• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan teoritis dan penelitian terdahulu sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti membuat kerangka konsep seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Dari kerangka konsep di atas, peneliti bermaksud meneliti pengaruh PAD (X1), DBH (X2), SiLPA (X3), lain-lain pendapatan daerah yang sah (X4) dan luas wilayah (X5) terhadap belanja modal (Y) dengan DAK (Z) sebagai variabel

Pendapatan Asli Daerah (PAD) (X1)

Dana Bagi Hasil (DBH) (X2)

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA)

(X3)

Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah

(X4)

Belanja Modal (Y)

Luas Wilayah (X5)

Dana Alokasi Khusus (DAK) (Z)

digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat/publik. Untuk membiayai belanja modal, tentunya dibutuhkan sumber-sumber dana yang cukup besar. Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat diuraikan bahwa 1) Semakin banyak jumlah PAD, maka alokasi dana untuk belanja modal juga akan semakin banyak; 2) Semakin banyak dana yang didapat dari DBH maka semakin banyak dana yang dapat dialokasikan untuk belanja modal; 3) Semakin banyak jumlah SiLPA maka jumlah dana yang dapat dialokasikan untuk belanja modal juga akan semakin banyak; 4) Semakin banyak lain-lain pendapatan daerah yang sah yang diterima oleh pemerintah daerah maka semakin banyak belanja modal yang dapat dialokasikan; 5) Semakin luas wilayah suatu kabupaten kota maka maka jumlah belanja modal yang akan dibutuhkan juga akan semakin banyak; 6) DAK akan dapat memoderasi hubungan PAD, DBH, SiLPA, Lain-lain pendapatan daerah yang sah dan luas wilayah terhadap belanja modal.

3.1.1 Hubungan antara PAD dengan belanja modal

UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan menyatakan bahwa PAD merupakan salah satu sumber penerimaan daerah. PAD terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Terdapat hubungan yang positif antara PAD dengan belanja modal. Peningkatan PAD diharapkan akan meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik juga akan mengalami peningkatan. Hal itu juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tuasikal (2008), Kusnandar dan Siswontoro (2012), Danayanti (2014), Sugiarthi dan Supadmi (2014) yang menunjukkan bahwa PAD

berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Semakin besar PAD suatu daerah, maka jumlah dana yang dapat dialokasikan untuk belanja modal juga akan semakin banyak.

3.1.2 Hubungan antara DBH dengan belanja modal

DBH merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan ke daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksaan desentralisasi. DBH terdiri atas DBH pajak dan DBH bukan pajak, yaitu yang berasal dari sumber daya alam. DBH memiliki pengaruh yang positif terhadap belanja modal. Hal itu didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wandira (2013), Darmayasa dan Suandi (2014) dan Sumardjoko dan Irwanto (2015). Apabila pemerintah kabupaten/kota menerima pembagian DBH yang lebih besar, akan lebih banyak dana yang dapat dialokasikan untuk belanja modal.

3.1.3 Hubungan antara SiLPA dengan belanja modal.

Menurut Permenagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, SiLPA adalah sisa dana yang diperoleh dari aktualisasi penerimaan serta pengeluaran anggaran daerah selama satu periode. SiLPA dapat dialokasikan untuk belanja modal dalam rangka penyediaan berbagai fasilitas publik. Hubungan SiLPA dengan belanja modal telah diteliti oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) yang menemukan bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja modal. Hal itu sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Danayanti (2012) dan Sugiarthi dan Supadmi (2014). Semakin banyak SiLPA tahun sebelumnya maka semakin banyak dana yang dapat dialokasikan untuk belanja modal.

3.1.4 Hubungan antara lain-lain pendapatan daerah yang sah dengan belanja modal

Lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah komponen pendapatan daerah yang bukan bersumber dari PAD dan dana perimbangan. Pendapatan yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota dapat dialokasikan untuk membiayai keperluan-keperluan daerah. Semakin banyak lain-lain pendapatan daerah yang sah yang diterima oleh pemerintah daerah, maka semakin banyak dana yang dapat dialokasikan untuk belanja modal.

3.1.5 Hubungan antara luas wilayah dengan belanja modal

Luas wilayah berpengaruh terhadap besarnya alokasi belanja modal suatu daerah. Semakin luas wilayah kabupaten/kota atau semakin banyak daerah yang dikembangkan maka semakin besar kebutuhan belanja modal untuk membangun daerah tersebut. Wilayah yang luas tentu membutuhkan infrastruktur yang lebih banyak yang berarti akan meningkatkan belanja modal yang dibutuhkan. Dari sudut pandang luas wilayah inilah, peneliti juga meneliti bagaimana pengaruh luas wilayah terhadap besaran belanja modal suatu daerah. Semakin luas wilayah, maka semakin besar belanja modal yang harus dialokasikan. Hal itu didukung oleh penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012) yang menemukan bahwa luas wilayah berpengaruh terhadap jumlah belanja modal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa luas wilayah juga merupakan faktor penentu belanja modal.

3.1.6 Peran Pemoderasi DAK terhadap belanja modal

DAK merupakan sumber pendanaan dari APBN terhadap daerah khusus untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan

pembangunan daerah. Dengan demikian apabila usulan kegiatan belanja modal daerah yang tidak sepenuhnya dapat dibiayai melalui PAD dan pembiayaan daerah diterima menteri teknis dan anggarannya ditampung maka jumlah anggaran belanja modal daerah tentunya semakin besar. Sehingga pemenuhan pembangunan sarana dan prasarana daerah semakin cepat terlaksana. Dengan kata lain DAK memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan belanja modal.

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tuasikal (2008), Situngkir (2009), Wandira (2013), Jiwatami (2013) serta penelitian Sumardjoko dan Irwanto (2015).

3.2 Hipotesis

Menurut Erlina (2011) hipotesis adalah proposisi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris. Sugiyono (2014) menyatakan bahwa hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, yang mana rumusan tersebut sebelumnya telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.

Hipotesis merupakan jawaban sementara yang membutuhkan pengujian empiris lebih lanjut untuk membuktikan kebenarannya. Berdasarkan tinjauan literatur dan penelitian terdahulu, hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. PAD, DBH, SiLPA, lain-lain pendapatan daerah yang sah dan luas wilayah berpengaruh positif terhadap belanja modal kabupaten/kota di Pulau Sumatera baik secara bersama-sama maupun parsial.

2. DAK dapat memoderasi hubungan antara PAD, DBH, SiLPA, lain-lain pendapatan daerah yang sah dan luas wilayah dengan belanja modal kabupaten kota di Pulau Sumatera.

BAB IV

Dokumen terkait