• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Kelas Eksperimen

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data dan Analisis

1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Kelas Eksperimen

Matematika adalah mata pelajaran yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan, tidak hanya pada tingkat sekolah dasar, namun sampai pada tingkat perguruan tinggi.

Matematika berasal dari kata mathema artinya pengetahuan,

mathanein artinya berpikir dan belajar. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan matematika adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan (Depdiknas).12

Matematika adalah satu alat berpikir, selain bahasa, logika, dan statistika.13 Soedjadi memberikan enam definisi atau pengertian matematika, yaitu: (1) matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir dengan baik, (2) matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi, (3) matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan, (4) matematika adalah pengetahuan fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk, (5) matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik, dan (6) matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.14

Russel mendefinisikan bahwa matematika sebagai studi yang dimulai dari pengkajian bagian-bagian yang sangat dikenal menuju arah yang tidak dikenal. Arah yang dikenal tersusun baik (konstruktif) secara bertahap menuju arah yang rumit secara bertahap menuju arah yang rumit

12

M. Ali Hamzah dan Muhlisrarini, Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Matematika (Jakarta:PT Grafindo Persada, 2014) h. 48

13

Nahrowi dan Maulana, Pemecahan Masalah Matematika (Bandung: UPI PRESS, 2006), h. 34.

14 Ibid.

(kompleks), dari bilngan bulat ke bilangan pecah, bilangan real ke bilangan kompleks, dari penjumlahan dan perkalian ke diferensial dan integral, dan menuju matematika yang lebih tinggi.15

Berdasarkan definisi diatas matematika adalah suatu alat berpikir yang merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak meliputi ilmu-ilmu tentang bilangan, penalaran, permasalahan kuantitatif dan pengetahuan tentang ruang dan bentuk yang pengkajiannya dilakukan secara bertahap dari yang paling mudah ke arah yang lebih rumit.

b. Pengertian Berpikir Kreatif

Manusia diberi karunia yang luar biasa oleh Allah swt dengan adanya kemampuan untuk berpikir yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Berpikir inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang dimuliakan.

Arti kata “pikir” dalam kamus Besar Bahasa Indonesia adalah akal budi, ingatan, angan-angan.16 Berpikir artinya aktivitas menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang dalam ingatan. Menurut Gilmer, berpikir merupakan suatu pemecahan masalah dan proses penggunaan gagasan atau lambang-lambang pengganti suatu aktivitas yang tampak secara fisik. Selain itu, ia mendefinisikan bahwa berpikir merupakan suatu proses dari penyajian suatu peristiwa internal dan eksternal, kepemilikan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan yang satu sama lain saling berinteraksi.17 Berpikir menurut Resnick yaitu suatu proses yang melibatkan operasi mental seperti klasifikasi, induksi, deduksi, dan penalaran.18

15

Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif (Jakarta:Bumi Aksara, 2008), Cet. 3 h. 129.

16

Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Berpikir (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 1.

17

Ibid h. 2.

18

Jadi dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah aktivitas menggunakan akal dalam memutuskan sesuatu yang digunakan dalam pemecahan masalah sehari-hari.

Dalam kehidupannya, manusia dituntut untuk selalu berpikir kreatif dalam menghadapi masalah, dengan secara sadar memikirkan bagaimana masalah tersebut dapat terselesaikan dengan cepat dan tepat. Torrence dalam Filsaime menganggap bahwa berpikir kreatif merupakan sebuah proses yang melibatkan unsur-unsur orisinalitas, kelancaran, fleksibilitas, dan elaborasi. Dikatakan lebih lanjut berpikir kreatif merupakan sebuah proses menjadi sensitif atau sadar terhadap masalah-masalah, kekurangan, dan celah-celah di dalam pengetahuan yang untuknya tidak ada solusi yang dipelajari, membawa serta informasi yang ada dari gudang memori atau sumber-sumber eksternal, mendefinisikan kesulitan atau mengidentifikasi unsur-unsur yang hilang, mencari solusi-solusi, menduga, menciptakan alternatif-alternatif untuk menyelesaikan masalah, menguji dan menguji kembali alternatif-alternatif tersebut, menyempurnakannya dan akhirnya mengomunikasikan hasil-hasilnya.19

Berpikir kreatif juga dapat didefinisikan sebagai proses yang dilakukan individu dalam menemukan suatu ide baru. Evans menjelaskan bahwa berfikir kreatif adalah suatu aktivitas mental untuk membuat hubungan-hubungan (connections) yang terus-menerus (kontinu), sehingga ditemukan kombinasi yang “benar” atau sampai seseorang itu menyerah.20

Keterampilan berpikir kreatif (creative thinking), yakni keterampilan sesorang dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menghasilkan suatu ide baru, konstruktif, dan baik berdasarkan konsep-konsep, prinsip-prinsip yang rasional, maupun persepsi dan intuisi.21 Pengertian ini menunjukkan

19

Ahmad Susanto, Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah dasar (Jakarta : Kencana, 2013), h. 109.

20

Tatag Yuli Eko Siswono, Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan Masalah dan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif (Surabaya: Unesa University Press, 2008), h. 14.

21

bahwa berpikir kreatif merupakan aktivitas menemukan kombinasi baru berupa ide-ide yang belum dikenal sebelumnya.

Utami Munandar menjelaskan berpikir kreatif atau berpikir divergen adalah kemampuan menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban berdasarkan informasi yang tersedia.22 Kemampuan berpikir kreatif seseorang tidak hanya ditentukan dari banyaknya jawaban yang diberikan, tetapi disesuaikan dengan masalah yang dihadapi.

Berpikir kreatif merupakan suatu yang lahir dari kebiasaan yang terus dilatih sehingga lahirlah suatu kreativitas dari hasil berpikir kreatif tersebut. Yudha mengemukakan lima tahap berpikir kreatif yang meliputi: 1) orientasi masalah, merumuskan masalah, dan mengidentifikasi aspek-aspek masalah tersebut; 2) preparasi, mengumpulkan informasi yang relevan dengan masalah; 3) inkubasi, ketika proses pemecahan masalah menemui jalan buntu, biarkan pikiran beristirahat sebentar; 4) iluminasi, mencari ilham dan insight untuk memecahkan masalah; 5) verifikasi, menguji dan menilai secara kritis solusi yang diajukan. 23

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa berpikir kreatif merupakan aktivitas mental yang dilakukan seseorang dalam menghasilkan ide-ide baru secara terus-menerus dan mampu menyelesaikan suatu permasalahan dengan berbagai alternatif penyelesaian kemudian menguji kembali alternatif-alternatif penyelesaian masalah tersebut.

c. Pengertian Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Kemampuan berpikir kreatif perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika yang kemudian dikenal dengan kemampuan berpikir kreatif matematis. Berpikir kreatif dalam matematika adalah kemampuan penting yang harus dimiliki siswa dalam menyelesaikan

22

Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, (Jakarta: PT. Gramedia, 1999). Cet. III, h. 48.

23

Utari Sumarmo, Proses Berpikir Matematik: Apa dan Mengapa Dikembangkan,

permasalahan matematika dengan memunculkan berbagai ide dalam menyelesaikannya.

Dalam pembelajaran siswa dituntut untuk memiliki daya kreativitas. Kreativitas dalam matematika lebih pada kemampuan berpikir kreatif karena secara umum sebagian besar aktivitas yang dilakukan seseorang yang belajar matematika adalah berpikir. Sing mendefinisikan kreativitas matematis sebagai proses merumuskan hipotesis yang mengenai penyebab dan pengaruh dalam situasi matematis, pengujian, pengujian kembali hipotesis, membuat modifikasi dan akhirnya mengkomunikasikan hasil.24

Berpikir kreatif dalam matematika menurut Pehkonen diartikan sebagai kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan intuisi tetapi masih dalam kesadaran. 25 Pengertian ini menyatakan bahwa ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam aktivitas pemecahan masalah, maka seseorang tersebut berpikir divergen intuitif dalam menghasilkan banyak ide dalam penyelesaian masalah dan ide-ide tersebut merupakan hasil penarikan kesimpulan yang sah menurut aturan logika.

Balka menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis meliputi kemampuan berpikir konvergen dan divergen, yang dirinci menjadi: a) kemampuan memformulasi hipotesis matematika yang berkaitan dengan sebab dan akibat dari suatu situasi masalah matematis; b) kemampuan menentukan pola-pola dalam situasi masalah matematis, c) kemampuan memecahkan kebuntuan pikiran dengan mengajukan solusi baru dari masalah matematis; d) kemampuan mengemukakan ide matematika yang tidak biasa dan dapat mengevaluasi konsekuensi yang ditimbulkannya; e) kemampuan mengidentifikasi informasi yang hilang dari masalah yang

24

Tri Nova Hasti Yunianta, Rochmad, dan Ani Rusilowati, “Kemampuan Berpikir

Kreatif Siswa pada Implementasi Project-Based Learning dengan Peer And Self-Assesment untuk Materi Segiempat Kelas VII SMPN RSBI 1 Juwana di Kabupaten Pati”, Prosiding disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta, 10 November 2012, h. 2.

25

diberikan, dan f) kemampuan memerinci masalah umum ke dalam sub-sub masalah yang lebih spesifik.26

Kemampuan berpikir kreatif dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan bermanfaat. Menurut Grieshober

et al, terdapat beberapa aspek dalam kemampuan berpikir kreatif, yakni aspek kepekaan (sensitivity), kelancaran (fluency), fleksibilitas (flexibility), keaslian (originality) , dan elaborasi (elaboration) dalam berpikir. Kepekaan merujuk pada kemampuan siswa untuk menangkap ide atau mengidentifikasi ide-ide matematis di balik suatu situasi atau masalah, kelancaran merujuk pada banyaknya ide, fleksibilitas merujuk pada beragamnya ide, keaslian merujuk pada relatif jarangnya sebuah ide dimunculkan, dan elaborasi berkaitan dengan kerincian suatu ide. 27

Secara operasional kemampuan berpikir kreatif matematis adalah kemampuan menyelesaikan masalah matematika dengan memunculkan banyak ide (lancar), beragamnya ide yang dihasilkan (fleksibilitas), menghasilkan ide yang baru dan unik (keaslian) serta kemampuan menyelesaikan masalah matematika dengan melakukan langkah-langkah yang detail (rinci).

d. Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Alvino menyatakan bahwa berpikir kreatif memuat empat komponen yaitu: kelancaran (fluency), fleksibel (flexibility), keaslian (originality) dan elaborasi (elaboration).28

Munandar memberikan uraian mengenai beberapa indikator berpikir kreatif antara lain:

26

Utari, loc. cit.

27Ali Mahmudi, “Mengembangkan Kemampuan Berpikir Siswa Melalui Pembelajaran Matematika Realistik”, Makalah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan MatematikaFMIPA UNY , Yogyakarta, 16 Mei 2009, h. 2.

28

Utari Sumarmo, “Pengembangan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis, dan Kreatif Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika, Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya,” (Bahan Ajar Matakuliah Isu Global dan Kajian Pendidikan

1. Keterampilan berpikir lancar (fluency). Ciri-ciri fluency meliputi mencetuskan banyak ide, banyak jawaban, banyak penyelesaian masalah, banyak pertanyaan dengan lancar, memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal, selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Keterampilan tersebut ditujukan dengan perilaku siswa seperti: mengajukan banyak pertanyaan,menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan, mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah, lancar mengungkapkan gagasan-gagasannya, lebih cepat dan melakukan lebih banyak daripada yang dilakukan orang lain, dapat dengan cepat melihat atau kekurangan suatu objek atau situasi.

2. Keterampilan berpikir luwes (flexibility). Ciri-ciri flexibility diantaranya menghasilkan gagasan, jawaban atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang berbeda-beda, mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda, mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran. Kemampuan ini ditunjukan dengan perilaku siswa seperti: memberikan aneka ragam penggunaan yang tidak lazim terhadap suatu objek, memberikan macam-macam penafsiran terhadap suatu gambar, cerita atau masalah, menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbeda-beda, memberi pertimbangan terhadap situasi yang berbeda dari yang diberikan orang lain dalam membahas atau mendiskusikan situasi , selalu mempunyai posisi yang berbeda dari yang diberikan orang lain, memikirkan cara yang berbeda-beda dalam menyelesaikan suatu masalah, menggolongkan hal-hal menurut pembagian atau kategori yang berbeda-beda, mampu mengubah cara berpikir secara spontan.

3. Keterampilan berpikir orisinal (originality). Ciri-ciri originality

diantaranya mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik, memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri, mampu membuat kondisi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Kemampuan ini ditunjukkan dengan perilaku siswa seperti: memikirkan masalah-masalah atau ha-hal yang tidak pernah terpikirkan orang lain,

mempertanyakan cara-cara lama dan berusaha memikirkan cara-cara baru, memilih asimetris dalam menggambar dan membuat desain, memiliki cara berpikir yang lain daripada yang lain, mencari pendekatan yang baru pendapat atau prasangka, setelah membaca atau mendengar gagasan-gagasan bekerja untuk menemukan penyelesaian yang baru, lebih senang mensintesis daripada menganalisis situasi.

4. Keterampilan memerinci (elaboration). Ciri-ciri elaboration diantaranya mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk, menambah atau memerinci secara detil-detil dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Kemampuan ini ditunjukkan dengan perilaku siswa seperti: mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci, mengembangkan atau mempercaya gagasan orang lain, mencoba atau menguji detail-detail untuk melihat arah yang akan ditempuh, mempunyai rasa keindahan yang kuat sehingga tidak puas dengan penampilan yang kosong atau sederhana, menambah garis-garis, warna-warna, dan detail-detail (bagian-bagian) terhadap gambarnya sendiri atau gambar orang lain. 5. Keterampilan menilai (evaluation). Ciri-ciri evaluation diantaranya

menentukan patokan penilaian sendiri dan menentukan apaka suatu pertanyaan benar, suatu rencana sehat, atau suatu tindakan bijaksana, mampu mengambil keputusan terhadap situasi yang terbuka dan tidak hanya mencetuskan gagasan, tetapi juga melaksanakannya. Kemampuan ini ditunjukkan dengan perilaku siswa memberi pertimbangan atas dasar sudut pandangnya sendiri, menentukan pendapat sendiri mengenai suatu hal, menganalisis masalah atau penyelesain secara kritis dengan selalu

menanyakan “Mengapa?” 29

Dengan berdasar pada indikator kemampuan berpikir kreatif yang dikemukakan Munandar, peneliti mencoba mensintesa menjadi dua

29

indikator yang akan digunakan dalam penelitian seperti yang diuraikan dalam tabel berikut:

Tabel 2.1

Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dalam Penelitian

Indikator Perilaku Siswa

Lancar Menghasilkan kemungkinan banyak gagasan atau jawaban.

Rinci Menguraikan masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci.

2. Model Pembelajaran Experiential Learning

a. Pengertian Model Pembelajaran Experiential Learning

Salah satu kunci keberhasilan dalam pembelajaran adalah dengan adanya penggunaan model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Model pembelajaran yang digunakan guru harus mampu mengarahkan siswa menjadi aktif dan terlibat langsung dalam pengalaman belajar yang bermakna. Mills berpendapat bahwa model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu.30 Menurut Arends, model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas.31 Melalui model pembelajaran guru dapat membantu peserta didik mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berpikir, dan mengekspresikan ide.

Belajar akan lebih efektif jika terjadi dalam proses yang aktif. Pada pembelajaran tersebut, siswa tidak hanya menerima materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru, namun lebih dari itu, siswa berpikir dalam mempelajari teori dan konsep kemudian mempraktikannya. Dengan mempraktikkan inilah, siswa lebih lama dalam mengingat pembelajaran

30

Agus Suprijono, Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Cet. X, h. 45.

31

karena siswa mengaplikasikan konsep yang telah dipelajari ke dalam suatu permasalahan. Dewey berpendapat bahwa pengalaman merupakan jantung kehidupan manusia yang akan mengantarkannya ke arah pertumbuhan dan kedewasaan.32 Dari pendapat tersebut, maka seharusnya pembelajaran yang dilakukan mampu memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa agar terus tumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupan.

Experiential Learning Theory (ELT) yang kemudian menjadi dasar model pembelajaran experiential learning dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal 1980-an. Dalam experiential learning, pengalaman mempunyai peran sentral dalam belajar. Penekanan inilah yang membedakan ELT dari teori-teori lainnya. Menurut Kolb “ELT defines learning as the process whereby knowledge is created through the transformation of experience. Knowledge results from the combi-nation of grasping and transforming

experience”.33

Teori ini mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui pengalaman (experience). Pengetahuan merupakan hasil dari kombinasi memahami dan mentransformasi pengalaman.

Teori ini mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui pengalaman (experience). Pengetahuan merupakan hasil dari kombinasi memahami dan mentransformasi pengalaman.

Teori pembelajaran Kolb terdiri atas empat tahap pembelajaran yang nyata, yaitu Pengalaman Konkret (Concrete Experience), Observasi Reflektif (Reflective Observation), Konseptualisasi Abstrak (Abstract Conceptualization), dan Eksperimentasi Aktif (Active Experimentation). 34 Keempat gaya ini memiliki keterkaitan antar gaya, maka dari itu keempat gaya ini tidak dapat dipisahkan dalam prosesnya.

32

Anisah Basleman dan Syamsu Mappa, Teori Belajar Orang Dewasa, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2011), h. 115.

33 Alice Y. Kolb and David A. Kolb, “Learning Styles and Learning Spaces: Enhancing Experiential Learning in Higher Education,” Academy of Management Learning &

Education, Vol. 4, No. 2 (Juni, 2005): p. 194.

34

Robert W. Clark, “The Potential of Experiential Learning Models and Practices In Career andTechnical Education and Career and Technical Teacher Education,” Journal of Career and Technical Education, Vol 25, no. 2 (Winter 2010) : p. 49.

Concrete Experience Feeling Reflect Observation Watching Abstact Conceptualization Thinking Active Experimentation Doing Gambar 2.1

Skema Model Gaya Siklus Empat Tahap Pembelajaran Kolb

Menurut empat siklus yang digambarkan oleh Kolb diatas, experiential learning dimulai dari sebuah pengalaman kongkrit (Concrete Experience) yang menjadi dasar untuk melakukan tahap refleksi dan observasi (Reflect Observation) terhadap pengalaman tersebut. Dalam proses observasi dan refleksi ini siswa berusaha memahami apa yang terjadi atau apa yang dialaminya. Hasil refleksi ini akan diasimilasi dalam konsep-konsep abstrak (Abstract Conceptualization) dan selanjutnya dirumuskan suatu hipotesis baru untuk diuji kembali pada situasi baru (Active Experimentation).35 Keempat siklus ini membentuk empat gaya belajar, Felder dan Herman menjelaskan sebagai berikut.36

1) Konkrit-Reflektif, merupakan kombinasi dari tahap CE dan RO. Pada gaya ini pembelajar membangun pemahaman dari pengalaman sebelumnya sehingga pada tahap ini siswa lebih banyak mengumpulkan informasi.

2) Konkrit-Aktif, merupakan kombinasi dari CE dan AE. Pada gaya ini pembelajar belajar dengan trial and error.

3) Abstrak-Reflektif, merupakan kombinasi dari AC dan RO. Pada gaya ini pembelajar belajar dari deskripsi yang rinci.

35

Heather Fry, dkk, A Handbook for Teaching and Learning in Higher Education (New York: Routledge, 2009), p. 16.

36

Jeff Knisley, “A Four Stage Model of Mathematical Learning,” artikel diakses pada 15

4) Abstrak-Aktif, merupakan kombinasi dari AC dan AE. Pada gaya ini pembelajar aktif mengaplikasikan ide-ide abstraknya dan mengembangkan strategi-strategi individualnya.

Knisley menginterpetasikan gaya belajar Kolb sebagai gaya belajar matematika. Korespondensi antara gaya belajar Kolb dan aktivitas pembelajar dalam matematika sebagai berikut.

Tabel 2.2

Gaya Belajar Kolb dalam Pembelajaran Matematika37

Kolb’s Learning Styles Equivalent Mathematical Style Concrete, Replective Concrete, Active Abstract, Reflective Abstract, Active Allegorizers Integrators Analyzers Synthesizers

Gaya belajar concrete-replective berkorespondensi dengan aktivitas pembelajar allegorizers. Pada saat berperan sebagai allegorizers, siswa membentuk konsep baru berdasarkan apa yang sudah diketahui sebelumnya. Gaya belajar concrete-active berkorespondensi dengan aktivitas pembelajar integrators. Pada saat berperan sebagai integrators siswa melakukan kegiatan eksplorasi terhadap konsep baru dengan melakukan serangkaian kegiatan percobaan untuk mengetahui karakteristik terhadap konsep baru sehingga terjadi pembaruan konsep lama.

Gaya belajar abstract-reflective berkorespondensi dengan gaya pembelajar analyzers, yaitu siswa menganalisis pengalaman pada kegiatan percobaan untuk membentuk konsep baru yang abstrak beserta karakteristiknya.

Gaya belajar abstract-active berkorespondensi dengan aktivitas pembelajar synthesizers, yaitu siswa telah memperoleh serangkaian pengalaman yang utuh dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan konsep baru.

Model experiential learning memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memutuskan pengalaman apa yang menjadi fokus mereka,

37 Ibid.

keterampilan-keterampilan apa yang ingin mereka kembangkan, dan bagaimana membuat konsep dari pengalaman yang mereka alami tersebut. Hal ini berbeda dengan pendekatan belajar tradisional dimana peserta didik menjadi pendengar pasif dan hanya guru yang mengendalikan proses belajar tanpa melibatkan peserta didik.

Tabel 2.3

Perbedaan Experiential Learning dengan Pembelajaran Tradisional 38 Experiential Learning Pembelajaran Tradisional

Siswa bersifat aktif. Siswa bersifat pasif.

Bersumber pada penemuan siswa. Berdasar pada keahlian mengajar guru.

Partisipatif, berbagai arah. Otokratis, satu arah. Dinamis dan belajar dari

melakukan.

Belajar dengan struktur dan mendengar.

Bersifat terbuka. Bersifat terbatas pada sesuatu yang baku

Mendorong untuk melakukan sesuatu.

Terfokus pa da tujuan belajar yang khusus.

Berdasarkan Tabel 2.2, experiential learning mampu mengaktifkan siswa karena siswa belajar dari berbagai arah dan mampu mendorong siswa melakukan sesutatu, tidak hanya menerima materi pembelajaran dari guru.

Apabila metode experiential learning dilakukan dengan baik dan benar, maka ada beberapa keuntungan yang akan didapat, antara lain:

1. Mengembangkan atmosfer pembelajaran yang kondusif dan suportif; 2. Memunculkan kegembiraan dalam pengerjaan tugas pembelajaran; 3. Mendorong berpikir kreatif;

4. Membantu para peserta melihat dari perspektif yang berbeda; 5. Meningkatkan kesadaran akan perlunya berubah;

6. Meningkatkan kesadaran diri.39

38

I. R. S Munif dan Mosik, “Penerapan Metode Experiential Learning pada

Pembelajaran IPA untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar,” Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 5 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang, 2009 (Juli 2009): h. 80.

b. Langkah-Langkah Pembelajaran Experiential Learning

Model pembelajaran knisley berhubungan erat dengan gaya belajar Kolb. Adapun langkah-langkah pembelajaran mengacu pada istilah yang digunakan Felder.

1. Konkrit-Reflektif: siswa bertindak sebagai allegorizers. Suatu konsep baru dideskripsikan dengan cara pengibaratan ke dalam konsep-konsep yang telah diketahui dengan baik.

2. Konkrit-Aktif: siswa bertindak sebagai integrators. Siswa melakukan percobaan matematika yang sifatnya mengeksplorasi konsep baru untuk dapat membedakan dan mengaitkan konsep lama dengan konsep baru sehingga didapatkan pemahaman sempurna.

3. Abstrak-Reflektif: siswa bertindak sebagai annalizers. Setelah siswa melakukan serangkaian aktifitas percobaan, siswa mengabstraksikan pengalamannya, dengan inilah siswa dapat menghubungkan dan membedakan konsep baru dengan konsep yang sudah diketahuinya untuk mendapatkan suatu kesimpulan dari pengalamannya.

Dokumen terkait