• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Keluarga Perokok

Menurut Hasibuan (1994), keluarga adalah ayah, ibu, dan anak-anak serta famili yang menjadi penghuni rumah. Sedangkan menurut BPS (2000) dalam Arbaiyah (2013), keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup dalam satu rumah tangga dan ada ikatan darah. Berdasarkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak.

Fungsi keluarga sebagai tempat belajar berbagai dasar kehidupan bermasyarakat sangat tepat dijadikan sebagai filter utama untuk membentuk pola hidup sehat guna menjaga ketahanan keluarga. Keluarga yang dibangun dengan dasar yang kuat dan memiliki individu yang sehat akan menjadi keluarga yang berpengaruh kuat dalam pembangunan semua bidang. Karena dengan kondisi keluarga yang sehat, sebuah keluarga akan mencapai tahapan kesejahteraan (Sudaryati, 2013).

Keluarga yang sehat pada masa sekarang ini sulit untuk dicapai khususnya keluarga kelompok rawan seperti memiliki balita dalam keluarga tersebut. Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada masa balita mengakibatkan berbagai kemungkinan penyakit akibat kurang gizi. Kekurangan protein dalam waktu yang lama mengakibatkan pertumbuhan anak terhambat. Anak yang mengalami keadaan seperti ini berat badan dan tinggi badan menurut umurnya rendah (Hardinsyah & Martianto, 1992).

Keluarga perokok adalah sebuah keluarga dimana satu atau lebih anggotanya merokok baik perempuan maupun laki-laki. Merokok saat ini sudah menjadi kebiasaan sebagian besar orang dewasa, kebanyakan dari mereka yaitu laki-laki. Sebagai kepala keluarga sering sekali mereka tidak menyadari bahwa rokok yang mereka hisap tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri namun juga berdampak buruk bagi anggota keluarganya yang lain, khususnya anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, dan anak usia sekolah.

Secara langsung nikotin dengan ribuan bahaya beracun yang berasal dari asap rokok akan masuk ke dalam saluran pernapasan bayi dan dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Selain itu, racun dari nikotin yang berasal dari asap rokok juga dapat masuk ke dalam tubuh yang masih menyusu dari ibu yang telah terpapar oleh asap rokok tersebut. Sehingga racun tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh bayi dan tentu saja membahayakan kesehatan si kecil (Hidayat, 2005 dalam Trisnawati & Juwarni, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktaviasari (2010), menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan terhadap kebiasaan ayah

(kepala keluarga) dengan status gizi balita. Sehingga menurutnya, perlu adanya kesadaran orangtua terutama ayah untuk dapat membatasi pengeluaran rokok dan kebiasaan merokok agar anak bisa mendapat asupan gizi sesuai dengan kebutuhannya.

Kebiasaan merokok yang lama dan merupakan suatu kebudayaan bagi Suku Karo akan sulit untuk diubah. Namun jika tidak segera diubah maka akan berdampak bagi kualitas SDM di masa depan yang akan terlihat dalam jangka waktu yang cukup lama. Karena itu sebuah keluarga yang mempunyai anggota perokok perlu diperhatikan bagaimana pola konsumsi keluarga tersebut. Karena jika kebiasaan merokok ditambah dengan pola konsumsi yang tidak baik dan tidak sesuai dengan yang dianjurkan akan memperburuk status gizi keluarga nantinya.

Menurut Hardinsyah (1996) dalam Baliwati (2004), konsumsi pangan yang beragam dapat meningkatkan konsumsi berbagai antioksidan yang berasal dari pangan. Jadi ketika keluarga perokok mempunyai pola makan yang sehat dan beragam akan dapat mengurangi dampak kesehatan yang diakibatkan oleh rokok. Namun meskipun demikian mengurangi atau bahkan berhenti untuk merokok akan jauh lebih baik.

2.4.1 Karateristik Keluarga Perokok

Setiap keluarga mempunyai perbedaan dalam hal konsumsi pangan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan karateristik setiap rumah tangga, seperti pengeluaran pangan dan non pangan, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan penelitian Akmal (2005) mengenai analisis pola konsumsi keluarga di Kecamatan Tallo menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor kondisi sosial ekonomi keluarga

(pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan, dan ukuran keluarga) dengan pola konsumsi keluarga.

Pendapatan merupakan salah satu faktor penting yang diduga sebagai determinan dalam keragaman konsumsi pangan. Pendapatan dikaitkan dengan daya beli pangan yang biasanya didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi rumah tangga untuk memeroleh bahan pangan berdasarkan besarnya alokasi pendapatan untuk pangan, harga pangan yang dikonsumsi, dan jumlah anggota rumah tangga (Hardinsyah, 2007 dalam Arbaiyah, 2013).

Apabila tingkat pendapatan meningkat maka jumlah dan jenis makanan cenderung membaik pula. Peningkatan pendapatan tidak hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi, tetapi juga terjadi peningkatan konsumsi di luar rumah. Jika pendapatan meningkat maka presentasi pengeluaran untuk pangan semakin kecil (Suhardjo, 1986).

Menurut Marsetyo (1995), pendapatan yang dihasilkan oleh kepala keluarga atau anggota keluarga yang bekerja harus dibagi-bagi untuk berbagai macam keperluan. Akibatnya, nominal untuk pangan semakin kecil. Apalagi untuk rumah tangga yang memiliki anggota keluarga yang merokok, akan menurunkan pengeluaran terhadap pangan akibat pengeluaran rokok yang tinggi. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan pada keluarga perokok.

Selain pendapatan, pendidikan seorang ibu rumah tangga juga ikut memengaruhi pola konsumsi pangan dalam rumah tangga. Menurut Hardinsyah (2007) dalam Arbaiyah (2013), semakin tinggi pendidikan seseorang maka akses

terhadap informasi mengenai gizi juga semakin tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan pendidikan tinggi cenderung untuk tertarik terhadap informasi gizi lebih tinggi. Sehingga dapat dipastikan bahwa pengetahuan ibu yang semakin bertambah mengenai gizi akan memengaruhinya untuk mengubah pola pangan keluarganya ke arah yang lebih baik.

Marsetyo (1995) mengatakan bahwa meskipun sebuah keluarga berpenghasilan rendah namun apabila mereka berpendidikan dan memiliki pengetahuan mengenai gizi maka mereka akan dapat menyusun suatu hidangan makanan yang mempunyai kandungan dan nilai gizi tinggi. Demikian pula sebaliknya, walaupun sebuah rumah tangga berpenghasilan tinggi tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai gizi maka makanan yang mereka konsumsi meski kelihatan lezat namun dapat merusak tubuh mereka.

Demikian pula halnya dengan keluarga perokok. Meskipun kebiasaan merokok memang sulit untuk dihilangkan namun jika ibu rumah tangga yang berperan banyak terhadap konsumsi pangan keluarga memiliki pengetahuan mengenai gizi yang tinggi akan dapat menyusun menu keluarganya dengan baik dengan meningkatkan pangan sumber antioksidan untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya.

Jumlah anggota keluarga juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan dalam keluarga. Menurut BPS (2001) dalam Arbaiyah (2013), besarnya keluarga atau rumah tangga menyatakan seluruh anggota yang menjadi tanggungan dalam keluarga tersebut yang dapat memberi indikasi beban rumah tangga. Semakin tinggi besaran keluarga berarti semakin

banyak anggota keluarga yang selanjutnya akan meningkatkan berat beban rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhannya.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara laju kelahiran tinggi dengan gizi kurang. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak akan berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa zat gizi yang diperlukan oleh anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan pada umumnya memerlukan pangan bergizi yang lebih banyak daripada anggota keluarga lainnya (Suhardjo, 1986).

Berbagai kajian telah membuktikan semakin besar sebuah keluarga maka angka kejadian gizi kurang semakin tinggi. Pada umumnya kasus ini terjadi pada keluarga miskin. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pembagian makanan semakin sedikit sehingga tidak akan mungkin untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga.

Dokumen terkait