• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi fenotipik dan genetik itik alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan dalam rangka pemanfaatan dan pelestarian secara berkelanjutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi fenotipik dan genetik itik alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan dalam rangka pemanfaatan dan pelestarian secara berkelanjutan"

Copied!
307
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul ”Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Dalam Rangka Pelestarian dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan” adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Mei 2011

(3)

SURYANA. The Phenotypic and Genetic Characterization of Alabio Duck (Anas platyrhynchos Borneo) in South Kalimantan for it’s Conservation and Sustainable Use. Supervisors of RONNY RACHMAN NOOR, PENI SUPRAPTI HARDJOSWORO and L. HARDI PRASETYO.

Alabio ducks is one of the local duck in South Kalimantan as egg producers which characterized by high productivity of eggs. The study was carried out in order to describe the phenotypic and genetic characterization of Alabio duck being kept by smallholder farmers. The study was conducted in Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST) and Hulu Sungai Utara (HSU), South Kalimantan, animal breeding and genetic laboratory and feed technology and nutrition laboratory, Faculty of Animal Science IPB Bogor. Six hundreds (75 males and 525 females) of Alabio ducks were used in this study with ages ranged from 5.5 to 5 months old, 144 of whole blood samples (71 blood plasma and 72 red blood cells) were collected from HSS, HST and HSU. The observed parameters were quantitative and qualitative traits of Alabio duck, genetic variability and nutrition composition. The quantitative traits (body measurement) and genetic polymorphisms of blood protein were analyzed using principal component analysis (PCA) and descriptive analyses. The results showed that for body size measurement of Alabio ducks from HSS, HST and HSU such as length of back, neck, head and depth head as well as body length could be used as variables discriminantor factor. The blood protein polymorphisms of Alabio duck from HSS, HST and HSU displayed six of genotypes i.e. AA, AB, AC, BB, BC and CC with genes frequencies ranged from 0.2917 to 0.7667, heterozigosity value ranged from 0.407±0.120 to 0.661±0.135 and average heterozigocity value of HSS was 0.643±0.232, HST was 0.638±0.219 and HSU was 0.660±0.209. The genetic distances analysis demonstrated that of Alabio duck from HST had relatively closer distance with HSU (0.0148) when compared to HSS (0.2193). The Alabio duck from three locations (HSS, HST and HSU) have different plumage color. The dominant colors of male and famale duck were grayish brown, grayish black, grayish white, blue-green and black. The features of plumage male and female duck were brown spotted, black, blue green and plain. Male and female Alabio duck plumages have the glint of silver and shiny blue-green. The color of bill, feet and shank of male and female duck were lite yellow, bright orange, pale yellow and black. The average five months eggs production was 67.11%±2.75 (HSS), 75.55%±3.87 (HST) and 76.48%±3.13 (HSU). The feeding duration was 14.99±0.24 minute/hour, feeding frequencies was 2.88±036 time/our and duration of drinking was 2.77±0.50 minutes/hour and moving from feeder to drinker places was 5.99 ±0.23 time/hour. The capability of male duck to mate female were 8.14±0.11bird/male (morning), 6.28±0.18 bird/male (afternoon) and 7.13 ±0.24 bird/male (evening).

(4)

SURYANA. Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Dalam Rangka Pemanfaatan dan Pelestarian Secara Berkelanjutan. Dibawah bimbingan RONNY RACHMAN NOOR, PENI SUPRAPTI HARDJOSWORO dan L. HARDI PRASETYO.

Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal di Kalimantan Selatan yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Itik Alabio mempunyai ciri fenotipik berbeda dan performa beragam dibanding itik lokal lain di Indonesia. Namun, di antara itik-itik lokal tersebut terdapat itik yang unggul dapat hidup dan berkembang biak dengan baik, karena secara genetik memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang keragaan atau spesifikasi itik Alabio, baik sifat kuantitatif maupun kualitatif, keragaman fenotipik dan genetik dalam dan antar populasi yang berbeda, tingkah laku menetas, kawin dan memilih pakan, produksi telur, kandungan nutrisi pakan di tingkat lapang /peternak, serta profil peternak itik Alabio.

Sebelum penelitian dimulai, diawali dengan survey pendahuluan untuk penentuan lokasi penelitian dan pengambilan sampel selanjutnya. Penelitian dirancang dengan metode survey secara purposive random sampling, yaitu memilih dua kecamatan dari masing-masing kabupaten.Tiap-tiap kecamatan dipilih dua desa yang memiliki populasi itik Alabio terpadat untuk mewakili lokasi lainnya. Adapun desa yang dipilh yaitu Desa Taniran dan Taniran Kubah Kecamatan Angkinang, Desa Daha dan Paharangan Kecamatan Daha Utara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Desa Sei Jaranih dan Murung Taal, Kecamatan Labuan Amas Selatan, Desa Tabat dan Mantaas, Kecamatan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Desa Teluk Baru dan Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, Desa Cangkering dan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).

(5)

satu ekor sebanyak enam kandang dan diulang tiga kali. Bahan pakan yang digunakan sebanyak enam macam (dedak halus, keong rawa, sagu parut, gabah, pakan komersial dan ikan kering). Pengamatan tingkah laku menetas terlebih dahulu melakukan penetasan telur di laboratorium dengan alat penetas berkapasitas 200 butir. Sebagai pembanding untuk mengetahui keragaan penetasan di tingkat lapang, digunakan tiga buah alat penetasan milik peternak penetas di Desa Mamar, HSU dengan sumber panas kombinasi antara gabah dan listrik, kapasitas masing-masing 1000, 1500 dan 2500 butir. Peubah lainnya yang diamati selama proses penetasan adalah warna dan bentuk telur, bobot telur (g), indeks telur (%), fertilitas (%), perkembangan kantong udara (mm), daya tetas (%), mortalitas DOD (%), bobot tetas (g) dan sex ratio. Pengamatan tingkah laku kawin diawali dengan menempatkan itik Alabio jantan dan betina pada petak kandang kelompok dengan perbandingan jantan:betina (1:10). Waktu pengamatan dilakukan pagi (pukul 07.00), siang (pukul 13.00) dan sore (pukul 17.00), dengan ulangan tiga kali. Kegiatan penelitian profil peternak itik Alabio bertujuan untuk memperoleh informasi tentang keragaan peternak itik Alabio di HSS, HST dan HSU serta mengetahui kandungan nutrisi pakan. Metode yang digunakan adalah wawancara langsung dengan peternak responden, menggunakan daftar pertanyaan atau kuisioner sebanyak 60 responden. Masing-masing desa diwakili lima orang responden, sedangkan pakan masing diambil sebanyak tiga sampel/desa, selanjutnya dilakukan analisis proksimat di laboratorium.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor peubah pembeda ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS (panjang leher dan panjang tubuh), HST (panjang paruh atas, inggi kepala, panjang kepala, panjang leher, panjang punggung dan panjang tubuh), dan HSU (panjang paruh bawah, panjang leher, panjang punggung dan panjang tubuh). Berdasarkan hasil analisis protein darah itik Alabio pada lokus albumin, post albumin, transferin, post transferin-1 dan post transferin-2, ditemukan enam macam genotipe adalah AA, AB, AC, BB, BC dan CC, sementara pada lokus haemoglobin ditemukan tiga genotipe yaitu AA, AB dan BC, sedangkan genotipe BB, CC dan AC tidak ditemukan pada darah itik Alabio baik dari HSS, HST maupun HSU, dengan frekuensi gen berkisar antara 0.292 - 0.767. Nilai heterosigositas diperoleh berkisar antara 0.407±0.120 - 0.661±0.135 dan heterosigositas rataan (0.638±0.219 - 0.660±0.209). Analisis jarak genetik yang didasarkan pada frekuensi gen dari enam lokus protein darah menunjukkan bahwa, itik Alabio dari Kabupaten HST mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dengan HSU (0.0184), sementara dengan HSS jaraknya relatif jauh (0.2193). Rataan produksi telur tertinggi yang diperoleh selama lima bulan pengamatan adalah HSU (76.48%±3.13) dan terendah HSS (67.11%±2.75).

(6)

menit/jam, frekuensi makan 6.04±0.50kali/jam, frekuensi minum 2.33±0.25 kali/jam, dan frekuensi pergerakan dari tempat pakan ke tempat air minum 5.99±0.23 kali/jam. Kandungan protein kasar pakan yang berasal dari HST (17.55%) lebih tinggi dibanding HSU (16.16%) dan HSS (11.77%).

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang bermanfaat dan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk menyusun atau membuat standarisasi itik Alabio bibit/induk di tingkat lapang. Informasi yang tersedia merupakan acuan bagi pemangku kepentingan (stake holder) dalam rangka pengembangan dan pelestarian itik Alabio secara berkelanjutan.

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(8)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Argono Rio Setioko, M.Sc.Agr. (Peneliti Utama pada Balai Penelitian Ternak Ciawi - Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)

Dr.Ir. Sumiati, M.Sc.

(Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr.drh. Prabowo Respatiyo Caturroso, M.M. (Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI)

(10)

Judul Disertasi : Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan dalam Rangka Pelestarian dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan

Nama : Suryana

NRP : D161070071

Program Studi/Mayor : Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. Ketua

Prof. (em) Dr.Peni S. Hardjosworo, M,Sc. Dr.Ir.L.Hardi Prasetyo, M.Agr. Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi /Mayor Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Teknologi Peternakan

(11)
(12)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kekhadirat Allah SWT, karena

berkat rahmat, karunia dan inayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penyusunan disertasi dengan judul “Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Dalam

Rangka Pelestarian dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan”. Disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program

Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP), Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan atas dasar bahwa, itik Alabio merupakan salah satu

ternak unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur dan

sumber plasma nutfah di Kalimantan Selatan. Keberadaan itik Alabio perlu

dilestarikan dan dikembangkan, sehingga populasinya meningkat. Perkembangan

usaha ternak itik Alabio di Kalimantan Selatan sampai saat ini menunjukkan

kemajuan yang pesat, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kesadaran

masyarakat akan pentingnya proteih hewani, yang berasal dari telur dan daging

itik. Fenomena tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan yang baik dalam

rangka pengembangan itik Alabio yang berorientasi agribisnis, berwawasan

lingkungan dan berkelanjutan. Informasi tentang keragaaan atau spesifikasi itik

Alabio, baik sifat-sifat kuantitatif dan kualitatif maupun keragaman genetik dalam

dan antar populasi, tingkah laku makan, menetas dan kawin di tingkat lapang

belum tersedia secara memadai. Oleh sebab itu, untuk menjawab permasalahan

tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang karakterisasi fenotipik dan genetik itik

Alabio di Kalimantan Selatan. Informasi yang diperoleh tersebut, diharapkan dapat

dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk membuat atau menyusun

standarisasi itik Alabio bibit di tingkat lapang.

Ketika mulai merencanakan untuk melanjutkan studi ke jenjang S3, berbagai

pihak telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Masing-masing telah

memberikan sumbangsihnya, baik berupa semangat dan motivasi, sumbangan

pemikiran serta materi kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian dan

penulisan disertasi. Penelitian dan disertasi ini dapat diselesaikan tentunya atas

bantuan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing. Pada kesempatan ini, penulis

(13)

Dr.Ir.L.Hardi Prasetyo, M.Agr., masing-masing selaku anggota Komisi

Pembimbing yang telah menyediakan waktu mendampingi penulis dengan

penuh kesabaran, memberikan saran, koreksi, arahan, bimbingan dan

semangat selama penelitian hingga selesai penulisan disertasi ini.

2. Bapak Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Sekretaris

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian selaku Ketua Komisi

Pembinaan Tenaga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk mengikuti Program S3.

3. Bapak Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Pertanian (BBP2TP) Bogor dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

(BPTP) Kalimantan Selatan, yang telah memberikan dorongan dan restu

kepada penulis untuk melanjutkan ke jenjang Program S3 di Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

4. Ibu Dr.Ir.Rarah Ratih Ajie Maheswari, DEA, selaku Ketua Program

Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan (ITP), Bapak Prof.Dr.Ir.Cece

Sumantri, M.Agr.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi

Peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang sekaligus

sebagai penguji luar komisi pada ujian kualifikasi Doktor dan Bapak

Prof.Dr.Ir.Nahrowi Ramli, M.Sc, sebagai penguji luar komisi pada ujian

kualifikasi Doktor, Bapak Dr.Ir.Argono Rio Setioko, M.Sc.Agr, dan Ibu Dr.Ir.

Sumiati, M.Sc, masing – masing sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, Bapak Dr.drh. Prabowo Respatiyo Caturroso, M.M., dan Bapak Prof.

(R) Dr.Ir.Kusumo Diwyanto, M.S masing – masing sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka.

5. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan

Wakil Dekan Fakultas Peternakan IPB Bogor dan seluruh jajarannya, yang

telah memberikan pelayanan akademik dan administrasi lainnya.

6. Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan (Biro Kesejahteraan Rakyat) dan

Dr.Ir.Hj.Maskamian Andjam, M.M. selaku Kepala Dinas Peternakan Propinsi

Kalimantan Selatan yang telah memberikan bantuan dana penelitian, Ir.H.

Zaenal Arifin Areo staf Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan, Kepala

Dinas Peternakan dan Perikanan Hulu Sungai Selatan, Kepala Dinas

(14)

7. Dr.Jakaria, S.Pt.,M.Si., Erick Andreas, S.Pt., M.Si, Sutikno, S.Pt.,M.Si., yang

telah membantu menganalisis sampel darah di Laboratorium Genetika dan

Pemuliaan Ternak, Fakultas Peternakan IPB Bogor.

8. Sdr M. Faridi, Aidi Murahman S.Pt., Mas Suradi, Purwanto, A.Md. yang telah

membantu penelitian di lapang.

9. Rekan-rekan Ir. Aron Batubara, M.Sc., drh. Bambang Ngaji Utomo, M.Sc., Ir.

Eko Handiwirawan, M.Si., Ben Juvarda. S.Pt.,M.Si dan Procula R. Matitaputti,

S.Pt., M.Si, yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.

Kepada para peternak itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu

Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan yang telah

bersedia meminjamkan ternaknya selama penelitian berlangsung.

Kepada istri saya tercinta Rofiqah Wahdah dan kedua putri tersayang Rynda

Aulia Surya Utami dan Syafira Rossa Meiliyansari, terima kasih atas perhatian,

pengertian, dorongan, pengorbanan dan doa yang diberikan selama ini kepada

Penulis, serta kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan dan jauh

dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis

harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang.

Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang

membacanya.

Bogor, Mei 2011

(15)

Penulis di lahirkan di Garut - Jawa Barat pada tanggal 01 Juli 1967 sebagai

anak ke lima dari tujuh bersaudara dari pasangan Djadja (alm) dan Yayah (alm).

Pendidikan Sarjana ditempuh pada Program Studi Produksi Ternak Jurusan

Peternakan Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjary

Banjarmasin, lulus tahun 1996. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program

Magister Studi Ilmu Peternakan pada Program Pascasarjana, Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta dan menamatkannya pada tahun 2004. Kesempatan untuk

melanjutkan ke jenjang Doktor pada Program Studi/ Mayor Ilmu dan Teknologi

Peternakan (ITP) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada

tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari DIPA Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Penulis bekerja dan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Sub

Balai Penelitian Veteriner Banjarbaru, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak tahun 1990.

Tahun 2000 diangkat sebagai staf Peneliti bidang budidaya ternak di Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan, Balai Besar

Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP), Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Selama mengikuti program S3 Penulis menjadi Anggota Ikatan Sarjana

Peternakan Indonesia (ISPI) Cabang Kalimantan Selatan. Karya Ilmiah yang telah

dan sedang diterbitkan dengan judul :

1. The Color Pattern of Alabio Duck (Anas platyrhynchos Borneo) in South

Kalimantan. Journal of The Indonesian Tropical Animal Agriculture

Volume 35 Nomor 2 Juni 2010.

2. Karakteristik Fenotipik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di

Kalimantan Selatan. Bulletin Plasma Nutfah. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian

(16)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Ruang Lingkup Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Kerangka Pemikiran ... 4

TINJAUAN PUSTAKA

... 9

Itik Alabio (Anas platyrhynchosBorneo) ... 9

Sistem Pemeliharaan ... 12

Produksi Telur Itik Alabio ... 14

Karakteristik Penetasan ... 15

Sifat Kualitatif dan Kuantitatif ... 16

Sifat Kualitatif ... 16

Sifat Kuantitatif ... 22

Morfometrik ... 23

Tingkah Laku ... 27

Protein Darah ... 30

Elektroforesis ... 32

Keragaman Genetik Ternak ... 33

Plasma Nutfah ... 35

BAHAN DAN METODE

... 39
(17)

Telur Tetas dan Alat Penetasan ... 39

Bahan Kimia ... 40

Peralatan ... 40

Kandang dan Perlengkapannya ... 41

Metode Penelitian ... 42

Perancangan Percobaan dan Penelitian ... 42

Prosedur Penelitian dan Pengamatan Peubah ... 42

Orientasi Lapangan (Survey Awal) ... 42

Penentuan Lokasi ... 42

Penelitian Sifat Kuantitatif dan Kualitatif ... 43

Penelitian Keragaman Genetik (Protein Darah) ... 44

Pengambilan Darah dan Persiapan Contoh ... 44

Pembuatan Campuran Bahan Kimia ... 45

Pembuatan Gel Elektroforesis ... 46

Penetesan Contoh dan Proses Pemisahan Protein ... 47

Pewarnaan dan Pencucian ... 47

Penelitian Tingkah Laku Menetas, Memilih Pakan dan Kawin ... 47

Penelitian Profil Peternak Itik Alabio ... 49

Analisis Data... 50

HASIL DAN PEMBAHASAN

... 55

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 55

Manajemen Pemeliharaan Itik Alabio ... 57

Karakteristik Fenotipik ... 58

Sifat Kuantitatif ... 58

Analisis Komponen Utama (AKU)

...

61

Produksi Telur ... 65

Kandungan Nutrisi Pakan ...

67

Sifat Kualitatif... 68

Warna Bulu Dominan... 68

Corak Bulu Itik Alabio ... 70

Warna Fluoresens Bulu Itik Alabio ... 71

(18)

Karakteristik Protein Darah ... 74

Jarak Genetik Itik Alabio ... 79

Keragaman Genetik Itik Alabio ... 80

Tingkah Laku ... 83

Tingkah Laku Menetas ... 83

Tingkah Laku Memilih Pakan ... 86

Tingkah Laku Kawin ... 89

Keragaan Penetasan ... 90

Profil Peternak Itik Alabio ... 95

PEMBAHASAN UMUM ...

99

SIMPULAN DAN SARAN ...

105

Simpulan ... 105

Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(19)

Halaman

1 Keragaan itik Alabio di Kalimantan Selatan ... 11

2 Daftar gen yang berpengaruh terhadap warna kulit dan bulu unggas ... 19

3 Penampakan warna paruh dan shank ... 22

4 Ukuran bagian-bagian tubuh itik lokal dewasa di Indonesia ... 26

5 Ethogram tingkah laku makan dan kawin pada unggas ... 29

6 Protein darah yang ditemukan pada itik dan ayam kampung ... 31

7 Gambaran umum manajemen pemeliharaan itik Alabio ... 57

8 Rataan (±sd) bobot badan dan ukuran bagian tubuh itik Alabio ... 58

9 Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS ... 59

10 Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HST ... 60

11 Matrik koefisien korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSU ... 60

12 Persamaan ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio ... 61

13 Nilai hubungan antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS HST dan HSU ... 63

14 Hasil analisis nutrisi pakan itik Alabio ... 67

15 Persentase warna bulu dominan itik Alabio ... 69

16 Persentase corak bulu itik Alabio ... 70

17 Persentase fluoresens bulu itik Alabio ... 72

18 Persentase paruh, kaki dan shank itik Alabio ... 73

19 Penyebaran genotipik dan frekuensi gen lokus protein darah itik Alabio dalam populasi (kecamatan) ... 75

20 Penyebaran genotipik dan frekuensi gen lokus protein darah itik Alabio antar populasi (kabupaten) ... 76

21 Nilai heterosigositas (±SE) itik Alabio dalam populasi (kecamatan) ... 78

22 Nilai heterosigositas (±SE) itik Alabio antar populasi (kabupaten) ... 78

(20)

26 Kandungan zat gizi bahan pakan itik Alabio ... 87

27 Rataan lama makan, minum, frekuensi makan, minum dan pergerakan dari tempat makan ke tempat air minum ... 87

28 Rataan kemampuan itik pejantan mengawini betina ... 89

29 Keragaan hasil penetasan telur itik Alabio ... 91

(21)

Halaman

1

Diagram alir kerangka pemikiran ... 7

2 Kerangka tubuh itik (Koch 1973) ... 25

3 Alat elektroforesis apparatus merk Protean II vertical ... 41

4 Peta lokasi penelitian ... 56

5 Grafik ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari HSS, HST dan HSU ... 64

6 Grafik produksi telur itik Alabio ... 65

7 Pola penyebaran genotipe protein darah pada itik Alabio ... 77

8 Pohon filogenik itik Alabio ... 80

9 Proses penetasan telur itik Alabio ... 85

a Telur di dalam mesin tetas mulai kerabangnya retak ... 85

b Paruh itik mulai keluar pada kerabang telur ... 85

c Anak itik mulai keluar dari kerabang telur ... 85

d Anak itik berhasil keluar dari kerabang telur ... 85

e Anak itik mulai keluar dari kerabang telur dan mengeringkan bulunya ... 85

(22)

Halaman

1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio ... 124

1.1 Gambar penampilan itik Alabio jantan... 124

1.2 Gambar penampilan itik Alabio betina ... 124

1.3 Gambar pengukuran panjang paruh ... 124

1.4 Gambar pengukuran lebar paruh ... 124

1.5 Gambar pengukuran tinggi kepala ... 125

1.6 Gambar pengukuran panjang punggung ... 125

1.7

Gambar

pengukuran panjang leher ... 126

1.8 Gambar pengukuran panjang sayap ... 126

1.9

Gambar

pengukuran panjang sternum ... 127

1.10 Gambar pengukuran panjang paha ... 127

1.11 Gambar pengukuran lebar dada ... 128

1.12 Gambar warna bulu leher, dada dan perut itik Alabio jantan ... 128

1.13 Gambar warna bulu leher, dada dan perut itik Alabio betina ... 128

1.14 Gambar itik Alabio jantan nampak dari depan ... 129

1.15 Gambar warna bulu itik Alabio betina bagian punggung... 129

1.16 Gambar warna bulu ekor itik Alabio jantan ... 129

1.17 Gambar warna bulu ekor itik Alabio betina ... 129

1.18 Gambar warna bulu sayap itik Alabio betina ... 130

1.19 Gambar warna bulu kedua sayap dan punggung itik Alabio ... 130

1.20 Gambar warna paruh itik Alabio jantan ... 130

1.21 Gambar warna bulu sayap primer dan sekunder itik Alabio betina ... 130

1.22 Gambar warna bulu ekor itik betina nampak dari samping ... 131

1.23 Gambar warna bulu ekor itik Alabio jantan bagian samping ... 131

1.24 Gambarwarna bulu badan itik Alabio jantanbagian samping ... 131 1.25 Gambar warna bulu leher itik Alabio betina dan jantan ... 131

1.26 Gambar warna bulu dada itik Alabio betina ... 132

1.27 Gambar warna bulu dada itik Alabio jantan ... 132

(23)

1.31 Gambar warna bulu leher samping itik Alabio betina ... 133

1.32 Gambar warna bulu punggung depan itik Alabio jantan ... 134

1.33 Gambar warna bulu punggung belakang itik Alabio jantan ...

134

1.34 Gambar warna bulu punggung depan itik Alabio betina ... 134

1.35 Gambar warna bulu punggung belakang itik Alabio betina ... 134

2 Gambar berbagai sistem pemeliharaan itik Alabio

...

135

2.1 Pemeliharaan itik Alabio sistem kandang panggung ... 135

2.

2

Pemeliharaan itik Alabio sistem semi intensif

...

135

2

.

3 Pemeliharaan itik Alabio sistem intensif

...

136

2.4

Pemeliharaan itik Alabio sistem intensif dengan umbaran ... 136

3 Lembar pertanyaan (kuisioner) ... 137

4 Profil peternak itik Alabio di Kabupaten HSS, HST dan HSU

Kalimantan Selatan ... 140

(24)

Latar Belakang

Itik lokal Indonesia dikenal sebagai itik Indian Runner yang produktif sebagai itik petelur. Meskipun satu rumpun, beberapa itik lokal yang tersebar di

seluruh wilayah nusantara mempunyai berbagai nama menurut daerah atau

lokasinya masing-masing. Bangsa itik lokal yang cukup dikenal antara lain itik

Tegal, itik Bali, itik Mojosari, itik Magelang dan itik Alabio. Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal di Kalimantan Selatan, dan mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur.

Populasi itik Alabio di Kalimantan Selatan tahun 2010 sebanyak 4.354.121 ekor

dengan tingkat pertumbuhan 4,17%, produksi telur dan daging masing-masing

sebesar 27.733.704 kg dan 1.525.615 kg (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan

Selatan 2011). Populasi itik Alabio terbesar terdapat di Kabupaten Hulu Sungai

Utara 1.280.591 ekor (BPS Kabupaten Hulu Sungai Utara 2010), Kabupaten

Hulu Sungai Selatan 935.927 ekor (BPS Kabupaten Hulu Sungai Selatan 2010),

dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah sebesar 947.115 ekor (BPS Kabupaten

Hulu Sungai Tengah 2010) dan sisanya tersebar di beberapa kabupaten dan

kota di Kalimantan Selatan.

Selain sebagai sumber plasma nutfah, itik Alabio mempunyai nilai

ekonomis tinggi. Hal tersebut ditunjukkan sekitar 46.81% merupakan mata

pencaharian utama peternak itik Alabio di Kalimantan Selatan (Biyatmoko

2005). Kontribusi terhadap total pendapatan keluarga peternak itik, khususnya di

Kabupaten Hulu Sungai Utara sebesar 42.09% (Rohaeni & Tarmudji 1994) dan

52.80% masing-masing di Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan

(Zuraida 2004). Itik Alabio berkontribusi terhadap produksi telur sebesar 47.73%

dari total produksi telur unggas di Kalimantan Selatan (Dinas Peternakan

Propinsi Kalimantan Selatan 2008).

Itik Alabio memiliki ciri fenotipik berbeda serta performa beragam dibanding

itik lokal lain di Indonesia. Namun, di antara itik-itik lokal tersebut terdapat itik

yang lebih baik dan unggul serta dapat hidup dan berkembang biak, karena

secara genetik memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat.

(25)

meningkatkan keseragaman itik yang ada. Keragaman genetik pada ternak

penting artinya dalam rangka pembentukan rumpun ternak baru dan akan terus

berlanjut sampai masa mendatang.

Kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa itik Alabio di beberapa daerah

di Kalimantan Selatan memiliki keragaman tinggi, baik sifat-sifat kualitatif (warna

bulu, paruh, kaki dan shank serta bentuk tubuh), maupun kuantitatif seperti: bobot badan dewasa, lama produksi telur, umur pertama bertelur, puncak

produksi, daya tunas, daya tetas, bobot tetas. Perbedaan-perbedaan keragaman

di atas, salah satunya diduga disebabkan oleh manajemen pemeliharaan,

pemberian pakan yang berbeda dan sistem perbibitan tanpa memperhatikan

program pemuliaan yang rerarah dan terstruktur.

Permintaan pasar akan produk itik (telur dan daging) akhir - akhir ini terus

meningkat,seiring dengan meningkatnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi

produk tersebut. Permintaan produk yang meningkat, perlu diimbangi dengan

penyediaan bibit itik yang berkualitas dalam jumlah besar dan berkelanjutan,

untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi. Kebutuhan produksi

bibit dalam jumlah besar, tidak dapat dipenuhi dengan pemeliharaan itik secara

tradisional, melainkan harus dilakukan intensif. Perubahan sistem budidaya dari

tradisional kepada intensif, perlu didukung ketersediaan teknologi yang

memperhatikan prinsip manajemen usaha peternakan modern, berorientasi

ekonomis, berwawasan lingkungan untuk mencapai keuntungan optimal. Salah

satu upaya untuk menyediakan bibit itik yang baik, dapat dilakukan dengan

pemeliharaan itik Alabio secara intensif, yang sebelumnya telah diketahui

keragaan atau spesifikasinya di tingkat lapang. Informasi tentang keragaan atau

spesifikasi itik Alabio dapat diperoleh dengan melakukan penelitian karakterisasi

fenotipik dan genetik, antara lain untuk mengetahui sifat-sifat kuantitatif dan

kualitatif, keragaman fenotipik dan genetik dalam dan antar populasi itik Alabio

yang berbeda berdasarkan protein darah, mengamati tingkah laku menetas,

memilih pakan dan kawin, melakukan pengamatan produksi telur di tingkat

peternak, serta menghimpun informasi pendukung lainnya, yaitu tentang profil

peternak itik Alabio. Informasi yang diperoleh tentang keragaan atau spesifikasi

karakteristik itik Alabio, diharapkan menjadi salah satu bahan pertimbangan

(26)

ternak unggas lokal di Kalimantan Selatan.

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan informasi keragaan atau spesifikasi itik Alabio, baik berupa

karakteristik kualitatif dan kuantitatif, maupun keragaman fenotipik dan

genetik dalam dan antar populasi yang berbeda, sebagai bahan yang dapat

digunakan untuk membuat atau menyusun standarisasi bibit/induk itik Alabio

di tingkat lapang.

2. Memperoleh informasi tentang aktivitas memilih pakan, kemampuan itik

Alabio jantan mengawini betina.

3. Mengetahui keragaan penetasan dan komposisi nutrisi pakan di tingkat

lapang, serta informasi tentang profil peternak itik Alabio.

Ruang Lingkup Penelitian

1. Melakukan pengamatan terhadap sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif itik

Alabio.

2. Melakukan analisis keragaman genetik dalam dan antar populasi yang

berbeda.

3. Melakukan pengamatan aktivitas menetas, memilih pakan, kawin dan

mengetahui informasi tentang profil peternak itik Alabio.

4. Melakukan analisis kandungan nutrisi pakan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

yang bermanfaat untuk:

1. Pengembangan itik Alabio dengan memperhatikan keragaman populasi yang

ada.

2. Menyediakan informasi yang dapat digunakan Pemerintah Daerah,

khususnya Dinas Peternakan sebagai pedoman dalam menyusun

(27)

plasma nutfah di Kalimantan Selatan.

3. Menyediakan informasi tentang pemanfaatkan ciri-ciri fisik itik Alabio yang

dapat digunakan Komisi Bibit, khususnya Komisi Bibit Unggas Direktorat

Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagai salah satu bahan

pertimbangan untuk membuat atau menyusun standarisasi bibit/induk itik

Alabio di tingkat lapang.

4. Menyiapkan bahan untuk digunakan sebagai sumber pembentukan galur

bibit itik unggul.

Kerangka Pemikiran

Ternak itik merupakan salah satu komponen penting dalam sistem usaha

tani di beberapa daerah di Indonesia, termasuk itik Alabio di Kalimantan Selatan.

Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Pengembangan usaha

ternak itik Alabio saat, tidak hanya dituntut dari aspek kuantitas produksi saja,

melainkan peningkatan kualitasnya sehingga dapat bersaing dengan produk itik

lainnya.

Itik Alabio memiliki ciri-ciri fenotipik berbeda serta performa beragam

dibanding itik lokal lain di Indonesia. Itik Alabio memiliki keunggulan dalam

produksi telur, walaupun keragamannya masih tinggi. Keragaan itik Alabio antara

lain meliputi: produksi telur 220-250 butir/ekor/tahun, puncak produksi 92.70%,

berat telur 59-65 g/butir, konsumsi pakan 155-190 g/ekor/hari, dewasa kelamin

179 hari, daya tunas 84.80-90.83%, daya tetas 79.48%, mortalitas day old duck

(DOD) 0.75-1.0%, bobot badan betina umur 6 bulan 1600 g dan jantan 1750 g.

Selain sebagai penghasil telur dan daging, itik Alabio penting dilihat juga dari

fungsi non pangan, seperti penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan peternak. Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan

bahwa itik Alabio mempunyai nilai ekonomis tinggi. Hal ini dibuktikan berkisar

antara 46.81-52.80% merupakan mata pencaharian utama peternak itik Alabio,

khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah dan Hulu

Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Sebagai komoditas unggulan daerah, itik

Alabio saat ini dipelihara secara semi intensif dan intensif. Pergeseran sistem

(28)

terutama bibit dan pakan untuk mencapai kelayakan ekonomi. Pergeseran ini

menunjukkan bahwa usaha ternak itik Alabio bukan hanya dipandang sekedar

usaha sambilan, melainkan telah mengarah kepada cabang usaha pokok dengan

orientasi komersial. Khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, usaha beternak

itik Alabio sudah menjurus kepada spesialisasi usaha, yaitu sebagai penghasil

telur konsumsi, itik dara, telur tetas dan bibit/DOD. Bibit itik Alabio dihasilkan

dengan menetaskan telur, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok.

Saat ini, pembibitan itik lokal telah dilakukan peternak tradisional di

masing-masing wilayah pengembangan, namun kualitas dan produktivitasnya masih

rendah dan sangat bervariasi. Hal ini tentunya diperlukan pendampingan dan

pembinaan intensif dalam pengelolaannya untuk keperluan jangka panjang.

Keberadaan itik murni di habitatnya dapat merupakan reservoir bagi kekayaan

plasma nutfah, baik sebagai koleksi dan konservasi keanekaragaman hayati,

maupun untuk materi pemuliaan di masa mendatang. Sumber daya genetik

mempunyai peran penting sebagai material genetik yang dapat dimanfaatkan

untuk pembentukan galur unggul. Pemanfaatan sumber daya genetik ternak

untuk pengembangan bibit komersial, perlu dijaga eksistensi dan keragamannya,

sehingga upaya pelestarian secara berkelanjutan dapat berjalan dengan baik.

Seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen akan produk itik (telur

dan daging), mempunyai konsekuensi terhadap penyediaan bibit yang

berkualitas dan berkesinambungan. Bibit itik yang dihasilkan peternak penetas

tradisional diduga kualitasnya masih beragam. Pemenuhan kebutuhan bibit

berkualitas dalam jumlah besar, salah satunya dapat dipenuhi dengan

pemeliharaan itik Alabio secara intensif, sementara informasi tentang keragaan

atau spesifikasi itik Alabio sebagai penghasil bibit berorientasi agribisnis, belum

tersedia secara memadai di tingkat lapang, sehingga diperlukan penelitian untuk

mengetahui dan mendapatkan informasi tersebut, yaitu dengan melakukan

karakterisasi sifat-sifat kualitatif (warna bulu dominan, corak dan fluoresens bulu,

warna paruh kaki dan shank), maupun sifat kuantitatif (bobot badan, bobot telur, bobot tetas, ukuran-ukuran tubuh dan produksi telur), keragaman fenotipik dan

genetik dalam dan antar populasi berbeda, dengan menganalisis protein darah

menggunakan teknik elektroforesis. Analisis polimorfisme protein darah dilakukan

(29)

menggunakan matrik jarak genetik dan pohon filogenetik.

Tahap selanjutnya mempelajari tingkah laku memilih makan dan kawin,

keragaaan aktivitas menetas dan melakukan analisis kandungan nutrisi pakan itik

Alabio yang digunakan di lapang/peternak, serta profil peternak itik Alabio.

Informasi tentang profil peternak , diperoleh melalui wawancara langsung dengan

peternak responden, menggunakan lembar pertanyaan dalam bentuk kuisioner.

Tahapan-tahapan kegiatannya meliputi antara lain: identitas peternak responden,

tingkat kepemilikan ternak, sistem pemeliharaan, tujuan pemeliharaan, tingkat

produksi telur, aspek penyakit dan upaya penanggulangannya.

Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini, diharapakan menjadi

salah satu bahan pertimbangan untuk membuat atau menyusun standarisasi

bibit/induk itik Alabio di tingkat lapang/peternak. Standarisasi mutu bibit itik Alabio

sampai saat ini belum ditetapkan, maka perlu disusun atau dibuat standarnya,

sebagai acuan bagi seluruh pengguna (user). Standarisasi itik Alabio dibuat dalam rangka mendukung pelestarian sumber daya genetik ternak asli indonesia,

perlindungan terhadap konsumen, peningkatan kualitas itik lokal, peningkatan

kinerja agribisnis dan agroindustri. Informasi yang tersedia juga diharapkan dapat

dimanfaatkan oleh Komisi Bibit Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan Kementerian Pertanian, khsususnya Komisi Bibit Unggas, Pemerintah

Daerah (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan), dalam rangka upaya

pengembangan, pelestarian dan konservasi plasma nutfah itik Alabio secara

(30)
[image:30.595.110.512.66.765.2]

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran.

ITIK ALABIO

POTENSI

Sebagai sumber plasma nutfah daerah/nasional Itik penghasil telur produktif

Berkontribusi signifikan terhadap pendapatan peternak itik Alabio

PERMASALAHAN

Permintaan produk itik (daging dan telur) meningkat Kualitas bibit masih beragam

Peyediaan bibit yang berkualitas masih terbatas

ANALISIS TINGKAH LAKU:

1. Tingkah laku memilih pakan 2. Tingkah laku

menetas 3. Tingkah laku

kawin

ANALISIS MORFOMETRIK: Sifat kualitatif (warna

bulu, paruh, kaki dan

shank) dan kuantitatif (ukuran tubuh)

ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DARAH

(albumin, post albumin, transferin, post transferin 1 & 2

dan hemoglobin)

Dimanfaatkan dalam rangka

pengembangan itik Alabio sebagai aset nasional secara lestari dan berkelanjutan

(31)

(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Itik Alabio (

Anas platyrhynchos

Borneo)

Itik lokal di Indonesia sekurang-kurangnya dibedakan atas tiga kelompok

utama, yaitu itik Tegal, itik Bali dan itik Alabio yang semuanya dipelihara untuk

tujuan produksi telur (Srigandono & Sarengat 1990; Suwindra 1998; Solihat et al.

2003). Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) merupakan salah satu itik petelur

lokal produktif yang berasal dari Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara,

Kalimantan Selatan (Nawhan 1991; Wasito & Rohaeni 1994; Suparyanto 2005;

Suryana 2007), termasuk ke dalam ordo anseriformes, famili anatidae, genus

dan spesies Anas platyrhynchos Borneo (Hetzel 1985; Suwindra 1998;

Biyatmoko 2005a).

Itik Alabio memiliki beberapa sifat karakteristik antara lain: bentuk tubuh

membuat garis segitiga dengan kepala kecil dan membesar ke bawah, berdiri

tidak terlalu tegak membuat sudut 45o dengan dasar tanah (Nawhan 1991),

postur tubuh condong membentuk sudut 60o (Alfiyati 2008). Warna bulu pada

kepala betina coklat kelam, tidak ada kalung putih di leher, dada kecoklatan, bulu

badan berwarna coklat agak biru kehijauan, kaki berwarna jingga, serta bagian

atas mata terdapat garis kelam menyerupai alis mata (Setioko & Istiana 1999;

Susanti & Prasetyo 2007). Paruh jantan maupun betina berwarna jingga kusam

dengan bintik hitam pada ujungnya, ujung sayap, ekor, dada, leher dan kepala

sedikit kehitam-hitaman (Wasito & Rohaeni 1994; Biyatmoko 2005). Itik jantan

memiliki warna bulu pada kepala bagian atas berwarna coklat kelam mengkilap

(Alfiyati 2008), itik jantan dewasa terdapat kalung putih di leher (Wasito &

Rohaeni 1994), dada keunguan, bulu badan berwarna coklat muda dan pada

ujung ekor terdapat bulu yang melengkung ke atas (Setioko & Istiana 1999;

Biyatmoko 2005a; Suparyanto 2005).

Fenotipe itik Alabio berbeda dengan galur itik lokal lainnya, karena tingkat

keragaman pada pola warna bulunya (Suparyanto 2005), memiliki warna bulu

yang khas (Sopiyana & Prasetyo 2008). Hasil identifikasi terhadap fenotipe itik

Alabio dan itik lokal Philipina, terdapat beberapa kesamaan sifat fenotipe yang

secara geografis jaraknya cukup jauh, bahkan diduga masuknya itik ke

(33)

Berdasarkan frekuensi gen pada lokus polimorf ke delapan dan lokus

monomorf kedua belas, yang terdapat pada sepuluh jenis itik lokal di Indonesia

termasuk Itik Alabio, dapat disimpulkan bahwa itik Alabio berkerabat dekat

dengan itik Lombok, itik Bali, itik Mojosari, itik-itik Jawa Tengah, itik-itik Jawa

Barat dan itik Khaki Campbell dari Inggris (Hetzel 1985). Hal ini sesuai hasil

penelitian Brahmantiyo et al. (2003), berdasarkan analisis morfometrik itik Alabio

dekat kekerabatannya dengan itik Mojosari.

Itik Alabio dipelihara masyarakat khususnya di Kalimantan Selatan,

dilakukan secara turun temurun, serta mempunyai peranan penting dalam

menopang pendapatan peternak dan keluarganya (Zuraida 2004; Biyatmoko

2005). Unggas ini mampu memberikan kontribusi produksi telur sebesar 53.73%

terhadap total produksi telur unggas di Kalimantan Selatan (Rohaeni & Rina

2006), kontribusi terhadap pendapatan total keluarga peternak itik sebesar 58%

(Zuraida 2004), 42.09-52.80% merupakan mata pencaharian utama peternak itik

Alabio, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah

(HST) dan Hulu Sungai Selatan (HSS) (Ma’amun & Rina 1995; Zuraida 2004;

Biyatmoko 2005a), dan 47.50% di Kabupaten Tanah Laut (Rohaeni & Tarmudji

1994), serta 20.65% di Kecamatan Hamayung Kabupaten HSS (Rohaeni & Rina

2006).

Peranan itik lokal, termasuk itik Alabio tidak saja sebagai sumber pangan

yang cepat menghasilkan (quick yielding) (Solihat et al. 2003), tetapi lebih

penting lagi merupakan sumber pendapatan peternak itik Alabio (Hamdan &

Zuraida 2007; Hamdan et al. 2010), menciptakan lapangan pekerjaan dan

menambah konsumsi protein hewani bagi peternak dan masyarakat (Jarmani &

Sinurat 2004). Mengingat peranan itik Alabio yang signifikan terhadap

peningkatan pendapatan peternak di pedesaan, unggas ini oleh Pemerintah

Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, terus dikembangkan dan diupayakan untuk

dijaga kelestariannya (Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan 2006),

bahkan telah dijadikan sebagai salah satu sumber plasma nutfah (genetic

resources) daerah dan nasional (Departemen Pertanian 2006), selain kerbau

rawa/kalang (Bubalus carabanensis) yang ada di Kalimantan Selatan (Dinas

Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan 2006; Suryana 2007). Keragaan

produksi itik Alabio di tingkat lapang masih relatif beragaman, sehingga

(34)

pemuliaan yang terarah dan terstruktur. Keragaan itik Alabio di Kalimantan

[image:34.595.111.540.160.585.2]

Selatan, disarikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Keragaan itik Alabio di Kalimantan Selatan

Paramater

Asal itik

Itik seleksi Itik kontrol BPTU

Pelaihari

SPAKU HSU

Induk Keturunan I I II

Rataan

produksi telur (%)

58.16 (2) 59.94 (2) 52.80 (1) 53.11(1) 33.20 (3) 61.80 (4)

Rataan

produksi telur dari itik terseleksi (%)

60.65 (2) 65.50 (2) - - - -

Puncak produksi (%)

80.69 (bulan ke

8) (2)

93.55 (bulan ke 3)

(2)

71.62 (buan ke

4) (1)

68.23 (bulan ke

2) (1)

- 72.16%

(bulan ke 5) (4) Umur pertama

kali bertelur (hari) 145-165 (2) 147-163 (2) 142-165 (1) 156 (1) - - Rataan

produksi telur terendah (%)

28.49 (2) 31.06 (2) - 18.76 (1) - -

Rataan produksi tertinggi (%)

72.89 (2) 72.25 (2) - - - -

Daya tunas (%)

- - - - 84.8 (3) -

Daya tetas (% telur fertil)

- - - - 30.2 (3) -

Bobot telur tetas

- - - - 64.5 (3)

59.83-64.94 (4)

Bobot tetas (g) - - - - 35.7 (3) -

Bobot badan betina umur 14 minggu (g)

- - - - 1448.6 (3) 1600 (4)

Sumber : (1) Purba & Manurung (1999); (2) Setioko et al. (2000); (3) Setioko et al. (2004)

(4) Rohaeni & Setioko (2001).

Keterangan: BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul), SPAKU (Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan), HSU (Hulu Sungai Utara)

Dalam rentang waktu yang cukup lama, itik Alabio telah beradaptasi baik

dengan lingkungan, pakan serta sistem pemeliharaan yang berbeda-beda di

setiap daerah di Kalimantan Selatan. Terjadi keragaman yang bervariasi diduga

disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Keragaman yang tinggi

merupakan tantangan besar yang harus diatasi dalam upaya meningkatkan

produktivitas itik lokal, khususnya dalam menyediakan bibit yang seragam dan

(35)

mendapatkan keseragaman yang optimal, baik dalam hal pertumbuhan, waktu

mulai bertelur, produksi dan puncak produksi telur, daya tunas dan lain-lain,

khususnya untuk pengembangannya secara komersial.

Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan itik di Indonesia umumnya dibedakan menjadi tiga

pola, yaitu sistem ekstensif/tradisional, semi intensif dan intensif (Nawhan 1991;

Wasito & Rohaeni 1994; Purba & Manurung 1999; Pingel 2005; Suryana 2007;

Hamdan et al. 2010). Sistem pemeliharaan tradisional dengan cara

menggembalakan itik di rawa atau sungai (Nawhan 1991), mencari makan

sendiri di sekitar rumah, sawah, selokan dan kolam (Solihat et al. 2003), serta

diberi pakan tambahan seadanya (Alfiyati 2008). Pemeliharaan sistem semi

intensif dan intensif, pakan diberikan secara teratur dalam kandang tanpa atau

dengan disediakan kolam (Suwindra 1998; Pingel 2005).

Perkembangan pemeliharaan itik Alabio yang cepat saat ini, mengarah

pada pergeseran dari sistem pemeliharaan lanting/tradisional kepada sistem

intensif yang sepenuhnya terkurung. Pergeseran ini menunjukkan bahwa, usaha

ternak itik Alabio bukan hanya dipandang sekedar usaha sambilan, melainkan

telah mengarah kepada cabang usaha pokok dengan orientasi komersial

(Biyatmoko 2005; Prasetyo 2006; Suryana 2007), dengan skala usaha

pemeliharaan disesuaikan dengan kemampuan modal yang dimiliki peternak

(Hamdan et al. 2010). Menurut Edianingsih (1991) sistem pemeliharaan intensif

dapat meningkatkan keuntungan sebesar 50% lebih tinggi daripada

pemeliharaan ekstensif-tradisional.

Usaha pemeliharaan itik Alabio, menurut Setioko (2001) dapat

dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a) skala kecil, itik yang dipelihara kurang dari

500 ekor dengan sistem pemeliharaan tradisional dilepas di rawa, sawah atau

sungai (Alfiyati 2008); b) skala sedang jumlah pemeliharaan antara 500-5000

ekor/peternak, dan c) skala besar jumlah itik yang dipelihara lebih dari 5000

ekor/peternak dan dipelihara secara intensif. Khususnya di Kabupaten HSU,

pemeliharaan itik Alabio sudah mengarah kepada spesialisasi usaha, yaitu

penetasan (hatchery), penghasil telur tetas (breeding), telur konsumsi (laying)

dan pembesaran itik dara (rearing) (Nawhan 1991;Biyatmoko 2005; Suryana &

(36)

menghasilkan telur konsumsi (Setioko & Istiana 1999) dan sebagian kecil

peternak mengusahakan telur tetas sebagai sumber bibit (Suryana 2007).

Menurut Nawhan (1991) itik Alabio dahulu dipelihara dengan cara

digembalakan di rawa-rawa dan sungai-sungai atau dikenal dengan “sistem

lanting”. Pemeliharaan sistem lanting khususnya terdapat di Kabupaten HST dan

HSU, namun sekarang sudah mulai ditinggalkan dan peternak sudah beralih ke

sistem pemeliharaan intensif (Biyatmoko 2005; Suryana 2007; Alfiyati 2008),

walaupun ada beberapa peternak di Kabupaten HSU yang masih melakukan

pemeliharaan sistem lanting (Rohaeni 2005; Hamdan & Zuraida 2007).

Pemeliharaan sistem lanting dilakukan pada rumah terapung di atas rawa

dengan balok-balok sebagai alat pengapung dan di bagian bawah lantai

dibuatkan kandang itik yang hanya dikelilingi pagar bambu dengan kapasitas

150-200 ekor (Setioko 1990), atau 700 ekor/lanting (Rohaeni 2005).

Berdasarkan analisis ekonomi, usaha beternak itik Alabio sistem lanting dengan

digembalakan di Kabupaten HST, skala pemeliharaan 700 ekor selama 5 bulan

dilaporkan Rohaeni (2005) lebih menguntungkan, karena biaya pakan dapat

dikurangi seoptimal mungkin. Itik yang digembalakan mendapatkan variasi pakan

lebih banyak jumlah dan ragamnya, sehingga dapat mengurangi biaya

(Hardjosworo et al. 2001), walaupun produksi telurnya relatif sedikit tetapi masih

menguntungkan (Edianingsih 1991; Purba & Manurung 1999).

Itik Alabio sekarang sudah menjadi salah satu komoditas utama (Hamdan

& Zuraida 2007; Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan 2008),

pemeliharaannyapun telah beralih dari cara lanting ke sistem semi intensif dan

intensif (Setioko 2001; Ketaren 1998; Dinas Peternakan Kabupaten HSU 2000;

Biyatmoko 2005a; Suryana 2007). Rohaeni (2005) menyatakan bahwa

pemeliharaan itik Alabio yang dilakukan saat ini beragam, bergantung kepada

kebiasaan peternak dan kondisi alam. Sebelum terjadi krisis moneter tahun 1997,

di daerah sentra produksi seperti Kabupaten HSU dan HST, pemeliharaan itik

dilakukan secara semi intensif dan intensif dengan skala pemeliharaan berkisar

antara 500-15000 ekor/peternak (Setioko & Istiana 1999; Biyatmoko 2005a).

Kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa masih terdapat masyarakat

yang memelihara itik Alabio secara semi intensif dengan skala usaha antara

25-200 ekor/kepala keluarga, pakan diberikan berupa campuran cangkang udang,

ikan rucah, rajungan untuk menambah kualitas warna kuning telur (Setioko &

(37)

dilakukan dengan skala kepemilikan berkisar antara 200-7000 ekor/kepala

keluarga, pemberian pakan 2-3 kali sehari (Alfiati 2008), bahan penyusun pakan

terdiri atas pakan komersial, dedak, gabah, sagu, ikan rucah, siput dan hijauan

rawa atau ganggang (Setioko & Rohaeni 2001; Biyatmoko 2005a), serta

serangga kecil lainnya (Suwindra 1998).

Sistem pemeliharaan itik Alabio yang berbeda-beda di setiap daerah,

diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya keragaman yang bervariasi.

Keragaman yang tinggi, baik secara fenotipe maupun genotipe disebabkan

belum dilakukan peningkatan kualitas genetik. Peningkatan kualitas genetik pada

dasarnya dapat ditempuh melalui dua cara yaitu seleksi dan persilangan yang

terstruktur baik digunakan secara terpisah maupun kombinasi.

Produksi Telur Itik Alabio

Itik Alabio mempunyai kemampuan berproduksi telur tinggi, walaupun

tingkatannya bervariasi (Hardjosworo et al. 2001). Sifat-sifat yang mempengaruhi

produksi telur yaitu faktor genetis dan lingkungan (Harahap 2005). Faktor-faktor

genetis antara lain umur pertama bertelur, intensitas bertelur dan persistensi

bertelur (Solihat et al. 2003), sedangkan lingkungan antara lain manajemen

pemeliharaan (pakan, perkandangan, iklim dan kesehatan) (Noor 2008).

Produksi telur itik Alabio yang digembalakan umumnya masih rendah

hanya 130 butir/ekor/tahun (Rohaeni & Tarmudji 1994), atau 26.9-41.3% (Setioko

1990). Rendahnya produksi telur, menurut Setioko et al. (1992;1994) salah

satunya disebabkan oleh pakan yang kurang memadai. Sebaliknya jika pakan

tambahan diberikan secara teratur, akan meningkatkan produksi telur itik

gembala dari 38.3% meningkat menjadi 48.9% (Setioko el al. 2004). Hardjosworo

et al. (2001) dan Ketaren (2002), menyatakan bahwa produksi telur itik yang

dipelihara secara tradisional lebih rendah dibanding pemeliharaan semi intensif

maupun intensif. Produksi telur itik Alabio yang dipelihara secara intensif,

dilaporkan beberapa peneliti menunjukkan peningkatan produksi dibanding yang

digembalakan (Edianingsih 1991; Prasetyo & Susanti 1999/2000; Rohaeni 2005;

Hamdan & Zuraida 2007; Suryana 2007; Hamdan et al. 2010). Ketaren et al.

(1999) melaporkan bahwa produksi telur itik Alabio selama setahun sebesar

69.4%, lebih rendah dibanding yang dilaporkan Setioko & Rohaeni (2001), yakni

(38)

Alabio selama lima bulan pengamatan sebesar 75.19%, lebih tinggi dari yang

dilaporkan Prasetyo & Susanti (1999/2000), bahwa produksi telur itik Alabio

dengan kandang lantai sebesar 28.75% dan 59.20% untuk kandang individu. Itik

Alabio yang dipelihara intensif sampai umur 72 minggu mampu bertelur

sebanyak 220 butir (Purba et al. 2005), lebih banyak dari yang dilaporkan

Gunawan et al. (1994) sebanyak 214.7±43.31 butir, tetapi relatif sama dengan

yang dilaporkan Setioko (1997) yakni 214.75 butir/ekor/tahun. Berbeda dengan

pernyataan Purba & Manurung (1999), bahwa produksi telur itik Alabio yang

dipelihara intensif selama duabelas bulan (8 bulan produksi) sebanyak 120.81

butir.

Kemampuan itik Alabio dalam memproduksi telur sangat beragam, hal ini

diduga karena perbedaan manajemen pemeliharaan, baik pemberian pakan

serta manajemen lainnya pada masing-masing lokasi. Perbedaan produksi telur

tersebut, salah satunya disebabkan umur pertama bertelur dan perlakuan

peternak mengangkat itik Alabio ke dalam kandang menjelang bertelur tiap-tiap

daerah pengembangan bervariasi.

Karakteristik Penetasan

Penetasan telur adalah usaha untuk menghasilkan anak dari jenis unggas

dengan berbagai cara pengeraman (Tanari 2007). Pengeraman telur yang biasa

dilakukan secara alamiah dan buatan (Setioko 1998). Penetasan telur itik secara

alamiah umumnya menggunakan induk unggas lain yang memiliki sifat

mengeram seperti entog dan ayam kampung, sedangkan penetasan buatan

dilakukan dengan mesin penetasan dengan sumber panas listrik (Wasito &

Rohaeni 1994; Baruah et al. 2001), gabah/sekam (Setioko 1998), lampu minyak

atau kombinasi keduanya (Suryana & Tiro 2007). Prinsip penetasan telur

dengan mesin tetas sama halnya dengan menggunakan induk yang

sesungguhnya (Wibowo et al. 2005). Lama penetasan telur itik memerlukan

waktu selama 28-30 hari (Kortlang 1985; Setioko 1998). sementara ayam

sekitar 21 hari (Wibowo et al. 2005).

Keberhasilan penetasan telur itik salah satunya ditentukan oleh

faktor-faktor seperti bobot telur, indeks telur, fertlitas dan daya tetas (Istiana 1994;

Wibowo et al. 2005). Fertilitas dan daya tetas telur itik memegang peranan

(39)

sering dihadapi dalam penetasan telur itik, antara lain kematian embrio telur

selama proses penetasan umumnya tinggi (Baruah et al. 2001; Setioko 2005).

Tanari (2007) menyatakan ada dua faktor yang berpengaruh terhadap proses

embriogenesis selama penetasan, yaitu faktor biologis dan lingkungan. Menurut

Kortlang (1985) faktor biologis dapat mengakibatkan kematian embrio atau

embrio cacat, disebabkan oleh spermatozoa tertinggal dalam oviduct dalam

waktu lama dan kapasitas sperma yang rendah fertilitasnya. Lebih lanjut

dikemukakan faktor lingkungan antara lain temperatur, kelembaban dan

konsentrasi gas yang terdapat di dalam telur. Kelembaban berpengaruh terhadap

kecepatan hilangnya air dari dalam telur selama proses inkubasi (Setioko 1998).

Kehilangan air yang banyak menyebabkan keringnya chario-allantoic untuk

kemudian digantikan oleh gas-gas, sehingga sering terjadi kematian embrio dan

telur busuk (Baruah et al. 2001).

Penetasan telur itik Alabio yang sekarang banyak dilakukan peternak di

Kabupaten HSU, HSS dan HST, sebagian besar masih tradisional dengan

menggunakan sekam/gabah sebagai sumber panasnya (Nawhan 1991; Setioko

1998; Suryana & Tiro 2007), sumber pemanas listrik (Wasito & Rohaeni 1994),

atau kombinasi di antara keduanya (Suryana & Tiro 2007). Kapasitas alat

penetasan telur bervariasi antara 1000-2500 butir/periode penetasan. Menurut

Wasito & Rohaeni (1994) cara penetasan sistem sekam/gabah pertama kali di

Kalimantan Selatan terdapat di Desa Mamar, Kabupaten Hulu Sungai Utara yang

dipelopori oleh Abdurrahman Alwi, dengan mengadopsi cara penetasan telur itik

sistem gabah dari Bali (Kecamatan Kediri, Mengwi dan Giayar) pada tahun 1975.

Mendatangkan tenaga ahlinya langsung dari Bali, kemudian disebar luaskan

kepada masyarakat di Desa Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan, HSU.

Cara penetasan menggunakan sistem sekam/gabah diakui

peternak/penetas memiliki keunggulan dibanding dengan alat penetas boks, di

samping daya tetas yang dihasilkan lebih tinggi juga kapasitas alat penetas lebih

besar, sehingga dalam periode penetasan tertentu dapat menghasilkan DOD

dalam jumlah banyak.

Sifat Kualitatif dan Kuantitatif

Sifat Kualitatif

Sifat fenotipik adalah penampilan individu yang nampak dari luar, yang

(40)

Sifat-sifat kualitatif adalah sifat yang tidak dapat diukur, tetapi dapat dibedakan

dengan jelas seperti warna bulu, ada tidaknya tanduk, cacat/kelainan, atau

adanya protein-protein tertentu dalam darah (Martojo 1992), fluoresens bulu,

warna paruh dan shank (Sarengat 1990; Suparyanto 2003; 2005). Sifat kualitatif

ekspresinya dikontrol sepenuhnya oleh sepasang gen atau lebih (Martojo 1992;

Warwick et al. 1995; Noor 2008), sedikit dipengaruhi lingkungan (Hardjosubroto

2001).

Sifat kualitatif pada pola warna bulu memiliki pengaruh terhadap

performans ternak unggas termasuk itik (Suparyanto 2003). Bulu merupakan ciri

khusus yang dimiliki bangsa unggas dan berguna menjaga suhu tubuh atau

sebagai insulator (Nasroedin 1995), sehingga dapat terlindung dari cuaca

lingkungan yang buruk. Bulu unggas dikategorikan menjadi bulu kontur, plumulae

dan filoplumulae. Bulu kontur adalah bulu penutup tubuh keseluruhan, plumulae

bulu di bawah bulu kontur yang memiliki tangkai (rachis) dan bendera lunak.

Hardjosubroto (2001) mengemukakan pada ternak dikenal beranekaragam corak

dan warna bulu. Pola dan warna bulu sangat berperan dalam penentuan

kemurnian suatu bangsa atau breed. Adanya berbagai variasi warna dan corak

bulu disebabkan oleh peran aktif berbagai gen. Gen-gen yang mempengaruhi

pewarnaan bulu dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu gen penentu warna

belang, kombinasi warna, intensitas warna dan pemudaran warna (Hardjosubroto

2001; Noor 2008). Warna bulu pada unggas sebenarnya bukanlah sifat produksi

yang memiliki nilai ekonomis tinggi, tetapi dapat menjadi sangat penting dalam

pemuliaan (breeding) untuk tujuan tertentu (Lancester 1990; Appleby 2004;

Hoffmann 2005). Perbedaan sifat kualitatif hampir seluruhnya ditentukan oleh

perbedaan genetik (Hardjosubroto 2001), sedangkan perbedaan lingkungan

pengaruhnya relatif kecil bahkan tidak ada, sehingga variasi sifat kualitatif juga

merupakan variasi genetik (Martojo 1992; Warwick et al. 1995; Newman 1999).

Menurut Lancester (1990) variasi warna bulu itik dikontrol oleh gen putih resesif

(c) yaitu bentuk resesif dari gen warna. Variasi warna bulu pada unggas dibagi

menjadi dua kelompok, yaitu warna yang dihasilkan oleh adanya pigmen dengan

ukuran granul dan warna struktural menunjukkan bulu mematah, menyerap,

membelok atau memantulkan cahaya optimal. Pewarisan warna bulu merupakan

suatu kompleksitas genetik dan terpenting dalam interaksi inter maupun intra alel

(41)

multigenik dan dipengaruhi oleh aksi gen dominan, epistasis dan interaksi gen

(Smyth 1993).

Warna dasar yang penting dari itik liar (mallard) hanya dua, yaitu warna

abu-abu atau grey (G) umumnya merupakan varitas dari warna buff

(kekuning-kuningan) dan carrier normal (D) hasil dilusi melanin (hitam) oleh gen d terkait

kelamin (sex linkage) (Lancester 1990), yang akan menghasilkan warna coklat

lurik-lurik lebih terang sebagaimana dilihat pada pola warna bulu itik Khaki

Campbell (Suparyanto 2005). Lancester (1990) mengemukakan bahwa pola

mallard pada itik jantan dicirikan dengan kepala dan leher berwarna belang hitam

kehijau-hijauan, yang dipisahkan warna merah sampai pada leher dan dibatasi

dengan cincin putih. Punggung dan pinggang berwarna hitam kehijau-hijauan,

kaki atas bagian sisi dan perut berwarna abu-abu kebiru-biruan.

Satu gen pada lokus D sebagai pengontrol pelunturan pigmen yang

menyebabkan menurunnya penyerapan cahaya dan pelunturan warna (Noor

2008). Fungsi gen putih (c) untuk meniadakan produksi pigmen (Suparyanto

2003), kecuali pigmen untuk mata, warna hitam (E) dengan pemunculan warna

hitam pada bulu penutup tubuh, dilusi khaki (d) yang bertindak merubah warna

hitam menjadi coklat, pola Runner (R) secara lokal (spot) akan meniadakan

pigmen pada leher, sayap dan perut, biru keabuan (Bl) mengurangi produksi

pigmen hitam, warna terang (Li) mengurangi garis-garis pada bagian kepala

(Smyth 1993). Pola retriksi (MR) akan mengurangi pigmen spot pada sayap

dorsal, sedangkan dusky (md) berperan untuk meniadakan pigmen hitam dan

membuat gelang putih pada leher (Campo 1997), seperti pada itik Alabio jantan

dewasa yang memiliki kalung putih pada bagian lehernya, disebabkan adanya

peran gen dusky (md). Pola bulu sayap terdapat warna hitam dan putih yang

memantulkan cahaya hijau kebiru-biruan mengkilap. Permukaan sayap ventral

berwarna putih, sedangkan permukaan dorsal berwarna abu kecoklat-coklatan.

Warna bagian kepala pada itik betina coklat kekuning-kuningan, kadang-kadang

ditemukan warna gelap pada beberapa daerah tertentu. Warna gelap terdapat

pada bagian belakang paruh sampai mata, belakang leher, punggung, bagian

sayap ventral berwarna putih, sedangkan bulu primer kebanyakan coklat dengan

totot-totol hitam atau coklat belang. Secara teori dapat dijelaskan bahwa gen

putih resesif (c/c) sangat efektif dalam menutup atau menghalangi hadirnya

pheomelanin (Campo 1997). Pheomelanin adalah pigmen dasar suatu mahluk

(42)

dan aktivitas pheomelanin akan muncul bila unggas telah mengalami pergantian

bulu menjelang dewasa. Daftar gen yang mempunyai pengaruh terhadap warna

kulit dan bulu unggas, ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Daftar gen yang berpengaruh terhadap warna kulit dan bulu unggas

Warna Dominan Resesif Keterangan

Bulu lurik (barred) B*) - Terpaut kelamin

Bulu perak (silver) S*) - Terpaut kelamin

Bulu hitam C -

Bulu putih (inhibitor) I -

Kulit dan kaki putih W -

Kulit dan kaki terang H -

Bulu normal Sk*) - Terpaut kelamin

Pertumbuhan bulu lambat Fr -

Bulu terbalik K*) - Terpaut kelamin

Bulu leher tidak tumbuh Na -

Bulu tidak lurik - b*) Terpaut kelamin

Bulu emas (gold) - S*) Terpaut kelamin

Bulu putih - c

Bulu berwarna - I

Kulit dan kaki kuning - w

Kulit dan kaki gelap - h

Bulu sutera - sk*) Terpaut kelamin

Pertumbuhan bulu cepat - k*) Terpaut kelamin

Bulu normal - fr

Bulu leher normal - na

Sumber: Hardjosubroto (2001)

Menurut Sarengat (1990), pola warna bulu yang terdapat pada itik lokal

Indonesia dibedakan menjadi sembilan macam adalah: 1) warna branjangan,

yaitu warna coklat muda yang dihiasi lurik-lurik hitam, 2) warna jarakan adalah

warna coklat tua yang dihiasi lurik-lurik hitam (jika terdapat kalung di lehernya

disebut jarakan belang), 3) warna bosokan yaitu ketika masih muda berwarna

hitam, tetapi setelah dewasa berubah menjadi coklat tua, 4) warna gambiran

yaitu hitam dan putih, 5) warna lemahan perpaduan antara coklat muda

keabu-abauan, 6) warna jalen dan putihan yaitu putih mulus dengan

Gambar

Gambar  1   Diagram alir kerangka pemikiran.
Tabel 1  Keragaan itik Alabio di Kalimantan Selatan
Gambar 2   Kerangka tubuh itik (Koch  1973)
Gambar 3  Alat elektroforesis (Protean II vertical)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keterbatasan lain yang muncul dalam sistem informasi keuangan klasik adalah memungkinkan user untuk melakukan manipulasi dan kecurangan pada saat melakukan pengolahan laporan

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan rasa ingin tahu dan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran IPS materi menghargai jasa dan peranan tokoh perjuangan dalam

Namun dalam perjalannya transaksi tersebut rusak ketika pihak penyewa meminta tambahan biaya dari biaya yang telah di tentukan di awal akad sehingga disini terjadi

Sudjana (2013) menjelaskan bahwa kegiatan penilaian bertujuan untuk menjamin pelaksanaan pembelajaran agar sesuai terhadap kompetensi yang telah direncanakan,

(3) Apabila bukti yang ditunjukkan oleh asessi telah sesuai dengan laporan kinerja yang telah dibuat, maka asesor dapat memvalidasi dengan memberikan tanda tangan

Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam Rupiah dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari rata-rata suku

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka dalam penelitian ini dilakukan pengkajian kondisi Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang terkait dengan komponen-komponen tata kelola

Hal ini sejalan dan sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurwani (2016) yang menyatakan bahwa secara empiris variabel suku bunga memiliki pengaruh negatif