• Tidak ada hasil yang ditemukan

kelestarian bernama Bumi Pemuda Rahayu di Dlingo,

Dalam dokumen | membacaruang (Halaman 61-67)

60

edisi #9: Komunitas

Yusni (Y): Jadi harapannya BPR itu

ingin memberikan kontribusi kepada masyarakat?

M: Dengan sendirinya. Kita harus belajar dari mereka. Karena perubahan baru nyata jika ada orang dan tempat yang nyata. Suatu laboratorium. Meski istilah laboratorium sebenarnya agak mengerikan, ya.

Y: BPR ini kan tidak hanya eksklusif

untuk arsitek, tapi ia menggabungkan beberapa profesi, itu tujuannya apa? Apa yang ingin dicapai dari sana? Mengapa harus multi-disiplin?

M: Kami (BPR) tidak berpikir dengan kerangka arsitektur (saja). Dengan sendirinya, hidup itu musti multi-disiplin, tidak bisa dipisah-pisah.

Kita mencari kombinasi. Pada residensi terakhir komposisinya adalah arsitek, musisi (pembuat alat musik), penulis

iksi, videografer, dan grup Papermoon Puppet Theater. (Latar belakang mereka) beda-beda, supaya mereka berinteraksi.

Marco Kusumawijaya

61 ruang | kreativitas tanpa batas

Y: Apa harapan untuk para residen

ketika mengikuti program BPR dan setelah kembali ke komunitas masing-masing?

M: Bagi mereka sendiri, (kami berharap mereka) belajar sesuatu dalam hal kelestarian. Kita melihat kelestarian itu bukan hanya sesuatu yang murni (ideal), selalu banyak masalah (yang muncul dari sana). Seperti nampak di tempat kami (BPR), kontradiksi ada di mana-mana. Misalnya tentang penggunaan plastik; penduduk sekitar di pos jaga tiap malam ngumpul, banyak sampah plastik segala macam. Idealnya, sampah yang kita bawa dari kota (Yogyakarta), harus dibawa lagi ke kota. Tapi kita pelan-pelan belajar. Maksudnya (menghadapi kontradiksi itu) bukan untuk putus asa, melainkan untuk mencari solusi.

Marco Kusumawijaya

© Roianisa Nurdin

Yang kedua untuk masyarakat agar belajar sesuatu. mereka mulai tahu bahwa vetsin itu buruk. Karena ada program videografer yang memfasilitasi ibu-ibu yang saling mendokumentasikan masakannya. Kita sendiri hampir tidak menggunakan minyak goreng, makanannya kukusan.

Belajar itu dua arah. Baik residen maupun masyarakat lokal, saling melengkapi satu sama lain.

Tujuan jangka panjang, kita menghasilkan sesuatu untuk siapa saja; entah inovasi pemikiran, praktek, atau produk. Tapi itu proses, kita tidak punya target yang

rigid. Tapi kita berusaha dalam setiap apa yang kita buat kita pikirkan. Ada yang berhasil 10 persen, 20 persen, ada juga yang gagal total.

Marco Kusumawijaya

62

edisi #9: Komunitas

Y: Adakah perbedaan tentang

pembangunan partisipatif dengan pengorganisasian masyarakat? Lalu dalam BPR pendekatannya lebih seperti apa?

M: Pengorganisasian itu artinya menyiapkan masyarakat untuk terbiasa pada cara-cara pengambilan keputusan bersama secara demokratis. Ada dua hal yang terkait. Satu tentang kebiasaan, mental. Kedua tentang struktur; harus ada yang memimpin rapat, pandangan harus dianalisis, ada organisasi, ada fungsi. Menyiapkan itu berbeda dengan langsung proses partisipasi. Jika orangnya belum punya struktur, agak berantakan jadinya.

Banyak (masyarakat) yang belum terbiasa dengan berdebat, berdiskusi; tetapi ada juga yang sudah terbiasa. Masyarakat Wakatobi itu sebenarnya sudah terbiasa (dengan proses partisipasi), karena sekian tahun bupatinya menerapkan demikian terhadap program-program yang diterapkan di sana.

Arsitek sering salah ketika melakukan perencanaan partisipatif ketika masyarakatnya belum terbiasa. Harus disadari (oleh arsitek ketika memutuskan untuk melakukan metode partisipasi). Tapi arsitek bisa melakukan keduanya (partisipasi maupun pengorganisasian masyarakat). Tapi kita harus sadar sebagai arsitek kita sebenarnya tidak terlatih untuk itu. Jadi kalau kita mau melakukan itu ya mbok

belajar dulu, atau magang, atau minta orang lain, hahaha.

Waktu di Aceh (program rekonstruksi pasca bencana tsunami), asumsinya kami tidak tahu apapun tentang pengorganisasian, jadi tim sosial yang melakukannya, meskipun karena keterbatasan jumlah orang akhirnya ikut jadi fasilitator, menginap di rumah penduduk, bergaul.

Intinya, jadi perlu membedakan, tapi tidak berarti orang harus bisa atau tidak bisa. Hanya harus dipahami. Y: Tentang partisipasi masyarakat

melalui sistem digital, seperti misalnya Solo Kota Kita, bagaimana pendapat Pak Marco?

M: Sistem tersebut perlu disikapi dengan kritis. Karena pelajaran dalam hidup saya segala hal ada baik dan buruknya. Kita harus mencegah buruknya, perbaiki positifnya. Yang punya hp kan tidak semua orang, gimana yang ga punya. Kalau kita mau melibatkan orang tua atau anak-anak kan susah. Tidak semua hal bisa lewat hp. Kadang tatap muka menjadi penting. Politisi tertentu saya pilih karena saya kenal, pernah tatap muka. Kalo gak mungkin saya tidak pilih. Jadi ada hal yang tidak bisa digantikan. Tapi itu tidak berarti alat (komunikasi digital) tidak dipakai, harus bijak menyikapinya. Harus dipakai dengan tepat. Pisau saja ada bermacam-macam; ada yang berfungsi untuk memotong, menyayat, mengoles roti.

63 ruang | kreativitas tanpa batas

Marco Kusumawijaya

© Roianisa Nurdin

Kami terus menerus mencoba berbagai alat; membuat website, aplikasi Lapor! (www.lapor.ukp.go.id), klikJkt (www. klikjkt.or.id). Tapi ternyata ada perbedaan membuat dengan mempopulerkannya. Aplikasi tersebut sudah dibuat, tapi belum populer. Perlu ada dana khusus untuk mempublikasikan aplikasi tersebut untuk dipakai masyarakat.

64

edisi #9: Komunitas

Y: Posisi ideal arsitek terhadap

komunitas itu seperti apa? Apa harus bergerak sendiri atau justru harus memperhatikan komunitas setempat?

M: Ada beberapa cara melihat. Pertama, komunitas sebagai klien arsitek. Bedanya hanya di struktur pendanaan. Komunitas tidak mampu membayar sendiri-sendiri. Jika misalnya kita membangun fasilitas bersama, tentu dibayarnya bukan oleh 1-2 orang. Tapi intinya ada di struktur pendanaan, bagaimana arsitek harus bisa bekerja di situasi yang struktur pendanaannya tidak biasa. Bukan taunya dibayar saja, 10% saja. Ini berbeda. Lalu cara pandang kedua adalah melihat komunitas sebagai suatu masa depan. Arsitek harus meningkatkan perannya tanpa harus merasa ini kue yang kita harus dapat. (Kita sebaiknya)

membantu komunitas karena idealisme bahwa komunitas adalah alternatif masa depan. Saya bilang alternatif karena mungkin tidak semua orang setuju. Barangkali semua orang inginnya seperti Singapura, tidak ada komunitas, semua diambil alih oleh negara.

Komunitas yang saya maksud adalah komunitas yang bekerja secara mandiri. Yang sebanyak mungkin memenuhi kebutuhannya dengan kemampuannya sendiri tanpa harus tergantung kepada negara. Makin dia mandiri, kuat terhadap intervensi. Saya merasa komunitas adalah bentuk alternatif dari kehidupan bersama, tanpa harus bergantung kepada negara/pemerintah. *

www,rujak.org www.bumipemudarahayu.org

Marco Kusumawijaya

65 ruang | kreativitas tanpa batas

Dalam dokumen | membacaruang (Halaman 61-67)

Dokumen terkait