• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaan telur tetas dan hasil penetasan merupakan bagian dari penelitian tingkah laku menetas pada itik Alabio yang dilakukan di laboratorium (A). Sebagai pembanding untuk mengetahui keragaan penetasan dilakukan penetasan di tempat peternak Desa Mamar, HSU (B, C dan D) (Tabel 29). Tabel 29 dapat dijelaskan bahwa rataan bobot telur tetas yang digunakan bervariasi. Bobot telur tertinggi pada penetasan D (67.86±3.15 g) dan terendah pada penetasan B (61.53 ±2.12 g). Rataan bobot telur itik Alabio yang dihasilkan dari penelitian ini lebih tinggi dibanding bobot telur itik Alabio, seperti yang dilaporkan Prasetyo & Susanti (1999/2000) yakni 60.21±5.64 g. Bobot telur merupakan sifat yang banyak dipengaruhi oleh faktor genetik, umur induk, posisi

telur dalam clutch, musim dan pakan (Solihat et al. 2003). Perbedaan ini diduga

disebabkan oleh asal telur tetas yang digunakan sumbernya tidak sama, dihasilkan oleh induk yang mempunyai bobot badan bervariasi. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Applegate et al. (1998) bahwa bobot telur yang dihasilkan berkorelasi positif dengan bobot induk. Bobot telur dipengaruhi oleh faktor-faktor dewasa kelamin, umur itik, bangsa, tingkat protein dalam pakan, cara

pemeliharaan dan temperatur lingkungan (Solihat et al. 2003).

Tabel 29 Keragaan hasil penetasan telur itik Alabio

Parameter Penetasan A B C D Jumlah telur (butir) 200 1000 1500 2500 Bobot telur (g) 65.83±2.28 61.53±2.12 64.33±1.95 67.86±3.15

Warna telur Hijau kebiruan Hijau kebiruan Hijau kebiruan Hijau kebiruan

Bentuk telur Oval-lonjong Oval-lonjong Oval-lonjong Oval-lonjong

Indeks telur (%) 75.68±2.38 74.59±2.31 78.29±3.40 76.05±3.01 Fertilitas (%) 96.50±4.51 87.30±4.38 88.27±4.01 89.72±4.66 Daya tetas (%) 50.84±2.01 59.20±2.33 60.44±2.14 58.11±2.11 Mortalitas DOD(%) 1.0±0.006 0.50±0.002 0.41±0.002 0.30±0.001 Bobot tetas (g) 41.30±1.01 40.65±1.11 43.10±1.27 43.92±2.11 Ratio jantan: betina 1:1 1:1 1:1 1:1 Suhu (o C) 37.5±1.05 37.94±1.21 38.36±1.11 38.35±1.10 Kelembaban (%) 70.5±2.33 68.87±2.05 66.51±2.43 67.22±1.22

Keterangan : A = penetasan di laboratorium; B, C dan D = penetasan di peternak (HSU)

Ditinjau dari aspek pakan, Wahju (1997) mengemukakan bahwa penurunan besar telur dapat disebabkan oleh defisiensi asam linoleat ataupun kandungan

zat anti nutrisi tertentu dalam pakan seperti nicarbacin dan gossypol. Defisiensi

asam linoleat dalam pakan dapat mengakibatkan bobot telur yang dihasilkan

rendah sehingga berat embrio juga lebih rendah (Komarudin et al. 2008).

Warna kerabang dan bentuk telur yang diperoleh selama pengamatan umumnya adalah hijau kebiruan yang merupakan ciri khas warna kerabang telur

itik Alabio. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purba et al. (2005), bahwa warna

kerabang telur itik Alabio adalah hijau kebiruan dan bentuk telur sebagian besar oval sampai lonjong. Pendapat senada dikemukakan Suparyanto (2003) bahwa sebagian unggas air termasuk itik memiliki warna kerabang hijau kebiruan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh gen yang bertanggung jawab terhadap warna

kerabang menjadi hijau kebiruan adalah pigmen biliverdin, sedangkan pigmen

zick chelate dan protoporpirin IX umumnya ditemukan pada telur yang berkerabang coklat (Washburn 1993). Warna kerabang telur hijau kebiruan

merupakan warna dominan otosomal yaitu gen G+ dan masih memiliki sifat liar (Lancaster 1990). Pada itik-itik yang sudah didomestikasi, warna kerabang telur juga sebagian besar hijau kebiruan (Suparyanto 2005) dan putih (Suparyanto 2003), hal ini berbeda dengan itik Bali putih, itik Pekin, dan itik putih Ukrania

memiliki warna kerabang telur putih, yang sepenuhnya dikontrol oleh gen g

(Romanov et al. 1995).

Indeks telur merupakan perbandingan antara panjang telur dibagi lebar dikali 100%. Rataan indeks telur itik Alabio tertinggi diperoleh pada penetasan C (78.29%±3.40), sedangkan terendah 74.59%±2.31 pada penetasan B. Indeks telur yang mencerminkan bentuk telur dan sangat dipengaruhi oleh genetik dan

bangsa (Romanov et al. 1995), juga proses-proses yang terjadi selama

pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus

(Larbier & Leclercq 1994). Menurut Wulandari (2005) indeks telur tetas yang normal adalah 79%, sehingga nilai indeks telur yang lebih kecil dari 79% akan memberikan penampilan lebih panjang, sebaliknya indeks telur lebih dari 79% akan lebih bulat.

Fertilitas telur adalah perbandingan antara telur yang fertil dengan jumlah total telur yang ditetaskan. Rataan fertilitas telur tertinggi pada penetasan A (96.50%±.51), sementara terendah penetasan B (87.37%±4.38). Perbedaan fertilitas ini diduga disebabkan oleh manajemen pemeliharaan, khususnya pemberian pakan dan perbandingan jantan betina yang kurang tepat. Fertilitas telur dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian sebelumnya, yang dilaporkan Istiana & Setioko (1999), yaitu penetasan itik Alabio kontrol dan terseleksi di Kabupaten HST masing-masing sebesar 73.33% dan 77.4%,

sementara Rohaeni et al. (2005) melaporkan bahwa fertilitas telur itik Alabio

sebesar 88.16%.

Pendapat lainnya dikemukakan Setioko et al. (1999/2000), bahwa fertilitas

telur itik Alabio di lokasi Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) di Kabupaten HSU sebesar 95.57%, sedangkan dilaporkan Suryana & Tiro (2007) fertilitas yang diperoleh selama 26 periode penetasan telur itik Alabio

di Kabupaten HSU sebesar 90.38%. Purba et al. (2005) dan Wibowo et al. (2005)

menyatakan bahwa rataan fertilitas telur itik di daerah sentra produksi dan penetasan di Kabupaten Blitar, Jawa Timur berkisar antara 86.46-90.49%,

sementara Yuwono et al. (2005) melaporkan bahwa fertilitas telur itik lainnya

mempengaruhi fertilitas telur adalah rasio jantan dan betina, pakan induk, umur pejantan yang digunakan dan umur telur tetas (Srigandono 1997), jumlah induk

yang dikawini oleh satu pejantan dan umur induk (Solihat et al. 2003). Selain itu,

hubungan temperatur lingkungan yang semakin meningkat, disinyalir dapat menyebabkan penurunan fertilitas telur atau sebaliknya (Kortlang 1985).

Rataan daya tetas tertinggi pada penetasan C (60.44%±2.1), sedangkan terendah pada penetasan A (50.84%±2.0). Rendahnya daya tetas ini diduga disebabkan oleh faktor non teknis, yaitu sarana penetasan yang kurang

mendukung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lasmini et al. (1992) bahwa tinggi

rendahnya daya tetas bergantung kepada kualitas telur tetas, sarana penetasan dan keterampilan pelaksana, dan lamanya penyimpanan telur (Kortlang 1985). Hasil kajian Setioko (1998) menyebutkan bahwa penyimpanan telur tetas selama 1 - 3 hari diperoleh rataan daya tetas lebih tinggi (73.43%), dibandingkan penyimpanan selama 5-7 hari hanya mencapai 65.03%. Rataan daya tertas telur yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil

penelitian yang dilaporkan Rohaeni et al. (2005); Suryana & Tiro (2007) bahwa

rataan daya tetas telur itik Alabio masing-masing sebesar 79.49% dan 61.77%. Menurut Wilson (1997) daya tetas sangat dipengaruhi oleh status zat gizi pakan induk, sehingga keseimbangan kebutuhan nutrien untuk perkembangan embrio normal tidak terpenuhi dengan baik (Kortlang 1985).

Rataan bobot tetas tertinggi diperoleh pada penetasan D (43.92 g±2.11),

sementara terendah pada penetasan B (40.65 g±1.11). Perbedaan bobot tetas

yang dihasilkan disebabkan bobot telur tetas yang digunakan berbeda. Pada penetasan D bobot telur relatif lebih tinggi bila dibanding dengan penetasan B.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Applegate et al. (1998), bahwa bobot telur

tetas mempunyai pengaruh signifikan terhadap bobot tetas yang dihasilkan. Bobot tetas yang dihasilkan dalam penelitian ini relatif sama dengan hasil

penelitian Lasmini et al. (1992) sebesar 42.22 g, tetapi lebih besar bila

dibandingkan hasil yang diperoleh Suryana & dan Tiro (2007) yakni 39.85 g±0.66.

Mortalitas DOD itik Alabio yang diperoleh selama penelitian tertinggi (1.0%±0.06) pada penetasan A, sementara terendah pada penetasan D (0.30%±0.002). Rasio jantan : betina dari ke empat alat penetasan yang digunakan, diperoleh hasil sama yakni 1:1. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

dari penetasan selama 27 periode sebanyak 42350 ekor, dengan perincian DOD jantan 21023 ekor dan betina 20916 ekor, atau mendekati perbandingan jantan dan betina adalah 1:1.

Temperatur dan kelembaban merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan penetasan telur. Rataan temperatur tertinggi pada penetasan A (38.75 ±1.05) dan terendah penetasan B (37.94 ±1.21), sedangkan rataan kelembaban tertinggi pada penetasan B (68.87 ±2.05) dan terendah pada penetasan C (66.51%±2.4).Tingginnya temperatur pada penetasan A disebabkan panas dalam alat penetasan tersebut tidak stabil, sedangkan kelembaban yang berfluktuatif, diduga disebabkan oleh pergantian atau penambahan air yang membantu kelembaban di dalam alat penetasan berubah-ubah. Menurut Setioko (1998) temperatur mesin penetasan yang ideal sekitar 37 dan kelembaban akhir masa penetasan dinaikkan menjadi 85%. Kortlang (1985) menyatakan bahwa kelembaban relatif selama proses penetasan pada umur telur 1 - 26 hari

sebesar 79%. Perkembangan diameter kantong udara (air sac) telur itik Alabio

selama proses penetasan yang dilakukan di Laboratorium (Penetasan A), disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30 Perkembangan kantong udara telur itik Alabio Umur telur

(hari)

Rataan diameter (mm) Keterangan

1 0.551±0.175 Pengamatan dilakukan

pada alat penetasan A

7 1.481±0.314

14 1.674±0.411

21 1.867±0.601

25 2.082±0.881

BerdasarkanTabel 30 dapat dikemukakan bahwa, perkembangan diameter kantong udara telur itik Alabio selama proses penetasan bervariasi. Diameter kantong udara pada telur umur 1, 7, 14, 21 dan 25 hari secara berangsur-angsur semakin melebar. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan perkembangan diameter kantong udara, diduga disebabkan laju perubahan kadar air dan oksigen di dalam telur. Semakin meningkat laju perubahan oksigen di dalam telur, semakin besar pula perubahan kantong udara. Menurut Kortlang (1985) telur itik mempunyai pori-pori lebih banyak dibanding telur ayam, sehingga

selama proses penetasan lebih mudah dan banyak kehilangan cairan, karena terjadi penguapan yang tinggi.

Dokumen terkait