, tanah merupakan matrik dasar sistem ruang. Perencanaan tata
ruang pada dasarnya adalah
perencanaan kepentingan publik
(masyarakat), yang dalam
implementasinya harus
memperhatikan kenyataan bahwa di atas tanah dimaksud telah ada penguasaan tanah dan penggunaan tanah secara privat, yang menjadi daya atur UUPA. Oleh karena itu, penyelenggaraan penataan ruang tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan sumberdaya agraria (pertanahan). Keharusan tersebut beralasan pula mengingat kenyataan saaat ini, domain pengaturan dan penyelenggaraan tata
ruang terkendala ketika
mengimplementasikan rencana tata ruang, hal ini terjadi karena ketiadaan instrumen.
Sementara itu lembaga pertanahan memiliki otoritas, kapasitas dan instrumen untuk melaksanakan tata ruang melalui pengelolaan pertanahan,