• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyangkut konsistensi gaya kepemimpinan seseorang bersifat ”fixed” sehingga tidak berubah meskipun dihadapkan dengan kondisi yang berlainan dengan gaya kepemimpinannya. Kepemimpinan seseorang tidaklah berubah dalam menghadapi situasi yang bagaimanapun. Jika seseorang pada hakikatnya memiliki ciri-ciri kepemimpinan otokratik, gaya kepemimpinannya pun akan otokratik pula, terlepas dari situasi organisasional yang dihadapinya. Sebaliknya, jika seseorang yang berpandangan demokratik akan secara konsisten memiliki peran partisipatif meskipun situasi organisasonal yang dihadapinya sesungguhnya menunut gaya kepemimpinannya yang lain.

Gaya kepemimpinan seseorang yang bersifat situasional, dalam prakteknya pandangan ini berarti bahwa tidak ada seorang pemimpin yang sangat konsisten menggunakan satu gaya kepemimpinan tertentu terlepas dari situasi yang dihadapinya. Artinya efektifitas seseorang sangat tergantung pada kemampuannya membaca situasi yang dihadapinya dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan situasi tertentu, sehingga pemimpin yang efektif akan menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya.

Menurut teori situasional, seorang pemimpin yang paling otokratik sekalipun akan mengubah gaya kepemimpinannya yang otokratik itu dengan gaya lain, misalnya gaya yang agak demokratik, apabila situasi tertentu menurutnya untuk dipakai. Adanya sejarah yang memberikan banyak bukti mengenai pimpinan di Indonesia yang bersifat otokratik dan pada akhirnya mengalah pada tuntutan rakyat. Kepemimpinan situasional mengatakan seseorang yang biasanya mennggunakan gaya kepemimpinan yang demokratik mungkin saja bertindak otoriter apabila situasi menghendakinya, seperti pelanggaran kepada pegawai terhadap disiplin organisasi, mengoreksi penyelewengan atau sangat didesak oleh situasi krisis.

1.5.3.2 Teori Situasional

Belajar dari konsep Hersey and Blancard, perilaku dan gaya kepemimpinan bersifat situasional. Pemimpinan atau manajer harus menyesuaikan responnya menurut kondisi atau tingkat perkembangan kematangan, kemampuan dan minat karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Dalam hal ini, respon seorang manajer dalam perilaku kepemimpinannya memberikan sejumlah pengarahan dan dukungan yang bersifat sosioemosional. Sementara itu manajer harus menyesuaikan tingkat kematangan karyawan.

Tingkat kematangan karyawan (maturity), diartikan sebagai tingkat kemampuan karyawan untuk bertanggung jawab dan mengarahkan perilaku dalam bentuk kemauan. Berdasarkan tingkat kematangannya, menurut Hersey dan Blancard (www.edymartin.wordpress.com) ada empat jenis karyawan, yaitu: (1) karyawan yang tidak mampu dan tidak mau, (2) karyawan yang tidak mampu,

tetapi mau, (3) karyawan yang mampu, tetapi tidak mau, (4) karyawan yang mampu dan mau.

Teori situasi dalam kepemimpinan pemerintahan menurut Inu Kencana Syafe’I (2003 : 21) adalah teori dimana pemimpin memanfaatkan situasi dan kondisi bawahannya dalam kepemimpinannya. Ada empat respon kepemimpinan dalam mengelola kinerja berdasarkan tingkat kematangan karyawan, yaitu mengarahkan, menjual, menggalang partisipasi dan mendelegasikan dengan memperhatikan dukungan (supportif) dan pengarahan (directif), sebagai berikut :

1. Mengarahkan (telling)

Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan yang perlu dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam kemampauan, minat dan komitmennya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian tugas-tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hersey dan Blancard menyarankan agar manajer memainkan peran directive yang tinggi, memeberi saran bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu tanpa mengurangi intensitas hubungan sosial dan komunikasi antara pimpinan dan bawahan.

2. Menjual (selling)

Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas, takut untuk mencoba melakukannya, manajer juga memproporsikan struktur tugas dengan tanggung jawab karyawan. Selain itu, manajer harus menemukan hal-hal yang menyebabkan karyawan tidak termotivasi serta masalah-masalah yang dihadapi karyawan. Pada kondisi ini, karyawan sudah mulai mampu mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik, akan

memicu perasaan timbulnya over confident. Kondisi ini, memungkinkan karyawan menhadapai permasalahan baru yang muncul. Oleh karena itu, setelah memberikan pengarahan, manajer harus memerankan gaya menjual dengan mengajukan beberapa alternatif pemecahan masalah.

3. Menggalang Partisipasi (participation)

Perilaku kepemimpinan partisipasi, adalah respon manajer yang harus diperankan ketika tingkat kemampuan karyawan akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab, karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tanggung jawab seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendengarkan mendukung usaha – usaha yang dilakukan para bawahan.

4. Mendelegasikan (delegating)

Selanjutnya, untuk tingkat karyawan dengan kemampuan dan kemauan yang tinggi, maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya ”delegasi”. Dengan gaya delegasi ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggungjawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskan tentang bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus diselesaikan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.

Seorang pemimpin sama halnya dengan seorang pembimbing. Seorang pembimbing sebagai conseler pelatih yang selalu membimbing orang-orang ketika ia memberikan instruksi. Sama halnya seperti seorang manajer atau pimpinan yang selalu mengembangkan karyawannya dalam memberikan instruksi kepada mereka. Perilaku seorang pemimpin haruslah diberikan bawahan/karyawan sesuai dengan perilaku yang dimiliki karyawan. Hal ini dimaksudkan untuk dapat meningkatkan kinerja karyawan, perilaku kepemimpinan situasional haruslah melihat bagaimana karakteristik perilaku karyawannya. Jack Cullen dan Len D’Innopcenzo (2005 : 25) seorang pembimbing harus mengetahui tipe-tipe yang menggambarkan seorang karyawan bekerja. Ada dua tipe yang efektif yang digunakan oleh pemimpin situasional untuk menyesuaikan pendekatan kepada karyawan dalam meningkatan kinerja karyawan.

1. Tipe Dominan (High D)

Kebiasaan yang paling mudah dilihat seorang pemimpin adalah karyawan yang memiliki tipe dominan. Tipe dominan tampak tegas dan suka memaksa. Mereka biasanya berbicara, membuat keputusan, memulai tidakan, dan membuahkan hasil dengan cepat dan memiliki pendapat yang sudah jelas serta gemar membuat sesuatu yang nyata. Mereka berkembang dan membentuk lingkungan sekitarnya dengan mengalahkan lawan mereka dan berusaha mewujudkan hasil yang mereka capai. Beberapa dari tipe dominan ini menyukai pekerjaan lapangan yang memberikan mereka kesempatan untuk mendapatkan otoritas, prestasi, dan pengakuan. Mereka mempunyai kemauan yang kuat untuk mencapai tujuan mereka dan mereka akan mengatasi segala rintangan.

2. Tipe Pengaruh (High i)

Tipe kebiasaan kedua ini, seorang karyawan yang dibutuhkan bimbingan seorang pemimpin dalam meningkatkan kinerjanya yaitu tipe pengaruh. Karyawan yang memiliki karakter seperti ini membentuk lingkungannya dengan mengajak orang lain menjadi sekutunya untuk mendapatkan hasil. Karyawan bertipe ini menginginkan hasil, sama halnya dengan mereka yang bertipe dominan. Namun, mereka juga menaruh pada orang-orang disekitar mereka. Meraka mempengaruhi publik melihat dari sesuatu apa yang mereka lihat dan menikmati pengakuan publik atas keberhasilan mereka dalam menyelesaikan sesuatu. Tipe seperti ini menikmati hubungan dengan orang lain, mengobrol dan menciptakan suasana motivasional, dan melihat orang lain dan situasi dengan optimis.

1.5.4 Kinerja Karyawan

Dokumen terkait