• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA DALAM RANGKA

A. Pembentukan Karakter dan Iman Anak dalam Keluarga Katolik

1. Keluarga Katolik

a. Dasar Pembentukan Keluarga Katolik

Ketika manusia berbicara tentang keluarga Katolik maka manusia akan dihantar kepada pemikiran tentang kisah penciptaan. Sebab pada awal mula, penciptaan dan pembentukan keluarga merupakan karya penciptaan Allah. Allah adalah penggagas pertama dan utama pembentukan keluarga. Karena itu dasar utama keluarga Katolik adalah Allah. Atas dasar ini manusia membangun persekutuan dalam keluarga.

Manusia tidak diciptakan Allah untuk hidup seorang diri melainkan untuk hidup dalam kebersamaan. Allah berfirman, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong baginya yang sepadan dengan dia” (bdk, Kejadian, 2: 18). Manusia diciptakan untuk hidup dalam kesatuan dan persekutuan yang mesra. Alkitab secara jelas mengungkapkan bahwa “Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar

Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka” (bdk, Kejadian, 1: 27). Pada mulanya Allah menciptakan manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas kehidupan kepadanya (bdk, Kejadian, 2: 7). Allah melihat bahwa “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja maka Allah menciptakan seorang penolong yang sepadan dengan dia. Allah membuat manusia itu tidur nyenyak lalu Allah mengambil satu dari rusuknya lalu diciptakanNya seorang perempuan lalu dibawaNya kepada manusia itu” (bdk, Kejadian, 2: 22). Pikiran yang paling penting di sini bukan soal perempuan diciptakan dari tulang laki-laki melainkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah menurut gambarNya. Laki-laki menerima perempuan sebagai bagian utuh dari dirinya, “Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (bdk, Kejadian, 2: 23). Tujuannya untuk saling menolong dan saling menyempurnakan. Demi terwujudnya cita-cita ini, maka “Seorang pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging” (bdk, Kejadian, 2: 24).

Atas dasar pemikiran teologis ini, maka manusia dari generasi ke generasi terutama orang Katolik yang ingin menikah dan membangun keluarga mesti percaya bahwa dasar pembentukan dan persekutuan keluarga Kristiani adalah Allah. Perkawinan dan keluarga bukan sekedar jodoh, melainkan anugerah Allah bagi pria dan wanita. Karena itu persekutuan suami-istri dalam keluarga dan perkawinan mesti dihayati dalam semangat cinta kasih Allah. Dengan kata lain, urusan keluarga dan perkawinan, bukanlah urusan manusia, melainkan urusan dan rencana Allah. Karena seturut rencana Allah keluarga telah ditetapkan sebagai

‘persekutuan hidup dan kasih yang mesra’, dan mengemban misi untuk membangun persekutuan hidup dalam kasih, melalui usaha sebagaimana segala sesuatu yang diciptakan dan ditebus akan mencapai pemenuhannya dalam Kerajaan Allah (Maurice Eminyan, 2000: 85).

b. Pengertian Keluarga Katolik

Berdasarkan pemikiran teologis-biblis tentang keluarga di atas, maka penulis dapat mengatakan bahwa keluarga secara keseluruhan pada dasarnya adalah suatu lembaga atau unit yang paling kecil dalam masyarakat. Sedangkan keluarga Katolik khususnya dapat dipahami sebagai sebuah miniatur dari Gereja. Keluarga adalah suatu tim dalam persekutuan hidup bersama antara ayah, ibu, dan anak-anak yang disebut dengan keluarga kecil atau keluarga inti. Jika kita merujuk pada sejarah keselamatan maka keluarga pertama di dunia ini dibentuk oleh Allah sendiri yang nyata dalam persekutuan hidup Adam dan Hawa (bdk, Kejadian, 1:27-29). Keluarga pertama ini terdiri dari suami-istri dan anak-anak : Adam-Hawa serta Kain dan Abel (bdk, Kejadian, 4: 1-2). Dalam persekutuan hidup keluarga setiap anggota keluarga memiliki fungsi dan peran sosial yang berbeda-beda, namun tujuannya sama yakni untuk membangunn keluarga Kristiani yang harmonis sesuai rencana Allah.

Menurut Lee sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari (2012: 6), dari segi keberadaan anggota keluarga, sesungguhnya keluarga dapat dibedakan menjadi dua yakni keluarga inti (nuclear family) yang di dalamnya hanya terdapat tiga posisi sosial yaitu suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sabling. Kemudian keluarga

batih (extendef family) yang disebut keluarga besar yaitu persekutuan hidup antara ayah, ibu, dan anak-anak serta kakek, nenek, paman dan bibi, dan lain-lain. Mereka berasal dari hubungan keluarga (kekerabatan) ayah maupun keluarga (kekerabatan) ibu.

Sedangkan dalam buku yang berjudul “Catholic Parenting” (Alfonsus Sutarno, 2013: 42) dikatakan bahwa: keluarga Kristen adalah tempat anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai iman. Karena itu tepat sekali ia dinamakan “Gereja rumah tangga”, satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk membina kebajikan-kebajikan manusia dan cinta kasih Kristen (KGK 1666).

c. Perkawinan dan Keluarga Sebagai Panggilan dan Sakramen

Perkawinan merupakan persekutuan orang-orang terbaptis yang diikat oleh sakramen untuk membangun keluarga menurut rencana Allah (KHK, Kan. 1061). Maka menjadi Katolik melalui pembaptisam berarti bersedia menjadi pengikut Kristus. Menjadi pengikut Kristus berarti berusaha meneladani hidup dan ajaran-ajaran Kristus. Keluarga Katolik merupakan tempat untuk menghayati ajaran-ajaran Kristus itu secara baik, benar dan utuh. Karena itu perkawinan dan keluarga tidak sekedar suatu persekutuan hidup manusiawi, melainkan suatu panggilan untuk menghayati cinta kasih dari persekutuan Allah Tritunggal secara nyata dalam persekutuan cinta suami-istri dan anak-anak dalam keluarga. Inilah kekhasan yang membedakan keluarga Kristiani dengan keluarga pada umumnya. Ikatan suci demi kesejahteraan suami-istri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung

dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah pencipta perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan (GS, art. 48)

Keluarga-keluarga Katolik dewasa ini dapat belajar begaimana membangun persekutuan dalam hidup perkawinan dan keluarga dengan bercermin pada pengalaman dan cara hidup jemaat perdana. Orang Kristen pada umumnya dan keluarga-keluarga Kristen pada khususnya dipanggil untuk mewarisi tradisi hidup Kristen sebagaimana yang diwariskan oleh jemaat perdana (bdk, Kisah Para Rasul, 2: 41-47). Mereka mesti berusaha, antara lain pertama, menggali dan menemukan apa yang menjadi dasar dalam hidup Gereja perdana untuk dijadikan kekuatan menyuburkan hidup bersama dalam keluarga; kedua, berusaha meneruskan apa yang baik, luhur dan berharga dalam kehidupan bersama. Pada titik ini, keluarga-keluarga Kristen dituntut untuk benar-benar menjadi sakramen yaitu tanda dan sarana penyelamatan Allah yang nampak dalam kasih Yesus di tengah keluarga dan dunia. Suami-istri merupakan sakramen yang menyelamatkan dari Allah di tengah dunia (St. Darmawijaya, 1994: 10).

Kesadaran inilah yang melatarbelakangi pertimbangan Gereja Katolik dalam mempersiapkan pasangan nikah sebelum menerima sakramen perkawinan untuk hidup sebagai suami-istri dalam keluarga. Hidup berkeluarga yang diawali dengan penerimaan sakramen perkawinan merupakan suatu panggilan hidup untuk menjadi rekan kerja Allah dalam melangsungkan karya penciptaan-Nya, demi perkembangan hidup dan berlangsungnya generasi hidup manusia (bdk, Kejadian, 1: 28). Karena itu manusia terutama suami-istri disebut rekan

sepencipta Allah (co-creator) untuk bersama Allah membangun dunia dan manusia teristimewa dalam melahirkan keuturunan baru bagi kemuliaan Allah.

Yoseph Kristianto dalam buku yg berjudul, “Semakin Menjadi Manusia”, (Ed, B. A Rukyanto dan Sumarah, 2014: 53) mengungkapkan bahwa apabila pria dan wanita telah dipertemukan dalam cinta kasih, selanjutnya dengan kebulatan hati dan kebebasan nuraninya berniat membangun hidup bersama, maka niat suci ini perlu ditempatkan dalam perspektif menanggapi panggilan Tuhan. Karena sejak awal mula manusia telah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sehingga mempunyai potensi untuk bertumbuh dan saling melengkapi satu sama lain di antara suami-istri. Keluarga merupakan tempat suami-istri saling memberi energi, perhatian, komitmen, kasih serta didukung oleh lingkungan yang kondusif untuk bertumbuh dan berkembang dalam pelbagai dimensi kehidupan.

Alfonsus Sutarni dalam buku “Catholic Parenting” (2013: 10), mengatakan bahwa: hidup berkeluarga dimulai dengan perkawinan. Tidak ada keluarga tanpa perkawinan. Bentuk hidup bersama tanpa perkawinan pada dasarnya bukanlah keluarga. Dalam aturan umum perkawinan pada hakekatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita yang saling mencintai untuk membentuk hidup bersama. Kemudian demi anak-anak, maka seharusnya keluarga dibentuk dari sebuah perkawinan yang sah, yang diakui secara agama maupun sipil. Dengan perkawinan yang sah, maka keberadaan anak-anak akan menjadi tujuan perkawinan. Konskuensinya, orang tua akan bertanggung jawab atas hidup, martabat, pendidikan, dan tumbuh kembang anak. Anak yang

dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dan dididik secara Kristen. Perkawinan yang sah memungkinkan adanya komitmen yang jelas dari orang tua akan keberadaan keluarga dan masa depan anak-anak. Anak-anak mendapat jaminan kehidupan yang jelas. Sebab di dalam kehidupan perkawinan dan keluarga setiap individu diperkenalkan ke dalam keluarga manusia dan juga ke dalam keluarga Allah. Dengan kelahiran dan pendidikan, anak-anak yang dikaruniakan diantar masuk ke dalam keluarga Allah, yakni Gereja. Keluarga sebagai Gereja mini adalah tempat dan lingkungan untuk bertumbuh dan berkembang dalam setiap generasi (J. Hardiwiratno, 1994: 50).

Selanjutnya dalam buku berjudul, “Menuju Keluarga Bertanggung Jawab” J. Hardiwiratno (1994; 60) mengatakan bahwa saling memberikan hidup di antara individu-individu karena rencana Allah sendiri, merupakan suatu berkat yang fundamental. Saling memberi hidup merupakan suatu tanda cinta dan tanda pemberian diri di dalam hidup perkawinan. Pemberian hidup dalam perkawinan tidak sekedar untuk melahirkan anak, melainkan juga menjadi kekuatan untuk membantu anak dapat berkembang sebagai anak yang bermoral dan berspiritual. Karena di dalam dan melalui keluarga landasan kepribadian dan perkembangan iman anak dibangun dan dikembangkan. Selain itu keluarga merupakan tempat untuk mentransfer nilai-nilai kehidupan yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan anak baik dari segi moral maupun segi spiritual. Untuk itu setiap anggota keluarga perlu saling belajar hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang kurang baik.

Rasul Santo Paulus menegaskan bahwa keluarga Kristiani perlu membiarkan Kristus memerintah sebagai Tuhan atas hidup mereka agar masalah dan tantangan apapun dapat diselesaikan dalam nama Tuhan. Setiap keluarga Katolik perlu memahami bahwa yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling melengkapi dan saling mencintai satu sama lain secara total dan menyeluruh (bdk, Efesus, 5: 22-30).

2. Anak Dalam Keluarga Katolik

a. Anak Adalah Anugerah Allah bagi Suami-Istri

Salah satu tujuan perkawinan Katolik adalah untuk melahirkan anak. Anak adalah buah cinta suami-istri dalam perkawinan, tapi terutama anak adalah anugerah cinta dari Allah kepada suami-istri dalam perkawinan mereka. Anak sebagai anugerah Allah kepada suami-istri membutuhkan cinta, perhatian dan tanggung jawab orang tua. Paus Yohanes Paulus II dalam “Surat Apostolik Familiaris Consortio” (FC, art. 18) mengatakan bahwa: keluarga yang didasarkan dan dijiwai oleh cinta kasih, merupakan persekutuan pribadi-pribadi, persatuan antar suami dan istri, persatuan orang tua dan anak-anak dan persatuan sanak saudara. Tugasnya yang pertama ialah dengan setia menghayati realitas persatuan dalam usaha terus menerus untuk mengembangkan persekutuan antarpribadi yang otentik. Persekutuan antarpribadi ini terjadi dalam komunitas keluarga yang membentuk suatu ikatan yang disebut relasi.

b. Relasi Orang Tua-Anak Dalam Keluarga

Prinsip persekutuan menuntut pribadi-pribadi dalam keluarga untuk menjalin relasi yang bersifat personal dan fungsional. Dalam pembangunan relasi inilah para anggota keluarga memperlihatkan tanggungjawabnya satu terhadap yang lain. Relasi personal berpusat pada hati sedangkan relasi fungsional berkaitan dengan peran masing-masing pribadi dalam keluarga dan dengan keluarga-keluarga lain. Setiap pribadi mesti menanamkan dalam hatinya prinsip rasa ‘memiliki’ satu sama lain. Artinya setiap anggota keluarga mesti menunjukkan rasa tanggungjawab satu terhadap yang lain dan merasa bahwa anggota keluarga yang lain merupakan bagian utuh dari dirinya karena “mereka bukan lagi dua melainkan satu” (bdk. Kejadian 2: 24). Relasi personal diartikan sebagai relasi antarpribadi, yang didasarkan pada kedudukan atau fungsi seseorang. Dalam relasi ini setiap pribadi adalah setara dengan setiap pribadi yang lain dalam keluarga. Tidak ada yang merasa lebih penting dari yang lain. Sedangkan relasi fungsional adalah relasi yang muncul dari kedudukan atau fungsi seseorang dalam keluarga, misalnya relasi orang tua dengan anak. Dalam keluarga, kedua relasi ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena hubungan fungsional dalam keluarga harus selalu personal juga, artinya harus selalu dalam semangat menerima yang lain sebagai pribadi yang bermartabat sama karena memiliki hak asasi yang sama pula (KWI, 2011: 22). Relasi antaranggota keluarga tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan hidup sebagai makluk sosial, melainkan untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai tertentu yakni:

1) Relasi suami-Istri. Suami-istri dipanggil untuk hidup dalam persekutuan yang bersifat eksklusif dan tak terputuskan, kecuali oleh kematian. Persekutuan suami istri itu bertujuan saling melengkapi dan menjadi sakramen cinta-kasih Allah yakni tanda dan sarana kehadiran cinta-kasih Allah yang menyelamatkan (KWI, 2011: 22)

2) Relasi Orang Tua-Anak. Relasi orang tua dan anak bertujuan menghayati dan melaksanakan perintah Allah untuk mencintai sesama maupun untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan mereka sendiri. Santo Paulus mengajarkan, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayah dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (bdk, Efesus, 6: 1-4)

3) Relasi Keluarga Inti-Keluarga Besar. Dalam masyarakat Indonesia, pengertian “keluarga” seringkali juga menunjuk pada “keluarga besar”, yang terdiri dari keluarga inti (suami-istri dan anak-anak), orang tua dan mertua, serta sanak saudara. Dalam kehidupan sehari-hari relasi antar keluarga inti dan keluarga besar sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. ketika keluarga inti menghadapi suatu persoalan, keluarga besar juga ikut merasakan dan terlibat di dalamnya. Baik keluarga inti maupun keluarga besar hendaknya membangun relasi yang tidak hanya berdasarkan hubungan darah, tetapi lebih dari itu berdasarkan dan bersumber pada cinta-kasih. Perwujudan dari relasi-relasi

tersebut dipengaruhi oleh budaya-budaya dan tradisi setempat yang tetap pantas diperhatikan, dipelihara, dan dihargai dengan sikap kritis dan kreatif (KWI, 2011: 27)

Menurut Sri Lestari (2012: 9), pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan antara laki-laki dan perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi antarsuami-isteri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi baru, yaitu relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncul lagi bentuk relasi yang lain, yaitu relasi sabling (saudara sekandung). Ketiga macam relasi tersebut merupakan bentuk yang pokok dalam suatu keluarga inti. Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarga batih, bentuk-bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi.

Setiap bentuk relasi yang dibangun dalam keluarga tentu memiliki warna atau kerakteristik tertentu. Menurut Calhoun dan Acocela, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari (2012: 9) disampaikan bahwa relasi suami istri memberi landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri karena lemah dalam proses adaptasi. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Proses adaptasi diri ini sifatnya dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Proses penyesuaian adalah suatu interaksi yang yang terus-menerus dan kontinu dengan diri sendiri, di antara suami-istri, suami-isri dengan anak-anak serta dengan orang lain dan lingkungan sosial. Pada tahap ini, komunikasi interpersonal merupakan

aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan keseluruhan aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari sebuah diskusi dan pengambilan keputusan di keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karier, agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat dan kebutuhan akan tergantung pada gaya, pola dan keterampilan dalam berkomunikasi.

c. Prinsip-Prinsip Interaksi Orang tua-Anak Dalam Keluarga

Dalam perkawinan, menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan (Sri Lestari, 2013: 16). Dalam buku “Psikologi Remaja”, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari (2013: 19), menurut Hinde, dikatakan bahwa relasi orang tua dan anak mengandung beberapa prinsip berikut ini:

1) Interaksi. Perlu disediakan waktu agar orang tua dan anakdapat berinteraksi dan berkomunikasi untuk menciptakan keakraban. Berbagai interaksi dan komunikasi dapat membentuk kepribadian anak dan membantu anak untuk bertumbuh secara wajar menuju masa depan yang lebih baik.

2) Kontribusi mutual. Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran yang sama dalam interaksi untuk saling memperkaya dalam relasi yang sehat.

3) Keunikan. Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik. Walaupun demikian keunikan itu dapat dikomunikasikan dalam relasi timbal balik antara orangtua dan anak untuk saling memperkaya dan saling menyempurnakan satu sama lain di dalam keluarga

4) Pengharapan. Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi pada awalnya menjadi gambaran pada pengharapan dalam hubungan keduanya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, orang tua akan memahami bagaimana anaknya akan berindak pada suatu situasi (Demikan pula sebaliknya anak kepada orang tuanya).

5) Antisipasi masa depan. Karena relasi orang tua-anak bersifat kekal, maka masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduanya.

Kemudian menurut Dunn, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari dalam buku “Psikologi Remaja” (2012: 20) pola hubungan antara saudara kandung dicirikan oleh tiga karakteristik yakni:

a) Pertama, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya pengungkapan emosi tersebut. Emosi yang menyertai hubungan dengan saudara dapat berupa emosi negatif maupun emosi positif;

b) Kedua, keintiman yang membuat antarsaudara kandung saling mengenal secara pribadi. Keintiman ini dapat menjadi sumber bagi dukungan maupun konflik;

c) Ketiga, adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan di antara saudara kandung. Sebagian memperlihatkan afeksi, kepedulian, kerja sama dan dukungan. Sebagian yang lain menggambarkan adanya permusuhan, gangguan, dan perilaku agresif yang memperlihatkan adanya ketidaksukaan satu sama lain

Untuk mengetahui apa arti keluarga bertanggung jawab menurut ajaran Gereja Katolik, pertama-tama perlu dilihat dalam terang Konstitusi Gaudium et Spes (GS). Suami istri harus bertanggung jawab dengan memperhatikan kesejahteraan pasangan, kesejahetraan anak-anaknya yang sudah ada maupun yang akan ada, maka tanggung jawab itu membuka cakrawala suami-isteri lebih luas, sehingga selalu turut memperhitungkan kepentingan masyarakat dan Gereja (GS 50). Dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Efesus dan Kolose (Ef, 5:22-23; 6:1-4 dan Kol, 3:18-21) terungkap secara jelas bentuk-bentukrelasi timbalbalik dalam keluarga yakni: 1) Suami mengasihi istri dan tidak boleh berlaku kasar pada istrinya, 2) Istri tunduk dan taat kepada suami dalam segala hal, 3) Orang tua mendidik anak-anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan, serta tidak membangkitkan amarah anak-anaknya, 4) Anak-anak menghormati dan mentaati orang tuanya.

Bentuk-bentuk relasi di atas memberi inspirasi kepada setiap anggota keluarga untuk menunjukkan rasa tanggung jawab dalam keluarga. Menurut Defrain dan Stinnett, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari dalam buku “Psikologi

kualitas relasi di dalam keluarga yang memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being) keluarga. Ada enam karakteristik bagi keluarga yang kukuh, yakni:

a) Memiliki komitmen. Dalam hal ini keberadaan setiap anggota keluarga perlu diakui dan dihargai. Setiap anggota keluarga perlu memiliki komitmen untuk saling membantu satu sama lain dalam meraih keberhasilan.

b) Kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi. Setiap anggota keluarga perlu melihat sisi baik dari anggota keluarga lainnya, dan selalu terbuka untuk mengakui kebaikkan tersebut. Setiap ada keberhasilan maka sangat dianjurkan untuk merayakan bersama. Dengan demikian komunikasi dalam keluarga bersifat positif, cenderung bernada memuji, dan akan menjadi kebiasaan baik. c) Ada waktu untuk berkumpul bersama. Secara berkala keluarga perlu

melakukan aktivitas di luar rutinitas, misalnya rekreasi. Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama yang menyatukan dan menguatkan mereka.

d) Mengembangkan spiritualitas. Ikatan spiritual memberikan arahan, tujuan, dan perspektif. Keluarga yang sering berdoa bersama akan memiliki rasa kebersamaan.

e) Menyelesaikan konflik. Setiap keluarga pasti mengalami konflik. Maka konflik tersebut diselesaikan dengan cara menghargai pendapat masing-masing terhadap permasalahan.

f) Memiliki ritme. Keluarga yang kukuh akan memiliki rutinitas, kebiasaan, dan tradisi yang memberikan arahan, makna, dan struktur terhadap mengalirnya

kehidupan sehari-hari. Ritme atau pola dalam keluarga akan memantapkan dan memperjelas peran keluarga dan harapan-harapan yang dibangunnya

d. Suami-Istri Dipanggil Mengambil Bagian Dalam Tritugas Yesus Kristus

Dokumen terkait