• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari hari kehari manusia melaksanakan banyak tindakan interaksi antara individu dalam rangka kehidupan masyarakat. Di antara semua tindakannya yang berpola tadi perlu diadakan perbedaan antara tindakan-tindakan yang dilaksanakannya menurut pola-pola yang tidak resmi dengan tindakan-tindakan yang dilaksanakannya menurut pola-pola yang resmi. Sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi, dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut pranata, atau dalam bahasa Inggris disebut institution (Koentjaraningrat, 2002). Dalam bahasa sehari- hari istilah institution sering dikacaukan dengan istilah institute. Padahal dalam

bahasa Indonesia kata institute artinya “lembaga”, sedangkan pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat, sedangkan lembaga atau institute adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas itu.

Kelembagaan sosial atau social institution adalah suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur antar hubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting (Polak, 1966) dalam (Tonny, 2003).

Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tingkah laku. Berkaitan dengan hal itu, maka fungsi kelembagaan sosial adalah seperti diuraikan Doom dan Lammers (1959) dalam Tonny (2003), yakni:

a). Memberi pedoman berprilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

b). Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara.

c). Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control): artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.

d). Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat.

Kunci dalam memahami kelembagaan sosial terletak pada tekanan akan kebutuhan pokok manusia. Ciri-ciri yang membedakannya dari konsepsi-konsepsi lain seperti grup, asosiasi, dan organisasi dijelasakan oleh Soekanto (1990) dalam Tonny (2003) adalah sebagai berikut:

a). Merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya.

b). Memiliki kekekalan tertentu: pekelembagaan suatu norma memerlukan waktu yang lama karena itu cenderung dipertahankan.

c). Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu;

d). Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan tujuan. e). Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu.

f). Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis.

Pakpahan (1990) dalam Panjaitan (1997) menyatakan konsep organisasi mengandung beberapa unsur antara lain partisipan, teknologi, tujuan, struktur/kelembagaan dimana interdependensi antara satu dengan lain menghasilkan output. Dari sudut pandang ekonomi institusi pengertian organisasi biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar, tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando.

Kelembagaan (K) adalah satu set atau satu perangkat peraturan perundang- undangan yang mengatur tata kelembagaan (Institutional Arrangement: IA) dan mekanisme atau kerangka kerja kelembagaan (Institutional Framework: IF) dalam rangka fungsionalisasi kapasitas potensial (Potential Capacity: PC), daya dukung (Carrying Capacity: CC), dan daya tamping (Absorptive Capacity: AC). AC juga disebut sebagai daya lentur kelembagaan, yaitu kelenturan suatu lembaga dalam menghadapi dan mengantisipasi dinamika perubahan yang terjadi di dalam pembangunan kelautan (Purwaka, 2007).

Berbagai pola kelembagaan kelautan dan perikanan, khusunya bidang perikanan, tanpa disadari ternya telah dikembangkan pola-pola kelembagaan tersebut antara lain adalah pengelolaan perikanan terpadu, pengelolaan berbasis masyarakat, dan pengelolaan perikanan berbasis kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (Purwaka, 2007)

Hasil riset yang mengemukakan peran kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dikaji dari laporan hasil PRPPSE yang dikemukakan oleh Koeshendrajana et al. (2003) dalam DKP (2004), peran kelembagaan penting dalam hal ini ditekankan terhadap suatu sistem pengelolaan yang dilakukan secara bersama-sama, baik oleh pemerintah maupun oleh stakeholders lain dalam kegiatan usaha masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan yang bersangkutan. Prasyarat untuk pelaksanaan bentuk pengelolaan tersebut adalah: - Pengakuan formal oleh para pelaku bahwa kegiatan tersebut adalah sejalan

dengan aturan formal yang ada dan dikehendaki oleh stakeholders atau masyarakat.

- Pengakuan adanya kelompok-kelompok pengguna (stakeholders) yang ada sehingga kegiatan pengelolaan sumberdaya yang dilaksanakan tersebut mendapat dukungan dari pemerintah.

- Disepakati bersama-sama oleh masyarakat pengguna sumberdaya maupun kelompok kunci atau kelompok penting lainnya.

Banyak cara-cara penting dalam pengelolaan yang dapat dijalankan, tetapi tidak ada pola pemecahan yang hanya didasarkan pada satu cara saja yang dapat menjamin keberhasilan pengelolaan. Selain kedua kunci pegelola perikanan tadi (pemerintah dan masyarakat lokal), mungkin pula berbagai LSM, proyek-proyek pengembangan dan badan-badan lain yang berperan dalam pengelolaan. Kombinasi kemitraan yang ideal ditiap lokasi akan tergantung pada kemampuan berbagai pelaku perikanan lokal dan sifat alami sumberdaya alam yang dikelola. Pelaku perikanan (stakeholders) disini dinyatakan sebagai masyarakat, kelompok masyarakat atau organisasi yang dapat dipengaruhi (secara positif atau negatif) oleh suatu intervensi pengelolaan yang diusulkan, atau mereka yang dapat mempengaruhi dampak intervensi tersebut (secara positif atau negatif) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004).

Dalam menghadapi era globalisai maka peran kelembagaan harus diperkuat untuk memasuki pasar bebas (free trade area) yang akan membuat dunia sebagai borderless states atau semakin terkikisnya hambatan-hambatan perdagangan. Arus barang dan tenaga kerja akan semakin pesat dan persaingan akan menuntut para pelakunya untuk memiliki kompetensi atau daya saing yang tinggi untuk dapat bertahan dalam arus globalisasi tersebut. Kecenderungan ini sudah terlihat dari adanya kesepakatan perdagangan internasional seperti APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation), AFTA (ASEAN Free Trade Area), dan NAFTA (North American Free Trade Agreement). Arus globalisasi ini akhirnya menimbulkan beberapa akibat yang disebutkan oleh Ray (2003) dalam DKP (2004), yaitu:

1. Persaingan yang semakin ketat. Persaingan global tersebut menuntut perubahan-perubahan yang cukup signifikan baik dalam teknologi, proses produksi maupun disain produksi serta memperbaiki efektivitas keputusan mengenai ketentuan harga;

2. Adanya ketergantungan dan keterkaitan global. Pergerakan yang relatif bebas dari barang dan jasa serta faktor-faktor produksi menyebabkan hampir semua kehidupan dalam suatu negara terpengaruh oleh ekonomi nasional;

3. Proteksionisme dan blok-blok yang makin tumbuh; 4. Kemajuan pesat teknologi;

5. Keprihatinan yang mendalam atas lingkungan.

Sengaja masalah penguatan fungsi kelembagaan dijadikan “kotak kunci” (key box) bagi tawaran alternatif untuk merekonstruksi perekonomian Indonesia yang hampir terkoyak di semua sektor, termasuk sektor kelautan dan perikanan. Dengan pijakan teoritis di atas diharapkan di peroleh dasar yang memadai untuk menyulam kembali perekonomian Indonesia dengan benang yang tepat. Setidaknya pendekatan kelembagaan relevan digunakan untuk melakukan “kontrak baru” terhadap perekonomian Indonesia di lihat dari dua sudut (Perdana dan Galuh, 2003) dalam DKP (2004). Pertama, teori kelembagaan tidak berpretensi bahwa masalah perekonomian diakibatkan oleh aspek ekonomi semata, tetapi bertali pilin dengan aspek lainnya seperti sosial, budaya, dan hukum. Berdasarkan keyakianan tersebut, setiap penyelesaian persoalan lewat pendekatan kelembagaan selalu mengandaikan adanya pertimbangan dan multidimensi. Kedua, teori kelembagaan sangat relevan untuk menjelaskan proses kegagalan kinerja bisnis sebuah negara yang memiliki sistem sosial, ekonomi, dan politik belum mapan.

Sektor kelautan dan perikanan saat ini umumnya belum mempunyai kelembagaan yang bernuansa bisnis perikanan dalam suatu sistem bisnis yang terintegrasi antara aspek input, penangkapan/budidaya, penanganan hasil perikanan, serta pemasaran. Hasil kajian Simatupang (1996) dalam DKP (2004), menjelaskan bahwa pada sektor perikanan menunjukan pola yang ada di Jawa maupun diluar Jawa umumnya digolongkan sebagai tipe dispersal, yang dicirikan oleh tidak adanya hubungan organisasi fungsional antara setiap tingkat usaha. Jaringan bisnis perikanan praktis hanya di ikat dan di koordinir oleh mekanisme pasar (harga). Hubungan antara sesama pelaku cenderung berkembang menjadi bersifat eksploitatif yang pada akhirnya menjurus pada kematian bersama.

Masalah yang timbul akibat tidak adanya ikatan kelembagaan antar pelaku dalam bisnis perikanan menurut Klein et al. (1998) dalam DKP (2004), yakni: a). Terjadi transmisi harga yang tidak simetris.

b). Informasi pasar, termasuk preferensi konsumen ditahan dan bahkan dijadikan alat untuk memperkuat oligopolistik dan monopolistik oleh bisnis perikanan disektor hilir.

c). Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki atau yang dapat diperoleh bisnis perikanan hilir tidak ditransmisikan ke nelayan.

d). Modal investasi yang relatif lebih banyak dimiliki oleh bisnis perikanan hilir (pedagangan, eksportir) tidak ditrasmisikan dengan baik dan bahkan cenderung digunakan untuk mengeksploitasi nelayan.

Dokumen terkait