• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepribadian Alif Fikri Ditinjau dari Kecemasan

BAB V ANALISIS ASPEK DAN PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN

5.6 Kepribadian Alif Fikri Ditinjau dari Kecemasan

Setelah Alif mendapatkan surat dari Etek Gindo yang bersekolah di Mesir, ia sangat tertarik untuk mencoba ke Pondok pesantren yang berada di Jawa Timur. Alif berpikir dari pada ia harus bersekolah di Madrasah Aliyah lebih baik ia pergi jauh dan merantau ke pelosok Ponorogo untuk melanjutkan ilmu agamanya.

Sontak orang tua Alif terkejut mendengar apa yang menjadi keputusan Alif untuk melanjutkan ke pondok. Orang tuanya menanyakan hal yang sama, apakah ia sudah siap jauh dari kampung, dari keluarga, dari teman-temannya dan merantau ke pulau lain. Alif dengan tegasnya menjawab kalau ia sudah siap dengan keputusan yang ia ambil, bahkan di depan orang tuanya Alif tidak sabar untuk pergi ke pondok

tersebut. Dengan berat hati orang tua Alif memberikan izin atas keputusan yang diambilnya.

Alif bukannya malah senang dengan keputusan yang ia ambil, awalnya ia berpikir dengan memberikan pilihan seperti ini ia akan disekolahkan di SMA tetapi malah sebaliknya. Dengan sedikit keraguan yang menetas di hatinya, ia coba untuk menegarkan semangatnya, namun tetap saja tidak bisa, karena bagi Alif ini baru pertama kalinya untuk ia akan merantau jauh ke tanah Jawa dan jauh dari keluarga. Dan hal tersebut cepat menyebar ke semua sanak famili dan handai tolan.

“Tapi semakin jauh bus berlari, semakin gelisah haruku. Jantungku berdetak aneh, menyadari aku sekarang benar-benar meninggalkan kampung halamanku. Bimbang dan ragu hilang timbul. Apakah perjalanan ini keputusan yang tepat? Bagaimana kalau Pondok Madani itu seperti penjara? Bagaimana kalau gambaran Pondok Madani dari Pak Etek Gindo itu salah? Pertanyaan demi pertanyaan bergumpal-gumpal menyumbat di kepalaku.” (NLM, 2009:17)

Alif yang akan mengikuti ujian UMPTN benar-benar harus belajar keras. Tumpukan buku yang menjadi bukit harus dilahapnya demi kelulusannya agar ia bisa memasuki perguruan tinggi yang diinginkannya. Hari sudah semakin dekat, tidak sedikit teman-teman Alif yang meragukan akan kelulusannya, tetapi dengan kata-kata

man jadda wajada ia bulatkan tekad dan berjuang.

“Semakin dekat waktu pengumuman semakin kacau mimpi-mimpiku dan semakin tidak enak makanku. Pikiran-pikiran aneh muncul silih berganti. Bagaimana kalau aku tidak lulus? Bagaimana kalau nanti aku terpaksa menjadi guru mengaji di surau di dekat rumahku? Ini tentulah tugas yang mulia, tapi apakah aku akan tahan mengajari alif-ba-ta kepada anak-anak sekampungku? Aku coba usir kekhawatiran ini jauh-jauh dengan berdoa khusyuk atau sering memancing di pinggir danau seorang diri karena Randai sudah kembali ke Bandung.” (RTW, 2011:27)

Dari kedua kutipan di atas jelas bahwa Alif mengelami suatu perasaan yang was-was terhadap dirinya. Adanya suatu keputusan yang terucap dilisannya sementara hatinya masih merasa ragu dengan apa yang telah ia ucapkan. Berbagai konflik yang dialami Alif dan bentuk frustrasi yang menghambat kemajuannya untuk mencapai tujuan yang ingin ia raih adalah sumber dari kecemasan itu sendiri. Kegelisahan Alif telah menyatu dengan jiwanya. Kegelisahan sebagai akibat dari beban berat yang menekan batinya. Sebuah keinginan nya yang besar untuk lulus dari ujian UMPTN. Ia tak mampu membagikan bebannya kepada orang lain sehingga ia hanya bisa berdoa khusyuk dan bermain di danau seorang diri.

Alif yang berhasil menjadi wakil dari provinsi Jawa Barat untuk mengikuti Program Pertukaran Pemuda Antar Negara akan menjalani seleksi tahap akhir yaitu di Cibubur untuk mengikuti pelatihan bersama calon pemuda dari seluruh provinsi di Indonesia. Aktivitas yang di ikuti oleh Alif selama pelatihan di Cibubur seperti belajar mendalami kebudayaan Indonesia, berdiplomasi, tari tradisional, serta baris berbaris. Pelatihan ini berlangsung selama tiga minggu sampai nantinya akan di umumkan siapa yang akan mewakili Indonesia ke Canada untuk menjalankan misi kepemudaan di negara tersebut.

Seminggu menjelang keberangkatan, seluruh wakil pemuda dari seluruh provinsi mulai kasak-kusuk karena belum juga mendapatkan tiket pesawat. Mereka bertanya dalam hati mereka, akan mereka di berangkatkan? Dari isu yang mereka dapatkan dari para senior alumni, tiket belum bisa di konfirmasi karena mungkin di antara mereka ada yang gagal tes kesehatan. Seluruh peserta mengalamai ke

khawatiran termasuk Alif. Seluruh peserta dikumpulkan di aula untuk mendengarkan siapa yang akan di berangkatkan dan yang tidak.

“Napasku serasa menguap hilang dan dadaku seperti di cekik. Sejenak aku terdiam mematung. Namaku? Iya, tidak ada lagi yang bernama Alif. Ya Allah, kenapa harush aku? …

Dengan menyeret kaki, aku melangkah juga ke depan, mengikuti Rinto dan Ema yang berjalan tersaruk-saruk. Otakku tiba-tiba terasa mampat oleh berbagai konsekuensi kegagalanku. Selain impianku melayang, apa kata Amak, apa kata Bang Togar, apa kata Raisa, apa kata kawan-kawan dikampusku? Aku akan malu besar karena sudah pamit akan ke Amrika. Mungkin yang paling bahagia adalah Randai. Kalau aku tidak berangkat, sebagai peserta cadangan pertama, dialah yang akan menggantikanku. Randai kawanku, Randai lawanku.” (RTW, 2011:224-225)

Dari kutipan di atas terlihat dengan jelas Alif yang merasakan kecemasan yang teramat dalam, ia cemas dengan ketidak lulusannya untuk pergi ke Amerika dikarenakan dari hasil tes kesehatan mengingat ia baru diserang penyakit typus dan Alif juga merasakan kecemasan terhadap orang tua nya karena telah mengecewakan Amak dengan tidak lulusnya ia selama pelatihan di Cibubur. Kecemasan lainnya yang dirasakan oleh Alif adalah seluruh kabar mengenai keberangkatannya ke Amerika sudah diberitahukannya ke sahabat-sahabat dekatnya.

5.7 Solusi yang Dilakukan Tokoh Utama untuk Mengatasi Konflik Batin

Berbagai persitiwa yang selalu menimpa Alif Fikri memunculkan berbagai konflik batin. Konflik batin terjadi karena ketidakselarasan antara keinginan dalam dirinya dengan realita yang ada. Alif Fikri tidak mampu menghadapi realitas di luar dirinya, sehingga muncul ketakutan-ketakutan atau kecemasan berupa ketegangan- ketegangan. Sebagai makhluk yang memiliki badan dan jiwa, Alif Fikri harus mampu

mempertahankan eksistensinya sebagai manusia. Oleh karena itu, ia berusaha untuk menemukan cara agar keluar dari segala konflik batin yang selalu menimpanya.

Cara-cara yang dilakukan Alif Fikri untuk menghadapi dan mengatasi kecemasan-kecemasan atau mereduksi tegangan-tegangan adalah (1) identifikasi, (2) pemindahan, dan (3) mekanisme pertahanan ego – represi, rasionalisasi, dan agresi.

5.7.1 Identifikasi

Alif Fikri yang ingin melanjutkan sekolahnya ke SMU setelah ia menyelesaikan Madrasyahnya tidak disetujui oleh ibunya karena sang ibu ingin melihat Alif menjadi seorang yang pintar dalam urusan agama dengan memasukkan Alif ke Madrasayah Aliyah. Tentu saja hal ini bertentangan dengan Alif karena ia berpikir tiga tahun disekolah Madrasyah sudah cukup untuk mempelajari ilmu agama dan melanjutkan cita-citanya untuk bersekolah di SMU pilihannya dan melanjutkan keperguruan tinggi dan menjadi seperti Habibie. Di dalam keresahannya dan kecemasannya karena sang ibu menentang keinginannya, ia menerima surat dari paman nya yang menceritakan tentang Pondok Pesantren yang ada di Ponorogo. Beranjak dari surat sang paman akhirnya Alif mempunyai ide yang ia sendiri sebenarnya masih merasa ragu,cemas, dan penuh ke khawatiran akan kah ia bisa bertahan di Pondok yang jauh di Jawa, jauh dari kampung halamannya, jauh dari keluarga yang ia cintai.

Akhirnya Alif menyampaikan hal ini kepada kedua orang tuanya untuk melanjutkan keinginannya bersekolah di Pondok, dan kabar ini juga disampaikan nya

kepada seluruh teman-teman, keluarga dan handai tolannya. Alif yang ditemani sang Ayah akhirnya berangkat menuju ke Pondok yang berada di Jawa Timur.

“Aku tidak kuat menahan malu kalau harus pulang lagi. Sudah aku umumkan keputusan ini ke segenap kawan dan handai tolan. Bujukan mereka agar tetap tinggal di kampung telah ku kalahkan dengan argument berbahsa Arab yang terdengar gagah, “uthulubul ilma walau bishin”, artinya “tuntutlah ilmu, bahkan walau ke negeri sejauh Cina”.

“Ke Cina saja disuruh, apalagi hanya sekedar ke Jawa Timur,” bantahku percaya diri kepada para pembujuk ini. Ke mana mukaku akan disurukkan, kalau aku pulang lagi?” (NLM, 2009:17)

Dari kutipan diatas sangat jelas terlihat bahwa Alif mengatasi kecemasan- kecemasan dalam dirinya dengan kepercayaan dirinya membacakan argument berbahsa Arab dengan gagahnya kepada orang-orang yang membujuknya untuk tetap tinggal di kampung halamannya. Ia sadar keputusan yang diambilnya tersebut bukanlah keputusan yang ia mau sepenuhnya, tapi keraguan dan kecemasan yang berkecamuk di dalam dirinya berhasil ia singkirkan dengan mengidentifikasi masalah tersebut bahwasanya argumen berbahasa Arab tersebut benar, dan ia bertekad untuk mengambil keputusan tersebut.

Alif yang merasa sangat cemas dan khawatir setelah ia mengikuti ujian UMPTN untuk memasuki perguruan tinggi negeri, pasalnya Alif hanya yakin menjawab soal-soal Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, dan yang lainnya ia tidak begitu yakin. Berhari-hari Alif tidak bisa merasakan tidur yang nyenyak, karena mengingat tentang hasil ujian yang ia akan peroleh. Beberapa kali penyeselan muncul kepikirannya karena ia berpikri tidak belajar dengan rajin.

Kegelisahan-kegelisahn Alif semakin menjadi-jadi seiring dengan dekatnya waktu pengumuman hasil ujian tersebut.

“Aku coba menghibur diriku. Toh aku telah melakukan segenap upaya, di atas rata-rata. Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan kepada putusan Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya.” (RTW, 2011:28)

Apa yang dilakukan oleh Alif dari kutipan diatas adalah dengan menyerahkan segala kecemasan dan kegelisahannya mengenai hasil ujiannya dengan Tuhan karena ia berpikir sudah mengerjakan segala sesutau diatas rata-rata dan berdoa, dengan begitu ia dapat mengatasi keragu-raguannya dengan ikhlas sehingga ia dapat mengatasi segala kecemasan yang berkecamuk di pikirannya.

5.7.2 Pemindahan

Alif yang terbujur lunglai karena penyakit typus yang melandanya dan ia tidak mempunyai semangat untuk melanjutkan kuliah serta mimpi-mimpinya dan ingin kembali ke kampung halamannya karena cobaan yang berat terus berpihak padanya, dimulai dari kematian Ayahnya, peristiwa perampokan yang dialami oleh Alif sampai penyakit typus yang dideritanya. Hal ini yang membuat ia kehilangan semangat hidup dan berhenti untuk mengejar cita-citanya.

Alif yang sekarang sudah meragukan kata-kata Man Jadda wajada karena apa yang ia lakukan sekarang sudah mencerminkan kata-kata tersebut. Dengan menjalani kehidupan dengan penuh keyakinan, berusaha dan berdoa, tetapi ia masih saja ditimpa kemalangan dan nasib sial.

Sabar itu lah kata-kata yang terdengar ketika Alif mendengar sebuah stasiun radio, tiba-tiba Alif mengingat sebuah kata Man Shabara Zhafira “siapa yang bersabar akan beruntung”, dan ia pun merinding, merasakan energi semangat Pondok

Madani. Dan kenangan itu kini hadir bertubi-tubi dipikiran Alif dengan mengenang perkataan Kiai Rais.

“Yanga namanya dunia itu ada masa senang dan masa kurang senang. Disaat kurang senanglah kalian perlu aktif. Aktif untuk bersabar. Bersabar tidak pasif, tapi aktif bertahan, aktif menahan cobaan, aktif mencari solusi. Aktif menjadi yang terbaik. Aktif untuk tidak menyerah pada keadaan. Kalian punya pilihan untuk tidak menjadi pesakitan. Sabar adalah punggung bukit terakhir sebelum mencapai tujuan. Setelah ada di titik terbawah, ruang kosong adalah ke atas. Untuk lebih baik. Tuhan sudah berjanji bahwa sesungguhNya Dia berjalan dengan orang yang sabar.” (RTW, 2011: 131)

Kutipan di atas menyiratkan bahwa keputusasaan Alif Fikri untuk mengahadapi nasib buruk yang selalu berpihak padanya bisa langsung tersalurkan melalui ingatannya tentang apa yang dikatakan oleh Kiai Rais dengan kata sabar. Pengalihan objek itu disebabkan objek asli yang dipilih naluri tidak dapat dicapai karena adanya rintangan dari dalam objek itu sendiri yaitu Alif Fikri yang merasa sudah putus asa dan enggan bertahan hidup, maka energi naluri itu langsung mengalihkan pada objek lain yaitu perkataan Kiai Rais sehingga objek pengganti ini dapat mereduksi tegangan dari dalam diri Alif Fikri.

Alif yang sangat berduka setelah kepergian sang Ayah merasakan kehilangan yang mendalam, Alif yang menjadi anak sulung harus mengemban tugas berat untuk menjadi tulang punggung keluarga dan harus membantu Ibunya untuk membiayai kedua adiknya yang masih duduk dibangku sekolah. Alif menyadari hal ini sangat tidak mudah karena ia sendiri masih harus dibantu oleh orang tuanya untuk biaya kuliahnya di Bandung. Walaupun Ibunya mengetahui apa yang ada dipikiran Alif dan ia terus diyakinkan oleh Ibunya untuk terus melanjutkan kuliahnya sampai selesai.

“Kini akulah laki-laki satu-satunya di keluarga kecil kami. Akulah yang harus membela Amak dan adik-adki. Tapi bagaimana acranya? Kalau ingin menggantikan peran Ayah mencari nafkah, aku mungkin harus berhenti kuliah dan bekerja. Tapi bagaimana dengan impianku untuk kuliah? Untuk merantau keluar negeri? Aku memijit-mijit keningku yang kini berkulit kusut. Pesan terakhir Ayah terus bersipongang di lubuk hatiku:”Alif, bela adik-adkimu. Rajinlah sekolah.” Ya Allah, berilah aku kemudahan untuk menjalankan amanat ini.” (RTW, 2011:101)

Kutipan di atas menyiratkan bahwa tanggung jawab Alif Fikri sebagai anak sulung kepada Ibu dan kedua adiknya setelah kepergian Ayahnya bisa digantikan oleh dirinya. Pengalihan objek itu disebabkan objek asli yang dipilih naluri tidak dapat dicapai karena adanya rintangan dari luar yaitu meninggal Ayahnya. Maka energi naluri itu langsung di alihkan pada objek yang lain yaitu Alif Fikri sendiri sebagai pengganti objek asli. Objek pengganti ini akan dapat mereduksi teganggan.

5.7.3 Represi

Sepekan setelah Ayah Alif meninggal dunia, ia berpamitan untuk kembali ke Bandung. Alif yang memerhatikan ibunya yang tidak mengeluarkan sepatah kata apapun serta muka ibunya yang mendung karena baru tujuh hari ditinggalkan oleh sang Ayah tercinta.

Alif yang mendengarkan nasehat Ibunya untuk terus melanjutkan kuliahnya sampai selesai. Alif menyadari Ibunya tidak akan mampu membiayai kuliah dirinya dan kedua adiknya yang masih bersekolah. Alif memikirkan hal tersebut dengan penuh kecemasan, karena ia menyadari Ibunya akan membanting tulang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Alif merasa kebingungan dan gelisah, dilain sisi ia

ingin mengejar mimpi-mimpinya dengan menamatkan kuliah tapi dilain sisi Alif ragu dengan biaya yang akan ditnggung oleh Ibunya.

“Selama perjalananku dari Maninjau ke Bandung hatiku buncah tidak tentu. Aku coba untuk menghibur diri dengan merogoh kantong ranselku dan mengeluarkan selembar foto yang mengilat.

Mungkinsudah waktunya aku disapih, berhenti meminta uang ke Amak. Aku genggam foto keluarga erat-erat, sampai hampir remuk. Aku berjanji pada diri sendiri akan membiayai diri sendiri selama di Bandung. Bukan cuma membiayai diri sendiri, tapi kalau bisa juga mengirimi Amak uang setiap bulan. Sejujurnya aku tidak tahu bagaimana caranya. Tapi ada sebersit kepercayaan tumbuh di pedalaman hatiku kalau aku mau bersungguh- sungguh, insya Allah bisa. (RTW, 2011:100-101)

Kutipan diatas merepresentasikan pikiran-pikiran Alif Fikri yang mengalami kecemasan, keraguan serta ketakutan. Nasehat dari Ibunya untuk terus melanjutkan kuliahnya membuat Alif mengalami ketegangan. Untuk menghapuskan atau menekan persaan cemas tersebut Alif berusaha akan mencari penghasilan ia sendiri untuk membiayai hidupnya selama menyelasaikan kuliahnya di Bandung, dan ia bertekad akan mengirimkan uang ke Ibunya setiap bulannya. Walaupun dilain sisi ia sedikit khawatir tetapi dengan ia bersungguh-sungguh untuk membantu Ibunya, ia yakin bisa.

5.7.4 Rasionalisasi

Alif Fikri yang berkeinginan keras untuk bisa meneruskan sekolah nya ke SMU akhirnya harus menelan kekecewaan karena Ibunya tidak ingin ia meneruskan ke SMU tetapi ke Madrasyah. Alif yang merasa keinginanya telah ditentang oleh Ibunya mengurung diri dalam kamarnya selama tiga hari, ini merupakan bentuk kekecewaan Alif yang terbesar yaitu ia tidak diizinkan melanjutkan sekolahnya dan ia

berdebat sengit dengan sang Ibu. Alif yang selama ini selalu mendengar, patuh, tidak pernah melawan perintah Ibunya merasa sangat berkecil hati karena apa yang menjadi mimpinya ditentang oleh Ibunya.

“Bagiku, tiga tahun di madrasyah tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan ilmu dasar agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri. Aku ingn menjadi orang yang mengerti teori-teori ilmu modern, bukan hanya ilmu fiqh dan ilmu hadits. Aku ingin suaruku didengar di depan civas akademika, atau dewan gubernur atau rapat manajer, bukan hanya berceramah di mimbar surau dikampungku. Bagaimana mungkin aku bisa menggapai berbagai cita-cita besarku ini kalau aku masuk madrasah lagi?”

“Tap Amak,ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangkisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa panas.”

“Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.”(NLM, 2009:8-9)

Dari kutipan diatas terlihat betapa Alif Fikri mengalami kekecewaan karena apa yang menjadi kehendak dan cita-citanya untuk masuk ke SMU ditentang oleh Ibunya. Dengan bentuk protes untuk rasa kekecawaan tersebut Alif mencoba untuk mengurung diri dalam kamar, dengan harapan Ibunya akan berubah pikiran dan menuruti apa yang menjadi kemauan Alif Fikir.

Hari berganti hari, Ibunya tetap tidak menunjukkan tanda-tanda untuk merubah keputusan tersebut, malah yang ada bujukan untuk tidak mengurung diri dalam kamarnya dan mencoba untuk berkomunikasi dengan Alif dari balik daun pintu.

Alif yang mendapat surat dari pamannya yang kuliah di Mesir menceritakan kalau ada salah satu sekolah yang berada di Jawa Timur yaitu Pondok Madani, dengan para santrinya yang disiplin, fasih berbahasa Arab dan Inggris. Alif terus

mengulang membaca surat dari pamannya. Sampai akhirnya ia membuat keputusan untuk bersekolah di Jawa Timur. Ia menyadari bahwa sekolah tersebut masih sekolah agama tetapi bedanya ia akan merantau jauh dan tidak bersekolah di madrasayah dikampung halamannya.

“Aku merenung sejenak membaca surat ini. Aku ulang-ulang membaca usul ini dengan suara berbisik. Usul ini sama saja dengan masuk sekolah agama juga. Bedanya, merantau jauh ke Jawa dan mempelajari bahasa dunia cukup menarik hatiku. Aku berpikir-pikir, kalau akhirnya aku tetap harus masuk sekolah agama, aku tidak mau madrasyah di Sumatera Barat. Sekalian saja masuk pondok di Jawa yang jauh dari keluarga. Ya betul, Pondok Madani bisa jadi jalan keluar ketidakjelasan ini.” (NLM, 2009:12)

Kutipan diatas sangat jelas menunjukkan, ada faktor yang bisa diterima oleh akal untuk mengatasi rasa kekecewaan yang dialami oleh Alif Fikri. Alif yang ditentang oleh ibunya untuk masuk ke SMU dan tetap di madrasyah, akhirnya mengambil keputusan untuk tetap bersekolah di bidang agama tetapi jauh di Jawa. Rasionalisasi tujuan pertama adalah Alif berhasil mengurangi kekecewaan ketika ia gagal memasuki SMU karena ditentang oleh Ibunya dan yang kedua Alif berhasil mengatasi kekecewaanya dengan bersekolah tetap dibidang agama tetapi ia tertarik karena jauh merantau di pulau Jawa.

5.7.5 Agresi

Alif Fikri dan Randai adalah teman dari kecil. Kompetisi satu sama lain itulah yang mereka lakukan sejak mereka duduk dari bangku Sekolah Dasar. Setelah kelulusan Madrasyah, Randai berhasil lulus di SMU sementara Alif Fikri ke Pondok pesantren. Seiring berjalannya waktu akhirnya, nasib baik selalu berpihak ke Randai,

ia berhasil memasuki Universitas terbaik yaitu Tekhnik Mesin ITB sementara itu Alif yang harus mengikuti ujian persamaan untuk memasuki perguruan tinggi.

Randai yang memandang sepele kearah Alif dan melontarkan pernyataan yang membuat Alif frustasi yaitu tentang keraguan Randai kalau Alif bisa lulus dalam ujian persamaan ujian tersebut. Mendengar hal tersebut Alif benar-benar marah dan patah semangat.

“hmm, kuliah di mana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?” pertanyaan Randai berentetan dan berbunyi sengau. Seperti merendahkan. Rasanya telak menusuk harga diriku. Darahku pelan-pelan terasa naik ke ubun-ubun.”

“jangan banyak tanya!” teriakku.”Lihat saja nanti. Kita akan sama-sama buktikan!” kataku dengan nada tinggi. Randai mundur beberapa langkah dengan wajah terkesiap, tapi lalu dia tersenyum. Entah kenapa aku menjadi mudah tersinggung. Aku buru-buru mengemasi joran dan berlalu pergi meninggalkan Randai tanpa sepatah kata pun.” (RTW, 2011:4)

Kutipan di atas menginterpretasikan agresi langsung yang diungkapkan Alif Fikri kepada objek yang merupakan sumber frustasi yaitu Randai dengan berteriak menggunakan intonasi suara yang tinggi kearah Randai ketimbang menggunakan

Dokumen terkait