• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3. Kemampuan Berperilaku (Perceived Behavior Control)

Ajzen (2005) menyatakan perceived behavior control ialah persepsi tentang keyakinan seseorang pada kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah mudah dilakukan atau sulit dilakukan. Menyangkut perilaku nelayan, perceived behavior control ini menggambarkan seberapa besar keyakinan individu nelayan tentang kemampuannya melakukan perilaku kegiatan menangkap hingga memasarkan ikan. Keyakinan ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang dapat memudahkan atau menyulitkan pelaksanaan pekerjaan itu. Perceived behavior control pada penelitian ini disebut sebagai Kemampuan Berperilaku (KB).

Dalam buku Social Learning Theory (1977), Bandura mendefinisikan self-efficacy

sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu. Self efficacy ini menunjukkan perasaan seorang. Dalam penelitian ini, Kemampuan Berperilaku (KB) digambarkan sebagai berikut:

Keterangan:

KB = Kemampuan berperilaku (perceived behavior control)

c = Keyakinan individu tentang kemampuannya melakukan sesuatu p = Evaluasi individu tentang kemampuannya melakukan sesuatu

Faktor Latar Belakang:

Karakteristik Individu Nelayan Artisanal

Arif Satria (2002) menyatakan bahwa karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris, sesuai dengan perbedaan karakteristik sumberdaya yang dikelola. Masyarakat agraris yang diwakili oleh kaum tani menghadapi sumberdaya yang terkontrol, atau pengelolaan lahan untuk suatu komoditi dengan out put

yang relatif dapat diprediksi. Sifat produksi seperti ini memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga mobilitas usaha relatif rendah dan elemen resiko-pun tidak terlalu besar. Dalam hal ini usaha pembudidayaan ikan dapat digolongkan sebagai usaha masyarakat pertanian (agraris) karena sifat sumberdaya yang dihadapi relatif mirip. Karakteristik tersebut berbeda sekali dengan nelayan, yang sumberdayanya bersifat open access. Karakteristik seperti ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal sehingga resikonya menjadi lebih tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka.

Dalam yang sama, Arif Satria (2002) memperjelas karakteristik masyarakat nelayan di wilayah pesisir dengan menekankan beberapa aspek yaitu: (1) aspek sistem pengetahuan, (2) aspek kepercayaan, (3) peran wanita, (4) struktur sosial dan (5) posisi sosial nelayan.

Dari sistem pengetahuan, masyarakat pesisir dianggap memiliki pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan yang didapat dari orang tua. Kuatnya pengetahuan lokal tersebut yang selanjutnya menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup mereka sebagai nelayan. Dari aspek kepercayaan, masyarakat nelayan percaya bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga perlu ritual khusus agar selamat ketika menangkap ikan dan hasilnya banyak. Tradisi tersebut antara lain ditafsirkan dengan kebiasaan sowan ke suhu atau dukun untuk mendapat perlindungan saat melaut dan memperoleh hasil yang banyak. Seiring dengan perkembangan pendidikan dan pendalaman agama, upacara ritual itu telah menjadi simbolik untuk menjaga stabilitas sosial dalam komunitas nelayan.

Aktivitas ekonomi wanita masyarakat nelayan di wilayah pesisir umumnya relatif menonjol, selain bergelut pada urusan domestik rumah tangga istri nelayan menjalankan juga fungsi-fungsi ekonomi baik penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Pada masyarakat nelayan, ada pembagian kerja yang jelas. Pria menangkap ikan dan wanita menjual ikan hasil tangkapan tersebut. Secara sosial, status nelayan relatif rendah. Di India, pada umumnya nelayan berasal dari kasta rendah. Demikian pula di Jepang, posisi nelayan terdegradasi sehingga memunculkan masalah dalam regenerasi nelayan. Hanya sedikit kalangan muda yang bersedia menjadi nelayan, meski ada berbagai fasilitas subsidi dari pemerintah. Menurunnya status nelayan di Jepang ditunjukkan oleh menurunnya minat wanita Jepang untuk menjadi istri nelayan. Situasi ini dipaparkan oleh Firth (1971) dalam buku Malay Fishermen: Their Peasant Economny. Menurut, Firth nelayan mengalami “disrespect, implying not merely a low economic level and small-scale semi-subsistence production, but also a low cultural, even intellectual position”

Dalam Webster New Word College Dictionary (2000), karakteristik

(characteristic) didefinisikan sebagai “a distinguish trait a quality or qualities that distinguish something from other of its class or kind”. Dalam konteks penelitian sosial, ciri-ciri pembeda tersebut melekatkan suatu atribut sosial yang digunakan sebagai pembeda antara individu atau kelompok individu. Lionberger (1980) menyebut hal tersebut sebagai faktor yang memengaruhi kemauan seseorang untuk menerima atau menolak difusi. Faktor ini seperti usia, pendidikan, dan karakteristik psikologi. Beberapa

peneliti lain seperti Budiono Pitojo (2006), Zulfarima (2003) mengamati karakteristik demografi petani ladang berpindah dan lahan kering yang meliputi: (1) umur, (2) pendidikan, (3) pengetahuan, (4) pengalaman berusaha tani, (5) kekosmopolitan, (6) luas lahan garapan, dan (7) pendapatan. Budiono Pitojo (2006) juga mengamati karakteristik demografi petani tepi hutan seperti (1) suku, (2) pendidikan formal, (3) pendidikan non formal, (4) luas lahan garapan, (5) status lahan garapan, (6) kekosmopolitan, (7) pendapatan yang dikeluarkan, (8) jumlah keluarga, (9) pengalaman berusaha tani, (10) umur, (11) lama tinggal di desa, (12) motivasi melestarikan hutan dan (13) kontak dengan penyuluh. Dalam bidang kajian nelayan perikanan tangkap (fishers), Wildani Pingkan Saripurna Hamzen (2007) mengamati karaktertistik nelayan seperti pendidikan rendah pendatang dan memiliki motivasi untuk maju.

Luky Adrianto (2006) dan Charles (2001) sepakat tentang karaktertistik sosial demografi nelayan. Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system, terdapat beberapa karakteristik umum nelayan (fishers) yaitu pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu kelompok) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, pada komunitas nelayan komersial, nelayan bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh waktu, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan juga bervariasi berdasarkan motivasi dan perilaku menangkap ikan. Ada nelayan yang profit-maximizers yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti "perusahaan", dan pula nelayan

satisfisers yang aktif menangkap ikan sekedar untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.

Pada nelayan artisanal (artisanal fisheries) yang diamati dalam penelitian ini, karakterteristik demografi meliputi umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan non formal, pengalaman sebagai nelayan, lama tinggal di desa, lama memiliki perahu sendiri, ukuran perahu, harga perahu dan alat tangkapnya, jumlah anak buah kapal, ukuran mesin

perahu, modal yang dikeluarkan, pendapatan bersih, ragam alat tangkap yang dimiliki serta kemandirian nelayan

a. Umur

Umur kronologis ialah indikator penting yang menunjukkan perkembangan individu. Umur menunjukkan suatu kemampuan tertentu (Salkind,1985). Perkembangan manusia pada prinsipnya merupakan rangkaian perubahan jasmani dan rohani (fisio- psikis) ke arah yang lebih maju dan sempurna. Perkembangan tersebut, merupakan kompilasi dari beberapa proses yaitu:

- perkembangan motor, yakni proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam ketrampilan fisik seseorang;

- perkembangan kognitif, yakni perkembangan fungsi intelektual atau proses-proses perkembangan kemampuan kecerdasan seseorang;

- perkembangan sosial dan moral, yakni proses perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-perubahan cara seseorang berkomunikasi dengan objek atau orang lain, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.

b. Jumlah anggota keluarga

Dalam Macmillan Dictionary of Anthropology (1990), keluarga ialah kesatuan sosial yang terdiri dari individu-individu yang memiliki ikatan keturunan (kinship).

Konsep keluarga ini berbeda dengan rumah tangga (household) yang lebih didasari oleh aspek domestik. Dalam studi-studi mengenai masyarakat pedesaan, konsep keluarga lebih tepat digunakan, mengingat ikatan keturunan yang terdapat dalam keluarga lebih berfungsi untuk mengatur penguasaan sumberdaya (property) khususnya tanah. Keluarga inti (nuclear family) ialah satuan sosial keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anak- anaknya yang belum kawin. Mengingat dalam keluarga juga terdapat aspek keturunan, maka biasanya pada keluarga pedesaan di Jawa, keluarga inti tersebut akan ditambah dengan anggota kerabat lain seperti kakek, nenek, saudara laki-laki/perempuan dari ayah, atau saudara laki-laki/perempuan dari ibu. Kadangkala dalam satu keluarga ada beberapa rumah tangga (household) yang dibedakan atas dasar jumlah tungku perapian masak yang berbeda.

c. Pendidikan non formal

Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan. Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan yang paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Quran (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara SLTP) merupakan pendidikan dasar. Pendidikan lanjutan meliputi program paket C (setara SLA), kursus, pendidikan vokasi, latihan keterampilan lain baik dilaksanakan secara terogranisasi maupun tidak terorganisasi.

Pendidikan Non Formal mengenal pula Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai pangkalan program yang dapat berada di dalam satu kawasan setingkat atau lebih kecil dari kelurahan/desa. PKBM dalam istilah yang berlaku umum merupakan padanan dari Community Learning Center (CLC) yang merupakan komponen Community Center. Meskipun dalam pendidikan non formal pembelajarannya, namun sebagai suatu institusi pendidikan ia berperan dalam memperbaiki kompetensi bidang tertentu dari pesertanya.

d. Pengalaman sebagai nelayan

Dalam Webster’s New World College Dictionary (2000) “experiences” diartikan sebagai the effect on a person of anything or everything that has happened to that person, individual reaction to events, feeling etc. Pengalaman seseorang juga berhubungan dengan usia kronologis individu tersebut. Secara biologis, seorang dengan tingkat usia kronologis tertentu akan dianggap dewasa bila telah mencapai usia tertentu. Semakin tua usia yang bersangkutan, maka pengalamannya juga akan banyak. Dari perspektif psikologi, seorang dianggap memiliki pengalaman bila yang bersangkutan telah dewasa jika ia mampu mengurus dirinya sendiri. Individu dikatakan dewasa apabila dia bekerja dan berkeluarga.

e. Lama tinggal di desa

Lama tinggal di desa pesisir bagi seorang nelayan akan menentukan intensitas proses enkulturasi (penyerapan pengetahuan) dan sosialisasi (pembelajaran) yang bersangkutan dalam lingkungan sosial dan fisik tempat. Dalam proses enkulturasi tersebut, seorang nelayan menyerap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku untuk menghadapi lingkungan. Hal serupa terjadi pula dalam proses sosialisasi nelayan tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi sebagai pedoman masyarakatnya. Malinowski melihat, bahwa kultur yang dipelajari individu dalam masyarakatnya berfungsi untuk membantu yang bersangkutan memenuhi kebutuhan dasarnya. Semakin lama seorang individu tinggal dalam lingkungan kulturnya, maka semakin beragam muatan kultur yang dapat diserap dan dipelajari memenuhi kebutuhan dasarnya dan menghadapi berbagai tekanan dan lingkungannya (Bohannan, 1988).

f. Lama memiliki perahu sendiri

Dalam sistem perikanan tangkap artisanal di Indonesia, dikenal adanya pembagian tugas dan tanggungjawab antara pemilik perahu, nahkoda dan anak buah kapal (Kusnadi, 2000; Budi Siswanto, 2008). Pemilik perahu ialah orang yang menguasai dan memiliki perahu beserta peralatan tangkap dan alat bantu tangkap yang di ada dalamnya, meski pada nelayan artisanal di Jawa Barat perahu dimiliki oleh keluarga (Luky Adrianto, 2007), sementara nahkoda dan anak buah kapal adalah orang yang mengoperasikan perahu pada saat melaut. Memiliki perahu bagi seorang nelayan artisanal, berarti harus mampu mengoperasikan perahu beserta alat tangkap karena nelayan artisanal pemilik harus mengoperasikan sendiri perahunya. Selain itu bertanggungjawab dalam merawat perahu dan alat tangkapnya, kemudian penghasilan dari hasil melaut merupakan hak sepenuhnya nelayan yang bersangkutan, setelah dipotong biaya melaut. Semakin lama seseorang memiliki perahu sendiri, maka semakin banyak pengalaman yang dia miliki sebagai operator atau pengelola perahu dan peralatan itu.

g. Ukuran perahu

Menurut UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Jo. Undang-undang No.45 Tahun 2009 pasal 1 kapal perikanan ialah kapal, perahu atau alat apung lain yang digunakan untuk menangkap ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Ukuran utama kapal dinyatakan dalam indeks luas kapal ialah ukuran panjang, lebar dan tinggi kapal (Diniah, 2008).

Ada dua bentuk perahu di pantai Utara Jawa, yakni jenis jukung dan mayang.

Jukung ialah perahu kecil dari sebatang kayu, sedangkan mayang ialah perahu besar yang dibuat dengan menggunakan papan kayu, baik dengan haluan yang membesar, haluan dan buritan yang melengkung maupun yang tidak melengkung. Ada berbagai ukuran perahu mayang dan jukung dengan nama yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain. Jukung biasanya digunakan untuk menangkap ikan di laut dekat pantai yang dijalankan oleh tidak lebih dari empat orang, digunakan oleh nelayan di sepanjang pantai Utara Jawa dengan sebutan jegong, landrangan, sope, pancasan, konting, bikung, kolek, konting, binkung, kementing, jukung- ender, jukung-lawak, jukung kinciran atau secara luas sampan. Untuk perahu berukuran besar, yakni perahu mayang, dikenal sebagai perahu rembang dan perahu jawa (Sutejo Kuat Widodo, 2007). Pada nelayan di pantai Utara Jawa Barat, ukuran perahu yang dioperasikan berkisar dari 2,75 – 25 GT (Luky Adrianto, 2007).

Semakin besar ukuran perahu yang dioperasikan, maka semakin kompleks dan rumit peralatan yang digunakan dan semakin kompleks pula pengorganisasian penggunaan alat dan tenaga kerja yang terdapat di dalamnya. Jadi semakin besar perahu yang dimiliki dan dioperasikan oleh seorang nelayan artisanal, maka semakin besar pula tanggungjawabnya pada investasinya.

h. Harga perahu beserta alat tangkapnya

Semakin besar perahu, semakin kompleks dan rumit peralatan perahu dan alat tangkap yang terdapat di dalamnya. Hal ini akan berdampak pada nilai nominal perahu dan peralatan tangkapnya. Nelayan dengan ukuran perahu dibawah 10 GT dengan peralatan tangkap yang sederhana, tentu akan berbeda nilai nominal harga perahu dan alat

tangkapnya dengan perahu berukuran antara 10 – 25 GT. Pada perahu yang cukup rumit peralatan tangkap dan alat bantu tangkapnya, biasanya dilengkapi dengan peralatan alat bantu tangkap yang lebih rumit seperti fish finder, global positioning satelite, generator dan lampu tembak sebagai alat bantu tangkap ikan. Kelengkapan perahu demikian sudah barang tentu akan menentukan nilai nomimal perahu dan alat tangkap yang terdapat di dalamnya. Secara rata-rata, nilai investasi nominal perahu nelayan artisanal di pantai Utara Provinsi Jawa Barat pada tahun 1986 mencapai Rp. 4 s.d. Rp. 115 juta (Luky Adrianto, 2007).

i. Jumlah anak buah kapal

Anak buah kapal berfungsi dalam kegiatan penangkapan ikan di laut. Bagi nelayan yang mengoperasikan sendiri perahunya maka posisinya ialah sebagai nahkoda/jurumudi, yang juga menjadi kepal anak buah kapal (ABK). Pada nelayan yang beroperasi di Selat Madura, Jawa Timur, memiliki 12 jenis peran dan tanggungjawab dalam kegiatan penangkapan (Kusnadi, 2000). Sementara itu nelayan artisanal di pantai Utara Jawa Barat biasanya memiliki awak antara 3 – 18 orang termasuk juru mudi. Setiap anak buah kapal memiliki tugas sendiri seperti juru mudi, juru pantau, juru jhonson, tukang ngolor, tukang tarik batu, tukang pelambung (Luky Adrianto, 2007; Budi Susanto, 2008). Perbedaan tugas dan tanggungjawab itu menimbulkan perbedaan bagi hasil yang didapat diantara mereka. Pola nagi hasil di pantai Utara Jawa Barat mencakup 2:3, 1:3, 50:50, 60:40, 80:20 (Luky Adrianto, 2007).

Seorang nelayan yang mengoperasikan perahunya sendiri, bertanggungjawab anak buah kapal anggotanya, baik pada saat melaut maupun pada saat tidak melaut, seperti upaya pinjam meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga anak buah kapal.

j. Ukuran mesin perahu

Ukuran mesin perahu yang dimiliki memengaruhi jenis alat tangkap, ukuran perahu, alat bantu tangkap dan jangkauan wilayah tangkap yang dituju. Jangkauan melaut nelayan artisanal di pantai Utara rata-rata antara satu hingga tujuh Mil dengan memakan waktu melaut antara satu hingga tujuh hari (Luky Adrianto, 2007). Satuan ukuran

kekuatan mesin perahu ialah PK (Pärk de Kräct) atau HP (Horse Power) atau tenaga kuda.

Kekuatan mesin sangat berpengaruh bagi nelayan yang menggunakan alat jaring. Melepaskan dan menarik jaring membutuhkan kekuatan tenaga yang berasal dari mesin. Demikian pula dengan nelayan yang jangkauan melautnya jauh terutama nelayan purse- seini. Ikan hasil tangkapan dimuat di perahu dan harus segera dibawa ke tempat pendaratan ikan sebelum perbekalan es habis. Waktu tempuh dan jarak perahu menuju pendaratan ikan akan ditentukan oleh kekuatan mesin perahu. Bila tertalu lama waktu tempuhnya dapat menyebabkan mutu ikan akan buruk.

k. Modal setiap melaut

Bagi nelayan di pantai Utara Jawa Barat, modal melaut berasal dari mereka sendiri atau pinjaman para punggawa (pedagang ikan). Nelayan yang menggunakan modal sendiri, dapat menjual ikan secara bebas juragan ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Nelayan yang meminjam modal dari punggawa (modal perahu, alat tangkap atau modal melaut) harus menjual ikan kepada punggawa yang memodalinya. Modal melaut digunakan nelayan di pantai Utara Jawa Barat untuk pengeluaran bahan bakar, makanan dan rokok (Luky Adrianto, 2007).

Semakin besar dan kompleks ukuran perahu, semakin banyak anak buah kapalnya, maka semakin rumit kegiatan mencari dan menangkap ikan, sehingga mainn besar modal melaut yang dikeluarkan. Hal ini menyebabkan makin besar tanggungjawab nelayan pada investasinya.

l. Pendapatan bersih melaut

Dalam satu tahun tidak seluruh bulan para nelayan dapat melaut. Idealnya ada beberapa musim yang memengaruhi pendapatan melaut pantai Utara Jawa Barat. Saat

musim timur ialah bertiupnya angin dari arah Timur ke Barat di bulan April, Mei dan Juni. Masa ini merupakan musim ikan yang ditunggu nelayan. Musim daya yaitu bertiupnya angin dari arah Tenggara Selatan (arah daratan pulau Jawa) pada bulan Juli, Agustus dan September. Masa ini merupakan musim untuk mencari ikan. Musim Barat

menyebabkan tinggi ombak. Musim ini hanya nelayan dengan alat tangkap tertentu saja dapat melaut karena tingginya ombak. Sepuluh tahun terakhir, pola musim bertiupnya angin tidak dapat diprediksi lagi oleh nelayan. Seringkali musim angin tertentu tidak sesuai dengan pola dimasa lalu. Keadaan demikian menyulitkan nelayan untuk memprediksi kondisi cuaca dan penangkapan ikan.

Langkah strategis mensiasati keadaan tersebut, nelayan akan melaut dan beralih mencari wilayah tangkap (fishing ground) yang aman di kabupaten lain melalui andun

(tinggal sementara dan kembali ke desa asal saat cuaca membaik). Nelayan di kabupaten Subang, melakukan andun ke Karawang atau Bekasi saat cuaca di di wilayahnya sedang buruk; atau sebaliknya. Strategi andun tidak hanya dilakukan oleh nelayan pantai Utara pulau Jawa saja, melainkan juga oleh nelayan di Selat Madura Jawa Timur (Kusnadi, 2000). Karena melaut dilakukan oleh nelayan tidak sepanjang tahun, maka perhitungan pendapatan bersih dilakukan dalam setiap melaut selama satu tahun. Pendapatan bersih melaut ialah rata-rata hasil penjualan ikan yang didapat oleh nelayan setelah melaut kemudian dipotong pengeluaran modal, pendapatan bagi hasil antara nahkoda (juru mudi) dengan anak buah kapal selama 12 bulan.

m. Ragam alat tangkap yang dimiliki

Dalam setahun nelayan tidak selamanya melaut.. Saat bulan purnama, pantulan sinar bulan menyilaukan pandangan di laut, sehingga sulit membedakan antara pantulan sinar bulan di ombak dengan pantulan sekumpulan ikan yang bergerak di laut. Saat saat musim ikan, ada waktu tertentu jenis ikan secara khusus yang lebih banyak. Keadaan ini disiasati oleh nelayan dengan menggunakan jenis alat tangkap yang berbeda sesuai jenis ikan yang sedang musim pada saat itu. Jenis dan ragam alat tangkap yang digunakan nelayan di pantai Utara Provinsi Jawa Barat terdiri dari gilnet, jaring badut, pukat harimau mini, pancing rawai, jaring payang (Luky Adrianto, 2007).

Semakin banyak ragam alat tangkap yang dimiliki untuk menangkap ikan pada masa musim ikan tertentu, main besar upaya nelayan untuk mengurangi kerugiannya akibat tidak melaut yang berdampak kepada kelestarian lingkungan. Penggunaan alat tangkap seperti mini trawl atau sejenisnya (di pantai Utara Jawa terdapat variannya seperti garok,jaring apollo,dogol), dapat digunakan sepanjang musim angin kecuali bila

terdapat ombak tinggi sehingga nelayan tidak dapat melaut sama sekali. Selebihnya alat tangkap tersebut dapat digunakan namun dengan dampak buruk kepada lingkungan. n. Kemandirian

Kemandirian dalam bahasa Inggris identik dengan self-reliance. Dalam Webster’s New Word College Dictionary (2000) arti self-reliance ialah reliance on one’s own judment or ability. Kemandirian mengandung makna percaya pada kemampuan dirinya.

Dalam teori kemandirian istilah independence dan autonomy sering digunakan silih berganti (interchangeable), meski kedua istilah ini memiliki makna sama yaitu kemandirian. Sesungguhnya kedua istilah tersebut berbeda. Independence generaly refers to individual’s capacity to behave on their own. Istilah autonomy disamakan dengan kemandirian, sehingga didefinisikan bahwa individu yang otonom ialah individu yang mandiri, tidak mengandalkan bantuan atau dukungan orang lain yang kompeten dan bebas bertindak. Kemandirian dianggap sebagai self goverring person, yakni kemampuan mengatur diri sendiri.

Mardin (2009) mencatat empat komponen kemandirian nelayan, yaitu kemandirian intelektual (intellectual self-reliance), kemandirian emosional (emotional self-reliance), kemandirian ekonomi (economic self-reliance) dan kemandirian sosial

(social self-reliance).

Kemandirian intelektual mengacu kepada kemampuan seorang individu untuk mengambil keputusan secara mandiri tanpa adanya intervensi dari orang lain. Seorang individu dengan tingkat kemandirian intelektual mampu mengidentifikasi, merancang dan dan bertindak berupa keputusan yang tidak tergantung pada orang lain. Kemandirian emosional merupakan kemandirian yang lebih awal dari kemandirian lain. Cirinya ialah dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan emosional seorang dengan orang lain seperti orang yang dianggap dekat dalam hubungan kerabat. Karena itu kemandirian emosional ialah kemampuan individu untuk tidak bergantung dukungan emosional orang lain. Kemandirian ekonomi, berkait dengan kemandirian makro dan mikro dalam wacana negara. Kemandirian makro mengacu pada ketidaktergantungan negara secara ekonomi kepada institusi/kelembagaan ekonomi dari negara lain, sementara itu kemandirian miktro mengacu pada terbebasnya seorang

individu dari ketergantungan secara ekonomi kepada orang lain. Dalam hal ini individu bebas menentukan pilihan sendiri di bidang ekonomi. Kemandirian sosial mengacu pada intensitas kepedulian/kepesertaan dalam kegiatan sosial pada komunitasnya. Semakin mandiri seorang, tidak tergantung pada orang lain/pihak lain untuk mengambil keputusan

Dokumen terkait