• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobentos

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Variabel Biotik

3.1.1 Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobentos

Berdasarkan jumlah makrozoobentos yang diperoleh pada setiap lokasi penelitian (Lampiran G) maka didapatkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran seperti terlihat pada Tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2 Kepadatan Populasi (ind/m2), Kepadatan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran (%) Makrozoobentos di Setiap Lokasi Penelitian

No Genus

Lokasi I Lokasi II Lokasi III Lokasi IV

K (ind/m2) KR (%) FK (%) K (ind/m2) KR (%) FK (%) K (ind/m2) KR (%) FK (%) K (ind/m2) KR (%) FK (%) 1 Anodontoides - - - 1,48 3,70 13,33 1,48 1,32 13,33 - - - 2 Boyeria 1,48 4,35 13,33 0,74 1,85 6,66 - - - - 3 Copelatus 2,22 6,53 20 - - - - 4 Cyrnellus - - - 87,40 78,16 86,66 - - - 5 Enalagma 0,74 2,17 6,66 0,74 1,85 6,66 - - - 6 Fusconaia 12,50 36,80 86,60 3,70 9,25 33,33 7,40 6,61 40 3,70 3,81 33,33 7 Gomphus 1,48 4,35 13,33 0,74 1,85 6,66 - - - 8 Goniobasis 4,44 13 40 2,96 7,40 26,6 3,70 3,30 33,33 - - - 9 Gyraulus 8,14 23,96 53,33 0,74 1,85 6,66 - - - - 10 Hellobdella 1,48 4,35 13,33 - - - 0,73 0,76 6,66 11 Hydrobia - - - 2,22 5,55 20 3,70 3,30 33,33 4,44 4,57 20 12 Limnodrillus 0,74 2,17 6,66 - - - - 13 Melanoides - - - 5,92 14,81 40 2,22 1,98 13,33 61,48 63,33 86,66 14 Ophiogomphus 0,74 2,17 6,66 - - - - 15 Palaemonetes - - - 11,85 12,22 40 16 Pila - - - 3,70 3,81 6,66 17 Pomatiopsis - - - 2,22 5,55 13,33 1,48 1,32 13,33 - - - 18 Thiara - - - 2,22 5,55 20 2,96 2,64 20 5,18 5,33 26,66 19 Tryonia - - - 16,25 40,70 93,33 1,48 1,32 13,33 - - - 20 Viviparus - - - 1,48 1,52 13,33 Total 33,96 99,85 259,9 39,93 99,91 286,56 111,82 99,95 266,64 92,57 95,35 233,3 Keterangan :

Lokasi I : Daerah bebas aktivitas Lokasi II : Daerah pembuangan pabrik es Lokasi III : Daerah pembuangan pabrik rokok Lokasi IV : Daerah pertanian

Berdasarkan Tabel 3.2 dapat dilihat bahwa nilai kepadatan total makrozoobentos yang diperoleh semakin ke hilir semakin tinggi sedangkan keanekaragaman makrozoobentos semakin rendah. Lokasi I memiliki nilai kepadatan total 33,96 ind/m2 dengan jumlah genus 10, lokasi II memiliki nilai kepadatan total 39,93 ind/m2 dengan jumlah genus 12, lokasi III memiliki nilai kepadatan total 111,82 ind/m2 dengan jumlah genus sembilan, dan lokasi IV memiliki nilai kepadatan 92,57 ind/m2 dengan jumlah genus delapan. Hal ini disebabkan lokasi I dan II memiliki ekosistem yang cenderung stabil sehingga ditemukan keanekaragaman makrozoobentos yang lebih banyak dengan jumlah populasi merata sedangkan lokasi III dan IV memiliki ekosistem yang cenderung tidak stabil sehingga ditemukan keanekaragaman makrozoobentos yang sedikit dan beberapa genus dijumpai dalam jumlah populasi yang sangat banyak atau mendominasi karena memiliki daya toleransi yang tinggi

terhadap perubahan faktor fisik kimia perairan seperti genus Cyrnellus pada lokasi III dan Melanoides pada lokasi IV. Nilai kepadatan populasi akan mempengaruhi nilai kepadatan total populasi makrozoobentos pada setiap lokasi. Keanekaragaman makrozoobentos menurun seiring dengan perubahan variabel abiotik yang meliputi penurunan pH air, DO, kejenuhan oksigen dan intensitas cahaya serta peningkatan BOD5 dan COD.

Darmono (2001, hlm: 7) mengatakan bahwa suatu spesies organisme tidak dapat hidup tersebar di mana-mana, karena spesies tersebut mempunyai batas toleransi tertentu terhadap suatu variasi kondisi fisik kimia tertentu. Pada setiap individu hewan dalam satu populasi dapat terjadi perbedaan toleransi karena adanya perbedaan genetik, umur, dan status kesehatan. Misalnya, perbedaan daya tahan terhadap panas atau toksik kimiawi satu individu akan berbeda dengan lainnya dalam suatu ekosistem. Pada suatu kondisi optimum dari faktor abiotik, terdapat sejumlah organisme yang dapat hidup secara normal. Sedikit di bawah atau di atas batas optimum juga masih ditemukan organisme yang mampu hidup normal walaupun dalam jumlah yang sedikit. Keberadaan atau banyaknya populasi dan distribusi dari suatu spesies organisme dalam suatu ekosistem bergantung pada daya toleransi spesies tersebut terhadap satu atau beberapa faktor kondisi fisik ataupun kimiawi dalam ekosistem tersebut. Perubahan faktor abiotik yang melampaui ambang batas toleransi dari komponen biotik dapat mengakibatkan musnahnya suatu spesies biotik yang hidup dalam lingkungan bersangkutan. Suatu faktor kimia berpengaruh terhadap perubahan faktor fisik dalam ekosistem, begitu juga sebaliknya.

Genus Fusconaia dari kelas Bivalvia memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran tertinggi pada lokasi I sebesar 12,5 ind/m2, 36,80 %, dan 86,60 %. Hal ini karena substrat dasar lokasi I berupa batu-batu besar dan pasir sehingga mendukung pertumbuhan populasi Fusconaia. Menurut Hutchinson (1993, hlm: 131) genus Fusconaia melimpah pada perairan dengan substrat dasar pasir. Suriani (2008, hlm: 11) mengatakan bahwa keragaman dan kerapatan Fusconaia paling tinggi pada daerah tanpa pemukiman dan lebih rendah pada daerah pemukiman penduduk. Daerah-daerah yang berpenduduk memiliki daya pencemar yang berlebih sehingga terjadi penurunan jumlah jenis Fusconaia.

Genus Enalagma, Limnodrillus, dan Ophiogomphus memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran terendah pada lokasi I sebesar 0,74 ind/m2, 2,17 %, dan 6,66 %. Hal ini disebabkan jumlah yang didapatkan dari lokasi ini sedikit. Kondisi fisik perairan khususnya substrat yang berupa batu-batu besar dan pasir tidak mendukung pertumbuhan genus-genus tersebut. Kecepatan arus yang cukup tinggi yakni 1,5 m/s (Tabel 3.5) juga menghambat pertumbuhan genus- genus tersebut.

Genus Limnodrillus hanya ditemukan pada lokasi I disebabkan pada tepi sungai terdapat bangkai ikan yang sudah membusuk. Limnodrillus menguraikan bangkai tersebut untuk memperoleh zat-zat organik sebagai nutrisinya. Wargadinata (1995, hlm: 34) menjelaskan bahwa kelas Tubificidae khususnya dari genus Limnodrillus mempunyai habitat di dasar perairan dengan substrat lumpur dan banyak mengandung bahan-bahan organik. Kelas Tubificidae merupakan organisme dasar perairan yang bersifat detritus feeder yakni menguraikan bahan-bahan organik yang disuplai oleh lingkungannya. Hasil penguaraian bahan-bahan organik tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.

Menurut Budiman (1984) dalam Heryanto (2008), kelas insekta lebih menyukai kondisi lingkungan yang bersih dan belum tercemar untuk proses perkembangannya, khususnya insekta akuatik. Enalagma dan Ophiogomphus yang termasuk dalam ordo Odonata (dragonflies) merupakan insekta hemimetabola. Larva hidup di air dan perilakunya sangat berbeda dengan hewan dewasa. Bentuk dewasa terbang dan terlihat jelas, seringkali dengan warna-warna terang, dan lebih aktif dibandingkan kebanyakan insekta air yang hidup di darat (teresterial). Kondisi ini sebenarnya dipengaruhi banyak hal diantaranya keadaan air, besar kecilnya arus air, dan faktor-faktor ekologi lain (Ward, 1992).

Genus Tryonia memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran tertinggi pada lokasi II sebesar 16,25 ind/m2, 40,70 %, dan 93,33 %. Hal ini karena kondisi lingkungan perairan yang sesuai untuk pertumbuhan Tryonia yaitu substrat berupa lumpur berpasir dengan kandungan organik 3,274 %

(Tabel 3.5). Tugiyono (2007, hlm: 573) menjelaskan bahwa kelas Gastropoda pada genus Tryonia populasinya melimpah pada lokasi yang memiliki kandungan organik yang tinggi sebagai nutrisi bagi genus tersebut. Menurut Koesbiono (1979, hlm: 27) kadar organik adalah suatu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan jumlah populasi hewan bentos sebagai organisme dasar meningkat.

Genus Boyeria, Enalagma, Gomphus, dan Gyraulus memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran terendah pada lokasi II sebesar 0,74 ind/m2, 1,85 %, dan 6,66 %. Hal ini karena kondisi lingkungan di daerah ini kurang mendukung terhadap kehidupan genus-genus tersebut seperti kandungan organik substrat yang tinggi yaitu sebesar 3,275 % (Tabel 3.5) dan didukung oleh faktor persaingan dengan genus-genus lain yang lebih tinggi kepadatannya misalnya genus Tryonia dan Gyraulus bersaing dalam perebutan makanan dan tempat tinggal. Faktor ini tentu saja dapat menekan jumlah kepadatan makrozoobentos yang tidak mampu bersaing dengan genus-genus lainnya. Kimbal (1999, hlm: 1038) mengatakan bahwa bila dua atau lebih spesies bergantung pada sumber tertentu dalam lingkungannya, maka mereka saling bersaing untuk mendapatkan sumber makanan tersebut. Sumber yang paling sering diperebutkan adalah makanan, tetapi dapat pula hal-hal seperti tempat berlindung, tempat bersarang, sumber air dan tempat yang disinari matahari atau biasa disebut niche.

Genus Cyrnellus memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran tertinggi pada lokasi III sebesar 87,40 ind/m2, 78,16 %, dan 86,66 %. Hal ini disebabkan kondisi fisik kimia lokasi III mendukung pertumbuhan Cyrnellus. Pada lokasi III terdapat substrat seperti batu-batu besar yang permukaannya yang ditumbuhi oleh lumut yang merupakan habitat genus ini. Kandungan substrat organik yang tinggi sebesar 1,146 % (Tabel 3.5) juga mendukung kehidupan genus ini sehingga populasinya sangat melimpah pada lokasi III.

Menurut Mahida (1986) dalam Lestari (2008), beberapa jenis larva insekta akuatik membutuhkan nutrisi yang tinggi sebagai pendukung pertumbuhannya. Larva insekta akuatik seperti Cyrnellus yang memiliki habitat menempel pada tumbuhan air,

lumut, atau pada lubang-lubang batu yang berada pada dasar perairan. Larva Cyrnellus membutuhkan senyawa-senyawa organik sebagai nutrisi yang mendukung perubahannya menjadi insekta dewasa berlangsung dengan baik.

Genus Anodontoides, Pomatiopsis, dan Tryonia memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran terendah pada lokasi III sebesar 1,48 ind/m2, 1,32 %, dan 13,33 %. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang tidak mendukung kehidupan genus-genus tersebut. Kecepatan arus yang tinggi yakni 2 m/s dan nilai BOD5 sebesar 0,9 mg/l (Tabel 3.5) tidak mendukung pertumbuhan genus-

genus tersebut.

Menurut Michael (1994, hlm: 168), organisme air yang mempunyai toleransi luas terhadap arus yang tinggi akan melimpah jumlahnya sedangkan yang tidak toleran akan sedikit jumlahnya. Anodontoides, Pomatiopsis, dan Tryonia termasuk dalam Filum Moluska yang cenderung menyukai perairan dengan arus yang relatif tenang karena mendukung pergerakannya dan substrat dasar berupa pasir.

Genus Melanoides memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran tertinggi pada lokasi IV sebesar 61,48 ind/m2, 63,33 %, dan 86,66 %. Temperatur sebesar 28 oC (Tabel 3.5) mendukung pertumbuhan genus ini. Menurut Hartoto (1986: hlm: 156), genus Melanoides dapat bertahan hidup dan bertumbuh dengan maksimal pada perairan dengan suhu sekitar 28 – 29 oC dan relatif menyukai substrat berupa pasir dan batu-batu. Secara umum Melanoides mempunyai toleransi yang baik terhadap kekeringan dan mampu bertahan pada perairan dengan pH di bawah 7,5.

Genus Hellobdella memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran terendah pada lokasi IV sebesar 0,73 ind/m2, 0,76 %, dan 6,66 %. Substrat lokasi IV yang berupa pasir tidak mendukung kehidupan genus ini. Wargadinata (1995, hlm: 311) menjelaskan bahwa kelas hirudinea khususnya genus Hellobdella mempunyai habitat di perairan yang berbatu-batu dan mempunyai vegetasi yang banyak sebagai tempat menempel.

Ada beberapa genus makrozoobentos yang terdapat hanya pada satu lokasi misalnya Copelatus, Limnodrillus, dan Ophiogomphus pada lokasi I, Cyrnellus pada lokasi III, Palaemonetes, Pila, dan Viviparus pada lokasi IV. Hal ini disebabkan kisaran toleransi genus tersebut sangat sempit terhadap kondisi fisik kimia perairan sehingga hanya dapat hidup pada habitat tertentu yang mendukung kehidupannya.

Desmukh (1992, hlm: 246) menyatakan bahwa dalam komunitas alami biasanya ada beberapa jenis yang melimpah dan banyak jenis yang jarang. Suin (2002, hlm: 136) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan turut menentukan laju populasi. McNaughton (1990, hlm: 64) menjelaskan bahwa kepadatan populasi yang mantap (Steady State Density) umunya disebut daya dukung (Carrying Capacity) lingkungan, secara langsung sebanding dengan jumlah sumber-sumber alam yang tersedia.

Dokumen terkait