• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arti Penting Kelembagaan Kelompok Petani Dalam Pembangunan Pertanian

Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan pe- ningkatan pada faktor-faktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan (Uphoff, 1986; Johnson (1985) dalam Pakpahan, 1989). Faktor- faktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai

performance pembangunan yang dikehendaki. Artinya, apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan, maka tujuan untuk mencapai performance tertentu yang dikehendaki tidak akan dapat dicapai.

Salah satu permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian adalah masalah kelembagaan pertanian yang tidak mendukung. Untuk itu perlu adanya pembangunan kelembagaan pertanian yang dilandasi pemikiran bahwa: (a) Proses pertanian memerlukan sumberdaya manusia tangguh yang didukung infrastruktur, peralatan, kredit, dan sebagainya; (b) Pembangunan kelembagaan untuk pertanian lebih rumit daripada manajemen sumberdaya alam karena memerlukan faktor pendukung dan unit-unit produksi; (c) Kegiatan pertanian mencakup tiga rang- kaian: penyiapan input, mengubah input menjadi produk dengan usaha tenaga kerja dan manajemen, dan menempatkan output menjadi berharga; (d) Kegiatan pertanian memerlukan dukungan dalam bentuk kebijakan dan kelembagaan dari pusat hingga lokal; dan (e) Kompleksitas pertanian, yang meliputi unit-unit usaha dan kelembagaan, sulit mencapai kondisi optimal.

Kelembagaan pertanian dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa pe- ran, yaitu: (a) tugas dalam organisasi (interorganizational task) untuk memediasi masyarakat dan negara, (b) tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup mobili- sasi sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan pengelolaan- nya dalam pencapaian tujuan masyarakat, (c) tugas pelayanan (service tasks)

mungkin mencakup permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan pem- bangunan atau koordinasi permintaan masyarakat lokal, dan (d) tugas antar organisasi (extra-organizational task) memerlukan adanya permintaan lokal ter-

hadap birokrasi atau organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar (Esman dan Uphoff dalam Garkovich, 1989).

Kelembagaan merupakan keseluruhan pola-pola ideal, organisasi, dan akti- vitas yang berpusat di sekeliling kebutuhan dasar. Suatu kelembagaan pertanian dibentuk selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan petani sehingga lembaga mempunyai fungsi. kelembagaan merupakan konsep yang berpadu dengan struktur, artinya tidak saja melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga pola organisasi untuk melaksanakannya.

Pengelolaan sumberdaya usahatani oleh petani menyangkut pengaturan masukan, proses produksi, serta keluaran sehingga mencapai produktivitas yang tinggi. Kegiatan usaha pertanian akan berhasil jika petani mempunyai kapasitas yang memadai. Untuk dapat mencapai produktivitas dan efisiensi yang optimal petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif. Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan di tingkat petani. Secara tradisional, kelembagaan masyarakat petani sudah berkembang dari generasi ke generasi, namun tantangan jaman menuntut suatu kelembagaan yang lebih sesuai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat petani. Kelembagaan petani yang efektif ini diharapkan mampu mendukung pem-bangunan pertanian. Di tingkat petani lembaga diperlukan sebagai: (a) wahana untuk pendidikan, (b) kegiatan komersial dan organisasi sumberdaya pertanian, (c) pengelolaan properti umum, (d) mem- bela kepentingan kolektif, dan (e) lain-lain.

Keberadaan kelembagaan kelompok petani didasarkan atas kerjasama yang dapat dilakukan oleh petani dalam mengelola sumberdaya pertanian, antara lain: (a) pemprosesan (processing), agar lebih cepat, efisien dan murah; (b) pe- masaran (marketing), akan meyakinkan pembeli atas kualitas dan meningkatkan posisi tawar petani; (c) pembelian (buying), agar mendapatkan harga lebih murah; (d) pemakaian alat-alat pertanian (machine sharing), akan menurunkan biaya atas pembelian alat tersebut; (e) kerjasama pelayanan (co-operative services), untuk menyediakan pelayanan untuk kepentingan bersama sehingga meningkatkan ke- sejahteraan anggota; (f) bank kerjasama (co-operative bank); (g) kerjasama usaha- tani (co-operative farming), akan diperoleh keuntungan lebih tinggi dan kese-

ragaman produk yang dihasilkan; dan (h) kerjasa multi-tujuan (multi-purpose co- operatives), yang dikembangkan sesuai minat yang sama dari petani. Kegiatan bersama (group action atau co-operation) oleh para petani diyakini oleh Mosher (1991) sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian. Aktivitas bersama sangat diperlukan apabila dengan kebersamaan tersebut akan lebih efektif dalam men- capai tujuan yang diinginkan bersama.

Penelitian ini memfokuskan pada kelembagaan petani, yaitu: kelembagaan kelompok petani. Kelembagaan kelompok petani yang dimaksud adalah berada pada kawasan lokalitas (local institution) yaitu desa, berupa organisasi ke- anggotaan (membership organization) atau kerjasama (cooperatives) yaitu petani- petani yang tergabung dalam kelompok (Uphoff, 1986). Kelembagaan ini men- cakup juga pengertian organisasi petani. Artinya, selain ‘aturan main’ (role of the game) atau aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial, termasuk juga kesatuan sosial-kesatuan sosial yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga itu (Anwar, 2003; Ruttan, 1985; Uphoff, 1986).

Mengembangkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani

Kemandirian (self-reliance) petani diyakini sebagai muara dari suatu usa- ha pembangunan pertanian. Sarana untuk mencapai kemandirian adalah adanya keswadayaan. Kemandirian dan keswadayaan individu dapat terwujud melalui proses-proses sosial dalam kelembagaan yang ada di masyarakat (Christenson dan Robinson, 1989; ECDPM, 2006). Melalui interaksi yang dibangun antar individu dalam masyarakat terjadi proses pembelajaran yang mampu meningkatkan kapasitas individu. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan berbagai aspirasi ma- syarakat yang selalu berkembang diperlukan suatu kelembagaan yang mempunyai kapasitas yang memadai. Kapasitas atau capacity, menurut Kamus Webster, me- rujuk pada kemampuan untuk atau melakukan (ability for or to do); kesanggupan

(capability); suatu keadaan yang memenuhi syarat (a condition of being qualified). Kapasitas kelembagaan dapat diartikan sebagai kemampuan kelem- bagaan untuk mencapai tujuan atau visinya. Perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat menuntut upaya pengembangan kapasitas kelembagaan.

Pengembangan kelembagaan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana yang dimaksudkan sebagai sarana pendorong proses perubahan dan inovasi. Proses transformasi kelembagaan pada petani melalui pembanguan atau pengembangan kelembagaan seyogyanya dapat menjadikan kelembagaan menjadi bagian penting dalam ke-hidupan petani untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan usahataninya. Pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani merupakan suatu perspektif tentang perubahan sosial yang direncanakan, yang menyangkut inovasi-inovasi yang menyiratkan perubahan-perubahan kualitatif dalam norma- norma, dalam pola-pola kelakuan, dalam hubungan-hubungan kelompok, dalam persepsi-persepsi baru mengenai tujuan-tujuan maupun cara-cara. Pembangunan lembaga dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan dari organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang (a) mewujudkan perubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik, dan/atau sosial, (b) menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubungan- hubungan normatif dan pola-pola tindakan yang baru, dan (c) memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan lembaga (Esman, 1986).

Pengembangan kelembagaan diarahkan pada upaya peningkatan kapasitas- nya sehingga mampu memenuhi kebutuhan anggota. Artinya, secara sosial-eko- nomis lembaga tersebut: (a) mempunyai kemampuan untuk mempertahankan ke- langsungan hidupnya; (b) sejauhmana inovatif (mengadakan pembaharuan) dipan- dang oleh lingkungannya sebagai memiliki nilai intrinsik, yang dapat diukur se- cara operasional dengan indeks-indeks seperti tingkat otonominya dan pengaruh- nya terhadap lain-lain lembaga; dan (c) sejauh mana suatu pola inovatif dalam organisasi baru itu menjadi normatif bagi lain-lain kesatuan sosial dalam sistem sosial yang lebih besar (Jiri Nehnevajsa dalam Eaton, 1986).

Unsur-unsur dalam lembaga, seperti dikemukakan Esman (1986), dapat dijadikan parameter untuk menilai kapasitas suatu lembaga:

(a) Adanya kepemimpinan, yang menunjuk pada kelompok orang yang secara aktif berkecimpung dalam perumusan doktrin dan program dari lembaga tersebut dan yang mengarahkan operasi-operasi dan hubungan-hubungannya dengan lingkungan tersebut.

(b) Adanya spesifikasi nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan metode-metode operasional yang mendasari tindakan sosial anggota.

(c) Adanya program, menunjuk pada tindakan-tindakan tertentu yang berhu- bungan dengan pelaksanaan dari fungsi-fungsi dan jasa-jasa yang merupakan keluaran dari lembaga tersebut.

(d) Adanya sumberdaya-sumberdaya, yaitu masukan-masukan keuangan, fisik, manusia, teknologi dan penerangan dari lembaga tersebut.

(e) Terbentuknya struktur intern, yaitu struktur dan proses-proses yang diadakan untuk bekerjanya lembaga tersebut dan bagi pemeliharaannya.

Pengembangan kelembagaan bagi masyarakat petani dianggap penting ka- rena beberapa alasan. Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipe- cahkan oleh suatu lembaga petani. Kedua, organisasi masyarakat memberikan k- elanggengan atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk menyebarkan dan mengem- bangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam struktur ekonomi yang ter- buka (Bunch, 1991). Kerjasama petani dapat mendorong penggunaan sumber- daya lebih efisien, sarana difusi inovasi dan pengetahuan (Reed, 1979).

Kelembagaan kelompok petani dalam melaksanakan perannya memerlu- kan pengorganisasian dengan ketrampilan-ketrampilan khusus untuk memberikan dorongan dan bantuan secara sistematis. Secara ideal, pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani dilakukan melalui pendekatan self-help (membantu diri sendiri). Pendekatan yang berorientasi proses, membantu masyarakat dalam belajar bagaimana mengatasi masalah mereka sendiri. Penyuluhan didasarkan premis bahwa masyarakat dapat, akan, dan seharusnya bersama-sama memecah- kan permasalahan yang dihadapi. Untuk itu diperlukan komitmen masyarakat untuk membantu dirinya sendiri, tanpa komitmen dalam kelembagaan akan terjadi kesenjangan kapasitas untuk mencapai efektivitas kegiatan. Dalam kelembagaan kelompok petani, perlu ada penumbuhan kesadaran bagi petani tentang pengaruh luar yang membatasi usahanya, serta identifikasi kebutuhan-kebutuhan yang tim- bul akibat pengaruh tersebut untuk selanjutnya menentukan pemenuhannya.

Berdasarkan kajian pustaka, peneliti mencoba merumuskan kapasitas ke- lembagaan petani seperti terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Identifikasi Kapasitas Kelembagaan Petani

Dimensi-dimensi Teoritis Parameter Terpilih

&' % ( "&)*+# , - % - . /' ( "% &))0# 1 2 3' ( "4 &)*+# % 5 6 7 5 5 6 1 5 1 5 8' 9 "1 6 1 &)*)# . 5 5 6 , 5 :' 4 "; < 4 &)*+# = % 5 % 5 +' 4 "1 /003# % $ % % >' "4 &)*+# *' "4 6 ( ? &)*)# 5 )' = "1 &))># % 2 &0' "@ . 6 A &)))# % &&' "! &)>0# % 6 % % . % . % % % &' $ ' % ' % ' /' = " # $ ' = ' = ' = ' = ' = 3' % $ ' % = ' 7 < ' 1 % ' 1 = 8' % $ ' 1 ' % ' % ' % ' % ' ' 7 2

Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani

Secara normatif, pembangunan di Indonesia mengarah pada pencapaian masyarakat yang adil makmur dan keadilan sosial ekonomi bagi seluruh masyara- kat Indonesia. Untuk mencapai kondisi tersebut, salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah menggerakkan partisipasi masyarakat. Perlu adanya partisipasi emansipatif, yaitu: partisipasi dalam pembangunan bukan semata-mata dalam pe- laksanaan program, rencana dan kebijakan pembangunan, tetapi sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada motto pem- bangunan: dari, oleh, dan untuk rakyat.

Pembangunan sebagai proses peningkatan kemampuan manusia untuk menentukan masa depannya mengandung arti bahwa masyarakat perlu dilibatkan dalam proses itu, masyarakat perlu berperanserta. Peranserta bukan semata-mata melibatkan masyarakat dalam tahap perencanaan atau dalam evaluasi proyek belaka. Dalam peranserta tersirat makna dan integritas keseluruhan proyek itu. Peranserta merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain; peranserta berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat; peranserta adalah kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak-pihak lain untuk suatu kegiatan.

Salah satu upaya untuk mengembangkan partisipasi masyarakat adalah melalui organisasi-organisasi lokal (Uphoff, et.al. dalam Bryant dan White, 1982). Keterlibatan petani dalam kelembagaan diperlukan karena berbagai alasan, antara lain: Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga petani. Berbagai pelayanan kepada masyarakat petani, seperti: pemberi- an kredit, pengelolaan irigasi, penjualan bahan-bahan pertanian, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut dapat berperan sebagai perantara antara lembaga- lembaga pemerintah atau lembaga-lembaga swasta dalam rangka sebagai saluran komunikasi atau untuk kepentingan-kepentingan yang lain. Kedua, organisasi masyarakat memberikan kelanggengan atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk menyebarkan dan mengembangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam

struktur ekonomi yang terbuka. Masyarakat memperkuat diri dengan meng- organisir dalam suatu organisasi. Melalui organisasi tersebut masyarakat mem- peroleh pengalaman-pengalaman yang berharga dalam mengelola sumberdaya pertanian (Bunch, 1991). Kerjasama petani dapat mendorong penggunaan sumber- daya lebih efisien, sarana difusi inovasi dan pengetahuan (Reed, 1979).

Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukung- nya, yaitu: (a) kemauan, (b) kemampuan, dan (c) kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk mampu mengetahui kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Se- telah itu, kemampuan atau ketrampilan perlu ditingkatkan agar dapat memanfa- atkan kesempatan-kesempatan itu. Diperlukan usaha khusus untuk membuat ma- syarakat mau bertindak memanfaatkan kesempatan memperbaiki kehidupannya.

Partisipasi masyarakat dalam lembaga-lembaga lokal merupakan mani- festasi keberdayaan masyarakat. Petani yang berdaya, menurut Susetiawan (2000) adalah petani yang secara politik dapat mengartikulasikan (menyampai- kan perwujudan) kepentingannya, secara ekonomi dapat melakukan proses tawar-menawar dengan pihak lain dalam kegiatan ekonomi, secara sosial dapat mengelola mengatur komunitas dan mengambil keputusan secara mandiri, dan secara budaya diakui eksistensinya.

Pemahaman tentang pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strate- gi yang menitikberatkan pada bagaimana memberikan peran yang proporsional agar masyarakat dapat berperan secara aktif dalam aktivitas sosial kemasya- rakatan. Untuk upaya tersebut diperlukan proses pendidikan untuk mengubah sikap masyarakat, dan untuk membangkitkan kegairahan dan hasrat serta ke- percayaan akan kemampuan sendiri, dapat meningkatkan kemampuan swadaya

(self help) perorangan dan kelompok untuk memperbaiki nasib sendiri. Di- samping itu, diperlukan peningkatan kesadaran dan partisipasi politik di ka- langan penduduk, serta meningkatkan semangat gotong-royong dengan mem- perkokoh lembaga-lembaga demokrasi dan memperluas dasar kepemimpinan masyarakat.

Berbagai bentuk atau tahapan partisipasi seperti dikemukakan oleh Ndraha (1990) antara lain: (a) Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain

(contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial; (b) Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), mengiakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya; (c) Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan (penetapan rencana); (d) Partisi- pasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan; (e) Partisipasi dalam meneri- ma, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan; dan (f) Partisipasi dalam menilai pembangunan.

Beberapa alasan petani berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program pembangunan antara lain: (1) Petani memiliki infor- masi yang sangat penting untuk merencanakan program; (2) Mereka lebih ter- motivasi untuk bekerja sama dalam program jika ikut bertanggung-jawab di dalamnya; (3) Masyarakat yang demokratis secara umum menerima bahwa rakyat yang terlibat berhak berpartisipasi dalam keputusan mengenai tujuan yang ingin dicapai; dan (4) Banyaknya permasalahan pembangunan pertanian, tidak mungkin dipecahkan secara perorangan. Partisipasi kelompok sasaran da- lam keputusan kolektif sangat dibutuhkan.

Strategi pembangunan di negara-negara berkembang memerlukan partisi- pasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaannya karena berbagai per- timbangan yaitu: (a) meningkatkan integrasi, (b) meningkatkan hasil dan merang- sang penerimaan yang lebih besar terhadap kriteria hasil, (c) membantu meng- hadapi permasalahan nyata dari kesenjangan tanggapan terhadap perasaan, ke- butuhan, masalah, dan pandangan komunitas lokal, (d) membawa kualitas hasil

(output) lebih tinggi dan berkualitas, (e) meningkatkan jumlah dan ketepatan informasi, dan (f) memberikan operasi yang lebih ekonomis dengan penggunaan lebih banyak sumberdaya manusia lokal dan membatasi transportasi dan manaje- men yang mahal (Claude dan Zamor, 1985).

Berdasarkan kajian pustaka, peneliti mengidentifikasi partisipasi petani da- lam kelembagaan kelompok petani seperti tertera pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Identifikasi Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Dimensi-dimensi Teoritis Parameter Terpilih

" @ &))># &' /' 3' 8' :' +' >' "A . 6 = &))8# &' % /' % 3' % ; "1 /008# &' 6 /' 6 3' 6 8' :' 6 , "A . 6 = &))8# 4 % "< &))0# "1 &))/# % % % , "$,7. /00&# 6 2 "9 6 B &)*:# A % ; 4 "( . 6 ! &)*/# 6 7 7 " ! . &))># % % 6 % ' , ' 7 "$,7. /00&# &' /'% 3' 8' :'% +' &'$ ' ' ' ' ' $ /'% ' , % 2 2 = 7 7 7 ' $ 4 % 7

Pengembangan Kapasitas Petani

Petani merupakan orang yang menjalankan usahatani atau melakukan usa- ha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kehidupannya di bidang pertanian. Ciri- ciri masyarakat petani (peasant), seperti: (a) satuan keluarga (rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang berdimensi ganda; (b) petani hidup dari usahatani, dengan mengolah tanah (lahan); (c) pola kebudayaan petani berciri tradisional dan khas; (d) petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah “orang kecil” terhadap masyarakat di atas-desa (Shanin dalam Sayogyo, 1993); menunjukkan kompleksitas dan keragaman ka- pasitas yang dimiliki oleh petani.

Partisipasi petani dalam pembangunan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat petani. Agar dapat berpartisipasi diperlukan suatu proses belajar sehingga petani mampu melihat kesempatan-ke- sempatan untuk memperbaiki kehidupan. Diperlukan kemampuan atau ketrampil- an dan kemauan bertindak agar dapat memanfaatkan kesempatan tersebut. Arti- nya, perlu suatu kedewasaan individu agar mampu merespons dengan benar atau berperilaku sesuai kapasitas yang diharapkan. Kapasitas petani direpresentasikan pada kemampuannya memainkan peran, yang berdimensi ganda, dalam komunitas mereka sehingga mampu merespons perubahan-perubahan yang terjadi.

Kapasitas petani dilihat dalam perspektif peran sesuai dengan statusnya sebagai petani, pengelola, individu, dan anggota masyarakat (Mosher, 1966). Ka- pasitas menandakan ciri-ciri kedewasaan seseorang, seperti: perkembangan penuh

(full growth), perasaan terhadap pandangan (sense of perspective), dan kemandiri- an (autonomy) Rogers (1994). Kapasitas individu dapat dibedakan dalam tiga ra- nah manusia, yaitu: (a) kognitif, (b) afektif, dan (c) psikomotor.

Kemampuan petani menunjukkan kualitas manusia dalam mengatasi ber- bagai macam persoalan yang dihadapi. Kemampuan masyarakat untuk berpartisi- pasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu proses belajar. Ketersediaan sumberdaya material atau teknologi erat kaitannya dengan kemampuan atau kualitas diri dalam mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Seringkali ketersediaan sumberdaya, teknologi, dan

kesempatan belajar tidak mampu diakses oleh masyarakat sehingga perlu ada kesediaan pihak luar memfasilitasi masyarakat berpartisipasi.

Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang me- nyangkut emosi dan perasaan yang melekat pada diri manusia. Faktor-faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti, dan tidak mudah dikomunikasikan, akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak perilaku manusia. Faktor yang menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan apabila dengan berpartisipasi akan memberikan manfaat, dan dengan kemanfaatan itu dapat memenuhi keperluan-keperluan masyarakat setempat (Goldsmith dan Blustain dalam Jahi, 1988). Selain itu kebutuhan masyarakat merupakan faktor pendorong timbulnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.

Partisipasi dalam kelembagaan petani merupakan kesadaran kolektif individu dalam suatu masyarakat yang diwujudkan bentuk kerjasama untuk me- mecahkan berbagai permasalahan secara bersama. Kesadaran ini merupakan wujud modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Ter- dapat serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok (Fukuyama, 2000). Jika para anggota ke- lompok mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan menjadi sara- na kelompok atau organisasi menjadi lebih efisien. Inti dari modal sosial adalah kepercayaan (trust) dan kerja-sama (cooperation) (Krishna, 2000).

Dalam kehidupan nyata, modal sosial terwujud dalam enam tipe, yaitu: (1) family and kinship connections (keluarga dan hubungan kekerabatan); (2)

social networks (jaringan kerja sosial), atau asosiasi kehidupan; (3) cross- sectoral linkages (hubungan lintas sektoral); (4) sosiopolitical capital (modal sosio-politik); (5) institutional and policy framework (jaringan kerja kelem- bagaan dan kebijakan); dan (6) social norms and value (nilai dan norma-norma sosial). (Harriss dan Renzio (1997) dalam Carroll (2001). Dalam wujudnya ter- sebut diidentifikasi adanya: (a) kewajiban-kewajiban dan harapan-harapan, yang tergantung pada kepercayaan lingkungan sosial; (b) kemampuan aliran informasi dari struktur sosial; dan (c) Adanya norma yang disertai sanksi (Coleman, 2000).

Untuk menjelaskan perilaku sosial petani dalam kelembagaan petani digu- nakan perspektif sosiologi dan perspektif psikologi. Beberapa teori sosiologi yang dimaksud untuk menjelaskan fenomena yang diteliti, berhubungan dengan proses- proses sosial yang meningkatkan integrasi dan solidaritas. Kelembagaan atau or- ganisasi petani dipandang sebagai gejala sosial yang riil dan mempengaruhi kesa- daran petani serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Sebaliknya, kelembagaan atau organisasi petani sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan- tindakan sosial mereka (Weber dalam Johnson, 1994).

Tindakan-tindakan sosial, yang tercermin dari perilaku sosial petani dalam kelembagaan petani, dapat dijelaskan melalui berbagai teori, seperti: analisis ke- butuhan sosial, teori perbandingan sosial (social comparison theory), teori insen- tif, teori pilihan rasional, teori expectancy-value, teori pilihan rasional, teori pertukaran (Sear dkk., 1992). Selain itu, untuk memperjelas interaksi tatap muka dan dinamika-dinamika sosial, diantaranya proses-proses sosial dalam kelembaga- an petani, peneliti mencoba mengaitkan dengan teori pertukaran Homans dan teori pertukaran Blau (Johnson, 1990).

Di tingkat struktur sosial, peneliti juga mengaitkan dengan teori Parsons yang menjelaskan bahwa tindakan sosial itu diarahkan pada tujuannya dan diatur secara normatif. Dalam teori ini, orientasi-orientasi alternatif terhadap tujuan dan norma dimasukkan dalam seperangkat variabel berpola yang menggambarkan pilihan-pilihan yang harus dibuat oleh individu, baik secara implisit maupun se- cara eksplisit, dalam hubungan sosial apa saja. Variabel-variabel tersebut menca- kup: (a) Afektivitas versus netralitas afektif, (b) Orientasi diri (self-orientation)

versus orientasi kolektivitas, (c) Universalisme versus partikularisme, (d) Askripsi versus prestasi (achievement), dan (e) Spesifitas versus kekaburan (diffuseness). Variabel-variabel berpola ini merupakan suatu kerangka untuk menganalisa nilai budaya, penghargaan peran sistem sosial, dan pengaturan kebutuhan pribadi se- cara serempak (Johnson, 1990).

Berdasarkan kajian pustaka, peneliti merumuskan kapasitas petani berda- sarkan kemampuan yang miliki atas statusnya seperti tampak pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Identifikasi Kapasitas Petani

Dimensi-dimensi Teoritis Parameter Terpilih

" &)++# ; " #5 " #5 5 , 5 ", , /00/# 5 . 5 5 5 5 "1 /008# % 5 % 5 % 5 % 5 " # " ' /008# 1 % % 9 "9 . &))># 5 5 5 5 6 % " &))/# . "% &)>*# % , % &'% " #5 1 ' % ' . ' ' ' ' ' . /'% 5

Sebagai anggota masyarakat mengarah pada kehidupan sosial yang lebih baik (better community). Kemampuan yang dimiliki mencakup:

a. Menyesuaikan diri dengan komunitas b. Mengembangkan kerjasama dalam

memecahkan masalah bersama c. Membangun jejaring

d. Kepemimpinan dalam masyarakat

3'% 5 1 ' % ' ' '

Peningkatan Kapasitas Petani Melalui Kedinamisan Kelompok Petani

Secara umum kelompok-kelompok petani ada karena berbagai alasan: (a) sarana individu untuk saling berinteraksi; (b) petani melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok itu; (c) adanya saling tergantung; (d) petani bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan; (e) petani mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan melalui penggabungan diri mereka (joint association); (f) membangun interaksi yang teratur (terstruktur) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma; kumpulan individu yang saling mempengaruhi.

Berbagai faktor mempengaruhi keberadaan atau kedinamisan suatu ke- lompok meliputi: (a) struktur kelompok, (b) karakteristik individu anggota, dan (c) proses-proses yang dibangun kelompok. Struktur kelompok meliputi: ukuran, waktu, lokasi, aturan (formal atau informal), kesukarelaan, keanggotaan (terbuka atau tertutup), pola-pola komunikasi yang dibangun, komunikasi (satu atau dua tahap), apakah struktur memperbolehkan umpan balik, tipe dan status tujuan- tujuan kelompok, dan kesepakatan antar anggota. Karakteristik individu anggota,

Dokumen terkait