RINGKASAN
ANGGA WALUYA. Pengaruh Jumlah Mata Tunas Stek terhadap Pertumbuhan Empat Varietas Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.). (Dibawah bimbingan NURUL KHUMAIDA dan SUWARTO).
Kendala dalam pengembangan ubi kayu adalah kurang tersedianya bibit bermutu pada saat tanam, biaya transportasi bibit mahal, dan bibit ubi kayu memerlukan ruangan yang luas untuk penyimpanan. Kebutuhan bibit ubi kayu untuk budidaya secara monokultur adalah 10 000-15 000 stek per ha. Bahan tanam (bibit) yang umum digunakan yaitu stek batang panjang sekitar 20 cm dengan jumlah mata tunas ± 12-15 mata. Jika satu batang ubi kayu dengan ukuran 1-2 m digunakan untuk bibit, akan diperoleh 5-10 stek dan untuk 1 ha lahan dengan kebutuhan bibit 10 000 stek per ha memerlukan 1 000 sampai 2 000 batang untuk bahan stek. Sehingga akan memerlukan bahan tanam yang banyak untuk suatu luasan lahan, biaya transportasi bibit mahal, serta ruang untuk penyimpanan bibit juga harus luas.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah penghematan penggunaan stek, dengan memperpendek ukuran atau mengurangi jumlah mata tunas. Namun penghematan stek tersebut harus tetap mampu menghasilkan pertumbuhan yang baik dan produksi yang tinggi. Diduga kendala dalam penggunaan stek pendek diantaranya kehilangan cadangan bahan makanan akan lebih cepat sehingga daya tumbuh pada stek yang pendek akan lebih kecil dan jumlah tunas yang tumbuh pada stek akan lebih sedikit, sehingga memberikan lebih sedikit pilihan dalam pemilihan 2 tunas terbaik.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jumlah mata tunas
per stek terhadap pertumbuhan ubi kayu varietas Adira-1, Adira-4, UJ-5 dan Malang-4. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB pada bulan Agustus 2010 sampai bulan Februari 2011. Percobaan ini menggunakan
rancangan petak terbagi (Split Plot Design). Varietas ubi kayu sebagai petak
utama terdiri dari empat taraf yaitu Adira-1 (V1), Adira-4 (V2), UJ-5 (V3) dan Malang-4 (V4). Jumlah mata tunas stek sebagai anak petak terdiri dari empat taraf yaitu 4 mata tunas (P1), 6 mata tunas (P2), 8 mata tunas (P3), dan 10 mata tunas
(P4). Percobaan terdiri dari 3 ulangan, sehingga terdapat 48 satuan percobaan, dengan 20 tanaman ubi kayu per petak.
Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah mata tunas stek tidak memberikan pengaruh nyata terhadap daya tumbuh, tinggi batang (pada 14-16 MST), serta jumlah umbi (8 MST dan 16 MST), bobot basah umbi, diameter umbi, dan panjang umbi pada umur 16 MST. Hal ini menunjukan bahwa sampai 16 MST (untuk tujuan produksi umbi), penggunaan stek 4 mata tunas sangat efektif digunakan pada empat varietas yang dicoba. Selain itu, penggunaan stek 4 mata tunas dapat menghemat penggunaan bibit ubi kayu sekaligus meningkatkan rasio perbanyakan ubi kayu dan meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja untuk penunasan (pemilihan 2 tunas terbaik).
Varietas memberikan pengaruh yang berbeda terhadap peubah pengamatan jumlah tunas (1-4 MST) dengan jumlah tunas terbanyak terdapat pada varietas Malang-4, tinggi batang (2-12 MST) dengan batang tertinggi terdapat pada varietas Adira-4, diameter batang (2-16 MST) dengan diameter batang terbesar terdapat pada varietas Adira-4, jumlah umbi (8 MST dan 16 MST) dengan jumlah umbi terbanyak terdapat pada varietas UJ-5, bobot basah umbi (16 MST) dengan umbi terberat terdapat pada varietas Malang-4, diameter umbi (16 MST) dengan diameter umbi terbesar terdapat pada varietas Adira-4, dan panjang umbi (16 MST) dengan umbi terpanjang terdapat pada varietas Malang-4. Namun demikian varietas tidak berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh. Interaksi antar perlakuan hanya terjadi pada peubah jumlah tunas (2-4 MST), tinggi batang (2-10 MST), dan diameter batang (2-6 MST).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah yang tengah berkembang saat ini yaitu ketahanan pangan dan energi. Peningkatan jumlah penduduk mengharuskan adanya peningkatan dalam penyediaan bahan konsumsi sehingga dapat mencapai swasembada pangan. Ukuran swasembada pangan yang pernah dicapai pada awal tahun 80-an, tidak lain adalah dari kecukupan produksi beras yang sama atau melebihi kebutuhan dalam negeri (Bantacut, 2009). Berkurangnya lahan sawah, menurunnya kualitas tanah, perubahan iklim dan lainnya, seringkali menyebabkan usaha pemenuhan kebutuhan beras (usaha swasembada pangan) terhambat. Hal ini menjadikan Indonesia rawan dalam pemenuhan pangan. Selain itu peningkatan konsumsi makanan yang berbahan baku gandum juga meningkat. Ketersediaan bahan baku gandum menjadi salah satu masalah karena tidak mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri sehingga impor menjadi pilihan utama untuk mengatasi masalah tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2010 Indonesia mengimpor gandum dalam bentuk tepung terigu senilai US$ 261 253 088. Hal ini tentunya sangat merugikan karena mengurangi devisa negara. Masalah ketersediaan energi juga sangat penting untuk diperhatikan. Dewasa ini permintaan terhadap energi (bahan bakar) terus meningkat, sedangkan energi yang ada saat ini juga terancam habis karena sebagian besar bertumpu pada sumber energi yang tidak terbarukan. Masalah-masalah tersebut harus segera ditangani. Cara penanggulangan yang dapat dilakukan yaitu diversifikasi (produk) pangan dan penggunaan energi terbarukan.
Ubi kayu merupakan salah satu komoditas yang dapat dijadikan solusi bagi masalah diatas karena mengandung karbohidrat yang cukup tinggi. Dari tanaman ubi kayu dapat dihasilkan berbagai produk baik sebagai bahan pangan, industri, maupun pakan (Suwarto, 2009). Ubi kayu dapat menjadi sumber energi terkaya karena efisiensi fotosintesis dan sintesis turunan karbohidrat yang tinggi
(Balagopalan, 1996 dalam Suwarto, 2005). Kemampuan substitusi tepung ubi
kayu pada mie dan kue kering/biskuit mencapai 50%, pada roti 25%, dan pada
Pertanian, 2005). Peluang yang sangat besar dalam pengurangan impor gandum
ini perlu didukung berbagai pihak. Dalam bidang industri tepung dan pangan, ubi
kayu mempunyai potensi yang besar. Pengembangan industri tepung ubi kayu dalam penguatan ketahanan pangan mempunyai potensi yang besar, selain mempunyai kandungan kalori yang lebih besar daripada beras, tepung ini juga mengandung (dalam setiap 100 g) Ca (84 mg) dan Fe (1 mg) yang baik untuk kesehatan (Bantacut, 2009). Selain itu, berdasarkan potensi fisik seperti kesesuaian lahan, iklim, sumberdaya manusia, dan adaptasi teknologi, tanaman ubi kayu banyak didapat dan bisa dibudidayakan di banyak tempat/lokasi di Indonesia (Siregar, 2009). Kemudahan kesesuian lahan untuk tanaman ubi kayu didukung oleh masih luasnya lahan termasuk lahan kritis yang dapat dimanfaatkan, serta masih ada 108 juta ha areal hutan untuk tumpang sari (Siregar, 2009).
Potensi ubi kayu sebagai bahan baku industri, pangan, dan energi harus didukung oleh adanya peningkatan dan kontinuitas produksi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penanaman ubi kayu di lahan yang sesuai, penggunaan varietas (bahan tanam) yang tepat (jumlah, kontinyu, dan tepat waktu). Varietas dan bahan tanam (bibit) merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam usaha pengembangan ubi kayu. Dari segi varietas, ubi kayu yang dikembangkan harus mempunyai produktivitas dan kualitas yang tinggi agar permintaan yang ada dapat terpenuhi. Beberapa varietas unggul yang telah banyak digunakan yaitu Adira-1, Adira-4, UJ-5, dan Malang-4.
Jika produksi ubikayu ditujukan untuk bahan baku bioethanol, harus memenuhi kriteria, yaitu: (1) Berkadar pati tinggi; (2) Potensi hasil tinggi; (3) Tahan cekaman biotik dan abiotik; dan (4) Fleksibel dalam usahatani dan umur panen. Dari 16 varietas unggul ubikayu yang telah dilepas Departemen Pertanian hingga saat ini, diantaranya Adira-4, UJ-5 dan Malang-4 memiliki karakter yang sesuai dengan kriteria tersebut. Sifat penting varietas ini adalah: (1) Daun tidak cepat gugur, (2) Adaptif pada tanah ber-pH tinggi dan rendah, (3) Adaptif pada kondisi populasi tinggi sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma, dan (4)
Dapat dikembangkan pada pola tumpang sari (Wargiono et al., 2006). Varietas
18-22%, kadar protein 0.8-22 %), dan UJ-5 (25-38 ton/ha umbi segar, kadar pati 19-30 %) merupakan varietas yang cocok untuk industri dan bioethanol, sedangkan Adira-1 (22 ton/ha umbi segar, kadar tepung 45 %, kadar protein 0.5 % umbi segar, rasa enak dan HCN 27.5 mg) cocok untuk konsumsi, maupun bahan baku industri.
Hasil yang tinggi dapat diperoleh bila tanaman tumbuh optimal dan seragam dengan populasi yang penuh. Kondisi tersebut dapat dicapai bila bibit yang digunakan memenuhi kriteria lima tepat, yaitu: waktu, kuantitas, kualitas, harga, dan tempat. Kendala dalam pengembangan ubi kayu adalah kurang tersedianya bibit bermutu pada saat tanam, biaya transportasi bibit mahal, dan bibit ubi kayu memerlukan ruangan yang luas untuk penyimpanan. Kebutuhan bibit ubi kayu untuk budidaya secara monokultur adalah 10 000-15 000 stek/ha. Bahan tanam (bibit) yang umum digunakan yaitu stek dengan panjang sekitar 20 cm dengan jumlah mata tunas ± 12-15 mata. Jika satu batang ubi kayu dengan ukuran 1-2 m digunakan untuk bibit, sehingga dengan cara ini akan diperoleh 5-10 stek dan untuk 1 ha lahan dengan kebutuhan bibit 10 000 stek/ha saja diperlukan 1000 sampai 2000 batang untuk bahan stek. Cara ini tentunya memerlukan bahan tanam yang banyak untuk suatu luasan lahan, biaya transportasi bibit mahal, serta ruang untuk penyimpanan bibit juga harus luas.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah penghematan penggunaan stek, dengan memperpendek ukuran atau mengurangi jumlah mata tunas. Namun penghematan stek tersebut harus tetap mampu menghasilkan pertumbuhan yang baik dan produksi yang tinggi. Diduga kendala dalam penggunaan stek pendek diantaranya kehilangan cadangan bahan makanan akan lebih cepat sehingga daya tumbuh pada stek yang pendek akan lebih kecil dan jumlah tunas yang tumbuh pada stek akan lebih sedikit sehingga memberikan lebih sedikit pilihan dalam pemilihan 2 tunas terbaik.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jumlah mata tunas pada stek terhadap pertumbuhan ubi kayu varietas Adira-1, Adira-4, UJ-5 dan Malang-4.
Hipotesis
1. Terdapat jumlah mata tunas per stek yang optimum untuk pertumbuhan ubi
kayu varietas Adira-1, Adira-4, UJ-5 dan Malang-4.
2. Terdapat interaksi antara jumlah mata tunas per stek dan varietas terhadap