• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerajaan Kuripan, atau disebut pula Kahuripan, adalah kerajaan kuno yang beribukota di kecamatan Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Kerajaan Kuripan berlokasi di sebelah hilir dari negeri Candi Agung (Amuntai Tengah).

Pusat pemerintahan kerajaan ini berpindah-pindah di sekitar Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong saat ini. Kabupaten Tabalong terletak di sebelah hulu dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, karena di kawasan Kabupaten Hulu Sungai Utara sungai Bahan/sungai Negara bercabang ke arah hulunya menjadi dua yaitu daerah aliran sungai Tabalong dan daerah aliran sungai Balangan. Menurut kebiasaan di Kalimantan,  penamaan sebuah sungai biasanya berdasarkan nama kawasan yang ada di sebelah hulunya. Karena itu penamaan sungai Tabalong berdasarkan nama daerah yang ada di sebelah hulu dari sungai tersebut, yang pada zaman Hindia

Belanda disebut Distrik Tabalong.  Sungai Tabalong adalah anak sungai Bahan, sedangkan sungai Bahan adalah anak  sungai Barito yang bermuara ke laut Jawa.

 Nama Kerajaan Kuripan sebutan lain dari Kerajaan Tabalong yang disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis pujangga Majapahit yakni Mpu Prapanca pada tahun 1365.

Sebutan Kerajaan Tabalong berdasarkan nama kawasan dimana kerajaan tersebut berada. Sedangkan nama Kuripan mungkin nama ibukotanya saat itu. Nama Kuripan adalah nama lama kota Amuntai di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang terletak di sekitar muara sungai Tabalong.

Pemerintahan suku Maanyan di kerajaan Nan Sarunai mendapat serangan dari Jawa (Majapahit) sebanyak dua kali yang disebut orang Maanyan dengan istilah Nansarunai Usak Jawa, sehingga suku Maanyan menyingkir ke  pedalaman pada daerah yang dihuni suku Lawangan kecuali sebagian yang kemudian bergabung ke dalam  pemerintahan orang Majapahit. Diduga serangan yang kedua adalah serangan dari Pangeran Surya Nata I yang telah mengokohkan kedudukannya sebagai Raja Negara Dipa setelah menikah dengan Putri Junjung Buih. Menurut orang Maanyan, kerajaan Nan Sarunai ini telah ada pengaruh Hindu, yaitu adanya pembakaran tulang-tulang dalam upacara kematian suku Maanyan, yang merupakan aliran Hindu-Kaharingan, sebelumnya tidak dikenal  pembakaran tulang-tulang dalam agama Kaharingan yang asli. Periode Kerajaan Kuripan/Nan Sarunai ini sezaman

dengan Kerajaan Kutai Martadipura. 9. KERAJAAN KALINGGA

Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan  bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini berada di antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber  Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Kisah lokal

Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya, dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan  putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran

dijatuhi hukuman dipotong kakinya 1. KERAJAAN KUTAI

Sejarah

Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak  Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.

Yupa

Yupa atau prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4.  Ada tujuh buah yupa di Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman.  Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedek ahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

Mulawarman

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.

Aswawarman

Aswawarman adalah Anak Raja Kudungga.Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.

Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.

Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.

Berakhir

Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa.  Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

2. KERAJAAN TARUMANEGARA

Sumber Sejarah

Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi)  sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang  prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.0 00 ekor  sapi kepada kaum brahmana.

Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah  prasasti  batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman  pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.

Prasasti yang ditemukan

- Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor.

- Prasasti Tugu,  ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam  berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim

kemarau.

- Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul,  ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.

- Prasasti Ciaruteun,  Ciampea, Bogor ditemukan pada aliran Ci Aruteun,  seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane;  namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini  peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sanskerta.

- Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor

- Prasasti Jambu,  Nanggung, Bogor masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka.

- Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor - Prasasti Telapak Gajah

- Prasasti Jambu di daerah Bogor,

Sumber berita dari luar negeri

Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok.

Berita Fa Hien,  tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti ("Jawadwipa") hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha,yang banyak adalah orang-orang yang  beragama Hindu dan "beragama kotor" (maksudnya animisme). Ye Po Ti selama ini sering dianggap sebutan Fa

Hien untuk Jawadwipa atau Way Seputih di Lampung, di daerah aliran way seputih (sungai seputih) ini ditemukan  bukti-bukti peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dan lain-lain.

Berita  Dinasti Sui,  menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo ("Taruma") yang terletak di sebelah selatan.

Berita Dinasti Tang,  juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo. Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.

3. KERAJAAN SRIWIJAYA

Catatan Sejarah

Sriwijaya merupakan kerajaan yang bercorak agama Budha. Raja yang pertamanya bernama Sri Jaya Naga, sedangkan raja yang paling terkenal adalah Raja Bala Putra Dewa.

Letaknya yang strategis di Selat Malaka (Palembang) yang merupakan jalur pelayaran dan perdagangan internasional.Keadaan alam Pulau Sumatera dan sekitarnya pada abad ke-7 berbeda dengan keadaan sekarang. Sebagian besar pantai timur baru terbentuk kemudian. Oleh karena itu Pulau Sumatera lebih sempit bila dibandingkan dengan sekarang, sebaliknya Selat Malaka lebih lebar dan panjang. Beberapa faktor yang mendorong  perkembangan kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan besar antara lain sebagai berikut :

Kemajuan kegiatan perdagangan antara India dan Cina melintasi selat Malaka, sehingga membawa keuntungan yang besar bagi Sriwijaya.

Keruntuhan Kerajaan Funan di Vietnam Selatan akibat serangan kerajaan Kamboja memberikan kesempatan bagi perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim (sarwajala) yang selama abad ke-6 dipegang oleh kerajaan Funan.

Budaya dan Perdagangan

Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.

Masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan  jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan  bahasa Melayu Kuno,  leluhur bahasa Melayu dan  bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara.  Ditandai dengan ditemukannya  berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan

di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran  bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu

menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.

Meskipun memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan  purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat

kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.

Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan

langgam yang sama yang disebut ―Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan

kemiripan

 — 

 mungkin diilhami

 — 

 oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan  penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas

seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal -nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport   atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.

Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi

 — 

 dan jika  perlu

 — 

  memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan

Masa Keemasan

Arca emas Avalokiteçvara  bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.

Pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.  Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda,  menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari  jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza

. Pada tahun 955 M, Mas‗udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis

catatan tentang Sriwijaya.

Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus,  kayu gaharu, cengkeh,  kayu cendana,  pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini  Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi. Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di  Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.

Masa Penurunan

Penyerangan Chola di Kedah tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman.  Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam  pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang

ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.

 Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa  bagian barat.

4. KERAJAAN MATARAM

Nama dan Sejarah

Kerajaan Mataram diketahui dari Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi di Yogyakarta yang ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pada mulanya Jawa (Yawadwipa) diperintah oleh Raja Sanna. Setelah ia wafat Sanjaya naik tahta sebagai penggantinya. Sanjaya adalah putra Sannaha (saudara perempuan Sanna).

Struktur pemerintahan

Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu.  Pada zaman itu istilah  Ratu  belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan  Datu  yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu  dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri  Maharaja. Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Mataram tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan  Rakryan Mapatih Hino  pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih  pada zaman  Majapahit.  Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.

Jabatan sesudah  Mahamantri i Hino  secara berturut-turut adalah  Mahamantri i Halu  dan  Mahamantri i Sirikan. Jabatan tertinggi di Mataram selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja.

Keadaan penduduk 

Artifak emas menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Mataram.

Penduduk Mataram sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya.

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa.  Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Peninggalan sejarah

Avalokitesvara lengan-dua. Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10, tembaga, 12,0 x 7,5 cm.

Chundā

lengan-empat, Jawa Tengah, Wonosobo, Dataran Tinggi Dieng,  abad ke-9/10,  perunggu,  11 x 8 cm. Dewi Tantra lengan-empat

(Chundā), Jawa Tengah, Prambanan, abad ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak di

 Museum für Indische Kunst,  Berlin-Dahlem.

Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Mataram juga membangun banyak candi,  baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo  berupa artifak emas. Candi-candi peninggalan Kerajaan Mataram antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa.

5. KERAJAAN KEDIRI

Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar  Kota Kediri.

Latar Belakang

Arca Wishnu, berasal dari Kediri, abad ke-12 dan ke-13.

Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari  Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan tahun 1042. Saat

akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang  berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur  bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).

Perkembangan Kediri

Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.

Sejarah Kerajaan Panjalu memiliki prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Kerajaan Panjalu di  bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal

dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang .

Dokumen terkait