• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

H. Kerangka Berpikir

1. Persepsi Guru Terhadap Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Ditinjau dari Tingkat Pendidikan

Cara pandang guru terhadap undang-undang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Antara guru yang satu dengan guru yang lain akan mempunyai tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Tingkat pendidikan guru yang dimaksud adalah tingkat pendidikan formal yang dicapai untuk dapat melaksanakan tugas profesinya sebagai seorang guru. Tingkat pendidikan formal mencakup SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Untuk dapat menjadi seorang guru saat ini minimal harus berpendidikan D2, sebab pada umumnya guru-guru saat ini berpendidikan D2, D3, D4/S1 dan S2. Sedangkan guru-guru lama yang masih berpendidikan terakhir SPG atau yang setaranya, pemerintah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studinya.

Pada umumnya orang-orang sependapat bahwa dengan semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai oleh seseorang maka semakin luas wawasan serta pengetahuannya pada suatu bidang tertentu sesuai dengan

profesi yang ingin diraihnya. Selain itu juga semakin tinggi tingkat pendidikan guru maka guru tersebut akan semakin mempunyai keinginan yang lebih tinggi untuk mengembangkan prestasi di sekolah seperti membuat karya tulis, menulis buku, dan sebagainya. Guru dengan pendidikan S1 akan memiliki pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan keterampilan yang lebih mantap dibandingkan dengan guru yang berpendidikan D3. Dengan semakin luasnya wawasan, keinginan yang tinggi untuk mengembangkan prestasi, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan keterampilan yang berbeda ini maka pandangan guru terhadap undang-undang tentang guru dan dosen akan berbeda pula. Cara pandang inilah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi guru dalam memandang undang-undang tentang guru dan dosen.

Berdasarkan penjelasan di atas, diturunkan hipotesis sebagai berikut :

Ha1 : Ada perbedaan persepsi guru terhadap UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen ditinjau dari tingkat pendidikan.

2. Persepsi Guru Terhadap UU RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Ditinjau dari Status Guru

Guru yang bekerja dalam suatu instansi tertentu akan mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap undang-undang tentang guru dan dosen ini. Sebab guru yang bekerja di suatu instansi atau sekolah baik negeri maupun swasta mempunyai status yang berbeda-beda. Ada guru swasta yang berstatus sebagai guru tetap tetapi ada juga yang berstatus

diperkerjakan oleh pemerintah dan ada guru yang masih berstatus honorer. Demikian juga guru-guru yang bekerja di sekolah negeri ada yang sudah menjadi guru tetap, ada yang masih menjadi guru tidak tetap dan ada yang menjadi guru bantu atau guru honorer. Guru yang berstatus non PNS akan menjalankan tugasnya lebih berat dibandingkan guru yang PNS karena status guru non PNS ditentukan juga dengan prestasi dan jam mengajar, sedangkan guru PNS akan lebih ringan karena status yang sudah pasti dan adanya kenaikan pangkat yang berkala. Guru di sekolah swasta yang berstatus non PNS akan menjalankan tugasnya lebih sungguh-sungguh karena kelangsungan hidup sekolah akan sangat tergantung dari guru-guru di sekolah tersebut, sedangkan guru PNS akan lebih ringan karena guru tersebut dijamin oleh pemerintah. Dengan adanya sertifikasi dimungkinkan guru yang berstatus non PNS akan berpandangan lebih positif terhadap undang-undang tentang guru dan dosen dibandingkan dengan guru PNS. Walaupun gaji yang diterima oleh guru yang non PNS terbilang relatif lebih rendah dari guru PNS tetapi, jika guru tersebut mempunyai sertifikasi maka secara otomatis guru non PNS yang bersertifikasi mempunyai tambahan pendapatan seperti berbagai tunjangan yang didapatkan dari kepemilikan sertifikasi tersebut, misalnya tunjangan profesi. Sehingga guru-guru tersebut termotivasi untuk mendapatkan sertifikasi, di lain pihak kualitas pendidikan juga akan mengalami peningkatan sebab guru yang sudah memegang sertifikasi merupakan guru yang sudah berkompetensi dan mendapatkan pengakuan sebagai tenaga

profesional. Dari berbagai segi inilah persepsi setiap guru ditinjau dari statusnya akan nampak perbedaannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, diturunkan hipotesis sebagai berikut :

Ha2 : Ada perbedaan persepsi guru terhadap UU RI No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen ditinjau dari status guru.

3. Persepsi Guru Terhadap UU RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Ditinjau dari Golongan Jabatan Guru

Golongan jabatan seorang guru erat kaitannya dengan tingkat pendidikan seorang guru. Sebab golongan jabatan yang dipegang oleh seorang guru itu dibedakan berdasarkan tingkat pendidikannya. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin tinggi golongan jabatannya dan semakin tinggi gaji yang diterimanya sehingga kesejahteraannya dapat terjamin. Faktanya setiap guru mempunyai golongan jabatan yang berbeda-beda sebab tingkat pendidikannya juga berbeda.

Penggolongan jabatan seorang guru itu didasarkan pada ijasah pendidikan terakhirnya. Pada umumnya guru-guru yang bekerja di Sekolah Menengah Atas paling rendah bergolongan III/a yaitu penata muda sampai pada tingkat golongan tertinggi yaitu IV/e atau pembina utama. Selain dari tingkat pendidikannya kenaikan golongan jabatan guru non PNS ditentukan dari jam mengajarnya, prestasi, masa kerja dan sebagainya, sehingga guru non PNS akan lebih berat dibandingkan dengan kenaikan

golongan jabatan guru PNS yang akan mengalami kenaikan berkala. Semakin tinggi golongan jabatan seorang guru maka semakin tinggi gaji yang diterimanya sehingga kesejahteraannya dapat terjamin. Dari adanya perbedaan golongan jabatan itu maka dimungkinkan juga adanya perbedaan persepsi guru terhadap undang-undang ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, diturunkan hipotesis sebagai berikut :

Ha3 : Ada perbedaan persepsi guru terhadap UU RI No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen ditinjau dari golongan jabatan guru.

4. Persepsi Guru Terhadap UU RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Ditinjau dari Kultur Sekolah

Seorang guru tidak akan lepas dari lingkungan tempat tinggalnya. Sebab seorang guru juga manusia biasa yang dibesarkan dan dididik di lingkungan dimana dia berasal sesuai dengan adat kebudayaannya. Sedangkan kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap dan cara pandang seseorang. Persepsi guru terhadap undang-undang tentang guru dan dosen akan berbeda sebab kultur sekolah berbeda antara kultur sekolah yang satu dengan kultur sekolah yang lain. Pada guru yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, perbedaan kekuasaan antara atasan dan bawahan sama serta sistem hirarki bukan merupakan dasar dan hanya sebatas aturan yang berbeda, tingkat pengawasan tidak terstruktur dalam hirarki tinggi, sistem penggajian tidak

menunjukkan batas yang lebar antara atasan dan bawahan, hubungan antara atasan dan bawahan didukung inisiatif atasan dan juga bawahan. Pada guru yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar akan terjadi sebaliknya. Hal demikian menyebabkan persepsi guru terhadap undang-undang tentang guru dan dosen lebih positif pada guru yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance kecil daripada guru dari kultur sekolah dengan power distance besar.

Pada guru yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan individualism, hubungan atasan dan bawahan bukan dirasa sebagai hubungan moral seperti dalam keluarga sehingga terjadi persaingan antara satu dengan yang lain, sistem kerja yang dianut adalah sistem kerja individual sehingga baik buruknya kerja tergantung dari guru sendiri, penggajian dalam budaya individu didasarkan pada keterampilan, dan aturan bukan didasarkan pada perhitungan kelompok sehingga guru akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh gaji yang lebih besar. Pada guru yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan collectivism akan terjadi sebaliknya. Hal demikian menyebabkan persepsi guru terhadap undang-undang tentang guru dan dosen lebih positif pada guru yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan individualism dibandingkan pada guru yang berasal dari kultur sekolah dengan bercirikan collectivism.

Pada guru yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity; cara mengatasi masalah akan lebih tegas, ambisi, dan

persaingan sebab menekankan pada hasil dan ingin memberikan penghargaan atas dasar persamaan; atasan yang tegas, yakin dan penuh inisiatif sehingga akan lebih memajukan sekolah; berfilosofi hidup untuk bekerja sehingga dalam bekerja akan terjadi suasana yang menyenangkan karena tidak hanya sekedar mencari materi; memecahkan masalah dengan musyawarah sehingga setiap keputusan yang diambil adalah hasil dari kompromi dan negosiasi. Pada guru yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan feminity akan terjadi sebaliknya. Hal demikian menyebabkan persepsi guru terhadap undang-undang tentang guru dan dosen lebih positif pada guru yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity dibandingkan pada guru yang berasal dari kultur sekolah dengan bercirikan feminity.

Pada guru yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance kuat, anggota sekolah suka bekerja keras sehingga tujuan dari sekolah akan lebih cepat tercapai, waktu adalah uang sehingga semua bekerja pada saat yang telah ditentukan, penghargaan terhadap ide dan sikap sehingga setiap perubahan adalah ide atau gagasan bersama, motivasi dengan keamanan dan penghargaan atau rasa memiliki sehingga setiap orang yang ada di sekolah akan termotivasi untuk menghindari risiko dan cenderung akan mempertahankan harga diri, ketelitian dan ketepatan waktu datang dengan alamiah sehingga setiap orang yang ada di sekolah akan menjalankan tugas secara teliti dan melakukannya secara tepat waktu oleh sebab ditekankan dalam peraturan sekolah. Pada guru

yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, akan terjadi sebaliknya sehingga. Hal demikian menyebabkan persepsi guru terhadap undang-undang tentang guru dan dosen lebih positif pada guru yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance kuat dibandingkan pada guru yang berasal dari kultur sekolah dengan ciri uncertainty avoidance lemah.

Berdasarkan penjelasan di atas, diturunkan hipotesis sebagai berikut :

Ha4 : Ada perbedaan persepsi guru terhadap UU RI No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen ditinjau dari kultur sekolah.

Dokumen terkait