• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membahas masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia (1999-2009) yang merupakan penyebab terjadinya bantuan luar negeri, seperti; menjelaskan kemiskinan yang terjadi di Indonesia dan disertai pula pandangan Bank Dunia dalam kemiskinan di Indonesia.

BAB III BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DI INDONESIA

Membahas tentang kebijakan bantuan luar negeri Bank Dunia dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia, seperti; menjelaskan sebuah bantuan luar

negeri Bank Dunia dan bentuk program pengentasan kemiskinan yaitu PNPM Mandiri.

BAB IV ANALISIS BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DALAM

KEMISKINAN DI INDONESIA

Menganalisis masalah yang terjadi antara kemiskinan di Indonesia dan bantuan luar negeri Bank Dunia, seperti; sejauh mana efektivitas bantuan luar negeri/PNPM-Mandiri terhadap Indonesia (disertai tabel-tabel), relevansinya terhadap neoliberalisme dan dampaknya terhadap bantuan luar negeri Bank Dunia.

BAB V PENUTUP

BAB II

KEMISKINAN DI INDONESIA

II.1 Masalah Kemiskinan di Indonesia

Kemiskinan di Indonesia memang terjadi sangat rumit, pada pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang cukup parah. Kontraksi ekonomi tersebut menimbulkan dampak sosial yang sangat besar dan membalikkan banyak kemajuan di sektor sosial yang telah dicapai dalam dekade sebelumnya. Dalam pasar tenaga kerja, tingkat pengangguran meningkat sedikit dari 4,7 persen pada tahun 1997 menjadi 5,5 persen pada tahun 1998, upah riil menurun sekitar sepertiga. Tingkat kemiskinan selama krisis, dari awal terjadinya krisis pada pertengahan tahun 1997 ke puncak krisis pada akhir tahun 1998 telah meningkat menjadi 164 persen. Jelas bahwa kemiskinan meningkat dengan cepat seiring dengan memburuknya krisis ekonomi, hal ini menyiratkan bahwa sejumlah besar mengalami kemiskinan dalam waktu singkat.37

Disamping itu, dalam mencari penyebab krisis ekonomi tersebut, hal ini menjadi pusat perhatian di dalam pemerintahan. Penyebab krisis ekonomi tersebut adalah bahwa ada terjadinya pemerintahan yang buruk (bad governance), yang biasa dikenal sebagai KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di Indonesia yang telah melemahkan perekonomian Indonesia, sehingga menimbulkan penderitaan dari krisis periodik. Karena masalah tersebut, Indonesia menempati bagian atas dalam daftar negara-negara paling korup di dunia dalam waktu yang lama.

37

Asep Suryahadi dan Sudarno Sumarto, 2010, “Poverty and Vulnerability In Indonesia Before and After The Economic Crisis”, dalam Poverty and Social Protection In Indonesia, Joan Hardjono, Nuning Akhmadi dan Sudarno Sumarto, ISEAS Publishing, Pasir Panjang. Hal. 36-37.

Disamping itu, pengurangan kemiskinan dan tata pemerintahan merupakan kedua hal yang saling terkait. Tata pemerintahan yang buruk telah melakukan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang tidak efektif, sementara proyek-proyek pengurangan kemiskinan malah menyediakan lahan subur bagi korupsi.38

Dengan adanya korupsi tersebut, secara tidak langsung hal ini juga merugikan masyarakat miskin, yaitu:

1. Peningkatan harga barang dan jasa yang harus dibayar oleh masyarakat miskin;

2. Mengurangi pendapatan oleh penduduk miskin dengan cara pajak semi-legal, ilegal dan retribusi;

3. Adanya tindakan dukungan untuk masyarakat miskin, padahal hal itu malah justru sebaliknya;

4. Menciptakan ketimpangan atau ketidaksamaan dalam kepemilikan aset, karena orang-orang kaya dapat mempengaruhi pemerintah untuk mengejar kebijakan yang akan meningkatkan kekayaan mereka sendiri (seperti perlakuan pajak yang menguntungkan dan nilai tukar mata uang) yang tidak tersedia bagi masyarakat miskin; dan

5. Mencegah orang miskin dalam melakukan investasi baru atau membuka bisnis baru, karena mereka tahu bahwa orang-orang yang berbisnis akan selalu menang dan terhubung dengan kontrak proyek-proyek pemerintah, karena adanya praktek korupsi. Akibatnya, mereka tidak dapat meningkatkan standar kehidupan mereka, dan menjadikan selalu tetap miskin.

38

Sudarno Sumarto, Asep Suryahadi, Alex Arifianto, 2003, “Governance and Poverty Reduction: Evidence From Newly Decentralized Indonesia”, dalam The Role Of Governance In Asia, Yasutami Shimomura, Japan Institute Of International Affairs and ASEAN Foundation, Singapore. Hal. 28.

Singkatnya, ada sebuah konsensus yang kuat bahwa tata kelola pemerintahan yang baik itu sangat diperlukan bagi upaya untuk pengurangan kemiskinan secara efektif dan untuk mengurangi adanya praktek korupsi.39 Pada tahun 2000-2005 jumlah penduduk miskin malah cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.40

Tetapi di awal tahun 2005, telah dindikasikan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia telah mencapai 51%, atau mencapai 114,64 juta jiwa. Diduga bahwa kenaikan jumlah penduduk miskin itu disebabkan oleh beberapa hal yang saling berkaitan. Hal-hal tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Gelombang Tsunami yang melanda Provinsi Aceh dan sebagian wilayah Sumatera Utara telah menyebabkan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat lenyap dari dua wilayah tersebut. Memang banyak juga mereka yang tinggal di wilayah itu selamat dari musibah tersebut. Tapi satu hal yang pasti bahwa hal ini akan berimplikasi terhadap penambahan jumlah pengangguran dan kemiskinan dari penduduknya.

2. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi beberapa kali hingga awal bulan Oktober di tahun 2005 ini tentu telah membebani biaya-biaya produksi. Ini tentu pada gilirannya mengakibatkan turunnya kemampuan daya beli, dan bahkan hanya untuk bertahan hidup pun, bagi masyarakat yang secara umum memang sudah sangat berat saat ini. Dampak ikutan berikutnya

39

Ibid. “Governance and Poverty Reduction: Evidence From Newly Decentralized Indonesia”. Hal. 32-33.

40

yakni meningkatnya jumlah orang yang dikategorikan sebagai penduduk miskin.

3. Kenaikan harga minyak internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah tampaknya juga bisa dilihat sebagai penyebab yang berpengaruh terhadap melemahnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan produk-produk primer, apalagi sekunder, yang memang diperlukan selama ini dalam kehidupan mereka sehari-hari.41

Terkait dalam hal tersebut, faktor utama yang menyebabkan peningkatan angka kemiskinan di Indonesia secara signifikan bukanlah kenaikan harga BBM, melainkan kenaikan harga beras. Ada dua alasan dalam hal tersebut, yaitu;

Pertama, kenaikan harga BBM, pada April dan Oktober 2005 yang secara kumulatif mencapai rata-rata 143 persen, hanya menurunkan kesejahteraan masyarakat miskin, karena telah dimbangi dengan program bantuan langsung tunai (BLT). Kedua, tiga per empat dari orang miskin merupakan konsumen bersih (net consumer) beras, sehingga kenaikan harga beras berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan angka kemiskinan.42

Dampak dari perubahan harga tersebut sudah bisa ditebak yakni akan makin membebani biaya hidup masyarakat secara umum. Secara sederhana, tapi memang terlihat sangat nyata, kita bisa mengidentifikasi beberapa hal di balik makin besarnya biaya hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ada kecenderungan kenaikan secara berkala dari harga-harga seperti air bersih, tarif angkutan, tarif komunikasi dan tarif dasar listrik;

41

Hari Susanto, 2006, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru, Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Jakarta. Hal. 8-9.

42

2. Pada saat bersamaan harga kebutuhan pokok rumah tangga penduduk terus ikut-ikutan mengalami kenaikan meski pemerintah berulang kali dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa harga kebutuhan pokok tidak boleh membebani masyarakat. Pernyataan yang lebih bersifat himbauan ini dalam kenyataannya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di pasar. Faktanya hampir semua harga kebutuhan pokok rumah tangga bergerak naik;

3. Harga bahan bakar minyak yang terus cenderung naik beberapa kali dalam setahun memiliki kaitan dengan alasan beratnya beban subsidi yang ditanggung pemerintah selama ini sebagaimana terlihat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Kenaikan harga bahan bakar minyak tersebut tentunya mempunyai pengaruh terhadap kecenderungan naiknya inflasi yang konon, bagi banyak pengamat ekonomi, bergerak laksana sebuah spiral.43

Di bulan Februari pada tahun 2008 kondisi pengangguran mencapai 8,46% atau menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 9,75% akibat kenaikan BBM. Turunnya angka pengangguran sebesar 1,12 juta orang dalam setahun terakhir ini disebabkan oleh dua faktor: Pertama, seluruh sektor ekonomi menunjukkan peningkatan serapan tenaga kerja dan pertumbuhan tertinggi dialami oleh sektor keuangan yang mencapai 11,5%. Demikian pula sektor keuangan memiliki angka elastisitas serapan tenaga kerja yang paling tinggi, di mana untuk setiap I (satu) persen pertumbuhan sektor keuangan maka tenaga kerja di sektor tcisebut akan mengalami pertumbuhan 3,6%. Kedua, pertumbuhan kesempatan kerja mencapai 2.43% lebih besar dari pertumbuhan angkatan kerja yang mencapai 1.76%. Hal ini menandakan baik

43

Hari Susanto, 2006, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru, Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Jakarta. Hal. 8.

tenaga kerja yang pertama kali bekerja maupun yang sebelumnya menganggur dapat bekerja.

Apabila ditinjau dari status pekerjaan utama, sebagian besar tenaga kerja diserap oleh sektor informal. Berdasarkan data Februari 2003 jumlah pekerja informal mencapai 70,55 juta orang atau 69,1 % dari total penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja. Persentase pekerja informal ini hampir tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan data Februari 2006 yaitu sebesar 69,8%. Tingkat penghasilan pekerja informal ini relatif kecil dan tidak pasti. Artinya, meskipun pekerja informal ini tidak terhitung sebagai pengangguran, namun mereka sangat rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk kenaikan harga BBM. Misalnya para penjual gorengan, bubur, dan makanan kecil lainnya di pinggir jalan semakin tertekan akibat kenaikan harga dan kelangkaan minyak tanah.44 Untuk lebih rinci mengenai kemiskinan di Indonesia pada periode 1999-2009 bisa dilihat di tabel 1.

Tabel 1

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Pada Tahun 1999-2009

Tahun

Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin Kota Desa Kota + Desa Kota Desa Kota + Desa

1999 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43 2000 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14 2001 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41 2002 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20 44

Tim Jumpa Pers-Pusat Penelitian Ekonomi, 2008, “Problema Pengangguran dan Kemiskinan di Tengah Gejolak Harga BBM: Telaah Kritis Kebijakan dan Solusi Alternatif”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, vol. XVI, no. 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Hal. 82.

2003 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42 2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66 2005 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97 2006 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75 2007 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58 2008 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42 2009 11,91 20,62 32,53 10,72 17,35 14,15

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)45

Menurut Lembaga Penelitian SMERU, kemiskinan di Indonesia berwajah majemuk, berubah dari waktu ke waktu, atau dari satu tempat ke tempat lain, hal ini mengandung berbagai dimensi dan masalah yang kompleks, antara lain:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan);

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi);

3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga);

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal; 5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam; 6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat;

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan;

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;

45

9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak-anak terlantar, Perempuan korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).46

Ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan di Indonesia, dan tidak ada satu jawaban pun yang mampu menjelaskan semuanya sekaligus. Ini ditunjukkan oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat tertentu yang mencoba mencari penyebab kemiskinan. Tetapi Lembaga Penelitian SMERU menyimpulkan bahwa penyebab dasar kemiskinan antara lain:

1. Kegagalan kepemilikan, terutama tanah dan modal;

2. Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; 3. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor;

4. Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung;

5. Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern);

6. Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; 7. Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola

sumber daya alam dan lingkungannya;

8. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); 9. Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan

lingkungan.47

46

Paket Informasi: Dasar Penanggulangan Kemiskinan, Lembaga Penelitian SMERU untuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK). Hal. 2.

47

II.2 Ukuran dan Kemiskinan di Indonesia Menurut Bank Dunia II.2.1 Ukuran Kemiskinan Menurut Bank Dunia Secara Umum

Pendekatan yang luas untuk suatu kesejahteraan (dan kemiskinan) berfokus pada kemampuan individu yang berfungsi di dalam masyarakat. Masyarakat miskin sering kali kekurangan dalam kemampuannya; dengan kemungkinan karena mereka memiliki pendapatan yang tidak memadai dalam pendidikan, memiliki kesehatan yang buruk, merasa tidak berdaya, atau bisa jadi karena kurangnya dalam kebebasan politik. Oleh karena itu, Bank Dunia menguraikan empat alasan untuk mengukur kemiskinan, yaitu:

1. Untuk menjaga orang miskin yang masuk di dalam agenda Bank Dunia. 2. Untuk dapat mengidentifikasi orang-orang yang miskin, sehingga dapat tepat

sasaran dalam mengintervensi.

3. Untuk memonitor dan mengevaluasi proyek-proyek dan intervensi kebijakan yang diarahkan untuk masyarakat miskin.

4. Untuk mengevaluasi efektivitas lembaga-lembaga yang tujuannya adalah untuk membantu orang miskin.48

Langkah pertama dalam mengukur kemiskinan adalah mendefinisikan indikator kesejahteraan seperti pendapatan atau konsumsi per kapita. Informasi tentang kesejahteraan berasal dari data survei. Sebuah desain survei yang baik adalah suatu hal yang terpenting. Meskipun beberapa survei menggunakan sampel acak (random sampling) secara sederhana, hal ini juga kebanyakan menggunakan sampel acak secara bertingkat. Oleh sebab itu, Bank Dunia mengambil tiga langkah dalam mengukur kemiskinan, yaitu:

48

Jonathan Haughton dan Shahidur R. Khandker, 2009, Handbook On Poverty and Inequality, The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, Washington DC. Hal. 1.

1. Menentukan indikator kesejahteraan.

2. Menetapkan standar minimal yang dapat diterima oleh suatu indikator bahwa hal ini untuk memisahkan orang miskin dari orang yang tidak miskin (garis kemiskinan).

3. Menghasilkan sebuah ringkasan untuk mengumpulkan suatu informasi dari distribusi indikator kesejahteraan yang relatif terhadap garis kemiskinan.49

Adapun tindakan dan strategi Bank Dunia yang bertujuan untuk memerangi kemiskinan yaitu dalam beberapa dekade, pengalaman Bank Dunia telah mengakui beberapa faktor umum yang terkait dengan kemajuan dalam pembangunan secara keseluruhan. Faktor dasar inilah yang menjadi acuan dalam strategi Bank Dunia yaitu sebagai berikut:

1. Suatu negara yang aktif dengan tata pemerintahan yang baik (good governance) di sektor publik dan swasta yang mendorong ke arah lingkungan dimana kontraknya tersebut bersifat memaksa dan sebuah pasar yang dapat berfungsi sebagai; karya infrastruktur dasar, ada ketentuan yang memadai untuk kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial dan orang-orang dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

2. Suatu pemberdayaan yang dapat memastikan bahwa semua orang akan memiliki kemampuan untuk membentuk kehidupan mereka sendiri, dengan memberikan kesempatan, keamanan dan dengan mendorong partisipasi dan inklusi sosial yang efektif.

49

3. Pertumbuhan ekonomi adalah hal yang sangat penting karena negara-negara yang telah mengurangi kemiskinan adalah hal yang paling efektif dan tumbuh paling cepat. Belum ada contoh pembangunan berkelanjutan yang berhasil tanpa periode pertumbuhan tinggi per kapita output.

4. Perlu ada sektor swasta karena hal ini sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan usaha kecil dan menengah dapat memainkan peran yang sangat penting dalam menghasilkan peluang kerja bagi masyarakat miskin.

5. Suatu kebijakan sektor keuangan yang rasional dan tepat untuk negara merupakan hal yang sangat penting, sebagai penghapusan hambatan dalam perdagangan internasional sehingga ekspor negara-negara berkembang dapat memberikan kontribusi untuk pertumbuhannya.

6. Suatu negara dan masyarakat harus memiliki kepemilikan agenda pembangunan untuk mencerminkan kondisi khusus dari suatu negara dan ekonomi politik.

Bank Dunia memiliki dua pilar untuk menanggulangi kemiskinan dalam pembangunannya, dua pilar tersebut adalah membangun 1. Iklim investasi, pekerjaan dan pertumbuhan yang berkelanjutan, 2. Investasi pada orang yang miskin dan memberdayakan mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kedua pilar tersebut dalam kerangka kerja strategis Bank Dunia sangat penting untuk keberhasilan dalam mencapai pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan dan membantu negara-negara untuk mencapai tujuannya. Di setiap negara-negara memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Bekerja dengan Bank Dunia mengenai MDGs adalah prioritas di negara-negara yang sebagian besar berpenghasilan

rendah, sedangkan pendapatan yang relatif/menengah lebih sering bekerja untuk mencari lebih banyak nasabah dengan Bank Dunia pada pembangunan iklim investasi.50

II.2.2 Kemiskinan di Indonesia Menurut Bank Dunia

Untuk melihat kemiskinan di Indonesia, ternyata sebelumnya Bank Dunia belajar dari sejarah untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Sejarah Indonesia memberi banyak pelajaran tentang keberhasilan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan di masa lalu. Pelajaran ini dapat bermanfaat ketika mencari strategi penanggulangan kemiskinan yang efektif untuk masa mendatang. Bank Dunia membuat catatan-catatan tersebut, antara lain: Pertama, catatan Indonesia menunjukkan seperti apa kekuatan penggerak pertumbuhan dalam penanggulangan kemiskinan tatkala ia berdampak pada rakyat penduduk miskin. Kedua, catatan Indonesia menunjukkan bahwa penyaluran pengeluaran negara secara bijaksana ke dalam upaya-upaya dan program-program yang bermanfaat bagi penduduk miskin adalah kunci bagi penanggulangan kemiskinan. Ketiga, pengalaman Indonesia diterpa guncangan krisis ekonomi justru semakin menunjukkan perlunya mewujudkan perlindungan sosial bagi penduduk miskin. Keempat, pengalaman masa lalu Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia harus membangun pemerintahan yang dapat bermanfaat bagi penduduk miskin.51

50

Cathy L. Gagnet dan World Bank, World Bank Annual Report 2003, vol. 1 Year In Review, The International Bank for Reconstruction and Development/The World bank, Washington DC. Hal. 12-13.

51

The World Bank, 2006, Indonesia Making the New Indonesia Work For The Poor, Jakarta. Hal. 19-21.

Menurut Bank Dunia, Indonesia memiliki peluang emas untuk menurunkan kemiskinan dengan pesat. Pertama, dengan melihat sifat kemiskinan, memusatkan perhatian pada beberapa bidang unggulan dapat memberi beberapa kemenangan dengan cepat dalam perang melawan kemiskinan dan rendahnya hasil pengembangan manusia. Kedua, sebagai negara penghasil minyak dan gas, Indonesia berada di posisi untuk memperoleh keuntungan dalam beberapa tahun ke depan dari sumber-sumber daya keuangan. Hal ini disebabkan oleh harga minyak yang lebih tinggi dan penurunan subsidi bahan bakar. Ketiga, Indonesia masih dapat memperoleh keuntungan lebih jauh dari proses-proses demokratisasi dan desentralisasinya yang terus berlanjut.

Kemiskinan di Indonesia memiliki tiga ciri yang menonjol: (i) Banyak rumah tangga terkonsentrasi di sekitar garis kemiskinan pendapatan nasional sejumlah kurang lebih 1,55 dolar AS perhari PPP (Public-Private Partnerships/Kemitraan Publik dan Swasta), membuat bahkan banyak penduduk tidak miskin rentan terhadap kemiskinan; (ii) ukuran kemiskinan pendapatan tidak mencakup jangkauan kemiskinan sebenarnya di Indonesia; banyak dari mereka yang kemungkinan tidak miskin secara pendapatan dapat diklasifikasikan sebagai masyarakat miskin berdasarkan kekurangan akses ke layanan-layanan pokok dan hasil pengembangan manusia yang buruk; dan (iii) dengan melihat ukuran besar dan kondisi berbeda-beda kepulauan Indonesia, kesenjangan regional merupakan ciri pokok kemiskinan di negara ini.52

Adapun faktor-faktor penentu kemiskinan di Indonesia, Bank Dunia dalam bagian ini menggunakan analisis multivariat untuk mengungkap faktor-faktor

52

The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group) Jakarta. Hal. 50.

penentu dan arti penting relatif dari karakteristik, aset dan akses utama pada rumah tangga sebagai faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan

(correlates of poverty). Beberapa faktor kunci memang berpengaruh pada kemiskinan dan karena itu juga berperan bagi upaya dalam penanggulangan kemiskinan. Bank Dunia menguraikan lima korelasi faktor penentu dalam kemiskinan, antara lain:

1. Faktor Korelasi Dalam Pendidikan

a. Kemiskinan memiliki kaitan yang sangat erat dengan pendidikan yang tidak memadai.

b. Melampaui jenjang pendidikan sekolah dasar dengan meningkatkan kesejahteraan secara berarti.

c. Meningkatkan capaian jenjang pendidikan di wilayah/area tertentu yang berkorelasi dengan pengurangan kemiskinan yang lebih besar.

2. Faktor Korelasi Dalam Pekerjaan

Bekerja di sektor pertanian memiliki korelasi yang kuat dengan kemiskinan. Kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian memiliki tingkat konsumsi yang jauh lebih rendah (dan karena itu memiliki kemungkinan lebih besar untuk menjadi miskin) dibandingkan mereka yang bekerja di sektor lain. Dengan menggunakan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian informal sebagai dasar (base), faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan menunjukkan bahwa kepala rumah tangga di daerah pedesaan yang bekerja di sektor pertanian formal memiliki korelasi dengan kenaikan tingkat konsumsi dengan nilai koefisien korelasi sebesar 3,1 persen, sedangkan mereka yang bekerja di sektor industri informal dengan nilai koefisien sebesar 5,4 persen.

Koefisien korelasi yang lebih tinggi terdapat pada kepala rumah tangga yang bekerja di sektor industri formal (11,7 persen). Koefisien korelasi yang tertinggi terdapat di sektor jasa: sektor jasa informal sebesar 14 persen, sedangkan sektor jasa formal sebesar 22 persen, yang berlaku untuk daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. Mengingat sedikitnya porsi penduduk miskin yang bekerja di sektor formal dan sektor nonpertanian, di samping kenyataan bahwa bekerja di sektor-sektor yang lebih menguntungkan tersebut memiliki korelasi dengan pengurangan kemiskinan, maka perpindahan tenaga kerja ke sektor pertanian formal, atau ke sektor nonpertanian formal maupun informal, akan

Dokumen terkait