• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelompok Preman

Dalam dokumen VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK (Halaman 32-37)

6.3. Keterlibatan Pihak-pihak dalam Konflik di Pedesaan Saparua

6.3.3. Kelompok Preman

Penyerangan awal komunitas Sarani ke wilayah komunitas Salam di pedesaan Saparua dilakukan oleh pasukan bantuan dari Ambon. Dugaan kerjasama antara pasukan bantuan dari Ambon di pihak Sarani dengan pasukan bantuan di pihak Salam karena kedua kelompok masuk secara bersamaan ke wilayah masing-masing komunitas. Setelah pasukan bantuan dari Ambon (AW, dan kawam-kawan) melakukan penyerangan ke arah Negeri Iha, maka pasukan Jihad yang merupakan bantuan yang masuk ke Iha melakukan serangan balasan. Setelah penyerangan berlangsung justru pasukan bantuan dari Ambon di bawah pimpinan AW segera meninggalkan Negeri Ihamahu. Hal yang sama juga terjadi saat Negeri Iha telah terkepung dimana pasukan bantuan yang menggunakan lima speed ternyata telah lebih dahulu meninggalkan

negeri Iha. Hal inilah yang mengindikasikan adanya keterkaitan dan keterlibatan kelompok AW, dkk, untuk memperkeruh situasi dan kondisi keamanan di Negeri Ihamahu.

Keterlibatan kelompok preman dalam konflik Saparua juga dinyatakan oleh responden-responden berikut ini :

Saat itu juga ada terlibat pasukan bantuan dari Ambon (AW, dkk), yang juga bermaksud membantu di Sirisori Sarani (Amalatu) ternyata sesaat setelah penyerangan dimulai mereka juga mulai meninggalkan negeri Sirisori Sarani dan penyerangan balik oleh kelompok dari Sirisori Salam mulai berlangsung sampai menghancurkan, menjarah dan membakar negeri Sirisori Sarani. Keterlibatan kelompok AW sebenarnya sudah dimulai dari saat berkepanjangannya konflik Ambon. Berdasarkan pengalaman kami, dimana ada kelompok AW dalam suatu konflik di suatu tempat (kawasan Sarani), maka dapat dipastikan tempat tersebut akan hancur dan terbakar. Seperti halnya juga saat terjadi penghancuran kampus Unpatti di Poka, Rumahntiga dan Wailela.; juga di Tawiri (laha), Pohon Pule, Urimessing. Daerah-daerah tersebut yang saat konflik saya turut ada di dalamnya (sejak Januari 1999 selama setahun setengah) untuk membantu kelompok Sarani yang diserang untuk mempertahankan diri walau pun ternyata kelompok Sarani sendiri seperti halnya kelompok AW turut terlibat membuka jalan, sehingga setelah orang Sarani mundur maka pihak penyerang mulai menjarah dan membakar termasuk pula aparat keamanan.

Demikian pula jika terjadi pembakaran di kawasan Salam, dapat dipastikan adanya keterlibatan kelompok-kelompok dalam masyarakat Salam sendiri seperti halnya kelompok AW. Masuknya AW ke Saparua diindikasikan oleh adanya kerjasama antara kedua kelompok tersebut, demikian pula sampai terbakarnya salah satu kawasan oleh satu kelompok lainnya. Jadi jika ada rencana penyerangan ke kawasan Sarani dapat dipastikan kelompok AW ada di situ, demikian pula kelompok Salam juga dipastikan ada di situ. Bahkan jika diamati ternyata, AW sebagai pemimpin begitu mudah untuk berkomunikasi dengan aparat TNI yang bertugas di kawasan tersebut. Seakan-akan telah saling kenal mengenal antara kelompok-kelompok dimaksud dengan aparat TNI yang bertugas di kewasan itu.

Selama proses konflik berlangsung koordinasi sering dilakukan oleh pihak Klasis Gereja Protestan Maluku Wilayah Saparua untuk memberikan bantuan ke negeri-negeri yang terancam, bahkan kemudian memintakan bantuan ke Posko Maranatha di Ambon jika situasi negeri Sarani makin terdesak. Koordinasi biasanya dilakukan secara langsung dimana, saat suatu daerah diserang maka akan terjadi perminataan pasukan bantuan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Kemudian diarahkan ke lokasi yang diserang. Oleh karena itu, biasanya pihak Sarani bergerak setelah memperoleh informasi yang jelas dari pihak atau negeri yang diserang. Setelah itu baru kami (berjumlah tiga orang) mulai bergerak. Banyak juga yang tidak pernah bergabung dengan salah satu kelompok, karena berdasarkan pengalaman banyak terjadi penyimpangan dan perilaku buruk yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang sering terlibat dalam konflik.

Biasanya kelompok-kelompok, melakukan aksi meminta uang dengan alasan akan dipakai untuk membiayai konflik yang terjadi. Padahal kemudian uang tersebut dipakai mereka untuk berfoya-foya. Hal itulah yang membuat kami

menolak bergabung bersama mereka. Kemudian kenyataan dari adanya penyimpangan-penyimpangan dimaksud kemudian terbukti dengan matinya AW yang entah disebabkan oleh apa. Ada isu yang berkembang dia ditembak oleh istrinya sendiri karena terlibat perselingkuhan dengan perempuan lain, atau kah memang sengaja dihilangkan untuk memutuskan rantai jejaring konflik di Maluku. Lebih mengherankan lagi, ternyata tidak dilakukan pengusutan terhadap kematian AW yang diakibatkan oleh tembakan senjata standart larfas pendek (pistol), seakan-akan bahwa kematian AW adalah proses kematian yang normal. 6.3.4. Keterlibatan Kelompok Teroris : Sejak Konflik Sampai Pasca Konflik

Keterlibatan Kelompok Teroris belum terungkap saat konflik dimulai dan berkembang di Maluku. Namun, setelah konflik mereda terungkap bahwa upaya-upaya memanaskan situasi baik yang dilakukan dengan mengorbankan anggota kelompok Sarani maupun anggota kelompok Salam ternyata dilakukan olehpihak-pihak yang tidak termasuk dalam kedua kelompok tersebut.

Terungkapnya peledakan bom di depan Hotel Amboina yang mengakibatkan korban anggota masyarakat dari kelompok Sarani dan kelompok Salam dilakukan oleh kelompok teroris yang mulai memasuki Ambon setelah konflik merebak. Walaupun tidak diketahui secara pasti waktu kedatangan kelompok teroris, namun fakta persidangan di Pengadilan Negeri Ambon (merujuk berita surat kabar lokal) menunjukkan bahwa jaringan teroris yang bermain di Ambon memiliki hubungan dengan jaringan teroris yang bergerak di Poso dan Pulau Jawa.

Kelompok teroris yang bergerak di Ambon memiliki pusat pelatihan di Pulau Seram, bahkan kemudian melakukan rekruitmen anggota dari Negeri-negeri di sekitar lokasi pusat pelatihan tersebut. Bahkan jaringan teroris ini berhasil merekrut anggota POLRI yang kemudian meninggalkan kesatuannya, serta terlibat secara langsung dalam aktifitas-aktifitas kelompok teroris di berbagai lokasi di Maluku. Rekruitmen anggota biasanya diawali dengan dakwah-dakwah yang kemudian dimatangkan sebagai kebenaran idiologi, sehingga mengharuskan anggota kelompok mengamalkan kebenaran tersebut dalam setiap aspek kehidupannya. Pengamalan idiologi tersebut, termasuk pula melakukan berbagai aksi teror tanpa memperhitungkan siapa yang menjadi korban.

Beberapa penyebab keterlibatan kelompok teroris dalam konflik Ambon yaitu : 1. Ketegangan struktural antara nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dengan kata

memakmurkan sebagian kecil warganya, dan menyisakan ratusan jutaan lainnya dalam situasi ekonomi tak menentu.

2. Tersebarnya keyakinan bersama mengenai suatu hal yang dianggap sebagai musuh bersama. Ketegangan-ketegangan sosial seperti yang dijelaskan di atas akan makin memperkuat ambuguitas dalam sistem keyakinan seseorang yang kemudian memfasilitasi munculnya kecemasan pada dirinya.

3. Faktor pengobar. Biasanya berupa peristiwa-peristiwa yang diemosionalisasikan sehingga melipatgandakan tingkat ketegangan yang sudah ada dalam masyarakat. Isu soal dibakarnya sebuah rumah ibadah salah satu komunitas atau meninggalnya anggota komunitas akibat perbuatan komunitas berbeda agama. 4. Mobilisasi untuk turut serta dalam aksi. Inilah hasil dari fungsi komunikasi dan

persuasi massa yang kemudian memungkinkan mereka mengambil tindakan kolektif secara drastis. Indoktrinasi bisa jadi salah satu bentuknya. Unsur kepemimpinan atau yang belakang makin sering disebut-sebut sebagai provokator dan aktor intelektual yang muncul secara tiba-tiba dari kerumunan massa menjadi penting.

5. Lumpuhnya kontrol sosial. Jika dalam sebuah situasi yang dikuasai oleh kerusuhan, elit-elit dalam masyarakat biasanya juga terpecah dalam berbagai kantung yang terbedakan oleh taktik, strategi politik, dan pegangan ideologis yang dimilikinya, kontrol sosial akan jebol, dan aksi massa yang lebih besar lagi akan besar peluang suksesnya.

Kenyataan demikian merupakan pembenaran atas tindakan teror yang dilakukan, saat situasi dan kondisi Ambon termasuk Saparua semakin kondusif. Namun perlu diperhatikan dan ditelusuri dengan lebih seksama, apakah kelompok pembuat teror ini memang berdiri sendiri tanpa campurtangan pihak lain atau mereka hanya sebagai boneka atas kepentingan pihak ketiga yang menginginkan kembali terjadinya situasi dan kondisi tidak aman pasca konflik di Ambon termasuk di Saparua. Memang teror dimaksud tidak sampai meluas ke Saparua, namun jika dilakukan di Ambon dan mengakibatkan warga yang berasal dari Saparua menjadi korban maka dipastikan akan ada upaya balas dendam dari kerabatnya terhadap warga berbeda agama.

Pemberitaan media massa sesuai fakta persidangan kemudian mengarah pada keterlibatan kelompok teror pasca konflik berkepanjangan di Ambon. Kelompok teror juga melibatkan oknum Polri yang disertir. Selain itu kelompok ini telah melakukan

penggalangan massa (rekruitmen) dari warga yang berusia muda di negeri-negeri Pulau Seram. Berbagai media mengulas bahwa, warga yang direkrut tidak diketahui keberadaannya saat ini. Pola rekruitmen dilakukan secara tertutup dengan berbagai alasan, diiringi dengan penyebaran dan indoktrinasi ajaran-ajaran yang mengarah pada perilaku teror dapat diterima selama bertujuan membela umat yang tertindas. Namun sangat disayangkan karena, banyak orang tidak berdosa yang harus menjadi korban entah karena teror dilakukan di wilayah Sarani maupun Salam.

Fakta demikian memudarkan anggapan bahwa, perilaku teror yang dimunculkan bukan merupakan akibat ketertekanan yang berkepanjangan dan meledak akibat tidak mampu ditahan lagi. Jawaban-jawaban yang dikemukakan pelaku teror saat sidang digelar menunjukkan bahwa, tindakan yang mereka lakukan hanyalah untuk membalaskan kematian salah satu komunitas Salam akibat ditembak oleh petugas Polri yang kebetulan beragama Sarani. Pertanyaan kemudian muncul, apakah tindakan balasan demikian akan melegakan pihak keluarga korban atau apakah yang menjadi korban dapat hidup kembali ? Tentu saja jawabannya tidak, mengingat pembalasan juga tidak diarahkan pada oknum pelaku tetapi pada oknum lain yang tidak punya kaitan kekerabatan dengan pelaku selain bahwa sama-sama beragama Sarani.

Memang pada awalnya ketika situasi dan kondisi konflik masih memanas, upaya teror yang dilakukan dapat memberikan hasil yang maksimal. Jika situasi aman dan teror dilaksanakan maka, dipastikan saling membalas akan muncul kembali dengan dampaknya pada terjadinya konflik yang berkepanjangan. Seperti misalnya peledakan bom di depan Hotel Amboina, kemudian diikuti oleh tindakan balasan dari pihak Sarani dengan melakukan protes ke pihak Penguasa Darurat Sipil (Gubernur Maluku). Akhirnya karena stuasi tidak terkendali maka gedung Kantor Gubernur turut dibakar. Upaya pembiaran juga nampak di sini karena, pihak keamanan tidak bertindak tegas mencegah terjadinya pembakaran.

Pada dasarnya kelompok teroris sendiri tidak mendapatkan keuntungan secara materi. Padahal akibat perbuatannya banyak rakyat yang semakin terpuruk karena keamanan menjadi dasar bagi berbaurnya kembali masyarakat Salam dan Sarani pada suatu tempat umum seperti pasar bersama, terminal bersama maupun tempat berbelanja kebutuhan sandang secara bersama-sama. Berkepanjangannya konflik cukup memberikan keuntungan bagi Birokrat Pemerintah Daerah, yang diberikan kesempatan untuk mengelola dana-dana pemberdayaan pengungsi. Sebagai gambaran, sampai tahun 2007 penyelesaian pengungsi belum tercapai. Program

penyelesaian sudah dimulai sejak tahun 1999, bahkan kemudian ditindaklanjuti dengan Inpres 6 Tahun 2003 yang menyerap dana triliun rupiah. Hal-hal demikian mengindikasikan, bahwa konflik memberikan keuntungan kepada banyak pihak yang berkompeten dengan upaya penyelesaiannya. Sementara di sisi lain memberikan kerugian bagi masyarakat sebagai penerima akibat konflik, sekaligus hanya sebagai objek program penyelesaian konflik.

Dalam dokumen VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK (Halaman 32-37)

Dokumen terkait