• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP

B. Kerangka Konsep

Konsep adalah abstrak, entitas mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Wulansari (2009:33) menjelaskan bahwa konsep adalah kata atau istilah ilmiah yang menyatakan suatu ide, pengertian atau pikiran umum tentang sesuatu atau sifat-sifat benda, peristiwa, gejala ataupun istilah yang mengemukakan tentang hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya.

Bertolak dari pernyataan tersebut, maka dalam penelitian yang mengkaji tentang Keberadaan Pangestu ( Paguyuban Ngesti Tunggal ) Di Kota Semarang, menggunakan konsep Kepercayaan dan Olahrasa / Kejiwaan

1. Kepercayaan

Dasar Kepercayaan Jawa (Kejawen, Javanisme) adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian maka kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman – pengalaman yang religius (Yana, 2010:17).

Pengertian Kebatinan atau Aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara umum adalah Mistik Jawa. Batin dalam bahasa Arab berarti sebalah dalam, inti, di dalam hati, tersembunyi, dan misterius (Mulder, 1983:21). Geertz menganalisis mistik Jawa sebagai ungkapan gaya hidup orang Jawa yang halus yang mengandung sifat empiris (Geertz, 1964:319-321).

Pada dasarnya kebatinan adalah mistik murni yang membuka pengetahuan langsung dan pengalaman setiap individu dengan Tuhan. Sementara itu metode yang dipergunakan adalah menyerahkan diri sambil bersujud atau berdiri dengan tenang. Untuk penganut latihan kejiwaan harus menyempurnakan serah dirinya serta pasrah dan melatih rasa dan jiwanya agar dapat mencapai jalan menuju ketentraman jiwa kepada ke-Esaan Tuhan. Praktik kebatinan merupakan usaha pribadi seseorang yang ingin manunggal kembali dengan asal-usulnya, berniat untuk menyingkapkan rahasia atau terbebas sama sekali dari ikatan-ikatan duniawi. Usaha untuk mencapai panunggalan hanya dapat dicapai dengan sumber pengetahuan atau pemikiran hakiki tentang kebatinan. Pengetahuan ini tercapai oleh rasa, bukan oleh rasio. Dalam hubungan dengan Tuhan, diajarkan bagaimana manusia mengenal, mempercayai dan menghayati keberadaan Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya yang tidak terbatas. Bagaimana harus berhubungan dengan-Nya, dari mana manusia dan makhluk-makhluk lainnya berasal, di mana mereka hidup, dan kemana akan pergi akan pergi sesudah hidup di dunia ini. Dalam bahasa Jawa, ajaran ini berusaha menembus ”sangkan paraning dumadi,” atau ajaran metafisika (Hariwijaya, 2006:78).

2. Kejiwaan / Olah Rasa

Olah rasa (Pangolahan Rasa atau Penghalusan Rasa) adalah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai puncak kemajuan rohani orang Jawa, yakni manunggaling kawula gusti yang terwujud dalam kehidupan yang harmonis, tidak ada ketegangan dan gangguan batin (Christina S dkk, 2004:56-57).

17

Untuk tujuan itulah manusia jawa mengatur dan memperhalus segi-segi lahiriah eksistensinya, melakukan penghalusan dan pendalaman rasa secara terus menerus. Dalam rasa keakuan ini, manusia akan mengalami kesatuan dengan ilahi sehingga berlakulah ekuasi : rasa sama antara aku dan gusti.

Rasa adalah keadaan yang puas, tenang, tentram batin (tentrem ing manah) dan ketiadaan ketegangan. Ini hanya dapat dicapai jika pengalaman dairi sendiri terhadap rasa sudah berada pada titik yang tenang. Bagi keduanya, titik acuan terakhir adalah keakuannya sendiri (Christina S dkk, 2004:57).

Olah rasa itulah seseorang mampu menemui dirinya sejati. Ingsun sejati atau diri sejati itu sama sekali berbeda dengan ego. Ego adalah aku yang dibungkus dengan nafsu. Ego sangat terikan oleh pengalaman indrawi karena itu, sasaran ego adalah kepentingan sendiri atau pemuasan diri sendiri (Achmad, 2003:21)

Bila manusia telah menemukan diri sejatinya, maka manusia akan diiringkan menuju guru sejati atau roh kudus yang ada didalam diri manusia tersebut. Dia sebagai tali penghubung antara ”ingsun” dengan Tuhan. Keyakinan yang kuat dari ingsun yang mampu membangkitkan daya dan kekuatan yang ada didalam diri. Sarana untuk membangkitkannya adalah mantra atau kidung suci (Achmad, 2003:22).

Menurut Harun menyatakan bahwa inti pertemuan pangestu terdapat didalam olah rasa (bawa rasa), yaitu pertemuan warga guna memperdalam ajaran Sang Guru Sejati yang dengan direncanakan terlebih dahulu.

Pertemuan tersebut terdiri dari : Sesanti, Pangeran Suksma Kawekas, Intisari Panembahan, Pangesti I, Pembacaan Pustaka Suci Sasangka Jati, Mengupas Persoalan atau Pengalaman Pribadi, Tanya Jawab, Berita Organisasi, Manembah Untuk Kesejahteraan Negara yang kemudian ditutup dengan ucapan ”Satuhu” (Harun, 2009:68).

Semua Olah Rasa, Olah Jiwa, Olah Pikir, dan Olah Gerak selalu diarahkan untuk mencapai ridha-Nya, karena Dia selalu dekat dengan manusia. Tiada satupun yang terlintas dalam diri manusia yang tidak diketahuinya, Dia pasti mengetahui (Maya, 2004:135). Olah rasa juga merupakan sarana yang dipedomani keabsahannya untuk mencapai sebuah kebenaran, dengan sarana mistik sebagai wahana mencari kebenaran (Amroeni, 2005:V).

19

C. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir memaparkan dimensi-dimensi kajian utama, faktor-faktor kunci dan hubungan-hubungan antara dimensi-dimensi yang disusun dalam bentuk narasi atau grafis. Kerangka berpikir dianalogikan oleh peneliti untuk melakukan penelitian berdasarkan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai, selain juga berfungsi membantu supaya tidak terjadi penyimpangan dalam penelitian.

Bagan 1. Kerangka Berfikir Penelitian

Masyarakat Jawa salah satu bagian dari masyarakat Indonesia yang tinggal di pulau Jawa, juga secara turun temurun menggunakan kebudayaan Jawa sebagai pedoman hidup dalam kehidupan kesehariannya. Masyarakat Jawa

MASYARAKAT KOTA SEMARANG

KEJIWAAN / OLAH RASA ORGANISASI KEGIATAN PANGESTU (PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL) KEBERADAAN MASYARAKAT JAWA

menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian masyarakatnya. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang berkeTuhanan, yang berarti masyarakat Jawa mengakui adanya Tuhan yang menciptakan serta mengatur kehidupan manusia.

Kehidupan berke-Tuhanan masyarakat Jawa mengenal adanya agama sebagai tuntunan hidup masyarakatnya. Masyarakat Jawa mengenal 5 agama besar yang telah ditentukan oleh pemerintah dan undang-undang, 5 agama tersebut dibagi menjadi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Masyarakat Jawa diharuskan untuk memilih salah satu dari kelima agama tersebut sebagai syarat administratif negara agar dapat diakui sebagai warga negara yang sah. Selain 5 agama besar yang telah disahkan oleh pemerintah dan undang-undang, masyarakat Jawa juga mengenal adanya kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Secara garis besar kehidupan keagamaan masyarakat jawa dapat digambarkan terbagi menjadi 2 bagian besar dalam kehidupan berkeTuhanan masyarakat Jawa. Kedua bagian besar tersebut diketahui sebagai Kepercayaan dan Agama Pemerintah.

Agama Pemerintah merupakan agama-agama yang disahkan oleh pemerintah melalui undang-undang yang telah ditetapkan. Pemerintah mengharuskan para penduduknya untuk memeluk agama yang telah dibuat tersebut. Dalam perjalanannya agama pemerintah dibagi menjadi 6 varian besar yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu.

Kepercayaan yang berasal dari masyarakat Jawa dahulu yang telah ada sebelum masuknya agama-agama pemerintah ada dan berkembang dalam

21

masyarakat Jawa. Pedoman pada kepercayaan tersebut berisikan aturan-aturan hidup masyarakat Jawa yang telah turun-temurun ada dan diyakini oleh masyarakat Jawa. Masyarakat yang memiliki kepercayaan didalamnya juga mengenal pengolahan rasa jiwa dimana masyarakat mampu belajar mengenali arti mereka hidup, dan kemana mereka setelah meninggal (Sangkan Paraning Dumadi).

Pengolahan rasa merupakan cara yang dugunakan untuk memaknai arti kehidupan manusia. Ketika manusia sudah mampu memaknai bagaimana mereka hidup dan untuk apa mereka hidup tentunya manusia tidak akan berani melaksanakan hal-hal yang dilarang oleh Tuhan. Olah Rasa juga melatih jiwa kita untuk lebih tentram dan tenang dalam setiap melakukan segala hal, sehingga beban-beban kejiwaan manusia dapat diredam melalui olah rasa tersebut. Olah rasa juga salah satu cara yang digunakan untuk mengolah perasaan manusia, sehingga manusia dapat hidup dengan tentram. Pangolahan rasa atau kejiwaan ini dapat ditemukan pada Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal).

Pangestu (Paguyban Ngesti Tunggal) merupakan sebuah sarana untuk mengolah rasa para warganya yang lahir dikota Surakarta pada tanggal 20 Mei 1949. Pangestu menitik beratkan kegiatannya pada olah rasa para pengikutnya sehingga pengikutnya dapat mengerti makna dan fungsi mereka hidup juga dari mana mereka berasal. Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa pangestu itu merupakan sebuah agama baru. Masyarakat menganggap pangestu merupakan aliran sesat yang menyekutukan Tuhan. Anggapan dari masyarakat mengenai Pangestu sebagai agama baru dan aliran sesat juga diperkuat dengan buku-buku

yang menyajikan tentang Pangestu yang memasukan Pangestu kedalam aliran kepercayaan/kebatinan. Dari hal tersebut maka menjadikan penulis untuk melakukan penelitian tentang keberadaan paguyuban ngesti tunggal (PANGESTU) dan mendeskripsikan kegiatan-kegiatan Pangestu di kota Semarang.

23 BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan penulis untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Penulis sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Dokumen terkait