• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPEMIMPINAN ALA HINDU

Dalam dokumen Hindu kelas 7 (Halaman 50-54)

Astabrata Kepemimpinan Ala Hindu Posted on Februari 21, 2011 by pmhdwarmadewa

IV. KEPEMIMPINAN ALA HINDU

Dalam konteks Hindu sebagai sebuah teori kebenaran (agama), terdapat banyak pengetahuan hakiki yang mengandung nilai filsafat, dan kemudian menjadi tuntunan serta pedoman dalam menapak segala aspek kehidupan di bumi ini. Tentu, dalam hal ini yang paling beruntung adalah manusia, karena konon manusia yang paling cerdas di antara mahluk ciptaan Tuhan serta dapat memanfaatkan semua anugrah yang berupa tuntunan dan pedoman hidup ini, yang sekaligus mampu mengatur, mengendalikan, termasuk ‘mempermainkan’ alam dan kehidupan ini dengan segala kesombongan serta keserakahannya.

Dalam ajaran Hindu, banyak sekali terdapat tuntunan yang merupakan rambu dalam tatanan kehidupan agar tercapainya kedamaian yang dipakai oleh para peminpin Hindu, seperti Kepemimpinan Tri Kaya Parisudha, Panca Me, Sila-sila, Asta Brata, Asta Dasa Paramiteng Prabhu, Panca Stiti Dharmaing Prabhu, dan lain sebagainya.

Namun sesungguhnya kepemimpinan itu harus dimulai dari diri sendiri, setiap orang wajib melaksanakan kepemimpinan itu, lebih-lebih bagi seorang pejabat atau orang yang

berpredikat sebagai pemimpin maupun pimpinan, seperti kutipan yang mengawali Asta Brata berikut ini,

Nihan kramani dening angdani rat, awakte rumuhun warah ring hayu Telaste mapageh magem agama, teke rikang amatya mantra tumut. Arti bebasnya

Beginilah seharusnya tata krama seorang pemimpin dalam menjaga kelestarian jagat. Dirimu sendirilah terlebih dahulu dinasihati dengan nilai-nilai kebenaran / agama.

Setelah dirimu mengerti akan kebenaran, dan melaksanakan kebenaran itu, niscaya bawahan dan masyarakatmu akan percaya dan mengikuti perintahmu.

Prayatna ring ulah atah ngwang prabhu, maweha tuladan tiruning sarat Yaning salah ulah sasar rat kabeh, pananda pada sang mawang rat tinut Arti bebasnya

Seorang pemimpin harus hati-hati bertingkah laku, agar memberi teladan yang benar untuk ditiru oleh anggota / masyarakat.

Apabila salah berperilaku, maka kacaulah masyarakat dan dunia ini, karena sang pemimpin akan ditiru oleh masyarakat.

Dalam tuntunan kepemimpinan berdasarkan teori Asta Brata yang bersumber dari kakawin atau Epos Agung Ramayana. Kalau tidak salah, tiga moment penting dalam wiracarita itu menyinggung serta menjelaskan tentang ajaran kepemimpinan Asta Brata, dan itu berarti bahwa betapa penting dan luhurnya ajaran ini.

Secara jelas diceritakan ketika Sang Barata, adik tiri dari Sang Ramadewa datang menghadap kakandanya yang sedang ‘ngalas’ karena mengalah dari perebutan jabatan raja. Dan Sang Barata memohon agar Sang Rama sudi kembali ke Ayodiapura untuk menjadi raja, karena Barata yang dipaksakan oleh ibundanya Dewi Kekayi untuk menjadi raja merasa tidak mampu.

Nah, di sini Sang Ramadewa menunjukkan keagungan dan kebijaksanaannya, berpesan agar Barata mau mengikuti kehendak ibundanya sebagai wujud bakti terhadap orang tua, dan beliau menganugrahkan nasihat kepada adiknya, bahwa dalam memangku jabatan sebagai pemimpin ia harus menganut sifat-sifat dewata agar sukses dan dihormati. Ajaran nasihat itu diberi nama ‘Asta Brata’ yaitu delapan sifat dewa yang harus dipahami dan dilaksanakan dengan taat.

Ajaran ini juga tersirat ketika Sang Gunawan Wibisana merasa ragu saat ditunjuk menjadi raja di Alengkapura oleh Sri Rama setelah Prabhu Rahwana kalah, karena yang akan dipimpinnya adalah para raksasa. Di sini nasihat dan petuah ‘Asta Brata’ dari Sri Rama memantapkan hatinya untuk menjadi raja, karena ia yakin Asta Brata yang merupakan sifat- sifat dewata ‘Daiwi Sampath’ akan mampu mengatasi sifat-sifat raksasa yaitu ‘Ashuri Sampath’.

Nuansa Asta Brata juga terlihat ketika Sang Gunawan Wibisana sambil menangis sedih ‘membesuk’ kakaknya yang sekarat terjepit dua bukit karena dihukum dewata setelah

dikalahkan dalam perang oleh Sang Rama Dewa dengan pasukan keranya. Dalam nasihatnya, Sang Gunawan Wibisana mengkritik kakaknya yang dalam menjalankan kepemimpinan sebagai raja Alengkapura, selalu bersikap angkuh, sombong, otoriter, selalu mencari pembenaran pribadi, dan jauh dari nilai-nilai kebenaran sejati (agama).

Kemudian dia menyiratkan pola kepemimpinan yang dianut oleh Sang Rama Dewa, di mana beliau terkenal sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, dihormati, dan dicintai oleh rakyatnya serta disayangi oleh para dewata. Pola kepemimpinan yang dijalankan oleh beliau dengan mencontoh delapan sifat-sifat dewata yang disebut dengan Asta Brata, seperti kutipan berikut ini;

Lawan sire kinonaken katwange, apan hana bethara mungwing sire

Wolung hyang apupul yariawak sang prabhu, dumeh sire maha prabhawa sama. Arti bebasnya

Beliau Sang pemimpin yang agung patut dihormati, karena ada dewata yang mengayomi beliau.

Delapan Dewata berkumpul di jiwa beliau, itu sebabnya beliau sangat beribawa dan disegani. Hyang Indra, Yama, Surya, Candra, Nila, Kuwera, Baruna, Gni nahan Wolu.

Sire tamake angge sang Bhupati, matang nire ninisti Asta Brata. Arti bebasnya

Hyang Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni itu lengkap ada delapan jumlahnya.

Kedelapan dewata tersebut adalah jiwa sang pemimpin, dan itu berarti sang pemimpin (pasti) melaksanakan asta brata.

Kedelapan dewata beserta sifat beliau yang termasuk dalam ajaran Asta Brata tersebut adalah sebagai berikut :

1. Brata Hyang Indra, beliau adalah dewa hujan, menciptakan air, air kehidupan dan

memberikan kesejukan bagi mahluk di alam ini, di samping itu air selalu mengalir ke tempat lebih rendah yang menunjukkan bahwa sifat rendah hati serta mengayomi rakyat kecil, air berasal dari bawah kemudian naik ke angkasa berupa uap bersatu dalam bentuk mendung, lalu turun lagi dalam bentuk hujan.

Seorang pemimpin harus sadar bahwa ia berasal dari rakyat, ketika berkuasa dia harus benar- benar mengabdi demi kepentingan rakyat yang dipimpinnya, sebab suatu saat dia pasti akan kembali lagi sebagai rakyat. Juga kalau diperhatikan, putaran kucuran air pancuran di telaga selalu berputar ke kanan, itu bermakna baik (kanan) bahwa seorang pemimpin harus berpikir, berkata, dan berbuat yang positif. Air juga mampu membersihkan dan mensucikan noda-noda dunia.

Namun di balik itu air juga menyimpan kekuatan yang maha dahsyat, mampu

menghempaskan dan menghanyutkan apa saja, ingat Dwarawati negaranya Prabhu Kresna musnah karena (air bah) banjir, ingat pula Aceh, Wasior dan tempat-tempat lainnya yang diluluhlantakkan oleh air.

2. Brata Hyang Yama, beliau adalah seorang Hakim Agung yang selalu menjatuhkan

hukuman bagi orang yang bersalah dan pelaku kejahatan, lebih-lebih kejahatan yang sampai membuat rusak alam beserta kehidupan ini. Segala bentuk kejahatan dan eksploitasi terhadap hidup dan kehidupan ini selalu dihukumnya secara adil sesuai perbuatannya (karma-pahala). Beliau amat tegas dan tidak pandang bulu, tidak tebang pilih dalam menjalankan tugas (menghukum).

3. Brata Hyang Surya, adalah sinar dan penerangan dalam kehidupan ini. Dengan sinarnya beliau mengisap air yang diciptakan oleh Hyang Indra secara perlahan dan mengubahnya menjadi energi kehidupan bagi semua mahluk. Beliau adalah saksi dari segala perbuatan manusia. Di samping itu beliau sangat taat akan waktu dan tepat waktu (on time), dan tidak pernah berhenti ‘bekerja’ menyinari alam sepanjang waktu. Seorang pemimpin harus mampu berperilaku seperti matahari serta menjadi inspirasi, energi untuk memotivasi dan menjadi contoh desiplin kepada bawahannya.

4. Brata Hyang Candra (Rembulan), sikap dan penampilan cahaya beliau yang halus dan menyejukkan dengan senyum yang amat manis, begitu teduh bak tersiram air surgawi bagi yang menikmati sinarnya. Di samping itu dengan kelemahlembutan sinar beliau mampu memberi penerangan dan tuntunan bagi orang yang sedang tersesat dalam kegelapan. Seorang pemimpin harus mampu menciptakan kesejukan dan kenyamanan suasana, mampu memberi tuntunan dan pencerahan bagi orang sedang khilaf.

5. Brata Hyang Bayu, ibarat angin beliau ada di mana-mana dan selalu mengawasi keadaan demi ketentraman kehidupan mahluk dan alam semesta ini. Di samping itu beliau adalah nafas kehidupan bagi semua mahluk hidup. Seorang pemimpin yang baik harus selalu

waspada, tahu keadaan yang sebenarnya, dan mengerti kebutuhan-kebutuhan dasar rakyatnya sehingga pemimpin ibarat nafas bagi rakyat. Tetapi apabila Sang Bayu murka, apapun tidak mampu menahan tiupan beliau. Ingat El Nino atau puting beliung yang mampu

menghancurkan serta menerbangkan pohon-pohon dan rumah-rumah besar.

6. Brata Hyang Kuwera, beliau menyiapkan segala macam makanan, minuman dan kesenangan. Kesejahteraan dan kebahagiaan bagi mahluk adalah tujuan beliau dengan menyediakan sandang pangan dan papan serta keindahan untuk dinikmati oleh semua mahluk hidup. Seorang pemimpin harus mampu memberikan kesejahteraan, kesenangan, dan

kebahagiaan kepada rakyat. Tidak boleh egoistis, maunya enak sendiri dengan menelantarkan rakyat, itu perilaku korup namanya sebab rakyat berhak juga menikmati kesejahteraan dan kebahagiaan.

7. Brata Hyang Baruna dengan senjata saktinya yang bernama Naga Pasa, beliau selalu mengikat kejahatan agar tidak sampai berkeliaran, mengikat niat-niat jahat agar tidak sampai membuat kejahatan yang dapat membahayakan dunia ini. Seorang pemimpin harus selalu waspada, tidak lengah, dan bertindak preventif terhadap hal-hal yang membahayakan. Bukankah tindakan pencegahan jauh lebih bijaksana daripada penyelesaian masalahnya, karena lebih efektif dan efisien.

8. Brata Hyang Agni, beliau adalah dewa api yang mampu menghanguskan kejahatan. Setiap kejahatan adalah musuh yang harus dibakar dan dihanguskan, tidak ada kejahatan yang mampu menahan panas api beliau. Di samping itu beliau memiliki semangat yang tinggi dan berwawasan luas, ibarat kobaran api selalu membubung ke atas dan asapnya menyebar di angkasa. Spirit dewa api harus diteladani oleh sorang pemimpin, harus tegas terhadap kejahatan bila perlu dimusnahkan. Selalu bersemangat dan memiliki wawasan yang luas, caranya tentu dengan banyak belajar.

Demikianlah hendaknya perilaku seorang pemimpin, ia selalu mengutamakan kemuliaan dengan mencontoh dan mengamalkan sifat-sifat kedelapan dewata tersebut. Pemimpin yang bijaksana akan malu dan merasa tidak berguna bila tidak mampu menjalankan

negaranya/organisasinya serta mengayomi dan membahagiakan hati rakyatnya. Dia akan selalu berusaha menyenangkan hatinya sendiri dengan jalan mengabdi dengan tulus

‘melayani’ rakyatnya (mengawe sukane wong len) sehingga rakyat yang dilayaninya menjadi bahagia. Ibarat manik, intan, atau mutiara, permata pada cincin emas yang indah, dapat menyenangkan hati pemakai dan yang memandanginya.

V. PENUTUP

Sebagai seorang pemimpin yang arif dan bijaksana, tuntunan teori/ajaran Asta Brata ini tentu dapat dipahami atau minimal sebagai ilham/inspirasi serta sedapat mungkin diaplikasikan secara riil dalam aktivitasnya di suatu komunitas atau organisasi apapun, sepanjang kita mau dan mampu memaknai ajaran luhur tersebut.

Tambahan pengetahuan ini sudah pasti akan sangat bermanfaat terutama dalam tugas kita sebagai pemimpin atau pimpinan, minimal untuk memimpin diri sendiri. Semoga.

Bahan Bacaan

Ric Estrada (Alih Bahasa : Tatang Setia M.), Kepemimpinan Dalam Konperensi (Confrence Leadership), Jakarta : 1982

Simanhadi Widyaprakoso, Kepemimpinan (Materi Diklatsar Metodologi P2M Univ. Jember) Widnyana, Kepemimpinan dan Sosiologi Pedesaan (Materi Pembekalan KKN Unwar 88/89) ______________, Kakawin Ramayana, (Proyek Terjemahan: Dinas P&K Prop.Bali 1986) ______________, Majalah, Koran, dan sumber lain yang terkait.

BEBERAPA HAL YANG JUGA PERLU DIPERHATIKAN TAHU DIRINYA TAHU…..TIDAK TAHU DIRINYA TAHU

TAHU DIRINYA TIDAK TAHU….TIDAK TAHU DIRINYA TIDAK TAHU

• Seseorang yang cerdik cendekiawan, tahu dan menyadari dirinya berpengetahuan tinggi, kepada orang

itulah kita patut bertanya dan minta nasihat (berguru).

• Bertemu dengan orang yang tidak menyadari dirinya cerdas, pintar, dan berpengetahuan, ingatkanlah

kepadanya bahwa di dalam dirinya tersimpan potensi luar biasa yang bermanfaat bagi umat manusia.

• Hormatilah orang yang tahu dirinya bodoh dan mengakui kebodohannya, karena orang tersebut adalah

orang jujur.

• Berhadapan dengan orang yang bodoh tapi sok tahu, atau orang pintar yang pura-pura bodoh,

menjauhlah dari orang tersebut wahai putra Pandu, karena orang tersebut sangat berbahaya serta

menjadi sumber bencana bagi hidup dan kehidupan ini. (Bhagawadghita). Puri, pura, para, purana, puruhita

(Konsep Kepemimpinan A.A. Ngr. Gede Kusuma Wardana)

• Seorang pemimpin yang ingin rakyat dan negaranya aman sentosa hendaknya melaksanakan P-5 dan mengembangkannya secara harmonis. P-5 tersebut adalah : Puri, Pura, Para, Purana, dan Parempuan. Puri artinya benteng kerajaan (negara) dan istana raja sebagai pusat

kepemimpinan, karena di sana ada raja (pemimpin). Pura adalah benteng keyakinan, spiritual, kepercayaan terhadap yang maha segalanya. Para adalah bawahan yang menjunjung

pemimpin, rakyat yang dianggap saudara (para semeton). Purana adalah benteng moral, karena memuat segala aturan, norma dan hukum yang berlaku serta dijalankan dengan baik, adil dan bijaksana. Dan yang terakhir adalah Puruhita. Sebagai manusia biasa yang penuh dengan keterbatasan, seorang pemimpin harus menyadari betapa pentingnya sebuah nasihat. Tentu nasihat yang dapat memberikan solusi yang baik ketika mengalami masalah. Nasihat ini biasanya datang dari kaum arif bijaksana seperti para Rsi, para Empu, Begawan sebagai penasihat raja (Bagawanta). Janganlah malu dan merasa diri hina minta nasihat kepada siapapun, karena nasihat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mendapatkan keputusan yang sebaik-baiknya. Keharmonisan hubungan Pimpinan (Puri), Tuhan (Pura), Rakyat (Para), Norma, Hukum (Purana), dan Orang Bijak (ParaEmpuan) niscaya akan menciptakan negara yang aman sentosa (gemah ripah loh jinawe).

Seorang Raja (Puri) sebagai pusat kepemimpinan, senantiasa mengadakan hubungan baik dengan Tuhan (Pura) dan rakyatnya (Para). Dalam menjalankan kepemerintahan serta menjaga keharmonisan hubungan ini, pemimpin (raja) berpedoman kepada purana yang memuat segala macam aturan demi keamanan dan ketertiban dalam segala hal. Pemimpin yang mempunyai kewenangan dalam mengelola negara dan rakyat, ia harus didampingi oleh seorang yang arif bijaksana (Parempuan) sebagai penasehat, agar sebelum mengambil suatu keputusan yang menentukan nasib bangsa dan negara, harus sudah melalui pertimbangan dan kajian yang mendalam untuk menghindari kesalahan yang fatal dan terkesan sewenang- wenang atau raja lalim. Kalau ini dapat dijalankan dengan baik (berputar ke kanan) akan menimbulkan bentuk swastika sebagai simbol keseimbangan dan keharmonisan, dari sini akan tercipta rasa cinta negeri, bela negara dengan nasionalisme yang tinggi.

Dalam dokumen Hindu kelas 7 (Halaman 50-54)

Dokumen terkait