• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

3. Kembang Susut

Pengujian kembang susut dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat kestabilan pasak, dimana sebagai bahan komposit berbahan lignoselulosa akan mengalami kembang dan susut. Sifat mengembang dari pasak bukan merupakan kelemahan pasak. Sifat mengembang pasak akan mengakibatkan gaya sesak dalam lubang pasak pada struktur sambungan, sehingga sambungan akan lebih kokoh. Sebaliknya, sifat penyusutan pasak bambu akan menjadi kelemahan dalam struktur pada keseluruhan, karena dengan menyusutnya pasak akan menggangu kestabilan sambungan. Hasil pengujian kembang susut dapat dilihat pada Gambar 38.

Secara umum, nilai pengembangan pasak lebih besar dari pada susut. Kembang yang paling tinggi terjadi pada pasak bambu Sembilang diameter 15 mm rata-rata mencapai 6%. Pengembangan pasak bambu Sembilang lebih tinggi mempunyai hubungan dengan diameter lumen pada bambu Sembilang lebih besar dibanding pada bambu Betung. Selain itu perekatan yang kurang sempurna mengakibatkan pengembangan bahkan kerusakan garis rekat setelah dilakukan perendaman dalam pengujiannya. Ketiga jenis pasak lainnya mempunyai nilai kembang yang mirip yatu berkisar antara 2.4 – 3%.

Berdasarkan analisis sidik ragam dengan menggunakan ANOVA dengan data pada Lampiran 8, dan Pvalue telah disajikan dalam Tabel 8, menunjukkan

bahwa untuk sifat pengembangan pada pasak secara nyata dipengaruhi oleh variabel jenis bambu, diameter pasak dan interaksi keduanya dengan Pvalue kurang

dari 5%. Adapun untuk sifat susut, jenis bambu tidak memberikan pengaruh nyata,akan tetapi diameter pasak serta interaksi dari diameter dan jenis bambu memberikan pengaruh yang nyata.

Tabel 8 Nilai Pvalue dengan derajat kepercayaan 95% dari sidik ragam ANOVA

untuk pengujian kembang susut Parameter

Variabel Kembang Susut

Jenis bambu (JB) 0.007* 0.460 Diameter (ø) 0.030* 0.004* Interaksi JB & ø 0.003* 0.039*

Keterangan :

* memberikan pengaruh yang nyata

Gambar 38 Hasil pengujian kembang susut pasak bambu.

Keterangan Gambar :

Perhitungan Desain Sambungan

Jenis sambungan yang dibuat merupakan sambungan dengan dua bidang geser. Jumlah pasak (n) yang digunakan berdasarkan pendekatan model kerusakan pada EN 1995-1-1: 2004 EUROCODE 5 dengan perumusan seperti pada persamaan 10 sampai dengan persamaan 13 diatas. Sambungan dengan baut dengan diameter 10 mm digunakan sebagai kontrol. Sebelum melakukan analisis perhitungan dari keempat model kerusakan ini, terlebih dahulu dilakukan pengujian Embedding Strength yang menghasilkan fh dan Bending 4 Point Loading menghasilkan nilai Yield Moment. Hasil pengujian disajikan dalam Tabel 9.

Baut ø 10 mm dengan bahan baja yang digunakan sebagai kontrol telah diuji oleh Sulistyawati (2006), memiliki Yield Moment sebesar 460 kgfcm. Dari hasil pengujian, nilai Embedding Strength dan Yield Moment mengalami peningkatan seiring penambahan diameter pasak bambu. Pasak dari bambu Sembilang mempunyai nilai lebih tinggi daripada pasak bambu Betung.

Tabel 9 Hasil pengujian Embedding Strength dan Bending 4 Point Loading Jenis Embedding Strength

(kg/cm2) Yield Moment (kgcm) Betung ø 10 87.03 122.64 Sembilang ø10 92.96 130.74 Betung ø 15 97.07 292.37 Sembilang ø15 99.96 326.15 Baut ø 10 396.99 460.00

Berdasarkan nilai Embedding Strength dan Yield Moment diatas dilakukan analisis dengan menggunakan empat fomulasi model kerusakan. Kerusakan ini menggambarkan karakteristik kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung. Hasil perhitungan dari keempat model kerusakan disajikan dalam Tabel 10 dibawah, adapun perhitungan lengkap pada Lampiran 9.

Tabel 10 Hasil perhitungan empat model kerusakan

Jenis Model I Model II Model III Model IV Betung ø 10 217.579 217.579 141.091 6137.130 Betung ø 15 364.005 364.005 309.292 24477.603 Sembilang ø 10 232.410 232.410 150.497 6988.839 Sembilang ø 15 374.836 374.836 339.563 28118.221 Baut ø 10 1091.721 1091.721 997.451 241052.070

Dalam Tabel 10 terlihat bahwa model III mempunyai nilai tegangan yang paling rendah sehingga dapat diartikan model yang paling kritis. Kerusakan model III ini dapat diindikasikan bahwa kerusakan serat kayu yang terjadi pada balok pengapit (side member). Hal ini menandakan bahwa pada bagian balok yang telah dilewati pasak lebih mendapatkan tekanan tumpu pasak dibandingkan pada balok yang mempunyai sendi plastis (plastic hinge). Dalam perencanaan ini untuk menghasilkan jumlah pasak dengan cara membagi kapasitas beban yang diterima baut yaitu dengan nilai 997.451 kgf dengan nilai beban dari keempat jenis pasak. Sehingga didapat nilai n = 7 untuk diameter 10 mm, dan n = 3 untuk diameter 15 mm. Pada penelitian ini, variabel desain sambungan jumlah pasak adalah 4, 6 dan 8 batang. Pola penyusunan pasak berdasarkan atas Breyer (2007). Gambaran desain sambungan dapat dilihat pada Gambar 39 dibawah.

Pengujian Sambungan Pasak Bambu

Berdasarkan perencanaan jumlah serta formasi pasak dalam sambungan, maka dibuat sambungan dengan cara ketiga balok LVL yang akan disambung dibor tegak lurus serat dengan diameter lubang sebesar 90% diameter pasak. Pasak dimasukkan dalam lubang sesuai dengan jumlah dan ukuran lubang yang dibuat. LVL dan pasak yang digunakan untuk sambungan mempunyai kadar air kering udara , yaitu sebesar ± 12%.

Pengujian sambungan diberikan dengan memberikan gaya tekan sejajar serat LVL dan posisi pasak tegak lurus serat dan garis rekat arah lebar. Sebagai

Gambar 39 Desain sambungan ½ t t ½ t 1,5D 1,5D 2 – 4D 3 – 4D 2 – 4D

kontrol dalam pengujian ini adalah baut dengan diameter 10 mm. Pengujian dilakukan dengan alat UTM merk Tokyokoki dengan kecepatan 1 mm/menit serta dilengkapi dua Linier Variable Displacement Transducers (LVDT) sesuai dengan standar ASTM D 5652.

Pada pengujian dilakukan pengamatan pada tiga titik pembebanan. Titik pertama yaitu daerah elastis (Proportional Limit Load, Pp), dengan defleksi atau

sesaran ± 1.25 mm. Pengamatan kedua pada zona plastis (Yield Load, Py),

dengan defleksi ± 1.5 mm. Pengamatan terakhir yaitu ada saat beban maksimum (Ultimate Load, Pu), yaitu pada saat sambungan mengalami kerusakan (failure).

Ilustrasi dari kondisi sambungan pada saat pembebanan dapat dilihat pada Gambar 40 dibawah ini, sedangkan hasil pengamatan di tiga titik disajikan dalam Gambar 41. Pada Gambar 41 dapat dilihat bahwa pada sambungan yang menggunakan pasak bambu tidak terdapat beda yang nyata kekuatan beban yang diterima pada daerah proportional limit load (Pp) dan yield load (Py). Perbedaan

bahan baku memberikan hasil tidak terlalu beda pada pengujian sambungan.

Gambar 40 Klasifikasi pola hasil pengujian tekan sambungan.

Penambahan diameter dan jumlah pasak meningkatkan beban yang diterima. Hasil pengujian pada baut dapat disandingkan pada pemakaian pasak diameter 10 mm dengan jumlah 8 pasak, serta diameter 15 mm dengan jumlah 4 pasak. Pada pengujian Embedding Strength dihasilkan bahwa satu pasak diameter 10 mm dan 15 mm mempunyai kemampuan menerima beban maksimum sebesar ± 450 kgf dan ± 730 kgf. Pemakaian dalam sambungan secara berkelompok telah mengakibatkan reduksi dari setiap kekuatan pasak tersebut. Reduksi pasak sangat berkaitan dengan perbedaan diameter serta penambahan pasak dalam sebuah sambungan. Diameter yang lebih besar bisa memperkecil reduksi yang terjadi pada pasak. Pasak dengan diameter 10 mm mempunyai nilai reduksi antara 37 – 55% , sedangkan pada diameter 15 berkisar antara 17 – 46%. Smith et al. (2008) telah melakukan penelitian sambungan dua bidang geser dengan menggunakan paku dan sekrup, menghasilkan nilai reduksi yang dimiliki setiap paku adalah berkisar antara 50 – 60%, sedangkan sekrup hanya 30%.

Pada penelitian ini mempunyai tujuan akhir yaitu mencari optimasi pemakain pasak bambu yang dapat menggantikan pemakaian baut. Dalam Gambar 42 disajikan grafik hubungan antara defleksi dan beban yang diterima oleh sambungan. Baut sebagai kontrol mempunyai tren yang berbeda dari pasak, hal ini dipengaruhi oleh sifat pasak bambu yang lebih elastis dibanding baut. Secara umum sambungan yang menggunakan pasak mempunyai daerah elastis Gambar 41 Hasil Pengujian tekan sambungan dalam pengamatan tiga titik pembebanan.

yang lebih panjang dari baut dan pada daerah plastis pasak masih terus meningkat dengan tajam kekuatannya, sehingga hampir semua sambungan dengan menggunakan pasak bambu mempunyai kekuatan lebih tinggi dari penggunaan baut pada beban maksimum. Kondisi ini mempertegas penelitian yang telah dilakukan oleh Taurista et al. (2005) yaitu menyatakan bahwa kelebihan material komposit jika dibandingkan dengan logam adalah kekuatan terhadap berat yang tinggi, kekakuan, ketahanan terhadap korosi. Ditinjau dari perbedaan jenis bambu tren yang terjadi diantara kedua jenis bambu tidak terlalu nyata berbeda. Akan tetapi penambahan jumlah pasak serta diameter secara signifikan meningkatkan kekuatan sambungan.

Perhitungan matematis yang dilakukan dalam perencanaan untuk mendapatkan n pasak yang dapat diekivalenkan terhadap baut, telah dibuktikan dalam pengujian empiris. Pada Gambar 42 sebelah kiri terlihat bahwa semua formasi sambungan Pu yang dimiliki melebihi Pu baut, akan tetapi apabila ditelaah

daerah elastis, Pp, yang mempunyai nilai sama atau lebih besar dari Pp yang

dihasilkan baut adalah sambungan yang menggunakan 8 buah pasak. Penggunaan pasak diameter 15 mm, jumlah effektif yang dapat disandingkan oleh satu baut diameter 10 mm adalah lebih dari 4 pasak, dapat diartikan semua formasi Gambar 42 Grafik hubungan defleksi/sesaran terhadap beban, pada uji tekan sambungan.

Keterangan : kiri untuk pasak ø 10 mm, kanan untuk pasak ø 15 mm

sambungan memenuhi perilaku elastic dari baut. Hal ini berkesesuain dengan perencanaan dengan menggunakan pendekatan Eurocode 5.

Perilaku defleksi yang terjadi pada sambungan terhadap besar pembebanan dipengaruhi oleh perbedaan diameter khususnya perilaku pada daerah plastis. Penggunaan diameter pasak yang lebih besar mempunyai pengaruh pada daerah plastis yang dimiliki yaitu kekuatan semakin meningkat, akan tetapi defleksi yang terjadi hampir sama. Defleksi yang terjadi pada saat beban maksimum (Pu) juga

hampir sama dari keseluruhan formasi sambungan. Defleksi yang terjadi pada saat Pu berkisar antara 9 – 13.5 mm. Kekuatan yang diperoleh pada saat Py apabila

dibandingkan oleh Pu meningkat dengan kisaran 45 – 75%. Penelitian tentang

sambungan baut dengan berbagai kayu Malaysia dengan pendekatan Working Stress Design Method (WSDM) dan Limit State Design Method (LSDM) yang disandingkan dengan pendekatan Eurocode 5 yang telah dilakukan oleh Jumaat et al. (2008) menghasilkan perbedaan nilai antara Pu terhadap nilai Py meningkat

mulai dari 0 – 74%, sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan maksimum yang terjadi tidak terlalu beda dari penelitian ini.

Hasil analisis sidk ragam dengan ANOVA disajikan dalam Tabel 11 dibawah ini dan perhitungan terdapat dalam Lampiran 10. Analisis yang dilakukan pada ketiga titik pengamatan serta 3 variabel yaitu jenis bambu, diameter pasak, jumlah pasak serta ragam interaksi dari ketiga variabel tersebut. Jenis bambu yang dipakai sebagai bahan baku pasak tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata terhadap Pu, akan tetapi memberikan hasil yang beda terhadap Pp

dan Py, yaitu dengan Pvalue kurang dari 5% Penambahan diameter dan jumlah

pasak terlihat sangat memberikan perbedaan nilai dari ketiga titik pengamatan, yaitu Pp, Py, dan Pu. Interaksi antara variabel jenis bambu dan diameter hanya

memberikan hasil yang berbeda nyata pada Py. Demikian juga dengan interaksi

antara variabel diamater dan jumlah pasak telah memberikan beda yang nyata pada titik Pp dan Py, tetapi tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan Pu.

Interaksi antara variabel jenis bambu dan jumlah pasak tidak memberikan nilai yang nyata disetiap titik pengamatan tersebut. Hal serupa juga dilihat pada interaksi antara ketiga variabel tersebut, yaitu jenis bambu, diameter dan jumlah pasak, tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata terhadap ketiga titik pengujian.

Tabel 11 Nilai Pvalue dengan derajat kepercayaan 95% dari sidik ragam dengan

ANOVA pengujian tekan sambungan di tiga titik dari analisis Parameter Variabel Pp Py Pu Jenis bambu (JB) 0.026* 0.026* 0.589 Diameter (ø) 0.000* 0.000* 0.000* Jumlah pasak (n) 0.000* 0.000* 0.000* Interaksi JB & ø 0.108 0.046* 0.322 Interaksi JB & n 0.661 0.849 0.584 Interaksi ø & n 0.001* 0.001* 0.425 Interaksi JB, ø & n 0.315 0.357 0.534

Pola kerusakan pasak bambu yang merupakan produk laminasi tidak terlalu berbeda dengan pembedaan jenis bambu maupun besar diameter. Perbedaan pola kerusakan terjadi pada saat dilakukan pengujian memperlihatkan perilaku yang berbeda-beda tergantung pembebanan atau gaya yang diberikan. Pada pengujian bending perilaku kerusakan pasak terjadi pada daerah rekatan tepatnya di sumbu longitudinal atau tegak lurus gaya. Kerusakan arah memanjang ini diakibatkan bergesernya garis rekat atau biasa disebut slip akibat menahan gaya tekan yang terpusat di tengah bentang dan tahanan terhadap daerah tekan dan tarik. Kerusakan yang berupa slip ini diikuti oleh kerusakan di daerah tarik yaitu permukaan bawah dari pasak. Pola kerusakan akibat bending dapat dilihat pada Gambar 43. Dalam Gambar 43.1 memperlihatkan kondisi benda uji saat pengujian bending. Gambar 43.2 diperlihatkan perbesaran kerusakan akibat slip yang terjadi pada ujung pasak. Kerusakan yang terjadi pada daerah tarik diperlihatkan pada Gambar 43.3 A A B B 1 2 3

Pola kerusakan yang terjadi pada pengujian Embedding Strength berbeda dengan pola kerusakan bending. Pada pengujian ini pasak menerima gaya tekan dan geser tegak lurus serat di kedua ujungnya. Pengujian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui kuat tumpu pasak terhadap material yang disambung, dalam hal ini adalah LVL. Berdasarkan pola kerusakan yang terjadi, gaya ini mengakibatkan kerusakan yang berupa belah pada garis rekat di sumbu pasak. Hal ini dimungkinkan perekatan mengakibatkan perlemahan pasak dalam menerima gaya tekan. Akibat gaya geser pasak mengalami sobek di sisi atas. Hal ini menunukkan bahwa kuat tumpu LVL lebih tinggi dibandingkan dengan pasak sebagai konektor. Pola kerusakan akibat pengujian Embedding Strength dapat dilihat dalam Gambar 44. Dalam Gambar 44.2 diperlihatkan pembesaran kerusakan akibat pengujian Embedding Strength.

Kerusakan pasak pada sambungan sesuai dengan pendekatan matematis yang telah dilakukan berdasarkan Eurocode 5. Model III merupakan kerusakan paling kristis yang terjadi yaitu mengindikasikan bahwa kerusakan serat kayu terjadi pada LVL pengapit (side member). Hal ini menandakan bahwa LVL yang menjadi balok utama dapat menahan gaya tumpu pasak. Kerusakan pasak yang terjadi pada sebagian besar pengujian adalah pasak mengalami lengkung searah dengan gaya yang terjadi. Pasak yang mengalami gaya geser yang lebih besar adalah yang paling atas ditunjukkan bahwa pasak di baris teratas mengalami kerusakan lebih besar dibandung baris yang ada dibawahnya. Sobek akibat gaya

A A

1 2

Gambar 44 Pola kerusakan pasak bambu laminasi pada pengujian Embedding Strength.

geser yang dialami pasak terjadi pada sisi bagian bawah. Kerusakan pada garis rekat tidak terjadi pada pengujian sambungan ini. Kondisi kerusakan pada pengujian sambungan disajikan dalam Gambar 45. Kerusakan pasak setelah pengujian dilihat dari posisi samping disajikan dalam Gambar 45.1. Kondisi kerusakan pada dinding LVL pengapit terlihat pada Gambar 45.2.A. Perbesaran dari kerusakan pasak dapat dilihat dalam Gambar 45.3.

B A

B

1 2 3

Dokumen terkait