• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di masa silam ketika belum ada kolonialisme dan negara, desa merupakan kesatuan masyarakat adat (self governing

community) yang dikelola berdasarkan pranata lokal.

Da-lam konteks paternalisme yang sangat kuat, kades adalah tetua desa yang mempunyai posisi sangat kuat dalam men-jalankan fungsi melindungi dan menyejahterakan warga desa. Karena itu fungsi sosial-ekonomi merupakan karakte-ristik dasar fungsi kades.

Tetapi ketika kolonialisme masuk di nusantara, fungsi sosial-ekonomi mulai bergeser ke ekonomi-politik. Pemer-intah kolonial mengendalikan penduduk dan tanah desa melalui berbagai cara: penundukan terhadap pemimpin lo-kal, sistem wajib penyerahan hasil tanaman, pengutan pajak tanah, maupun sistem tanam paksa. Para kades mendapat peran sentral dan menjadi ujung tombak sistem tanam paksa. Kades berwenang menentukan tanah yang akan di-tanami tebu maupun pengorganisasian penanaman dan pengerahan tenaga kerja untuk perkebunan. Kewenangan ini membuat kades bertambah kaya. Sejak masa kolonial it-ulah, fungsi sosial kades tetap masih bertahan, tetapi yang lebih menguat adalah posisi ekonomi-politik. Kades mem-punyai posisi ganda: sebagai pemimpin rakyat dan sebagai mandor kebun (Frans Husken, 1998).

Pada masa Orde Baru, dengan skema desa korporatis, posisi ekonomi-politik kades di Jawa sangat kuat. Ia dipilih langsung oleh rakyat untuk bertindak sebagai pamong desa,

serta mengatur alokasi kekuasaan dan kekayaan di desa. Negara menjadikan desa sebagai obyek regulasi dan pemba-ngunan, terbukti semua departemen, kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai proyek di desa. Pemerintah juga menempatkan kades sebagai alat negara dan ujung tom-bak politik dan pembangunan di desa. Secara politik kades merupakan “penguasa tunggal” desa yang tidak terkontrol rakyat. Secara ekonomi, para kades di Jawa relatif kaya bu-kan semata karena tanah bengkok, tetapi sistem birokrasi membiarkan para kades mengutip bantuan desa, uang ad-ministrasi dan proyek-proyek pembangunan.

Tetapi sejak 1998 posisi ekonomi-politik kades mengala-mi krisis yang serius. Di Jawa, mengala-misalnya, sejak Juli 1998, banyak kades bermasalah yang terkena “reformasi” (digul-ingkan) oleh rakyatnya sendiri. Ini menandai babak baru relasi antara kades dan rakyat. Rakyat semakin kritis dan akrab dengan jargon TPA (transparansi, partisipasi dan akuntabilitas). Para kades sangat sadar akan perubahan ini. Kehadiran UU No. 22/1999 sebenarnya hendak mengubah karakter desa korporatis menjadi karakter desa sipil, atau desa sebagai institusi publik yang otonom dan demokra-tis. UU ini mengurangi masa jabatan kepada desa seka-ligus mengurangi kekuasaan kepala desa, sekaseka-ligus mem-perkuat institusi representasi politik dalam bentuk Badan Perwakilan Desa (BPD). Karena itu posisi penguasa tunggal kades kian berkurang setelah lahir UU No. 22/1999. Kehad-iran Badan Perwakilan Desa (BPD) melembagakan kontrol politik terhadap kades. Sebagian besar kasus menunjukkan

telah terjadi hubungan yang konfliktual antara BPD dan kades. Kades tidak bisa lagi mengutip bantuan pemerintah, sehingga pendapatan mereka berkurang drastis.

Hubungan konfliktual antara kades dengan BPD itulah yang menjadi salah satu pengaruh revisi UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004. Undang-undang ini berupaya membangun karakter korporatis dan harmoni dalam sistem pemerintahan desa. BPD tidak lagi mencerminkan rep-resentasi rakyat dan kaum marginal, dan juga tidak lagi menjalankan fungsi check and balances terhadap kepala desa. Hubungan konfliktual kades-BPD pada masa UU No. 22/1999 berubah menjadi hubungan korporatis-harmoni pada masa UU No. 32/2004.

Menurut UU Desa, desa bukan sekadar pemerintahan desa, bukan sekadar pemerintah desa, dan bukan sekadar kepala desa. Namun kepala desa menempati posisi paling penting dalam kehidupan dan penyelenggaraan desa. Ia memperoleh mandat politik dari rakyat desa melalui sebuah pemilihan langsung. Karena itu semangat UU No. 6/2014 adalah menempatkan kepala desa bukan sebagai kepan-jangan tangan pemerintah, melainkan sebagai pemimpin masyarakat. Semua orang berharap kepada kepala desa bukan sebagai mandor maupun komprador seperti di masa lalu, sebagai sebagai pemimpin lokal yang mengakar pada rakyat. Artinya kepala desa harus mengakar dekat dengan masyarakat, sekaligus melindungi, mengayomi dan me-layani warga.

Legitimasi (persetujuan, keabsahan, kepercayaan dan hak berkuasa) merupakan dimensi paling dasar dalam kepemimpinan kepala desa. Sebaliknya seorang kepala desa yang tidak legitimate – entah cacat moral, cacat hukum atau cacat politik -- maka dia akan sulit mengambil inisi-atif dan keputusan fundamental. Namun legitimasi kepala desa tidak turun dari langit. Masyarakat desa sudah terbiasa menilai legitimasi berdasarkan dimensi moralitas maupun kinerja. Tanpa mengabaikan moralitas, kami menekankan bahwa prosedur yang demokratis merupakan sumber legit-imasi paling dasar (Cohen, 1997). Prosedur demokratis dan legitimasi ini bisa disaksikan dalam arena pemilihan kepala desa. Legitimasi kepala desa (pemenang pemilihan kepala desa) yang kuat bila ia ditopang dengan modal politik, yang berbasis pada modal sosial, bukan karena modal ekonomi alias politik uang. Jika seorang calon kepala desa memili-ki modal sosial yang kaya dan kuat, maka ongkos transaksi ekonomi dalam proses politik menjadi rendah. Sebaliknya jika seorang calon kepala desa miskin modal sosial maka untuk meraih kemenangan ia harus membayar transaksi ekonomi yang lebih tinggi, yakni dengan politik uang. Kepa-la desa yang menang karena politik uang akan melemahkan legitimasinya, sebaliknya kepala desa yang kaya modal so-sial tanpa politik maka akan memperkuat legitimasinya.

Legitimasi awal itu menjadi fondasi bagi karakter dan inisiatif kepemimpinan kepala desa. Selama ini saya membagi tiga tipe kepemimpinan kepala desa. Pertama, kepemimpinan regresif yakni karakter kepemimpinan yang

mundur ke belakang, bahkan bermasalah. Sebagian besar desa parokhial dan sebagian desa-desa korporatis meng-hasilkan karakter kepemimpinan kepala desa yang regresif ini. Mereka berwatak otokratis, dominatif, tidak suka BPD, tidak suka partisipasi, anti perubahan dan biasa melakukan

capture terhadap sumberdaya ekonomi. Jika desa dikuasai

kepala desa seperti ini maka desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera sulit tumbuh.

Kedua, kepemimpinan konservatif-involutif yang

ditan-dai dengan hadirnya kepala desa yang bekerja apa adanya (taken for granted), menikmati kekuasaan dan kekayaan, serta tidak berupaya melakukan inovasi (perubahan) yang mengarah pada demokratisasi dan kesejahteraan rakyat. Para kepala desa ini pada umumnya menikmati kekuasaan yang dominatif dan menguasai sumberdaya ekonomi untuk mengakumulasi kekayaan. Mereka tidak peduli terhadap pelayanan publik yang menyentuh langsung kehidupan dan penghidupan warga. Di sisi lain, sebagian besar kepala desa yang berkuasa di desa-desa korporatis juga menampilkan karakter konservatif-involutif. Mereka hanya sekadar men-jalankan rutinitas sehari-hari serta menmen-jalankan instruksi dari atas.

Ketiga, kepemimpinan baru yang inovatif-progresif

yang pro perubahan. Di berbagai daerah, kami menemukan banyak kepala desa yang relatif muda dan berpendidikan tinggi (sarjana), yang haus perubahan dan menampilkan karakter inovatif-progresif. Mereka tidak antidemokra-si, sebaliknya memberikan ruang politik (political space)

bagi tumbuhnya transparansi, akuntabilitas dan partisipa-si. Mereka mempunyai kesadaran baru bahwa komitmen kades terhadap nilai-nilai baru itu menjadi sumber legiti-masi bagi kekuasaan yang dipegangnya. Pembelajaran dan jaringan mereka dengan dunia luar semakin menempa kap-asitas dan komitmen mereka, sehingga mereka berperan be-sar mengubah desa korporatis menjadi desa sipil atau desa sebagai institusi publik yang demokratis. Mereka memper-baiki pelayanan publik, mengelola kebijakan dan pemban-gunan secara demokratis, serta menggerakkan elemen-el-emen masyarakat untuk membangkitkan emansipasi lokal dan membangun desa dengan aset-aset lokal.

Kontrol, Keseimbangan dan Akuntabilitas