• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Berpikir

Lahan kering marjinal mempunyai potensi yang dapat dikembangkan untuk usaha pertanian. Melalui inovasi teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani dan adaptif terhadap lingkungan biofisik, sosial budaya serta kapasitas petani, maka hal ini dapat dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani. Inovasi dapat berasal dari luar sistem sosial, namun perlu digali potensi sumberdaya yang ada dalam sistem sosial setempat.

Dengan mengacu pada teori Rogers (2003) tentang difusi inovasi, model lima tahapan dalam proses keputusan inovasi, memperhatikan karakteristik unit pengambil keputusan yang mencakup karakteristik sosial ekonomi, karakteristik pribadi dan perilaku komunikasi digunakan sebagai peubah bebas. Ciri-ciri inovasi meliputi keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dapat diujicoba dan dapat diamati. Difusi merupakan proses suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dari waktu ke waktu di antara anggota suatu sistem sosial.

Menurut Beal dan Bohlen (Hubbard dan Sandmann, 2007), dalam kerangka difusi mencakup beberapa "sub-teori" atau konsep. Konsep-konsep ini secara bersamaan memberikan pemahaman tentang sifat alami dan sifat sosial manusia, termasuk bagaimana informasi baru diterima (atau tidak diterima) oleh pengguna potensial? Komponen dari kerangka difusi klasik termasuk teori keputusan inovasi, teori keinovatifan individu, teori tingkat adopsi, dan teori lambang/simbol yang digunakan sebagai atribut (theory perceived attributes) (Rogers, 2003). Dalam penelitian ini, teori yang digunakan dibatasi pada teori keputusan inovasi, di samping teori yang berkaitan dengan aspek komunikasi dan saluran komunikasi, yang relevan dengan keputusan adopsi oleh individu. Beberapa faktor di luar kerangka difusi tetapi berkaitan dengan keputusan adopsi, juga digunakan dalam penelitian ini yakni dukungan iklim usaha dan penyuluhan (dilihat dari persepsi petani).

Proses keputusan inovasi merupakan suatu proses mental sejak seseorang mulai pertama kali mengetahui adanya suatu inovasi, membentuk sikap terhadap inovasi tersebut, mengambil keputusan untuk mengadopsi atau menolak,

mengimplementasikan ide baru dan membuat konfirmasi atas keputusan tersebut. Proses ini terdiri atas rangkaian pilihan dan tindakan individu dari waktu ke waktu atau suatu sistem evaluasi ide baru dan memutuskan mempraktekkan inovasi atau menolaknya. Perilaku ketidakpastian dalam memutuskan tentang suatu alternatif baru ini terkait dengan ide yang telah ada sebelumnya. Sifat suatu inovasi dan ketidakpastian berhubungan dengan sifat tersebut yang merupakan aspek khusus dari pengambilan keputusan inovasi(Rogers, 2003).

Kerangka berpikir dibangun dengan mengintegrasikan teori Rogers (2003) tentang proses keputusan inovasi, syarat-syarat pokok pembangunan pertanian (Mosher, 1966) dan dukungan untuk membangun pertanian yang modern di pedesaan (Mosher, 1978) serta aspek penyuluhan (UU RI No. 16 Tahun 2006; van den Ban dan Hawkins, 2005; Spencer dan Spencer,1993; Lippitt et al.,1958). Dalam merakit inovasi teknologi pertanian di lahan kering marjinal diperlukan keterlibatan penyuluhan, tidak hanya penyuluh namun juga partisipasi petani. Di masa lalu pendekatan penyuluhan yang terfokus pada transfer teknologi terbukti hanya menimbulkan permasalahan pada petani (Röling, 1988; Pretty,1995). Pada prinsipnya, penyuluhan merupakan proses yang sistematis untuk membantu petani menyelesaikan masalah secara mandiri, sehingga pendekatan penyuluhan perlu memprioritaskan kebutuhan partisipan penyuluhan. Penyuluhan adalah proses perubahan berencana secara berkesinambungan, di dalamnya tercakup kegiatan pembelajaran bagi individu, kelompok, organisasi, komunitas, hingga masyarakat yang lebih luas guna melakukan transformasi atau perbaikan situasi (situation improvement) melalui perubahan perilaku (Amanah, 2000).

Inovasi yang diteliti adalah teknologi usahatani terpadu. Istilah terpadu diartikan pemanfaatan sumberdaya yang ada (sesuai potensi) yang disinergikan antar komponen, sehingga menghasilkan output yang tinggi. Konsep usahatani terpadu merupakan keterkaitan antara tanaman dengan ternak, limbah tanaman digunakan sebagai pakan ternak dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman. Dalam penelitian ini, lima tahapan dalam proses keputusan inovasi (Rogers, 2003) hanya dibatasi pada satu tahap saja, yakni tahap keputusan inovasi, untuk menghindari data yang tidak valid dan tidak reliabel. Hal ini mengingat setiap tahapan dalam proses keputusan inovasi memerlukan

durasi waktu yang tidak sama, dan untuk menggali informasi pada setiap tahapan yang telah terlewati memerlukan waktu yang lama, karena penelitian tidak dilakukan pada tahap awal (pengenalan). Selain itu, dalam penelitian ini keputusan (Y1) adopsi inovasi antara dua lokasi penelitian ditetapkan pada tahun

yang berbeda, yakni Kabupaten Cianjur pada tahun 2007 dan Kabupaten Garut pada tahun 2005. Keputusan adopsi inovasi petani di lahan kering marjinal dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: (1) karakteristik petani (yang mencakup karakteristik sosial ekonomi petani dan karakteristik pribadi petani), (2) perilaku komunikasi petani, (3) dukungan iklim usaha, (4) persepsi petani terhadap penyuluhan, (5) persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, dan (6) persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi. Keseluruhan proses ini diduga berpengaruh terhadap kinerja usahatani di tingkat petani. Diagram kerangka berpikir ditampilkan pada Gambar 3.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian yang diajukan:

(1) Karakteristik petani, perilaku komunikasi petani, dan dukungan iklim usaha, berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan.

(2) Karakteristik petani, perilaku komunikasi petani, dukungan iklim usaha, dan persepsi petani terhadap penyuluhan, berpengaruh nyata pada persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi.

(3) Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, dan persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi.

(4) Keputusan petani dalam mengadopsi inovasi berpengaruh nyata pada kinerja usahatani.

Gambar 3 Kerangka berpikir adopsi inovasi usahatani terpadu pada lahan marjinal Perilaku Komunikasi Petani (X2)

X2.1 Kerjasama

X2.2 Tingkat Kekosmopolitan

X2.3 Keterdedahan thd media

Dukungan Iklim Usaha (X3) X3.1 Ketersediaan Input (saprodi)

X3.2 Ketersediaan Fasilitas Keuangan

(KUD, Bank) X3.3Ketersediaan Sarana

Persepsi Petani terhadap Ciri Inovasi (X5) (Teknologi lokal dan anjuran)

X5.1 Keuntungan relatif X5.2 Kesesuaian X5.3 Kerumitan X5.4 Dapat diujicoba X5.5 Dapat diamati X1.2 Pendidikan X1.3 Tingkat Pendapatan X1.4 Tingkat Mobilitas X1.5 Luas Lahan

X1.6 Daya Beli Saprodi

X1.7 Tingkat Rasionalitas

X1.8 Tingkat Intelegensi

X1.9 Sikap terhadap Perubahan

X1.10 Tingkat Keberanian Beresiko

Persepsi Petani terhadap Penyuluhan (X4)

X4.1 Kompetensi Penyuluh

X4.2 Peran Penyuluh

X4.3 Materi/Substansi Penyuluhan

X4.4 Metode Penyuluhan

Persepsi Petani thd Pengaruh

Media/Informasi(X6) X6.1 Media massa X6.2 Interpersonal Keputusan (Y1) Y1.1 Penentuan komoditas Y1.2 Penggunaan saprodi

Adopsi Tidak Adopsi

Kinerja

Usahatani (Y2)

Menolak

Rancangan Penelitian

Penelitian dirancang dengan metode survai yang bersifat eksplanasi, yakni menjelaskan fenomena perilaku petani yang terjadi dalam tahapan proses keputusan inovasi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu, petani sebagai responden penelitian. Sebagai peubah bebas adalah karakteristik petani (karakteristik sosial ekonomi dan karakteristik kepribadian petani), perilaku komunikasi petani, dukungan iklim usaha, persepsi petani terhadap penyuluhan, persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi, dan pengaruh media/informasi. Peubah terikat adalah keputusan adopsi inovasi teknologi dan kinerja usahatani di tingkat petani.

Waktu dan Lokasi Penelitian

Provinsi Jawa Barat memiliki 1,64 juta ha lahan kering atau sekitar 29 persen dari luasan lahan kering di Pulau Jawa (5,64 juta ha) yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001). Pada tahun 2008, penggunaan lahan di Jawa Barat untuk lahan tegalan/kebun mencapai 576.565 ha, lahan ladang/huma 221.749 ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan 12.487 ha. Total luasan penggunaan lahan untuk pertanian baru mencapai 798.314 ha atau sekitar 48,7 persen dibandingkan total potensi yang ada (Badan Pusat Statistik, 2009).

Melihat potensi tersebut, maka penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2008 – Maret 2009. Penentuan lokasi, berdasarkan pada agroekosistem lahan kering dengan tipologi yang berbeda, yakni dataran tinggi dan dataran rendah, masing-masing adalah Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut. Setiap kabupaten dipilih satu kecamatan, yang merupakan lokasi atau wilayah inovasi teknologi usahatani terpadu diperkenalkan dan tersentralisir pada satu desa, yakni Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur dan Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut. Desa Talaga, Kecamatan Cugenang berada pada ketinggian 700-1.100 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan tingkat kemiringan lahan 2-15 persen. Desa Jatiwangi, Kecamatan

Pakenjeng, berada pada ketinggian 240-860 meter dpl, dengan topografi datar sampai berbukit, berombak sampai berbukit dan berbukit sampai bergunung. Wilayah yang diperkenalkan inovasi usahatani terpadu di Desa Talaga berada pada ketinggian > 700 meter dpl, sehingga dikategorikan sebagai wilayah dataran tinggi, sedangkan di Desa Jatiwangi < 700 meter dpl, termasuk wilayah dataran rendah. Inovasi teknologi yang diintroduksikan kepada petani di dua kabupaten tersebut, adalah inovasi Prima Tani berupa: (1) inovasi teknologi dan (2) inovasi kelembagaan. Namun hasil pengamatan pada waktu pra survai di lapangan, inovasi kelembagaan belum berjalan dengan baik, sehingga penelitian ini dibatasi hanya pada inovasi teknologi. Secara konsep inovasi teknologi yang diperkenalkan merupakan inovasi usahatani terpadu (tanaman dengan ternak). Selanjutnya dalam penelitian ini digunakan istilah inovasi teknologi usahatani terpadu.

Di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan sejak tahun 2007 berupa teknik budidaya tanaman pisang (pengaturan jarak tanam, penjarangan anakan, pemupukan, pemotongan jantung, pembrongsongan dan penggunaan trichoderma), teknik budidaya cabai rawit dan caisin. Teknologi ternak domba berupa sanitasi kandang, sistem perkandangan, pemberian obat cacing. Selain itu pembuatan kompos dari limbah ternak dan tanaman pisang, yang kemudian digunakan sebagai pupuk bagi tanaman pisang. Rincian paket inovasi teknologi yang diperkenalkan kepada petani di Desa Talaga tertera pada Lampiran 3.

Inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, sejak tahun 2005 berupa konservasi lahan, teknik budidaya nilam, padi gogo, pisang dan kacang tanah (pembenihan, penanaman, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit), penanganan pascapanen, ternak domba, pembuatan kompos serta pembibitan buah-buahan (rambutan dan durian). Rincian paket inovasi teknologi yang diperkenalkan kepada petani di Desa Talaga tertera pada Lampiran 4.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua petani yang berada di kedua desa penelitian (Desa Talaga dan Desa Jatiwangi). Mengingat anggota populasi petani lahan kering marjinal terdapat petani yang mengadopsi inovasi teknologi usahatani terpadu dan petani yang tidak mengadopsi, maka teknik pengambilan sampel petani menggunakan teknik sampel acak stratifikasi (stratified random sampling). Penentuan banyaknya responden yang dijadikan sampel penelitian berdasarkan pada tingkat representatif dan heterogenitas yang diharapkan dari populasi penelitian. Ketersediaan waktu, biaya dan tenaga juga dijadikan pertimbangan dalam menentukan jumlah sampel. Penentuan jumlah sampel penelitian menggunakan rumus Slovin (Sevilla et al., 1993) sebagai berikut:

n = { N/[1 + N(e)2]} n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel populasi) ditentukan sebesar 5 persen

Data Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berada di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur dan Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut diperoleh jumlah populasi petani sebanyak 1.426. Berdasarkan rumus Slovin tersebut diperoleh perhitungan sebagai berikut:

n = {1.426/[1 + 1.426 (0,05)2]} n = 1.426/4,565

n = 302,38 atau dibulatkan menjadi 302

Rincian jumlah populasi petani dan sampel penelitian ditampilkan pada Tabel 6. Dengan demikian jumlah sampel sebanyak 302 petani responden di lokasi penelitian yang diambil secara acak stratifikasi telah memenuhi persyaratan untuk dilakukan uji statistik. Stratifikasi dipilah berdasarkan petani adopter dan petani non adopter. Keseluruhan petani (di Cianjur dan Garut) anggota kelompok tani yang ikut serta dalam program usahatani terpadu dan menerapkan teknologi tersebut dalam penelitian ini disebut petani adopter. Fakta di lapangan yang dimaksud dengan petani adopter ialah petani kooperator Prima Tani. Petani yang

tidak masuk dalam anggota kelompok tani dan tidak ikut serta dalam program usahatani terpadu disebut petani non adopter (petani non kooperator Prima Tani).

Tabel 6 Jumlah populasi petani dan sampel penelitian di lokasi penelitian

Populasi Petani Sampel Petani

Lokasi

Penelitian Adopsi1) Non adopsi

Total2) Adopsi Non adopsi Total (1) Kab. Cianjur Kec. Cugenang - Desa Talaga 103 223 326 46 47 93 (2) Kab. Garut Kec. Pakenjeng - Desa Jatiwangi 190 910 1.100 91 118 209 Total 293 1.133 1.426 137 165 302

Sumber: 1) BPTP Jawa Barat (data diolah)

2) BPP Kecamatan Cugenang dan BPP Kecamatan Pakenjeng

Termonilogi lahan marjinal dalam penelitian ini dibatasi pada lahan kering. Secara umum lahan kering, lahan pasang surut, dan sawah tadah hujan mempunyai produktivitas yang relatif rendah dibandingkan dengan sawah irigasi. Oleh karena itu, ketiga agro ekosistem ini sering digolongkan ke dalam kelompok lahan marjinal (Swastika et al., 2006). Sesuai dengan istilah sebagai lahan marjinal, berbagai masalah yang menyebabkan produktivitas rendah dijumpai di agro ekosistem ini. Lahan kering mempunyai lapisan solum yang tipis dengan kandungan hara yang rendah, serta topografi yang bergelombang, sehingga rentan terhadap erosi. Makin sering terjadi erosi makin kritis kondisi lahan, sehingga makin tidak produktif.

Data dan Instrumentasi Data

Data dikumpulkan berdasarkan karakteristik data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian, sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap. Data primer dikumpulkan langsung dari petani responden melalui wawancara. Data dari sumber lain (informan kunci) seperti penyuluh, ketua kelompok tani dan pamong desa atau tokoh masyarakat lain diperoleh melalui wawancara

mendalam, yang bersifat sebagai data pendukung atau untuk verifikasi. Wawancara mendalam (in depth interview) merupakan wawancara yang dilakukan secara intensif kepada informan, sehingga terelaborasi beberapa elemen dalam jawaban informan, yakni opini, nilai-nilai (values), motivasi, pengalaman- pengalaman maupun perasaan informan. Dalam wawancara mendalam, peneliti memperhatikan jawaban verbal maupun respon-respon non verbal dari informan. Selain itu juga dilakukan pengamatan partisipatif.

Cakupan data primer terdiri atas data kuantitatif (jawaban pertanyaan terstruktur dalam kuisioner yang berbentuk angka) dan data kualitatif (data penjelas dari fenomena yang diamati, baik yang diperoleh dari petani responden maupun informan kunci, berupa kalimat atau gambar). Data sekunder diperoleh dari instansi, seperti: Kantor Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), Kantor Desa dan Badan Pusat Statistik (BPS). Berbagai bahan atau studi yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan pertanian marjinal diperoleh dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Data sekunder yang berasal dari sumber-sumber tertulis yang diinterpretasikan, dapat dikategorikan sebagai data kualitatif (Nawawi dan Hadari, 2006).

Instrumentasi

Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi daftar pertanyaan terstruktur yang berkaitan dengan peubah-peubah yang diteliti. Penelitian dipandang ilmiah bila instrumen yang digunakan memenuhi persyaratan kesahihan (validitas), keterandalan (reliabilitas) dan dapat dipertanggungjawabkan (Kerlinger,2000; Nawawi dan Hadari, 2006).

Kesahihan dan Keterandalan

Kesahihan

Kesahihan (validitas) menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Bila seseorang ingin mengukur berat suatu benda, maka dia harus menggunakan timbangan. Timbangan adalah alat pengukur yang sahih (valid) bila digunakan untuk mengukur berat, karena timbangan

memang mengukur berat. Menurut Kerlinger (2000), tipe kesahihan dibedakan atas: (1) kesahihan isi, (2) kesahihan kriteria, dan (3) kesahihan konstrak.

Penelitian ini menggunakan kesahihan isi. Mengacu pada pendapat Ancok (1995), bahwa suatu alat ukur dikatakan sahih atau valid bila alat ukur tersebut dapat digunakan untuk mengukur secara tepat konsep yang sebenarnya akan diukur. Kesahihan isi suatu alat pengukur ditentukan oleh isi alat pengukur tersebut yang merepresentasikan semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. Data dengan tingkat kesahihan tinggi diharapkan dapat diperoleh dari daftar pertanyaan yang memenuhi kriteria:

(1) Mempelajari teori-teori yang relevan dengan substansi penelitian dan kenyataan yang telah diungkapkan di berbagai kepustakaan.

(2) Menyesuaikan isi pertanyaan dengan kondisi responden.

(3) Memperhatikan masukan dari para ahli, terutama dari Komisi Pembimbing (4) Melakukan uji coba instrumen (daftar pertanyaan) kepada responden yang

memiliki karakteristik mirip dengan karakteristik petani contoh. Selanjutnya melakukan perbaikan daftar pertanyaan sesuai dengan hasil uji coba.

Keterandalan

Keterandalan (reliabilitas) merupakan indeks yang menunjukkan suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Bila suatu alat ukur digunakan dua kali, untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut terandal. Keterandalan menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama (Ancok, 1995). Uji keterandalan yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik belah dua (split half reliability) dengan menggunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 15.0.

Pengujian kesahihan dan instrumen keterandalan dilakukan terhadap 30 petani responden yang memiliki karakteristik yang setipe lokasi penelitian. Hasil uji kesahihan menunjukkan nilai koefisien korelasi hitung yang tertera pada Tabel 7 dibandingkan dengan angka kritik nilai-r (pada db = 28) lebih tinggi. Angka kritik pada taraf nyata satu persen dan lima persen, masing-masing sebesar 0,463 dan 0,361. Dengan memperhatikan nilai koefisien korelasi, maka pernyataan-

pernyataan dalam instrumen memiliki kesahihan isi yang sahih dan terandal, sehingga instrumen yang telah diujicoba, dapat digunakan dalam kegiatan penelitian.

Tabel 7 Hasil uji kesahihan dan keterandalan instrumen penelitian dengan teknik belah dua

No. Peubah Kisaran nilai koefisien

korelasi (per item pertanyaan)

Keterandalan

(1) Perilaku komunikasi petani (X2) 0,444 – 0,775* 0,9035

(2) Dukungan iklim usaha (X3) 0,449 – 0,859** 0,8980

(3) Persepsi petani terhadap penyuluhan (X4)

0,407 – 0,853* 0,8877

(4) Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi (X5)

0,419 – 0,878* 0,8981

(5) Pengaruh media/informasi (X6) 0,369 – 0,710* 0,7760 Keterangan: ** nyata pada taraf = 0,01

* nyata pada taraf = 0,05

Peubah Penelitian

Terdapat enam peubah bebas dan dua peubah terikat yang diukur. Keenam peubah bebas tersebut adalah:

X1 = Karakteristik petani (karakteristik sosial ekonomi dan karakteristik pribadi

petani),

X2 = Perilaku komunikasi petani,

X3 = Dukungan iklim usaha,

X4 = Persepsi petani terhadap penyuluhan,

X5 = Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi,

X6 = Persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi.

Peubah terikat dalam penelitian ini adalah: Y1 = Keputusan adopsi inovasi teknologi,

Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah

Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional dan pengukuran peubah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1)Karakteristik petani mencakup karakteristik sosial ekonomi petani dan karakteristik pribadi petani. Karakteristik sosial ekonomi petani merupakan hal yang melekat pada diri petani. Peubah ini meliputi umur, pendidikan (formal dan non formal), status sosial, tingkat mobilitas dan luas lahan (Tabel 8):

(a) Umur petani dihitung dalam jumlah tahun sejak lahir sampai ulang tahun terdekat dengan waktu penelitian dilakukan.

(b) Pendidikan formal adalah lama pendidikan yang ditempuh di bangku sekolah, yang dihitung dalam jumlah tahun.

(c) Pendidikan non formal adalah frekuensi mengikuti pendidikan di luar bangku sekolah, yang diukur dari jumlah mengikuti kegiatan penyuluhan ataupun plot demonstrasi. Kegiatan penyuluhan merupakan pertemuan yang dilakukan dengan penyuluh, baik berupa ceramah, diskusi maupun tanya jawab di bidang usahatani pertanian dalam periode waktu satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan. Kegiatan plot demonstrasi terkait dengan keterlibatan responden dalam pelaksanaan plot demonstrasi maupun kehadiran dalam temu lapang di bidang usahatani pertanian dalam periode waktu satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan.

(d) Tingkat pendapatan merupakan besarnya perolehan penghasilan dari kegiatan berusahatani, termasuk berburuh tani (on farm) dan kegiatan usaha lain di luar pertanian (off farm).

(e) Tingkat mobilitas petani diukur berdasarkan frekuensi petani bepergian ke luar desa terkait dengan kegiatan usahatani dalam satu tahun terakhir. (f) Luas lahan merupakan luasan pengusahaan lahan garapan petani, yang

mencakup luas penguasaan lahan (milik), maupun luasan garapan bukan milik (sewa, ataupun sakap), yang dinyatakan dalam satuan hektar.

(g) Daya beli saprodi merupakan tingkat kemampuan atau keterjangkauan petani secara ekonomis dalam membeli benih/bibit, pupuk dan pestisida.

Tabel 8 Sub-peubah, indikator dan pengukuran karakteristik petani

Sub-Peubah Indikator Pengukuran

A. Karakteristik sosial ekonomi

(1) Umur Lama tahun

kehidupan

Dihitung dalam jumlah tahun sejak lahir sampai ulang tahun terdekat dengan waktu penelitian dilakukan

(2) Pendidikan - Pendidikan formal - Pendidikan non formal Lama pendidikan yang ditempuh petani di bangku sekolah Frekuensi petani mengikuti pendidikan di luar bangku sekolah

Jumlah tahun selama mengikuti pendidikan formal

- Frekuensi petani mengikuti ceramah, diskusi ataupun tanya jawab dengan penyuluh yang terkait dengan usaha- tani pertanian dalam periode satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan.

- Frekuensi petani dalam keterlibatan pelaksanaan plot demonstrasi, frekuensi petani hadir dalam temu lapang di bidang usahatani pertanian dalam periode waktu satu tahun terakhir saat penelitian dilakukan. (3) Tingkat

pendapatan

Sumber pengha- silan dari pertanian dan di luar

pertanian

Besarnya perolehan penghasilan dari kegiatan berusahatani (termasuk berburuh tani) dan kegiatan di luar pertanian dari seluruh anggota keluarga dalam satu tahun terakhir

(4) Tingkat mobilitas Frekuensi petani ke luar desa - Pembelian saprodi - Penjualan produk

Diukur berdasarkan frekuensi petani bepergian ke luar desa dan jarak tempuh terkait dengan kegiatan usahatani (pembelian saprodi dan penjualan produk) dalam satu tahun terakhir (5) Luas lahan Luasan

pengusahaan lahan garapan petani

Diukur berdasarkan luas penguasaan lahan (milik), maupun luasan garapan bukan milik (sewa, ataupun sakap), yang dinyatakan dalam satuan hektar (6) Daya beli

saprodi

Kemampuan membeli saprodi

Kemampuan petani dalam membeli benih/bibit, pupuk dan obat-obatan yang dilakukan secara tunai

Tabel 8 (lanjutan)

Sub-Peubah Indikator Pengukuran

B. Karakteristik pribadi petani (1) Tingkat rasionali- tas - Kemampuan petani dalam menilai suatu teknologi baru yang diperkenalkan

- Penilaian petani terhadap teknologi usahatani terpadu, baik penilaian negatif/merugikan, positif/ meng- untungkan, maupun kemungkinan merugikan namun juga menguntungkan (2) Tingkat

intelegensi

- Kemampuan petani dalam hal mempertimbang- kan penerapan teknologi baru dan memprediksi manfaatnya

- Kemampuan petani memper- timbangkan pilihan yang ada dalam mengelola usahatani

- Kemampuan petani dalam memprediksi manfaat penerapan teknologi

(3) Sikap terhadap perubahan Kecenderungan sikap petani terhadap teknologi usahatani terpadu Diukur berdasarkan:

- Tingkat penerimaan petani terhadap teknologi usahatani terpadu: (1) adaptif (langsung menerima), (2) melihat dulu yang dilakukan petani lain (menerima dengan cara meniru), (3) ragu-ragu (tidak yakin meskipun telah melihat hasil petani lain), (4) menolak perubahan inovasi teknologi - Tingkat keyakinan petani terhadap

peningkatan pendapatan bila menerapkan teknologi usahatani terpadu. (4) Tingkat keberanian beresiko Tingkat keberanian petani dalam menanggung suatu kejadian yang buruk

Diukur berdasarkan tingkat keberanian dalam:

- Mengganti sarana produksi - Menambah/mengurangi jenis

komoditas yang diusahakan - Menjual hasil langsung ke pasar - Mengembangkan skala usahatani - Mengambil kredit dari bank untuk

menambah modal usahatani

Dokumen terkait