• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Akal Mengetahui Syari'at

Dalam dokumen Ilmu Ushul Fiqh (Halaman 87-92)

MAHKUM ‘ALAIH A. Pengertian Mahkum Alaih

C. Kemampuan Akal Mengetahui Syari'at

Para ulama terbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal untuk menentukan hukum sebelum turunnya syariat:

Pertama, ahlussunah wal jama’ah. Menurut ahlu sunnah

wal jamaah, akal tidak memiliki kemampuan untuk

menentukan hukum, sebelum turunnya syari'at. Akal hanya bisa menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan AI-Quran dan Rasul, serta kitab-kitab samavvi lainnya. Pendapat mereka di-dasarkan pcida firman Allah SWT. Surat Ai-lsra : 15       

"Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum Kami mengutus rasul."(QS. Al-Isra': 15)

Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah sekali-kali tidak akan mengazab seseorang yang belum sampai kepadanya seseorang utusan (rasul) yang membawa risalah

Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I

Ilahi. Selain ayat tersebut, Allah pun berfirman dalani surat An-Nisa : 165         Artinya:

"Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.

"(QS.An-Nisa:165)

Dengan mengemukakan nash di atas, menurut

ahlussunnah wa al-jama'ah, akal tidak bisa dijadikan standar

untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Dengan demikian, maka Allah tidak ‘berkewajiban’ menetapkan suatu kebaikan yang dipandang baik oleh akal. atau menetapkan keburukan suatu perbuatan .yang dipandang buruk menurut akal, karena Allah mempunyai kehendak yang mutlak. Bahkan Allah juga berkuasa untuk menetapkan perbuatan yang tidak bermanfaat sekalipun. Namun, menurut penelitian, semua perintah Allah pasti mengandung suatu manfaat, sedangkan larangannya mengandung kemadaratan.

Kedua, Mu’tazilah. Mu'tazilah berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik-buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya syara meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rasul. Baik dan buruk itu ditentukan oleh zatnya, sehingga akal bisa menentukan syari'at. Alasan mereka sebenarnya sama dengan ayat yang dikemukakan oleh

ahlusswmah wa al jamaah, yaitu dalam surat Al-lsra ayat 17,

hanya mereka mengartikan rasul pada ayat tersebut dengan arti akal, sehingga arti keseluruhan dari ayat tersebut adalah:‚Kami tidak akan mengazab seseorang sampai Kami berikan akal padanya".

Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I

Menurut mereka, sebagian perbuatan dan perkataan itu sudah semestinya dilakukan manusia, seperti beriman dan selalu berbuat baik. Orang yang melakukannya berhak mendapat pujian, karena keimanan dan perbuatan baik itu merupakan hal yang baik pada zatnya. Sebaliknya, akal akan menolak perbuatan yang buruk pada zatnya, seperti berdusta, kafir, dan berbuat sesuatu yang tidak benar. Perbuatan tersebut akan mendapat celaan dari manusia, dan sedikitpun tidak ada alasan untuk mengerjakannya.

Menurut kaum Mu'tazilah, prinsip yang dipakai dalam menentukan sesuatu itu baik ataupun buruk adalah akal manusia, bukan syara'. Dengan demikian, sebelum datangnya rasul pun, manusia telah dikenakan kewajiban melakukan perbuatan yang menurut akal mereka baik dan untuk itu mereka akan diberi imbalan. Selain itu, mereka pun dituntut untuk meninggalkan perbuatan yang jelek menurut akal mereka, dan bila dikerjakan mereka akan mendapat hukuman.

Golongan Mu'tazilah juga berpendapat bahwa syari'at yang ditetapkan kepada manusia merupakan sesuatu yang dapat dicapai dengan akal, yakni bisa ditelusuri bahwa di dalarnnya ada unsur manfaat atau madarat. Dengan demikian, sesuatu yang baik menurut akal adalah baik menurut syara’ dan manusia dituntut untuk mengerjakannya. Sebaliknya, sesuatu yang jelek menurut akal adalah jelek menurut syara', dan manusia dilarang mengerjakannya.

Ketiga, Maturidiyah. Golongan Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat di atas. Mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu ada kalanya baik atau buruk pada zatnya. Syara' menyuruh untuk mengerjakan

Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I

perbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang jelek pada zatnya. Adapun terhadap perkataan dan perbuatan yang kebaikan dan keburukannya tidak pada zatnya, syara’ memiliki wewenang untuk menetapkannya.

Lebih jauh Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kebaikan atau kejelekan yang didasarkan pada akal tidak wajib dikerjakan ataupun ditinggalkan. Seandainya dikerjakan pun tidak akan mendapat pahala kalau semata-mata hanya berdasarkan pada akal saja. Begitu pula sebaliknya, bila mengerjakan suatu perbuatan yang dipandang buruk semata-mata oleh akal, tidak akan mendapatkan hukuman. Menurut mereka, akal itu tidak berdiri sendiri, namun harus dibarengi dengan nash.

Dengan kata lain, walaupun akal mampu mengetahui bahwa suatu perbuatan itu baik ataupun buruk, namun adanya pemberitaan dari kitab samawi atau penerangan dari rasul menetapkan keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Begitupun halnya dengan masalah imbalan dan hukuman.

Oleh karena itu, Allah tidak wajib memerintahkan kepada manusia untuk mengerjakan perkataan ataupun perbuatan yang baikmenurut akal. Dan sebaliknya, Allah pun tidak wajib untuk memerintahkan manusia meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal.

Implikasi dari perbedaan pendapat mengenai peranan akal tersebut, berkaitan pula dengan posisi akal dalam ijtihad, apakah akal bisa menjadi salah satu sumber hukum Islam? Menurut ahlussunnah ~wa al-jamaah dan maturidiyah, akal tidak dapat secara berdiri sendiri menjadi sumber hukum Islam. Namun diakui, bahwa akal berperan penting

Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I

dalam menangkap maksud-maksud syara' untuk menetapkan suatu hukum, tetapi bukan menentukan hukum. Sebagaimana pendapat Abu Zahrah, bahwa seluruh produk fiqih adalah hasil daya nalar manusia yang tidak habis-habisnya sampai sekarang. Akan tetapi, daya nalar tersebut tidak terlepas sama sekali, karena harus bersandar pada nash.

Mu 'tazilah dan Syi 'ah Ja 'fariyah, berpendapat bahwa

akal merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunah.

Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I

BAB VII

Dalam dokumen Ilmu Ushul Fiqh (Halaman 87-92)

Dokumen terkait