• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN

C. Kendala yang Dihadapi dalam penanggulangan

Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan

Memberantas penyakit masyarkat seperti pelacuran memang berat. Namun hal itu bukan suatu hal yang tidak mungkin untuk tidak dilakukan. Perlu ada komitmen berbagai kalangan terkait untuk secara bersama-sama ikut memberantasnya. Sebab praktek pelacuran itu bukan hanya dilakukan kalangan bawah, tetapi golongan tertentu atau kelas atas. Dan penikmatnya pun dari berbagai kalangan. Dasar sanksi yang tegas dan berat juga merupakan salah satu solusi untuk meminimalisasi praktek tersebut. Memberantas pelacuran jangan hanya yang kelas bawah, tetapi juga kelas atas ikut ditertibkan.

Implementasi suatu kebijakan dapat berjalan efektif tentu dipengaruhi oleh bebrapa faktor. Dimana faktor-faktor yang dimaksud, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor pendukung

Faktor pendukung yang dimaksud disini adalah sagala hal yang sifatnya membantu tersosialisasinya kebijkan pemerintah dalam hal ini adalah Peraturan Dareah Kota Medan No 6 tahun 2003

2. Faktor Penghambat

Faktor Penghambat sendiri disini merupakan segala sesuatu yang menjadi pengganjal atau yang menghalangi terselenggaranya Peraturan Daerah Kota Medan No 6 tahun 2003.

1. Pegawai Dinas Sosial Kota Medan

Jumlah keseluruhan staff serta pegawai di Dinas Sosial Medan adalah 61 orang, yang terdiri dari Pegawai kantor 8 orang, dengan komposisi 5 pegawai negeri dan 3 honorer. Serta 53 pegawai lapangan, dengan komposisi : petugas administrasi 8 orang, petugas perawatan non medis 13 orang, juru masak 4 orang, dan petugas keamanan 18 orang. Akan tetapi, dengan jumlah staff dan pegawai tersebut Dinas Sosial tidak mempunyai Struktur Organisasi yang jelas. Hal ini sangat disayangkan, mengingat struktur organisasi dalam sebuah departemen atau organisasi keberadaannya sangat penting sekali demi kelancaran aktifitasnya. Tidak adanya struktur organisasi dikarenakan jumlah pegawai negeri yang ada di Dinas Sosial Medan ini terbatas. Sehingga tidak ada pembagian kerja didalamnya, seluruh pegawai melakukan tugas secara bersama-sama, saling tolong-menolong satu sama lain.

Mereka sudah mengajukan kepada pemerintah untuk menempatkan lebih banyak pegawai negeri di dinas sosial ini, agar mereka tidak kewalahan mengatasi

para Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang tertampung. Tetapi sampai saat ini, permohonan itu belum terealisasikan. Medan dalam Pandangan Mata: Kawasan Penampungan Kumuh dan Serba Kekurangan. Saat pertama kali menginjakkan kaki di panti asuhan Pungi di Binjai, perasaan terharu, sedih campur aduk menjadi satu. Bagaimana tidak, di ruangan yang sempit, lembab dan kotor tersebut terdapat ratusan PMKS yang tertampung. Bau yang tak enak segera tercium saat peneliti mencoba memasuki salah satu bangsal tempat tidur mereka. Sangat ironis, mereka harus tinggal, dan tidur bercampur dengan kotoran mereka sendiri, got-got disekitar tempat penampungan juga sangat kotor dan keruh. Benar-benar tempat yang tidak layak untuk dihuni oleh manusia. Saat peneliti berusaha masuk salah satu bangsal tersebut, para gelandangan dan pengemis segera bangkit dari tempatnya mengikuti peneliti, ada yang mengeluh dan mengumpat tidak jelas ada juga yang memohon untuk segera dikeluarkan dari tempat itu.

Salah satu gepeng yang baru dua hari tertampung di Medan mengatakan bahwa dia tidak tahan tinggal disana, mereka dikurung dan tidak diperbolehkan keluar ruangan sama sekali kecuali kekamar mandi, saat hari pertama terjaring dia tidak dapat jatah makan dan untuk mengisi perutnya dia terpaksa minum air kran yang berada dikamar mandi.62

62

Wawancara dengan salah satu Gelandangan dan Pengemis Kota Medan

Dia mengeluhkan tidak tahan ditempat ini dan ingin segera keluar, tapi tidak ada keluarga yang menjemputnya. Sungguh suatu dilema, disatu sisi ketika para gelandangan dan pengemisan di lepas pasti mereka akan mengganggu dijalanan, meresahkan masyarakat dan mengotori kota, tapi

disisi lain ketika mereka ditempat penampungan mereka juga tidak mendapatkan tempat dan perlakuan yang layak. Seharusnya pemerintah lebih peka terhadap permasalahan ini sehingga ada solusi terbaik.

Faktor penghambat proses penanganan gelandangan dan pengemisan (gepeng) antara lain adalah sebagai berikut :

1. Terbatasnya jumlah pegawai Dinas Sosial. Dengan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang membludak di Liponsos, yaitu lebih dari 600 orang, pegawai dinas sosial yang jumlahnya terbatas jelas merasa kesulitan dan kualahan dalam menanganinya, sehingga hal ini menjadi faktor penghambat yang paling besar pengaruhnya.

2. Minimnya dana dari pemerintah. Untuk menangani gelandangan dan pengemis yang jumlahnya sangat banyak tersebut diperlukan biaya yang cukup besar. Akan tetapi menurut Sujiati dana yang turun dari pemerintah sangat terbatas, sehingga penanganan yang dilakukan oleh pihak dinas sosialpun kurang begitu maksimal

3. Keadaan panti asuhan Pungi di Binjai yang kurang mendukung. Keadaan lingkungan panti asuhan Pungi di Binjai yang kumuh dan kotor tersebut membuat banyak pihak enggan untuk sekedar berkunjung kesana, sehingga lingkungan tidak kondusif dan membuat para penghuni panti asuhan Pungi di Binjai semakin bermalas-malasan dan terbiasa hidup kotor.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan, maraknya jumlah gelandangan dan anak-anak jalanan di tengah- tengah kota besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan kota yang pada akhirnya mengemisan dan gelandangan bukan nasib tapi pilihan mereka. Namun hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap Anak Jalanan dan Gepeng.

2. Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003. Dilarang melakukan penggelandangan dan pengemisan berkelompok atau perorangan atau dengan cara apapun dengan mempengaruhi/menimbulkan belas kasihan orang lain. Dilarang dengan sengaja memperalat orang lain seperti bayi, anak kecil dan atau mendatangkan seseorang/beberapa orang untuk maksud melakukan pengemisan. Dilarang membujuk atau memikat orang lain dengan dengan perkataan-perkataan dan isyarat dan atau dengan perbuatan lainnya dengan maksud mengajak melakukan perbuatan pelacuran dijalan umum dan atau tempat yang diketahui/dikunjungi oleh

orang lain baik perorangan atau beberapa orang. Dilarang dengan sengaja memanggil/mendatangkan seseorang, beberapa orang untuk maksud melakukan perbuatan-perbuatan pelacuran / tuna susila

3. Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila.

B. Saran

1. Kepada pemerintah daerah Kota Medan agar berperan aktif dalam penanganan gelandangan dan pengemisan itu sendiri harus bersungguh- sungguh dan meningkatkan kinerja dalam memberikan pembinaan dan pelatihan bagi para gepeng sehingga memiliki keterampilan/skill yang bisa mereka kembangkan sebagai modal mereka untuk mandiri sehingga dapat membantu unutuk memenuhi kebutuhan perekonomian mereka dan tidak menggepeng lagi.

2. Peraturan daerah yang dibuat hendaknya lebih substansif terhadap muatan materi peraturan daerah agar tidak menabrak aturan yang lebih tinggi dan merupakan permasalahan sosial yang bersifat lokal sehingga dapat berdaya laku efektif di masyarakat.

BAB II

GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA SEBAGAI ISU PERMASALAHAN SOSIAL

DI KOTA MEDAN

A. Pengertian Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila

Asal mula pengemisan suatu hal fenomenal yang ada dalam hidup ini, memiliki akar yang menjadi mula terbentuknya suatu hal yang tampak. Demikian dengan pengemis, yang tidak terlahir semata-mata dengan sendirinya melainkan adanya asal muasal dan pengemisan sendiri memiliki akar sejarah yang unik.

Anak jalanan, umumnya berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. Mereka itu ada yang tinggal di kota setempat, di kota lain terdekat, atau di Propinsi lain. Ada anak jalanan yang ibunya tinggal di kota yang berbeda dengan tempat tinggal ayahnya karena pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak jalanan yang masih tinggal bersama keluarga, ada yang tinggal terpisah tetapi masih sering pulang ke tempat keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal bersama keluarganya atau bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya.

Realitas kehidupan sosial tidak luput dengan prilaku dan pola dari masyarakat itu sendiri. Salah satunya adalah pengemis atau sebagian orang

menyebutnya dengan “Gepeng” Gelandangan dan Pengemisan, potret sosial ini sering ditemukan dalam kehidupan.27

Maraknya jumlah gelandangan dan anak-anak jalanan di tengah-tengah kota besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan kota yang pada akhirnya mengemisan dan gelandangan bukan nasib tapi pilihan mereka. Namun hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap anak jalanan dan gepeng.

Istilah “gepeng”merupakan singkatan dari kata gelandangan dan pengemisan. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.28

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara ditempat-tempat umum.29

Ali, dkk,. menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Gelandangan merupakan

27

Kaipang/ Fenomena pengemis dalam perspektif sociological imagination. http://kaipang-inc.blogspot.com/2010/09/fenomena-pengemis-dalam-perspektif.html/dikutip pada hari Minggu, 24 April 2011/pukul 17.50 wib

28

Departemen Sosial Republik Indonesia, 1992.

29

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor : 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan Pasal 1 huruf f

lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat.30

Pengemisan adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara baik berupa mengamen dan alasanlainnya untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.31

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan yang dimaksud dengan pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.32

Pengemisan adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain. Gelandangan dan pengemisan yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif.33

30

Ali Marpuji, dkk., (1990). Gelandangan di Kertasura, dalam Monografi 3.Lembaga Penelian Universitas Muhammadiyah. Surakarta, hal 5

Pemberian stigma negatif justru menjauhkan

31

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor : 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan Pasal 1 huruf g

32

Satriawan35.blogspot.com/2012/12/peran-pemerintah-daerah-dalam.html (diakses tanggal 21 Mei 2015)

33

Hariadi, Sri Santuti & Suryanto, Bagong, Anak-Anak Yang Dilanggar Hanya. Potret Sosial Anak Rawan Di Indonesia Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Surabaya, Lutfansah Mediatama, 2001, hal 67

orang pada kumpulan masyarakat pada umumnya. Gelandangan dan Pengemisan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka yang menggelandang dan mengemisan karena malas dalam bekerja. Gelandangan dan pengemisan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas.

Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out

of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi

generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa. Gelandangan dan pengemisan adalah salah satu kelompok yang terpinggirkan dari pembangunan, dan di sisi lain memiliki pola hidup yang berbeda dengan masyarakat secara umum. Mereka hidup terkonsentrasi di sentra-sentra kumuh di perkotaan. Sebagai kelompok marginal, gelandangan dan pengemis tidak jauh dari berbagai stigma yang melekat pada masarakat sekitarnya. Stigma ini mendeskripsikan gelandangan dan pengemisan dengan citra yang negatif. Gelandangan dan pengemisan dipersepsikan sebagai orang yang merusak pemandangan dan ketertiban umum seperti kotor, sumber kriminal, tanpa norma, tidak dapat dipercaya, tidak teratur, penipu, pencuri kecil-kecilan, malas, apatis, bahkan disebut sebagai sampah masyarakat.

Pengemisan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Permasalahan pengemisan, gepeng, dan anak jalanan sebenarnya hanyalah turunan dari permasalahan kemiskinan. Selama persoalan kemiskinan belum teratasi jumlah pengemis, gepeng, dan anak jalanan tidak akan pernah berkurang malah jumlahnya akan semakin bertambah.34

Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 1980 Pasal 2, kebijakan dibidang penanggulangan gepeng merupakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan pada kebijakan yang telah digariskan oleh Pemerintah, dalam menetapkan kebijakan tersebut Menteri dibantu oleh sebuah badan koordinasi yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan Keputusan Presiden. Penertiban gelandangan dan pengemisan telah diatur dalam Kepres Nomor 40 tahun 1983 Tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemisan, dalam keputusan bersama antara Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan dan Menteri Sosial dengan nomor SKB. 102/MEN/1983 tentang penyelenggaraan Transmigrasi yang dikaitkan dengan pengentasan penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan kekota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukin para

34

urban tersebut, sulit dan terbatasnya pekerjaan yang tersedia serta terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan pendidikan menyebabkan mereka banyak mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi gelandangan dan pengemisan. Kementerian Sosial terus berupaya untuk mengurangi tingkat populasi Gepeng dan anak jalanan, tahun 2011 pemerintah berusaha untuk lebih mengedepankan upaya penanggulangan kedua pokok permasalahan tersebut, di Indonesia terdapat sekitar 30 juta orang penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), yang terbagi dalam 22 kelompok, salah satunya adalah anak jalanan, telantar, gelandangan, dan pengemisan (gepeng) yang jumlahnya sekitar 3 juta jiwa.35

Wanita Tuna Susila (WTS) Pelacur berasal dari bahasa latin yaitu Pro-

stituere atau Pro-stauree, yang berarti memberikan diri berbuat zinah, malakukan

persundelan, percabulan. Sedang prostitute adalah pelacur atau sundel.36

Apabila dilihat secara luas dengan memperhatikan aspek dasarnya dari prostitusi ialah menyangkut perbuatan yang tidak sesuai denga nilai-nilai social. Tuna susila atau tidak bersusila itu diartikan sebagai kurang beradab atau karena keroyalan relasi seksualnya, dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laki-laki untuk memuaskan, dan mendapat imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya. Tuna susila itu juga bisa diartikan sebagai: salah tingkah, tidak susila atau gagal menyesuaikan diri terhadap norma-norma susila. Maka pelacur itu adalah wanita yang tidak baik berperilaku dan bisa mendatangkan celaka dan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya maupun kepada dirinya sendiri.

35

Ibid

36

Para ahli telah mendebatkan dan mendefinisikan tentang prostitusi diantaranya S. Ismail Asyari menyatakan prostitusi sama dengan zinah. Prostitusi ialah perempuan yang menyerahkan raganya kepada laki-laki untuk bersenang-senang, dengan menerima imbalan yang ditentukan. Prostitusi itu adalah perbuatan zina, karena perbuatan itu diluar perkawinan yang sah. Pernyataan kedua ahli tersebut lebih berdasarkan pada tinjauan agama. Secara umum prostitusi adalah hubungan laki-laki dan perempuan dalam hal pemuasan seks, dari perbuatan aitu pihak perempuan menerima bayaran baik ditentukan sebelumnya maupun tidak.37

B. Faktor yang mengakibatkan terjadinya Gelandangan dan Pengemisan

serta Praktek Tuna Susila di Kota Medan

Pekerja tuna susila adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual demi uang. Di Indonesia Wanita Malam (pekerja seks komersial) sebagai pelaku wanita pemikat lelaki hidung belang untuk memuaskan nafsu birahinya. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan pekerja seks komersial itu sangat begitu buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat. Mereka kerap dihina, dicaci maki, bahkan jadi cemohan bagi semua orang yang benci terhadap mereka. Bila tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka direhabilitasi dan diberikan penyuluhan. Pekerjaan seks komersial sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau, ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa.

37

Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan (evil necessity).

Fenomena pengemisan yang menjadi bagian dari fakta sosial kehidupan tidak lantas dari faktor-faktor yang melatar belakangi seseorang tersebut mengemis atau meminta-minta dihadapan calon dermawannya. Banyak yang menyatakan faktor ekonomilah yang menjadi factor utama mengemis, namun sebenarnya tidak hanya itu. Karena pengemisan memiliki tujuannya masing- masing yang dipengaruhi oleh mental, akal pikiran dari pengemis terkait.

Secara lebih rinci, dalam prakteknya ada lima jenis pengemis yang disebabkan karena keterbatasan aset dan sumber ekonomi, rendahnya mutu mental seperti rasa malu dan spirit mandiri yang kurang. Dan faktor-faktor yang menjadi penyebabnya mengemis, diantaranya sebagai berikut :

1. Mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali. Mengemis dikarenakan tidak berdaya baik dari segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.

2. Mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, mulanya mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan

mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.

3. Mengemis musiman, misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari pengemisan temporer menjadi pengemis permanen.

4. Mengemis karena miskin mental, mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya.

5. Mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat, sudah semacam organisasi tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis “anggota” setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi “profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri.38

Hal yang menjadi faktor timbulnya gelandangan dan pengemis, yaitu : a. Faktor Intern

1. Sifat Malas 2. Faktor Fisik

3. Faktor Psikis atau Kejiwaan 4. Mental yang tidak kuat b. Faktor Eksternal 1. Faktor Ekonomi 2. Faktor Geografi 3. Faktor Sosial 4. Faktor Pendidikan 5. Faktor Psikologis 6. Faktor Kultural

7. Faktor Keluarga dan Mental, dan 8. Kurangya dasar-dasar agama

C. Dampak Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila dalam Pembangunan Nasional

Bertitik tolak kepada pengertian dan ciri-ciri serta tingkah pola, cara hidupnya, serta perbuatannya memang bukan mustahil kalau adanya gelandangan dan pengemis ini akan membawa ekses. Secara sepintas saja sudah dapat dilihat yaitu: menganggu keindahan lingkungan belum lagi ditinjau dari segi

38

Sjafri mangkuprawira/ Mengapa menjadi pengemis/

kesehatan.Secara keseluruhan dapat pula mempengaruhi lajunya pembangunan bangsa. Ekses-ekses yang timbul karena gelandangan dan pengemis, ialah :

1. Mempengaruhi lajunya pembangunan. 2. Menganggu keindahan lingkungan hidup.

Dokumen terkait