• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Modifikasi “Teori Segitiga Epidemiologi” Penelitian Indeks Prediktif Kejadian Schistosomiasis Berbasis Perilaku Masyarakat.

Keterangan gambar:

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti

Agent - Umur - Jenis kelamin - Tingkat Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan - RiwayatSchistosomiasis - Penggunaan jamban - Penggunaan sumber air - Melewati daerah fokus - Penggunaan alat pelindung

diri

- Kebiasaan beraktivitas di sungai/parit

- Memelihara hewan ternak - Pemanfaatan program kesehatan KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS Cacing Schistosoma Japonicum Sp Host - Lingkungan Biologi - Lingkungan Fisik - Lingkungan Kimia Environment

Berdasarkan gambar 3.1, dapat dijelaskan bahwa alur kerangka konseptual yang dimaksud seperti kejadian Schistosomiasis di pengaruhi oleh beberapa penyebab meliputiagent(penyebab),host(pejamu) danenvironment(lingkungan). Pada penelitian ini dikhususkan kejadian Schistosomisis berbasis perilaku masyarakat yang masuk pada perilakuhost(manusia).

Variabel yang akan diteliti untuk faktor host (pejamu) yaitu: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan riwayat Schistosomiasis

sedangkan perilaku masyarakat yaitu: penggunaan jamban, penggunaan sumber air, melewati daerah fokus, penggunaan alat pelindung diri, kebiasaan beraktivitas di sungai/parit, memelihara hewan ternak dan pemanfaatan program kesehatan terkait

Schistosomiasis.

Pembangunan di daerah Dataran Tinggi Lindu masih sangat tertinggal jauh dibandingkan di daerah Kabupaten lain yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah. Hal ini terlihat bahwa kehidupan pedesaan masyarakat setempat masih sangat kental terhadap adat istiadat dengan kegiatan sehari-hari yang dilakukan berhubungan dengan sawah, kebun dan hutan. Kebutuhan sehari-hari seperti memperoleh bahan makanan pangan juga diperoleh dari pemanfaatan lahan yang berada di sekitar di Dataran Tinggi Lindu karena tidak terdapat pasar tradisonal yang di Dataran Tinggi Lindu, sehingga masyarakat memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memanfaatan sumberdaya alam di Lindu.

Umur dalam konteks kejadian Schistosomiasis adalah berkaitan dengan keterpaparan manusia terhadap agen. Dimana penyakit Schistosomiasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun orang dewasa. Namun

pada hasil beberapa penelitian penyakit ini lebih banyak ditemukan pada usia remaja dan orang dewasa seperti pada penelitian Sumadana (2000), menunjukkan bahwa frekuensi penderitaSchistosomiasis terbanyak pada kelompok umur 15-49 tahun yakni 60,3% yang merupakan kelompok usia produktif dan terkecil pada kelompok umur >50 tahun yaitu 8,1%. Hal ini dikarenakan aktivitas anak-anak yang sangat senang bermain maupun mandi di sungai/danau sedangkan orang dewasa yang hari-hari di sawah, sungai atau di perairan yang terdapat keong

Oncomelania hupensis lindoensisyang merupakan keong penularSchistosomiasis. Sehubungan dengan penyakit Schistosomiasis, beberapa hasil penelitian di beberapa negara termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak dilaporkan terinfeksi Schistosomiasis di bandingkan dengan perempuan. Adanya perbedaan risiko terjadinya penyakit Schistosomiasis pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih berisiko terhadap penyakit ini kemungkinan disebabkan karena tuntutan sebagai penanggung jawab rumah tangga atau orang yang telah dewasa sehingga mengharuskan untuk melakukan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti diketahui bahwa pekerjaan yang berpeluang besar untuk dilakukan di daerah endemis Schistosomiasis adalah bertani, berkebun dan lain-lain, yang memungkinkan lebih sering bersentuhan dengan air yang berasal dari daerah fokus keong.

Tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan semakin memudahkan menyerap dan memahami pesan-pesan kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit

Schistosomiasis. Tingkatan pendidikan seseorang menjadikannya mudah dalam mengubah perilaku menjadi lebih baik, dikarenakan cara berpikir orang yang

berpendidikan tinggi akan lebih baik dan lebih dari orang yang memiliki pendidikan rendah. Pendidikan kesehatan yang perlu diselenggarakan dalam upaya pengendalian Schistosomiasis. Suatu proses yang dapat mendorong orang untuk bersikap dan atau berperilaku sehat berdasarkan kesadaran yaitu melalui pendidikan di sekolah. Oleh karena itu masalah kesadaran yaitu melalui pendidikan di sekolah. Tingkat pendidikan berhubungan dengan kejadian Schistosomiasis dimana menunjukkan bahwa peran masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendidikan, tingkat pengetahuan dan sosial masyarakat. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar risiko untuk terinfeksiSchistosomiasis

karena kurangnya kesadaran untuk mencegah yang ditanamkan sejak dini.

Mata pencaharian masyarakat di daerah Dataran Tinggi Lindu sebagian besar sebagai petani dan nelayan. Pekerjaan sebagai petani akan selalu mengelola sawahnya dan selalu kontak dengan lingkungan air. Hal ini dapat memungkinkan seseorang mudah terkontaminasi oleh cacingSchistosoma japonicum. Infeksi pada manusia terjadi oleh karena serkaria keluar dari tubuh siput kemudian menembus kulit manusia pada waktu bekerja disawah dan saluran irigasi.

Riwayat penyakit Schistosomiasis juga akan berpengaruh untuk terkena kembali atau reinfeksi karena adanya perilaku risiko yang terus dilakukan setiap hari. Hal ini akan menyebabkan orang tersebut berisiko untuk terkena kembali penyakitSchistosomiasis.

Perilaku masyarakat yang memungkinkan berisiko terkena penyakit

Schistosomiasis meliputi: tidak memanfaatkan jamban keluarga, menggunakan sumber air yang terinfeksi serkaria, sering melewati daerah fokusSchistosomiasis,

tidak menggunakan alat pelindung diri, kebiasaan melakukan aktivitas di sungai/parit dan tidak memanfaatkan program kesehatan terkait pencegahan

Schistosomiasis. Perilaku ini akan memicu terjadinya penularan penyakit

Schistosomiasis yang disebabkan oleh seringnya terpapar air yang mengandung serkaria.

Schistosomiasismerupakan salah satu penyakit yang dapat disebabkan tinja manusia maupun tinja hewan mamalia yang terinfeksi. Untuk mencegah sekurang- kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus di tempat tertentu (jamban) yang sehat agar tidak memberi peluang parasit maupun bakteri mencemari lingkungan ataupun menginfeksi manusia. Oleh karena itu perlu mewaspadai penyebaran penyakit ini melalui kebiasaan yang buruk yaitu membuang air besar di sungai, parit ataupun selokan karena dapat menyebabkan mata rantai penularan penyakit.

Air merupakan media lingkungan yang dibutuhkan dalam perkembangan cacingSchistosoma japonicummulai pada saat penetasan telur menjadi mirasidium maupun serkarianya yang akan menginfeksi manusia. Memanfaatkan sumber air dari sungai/parit untuk kebutuhan sehari-hari akan berisiko untuk terkena terinfeksi serkaria dan akan menyebabkan penyakitSchistosomiasis.

Kebiasaan penduduk yang sering melewati daerah fokus memungkinkan akan berisiko terkena penyakit Schistosomiasis. Hal ini terjadi dikarenakan melewati daerah-daerah titik fokus keong penular penyakit tersebut. Sehingga akan mempermudah terinfeksi penyakitSchistosomiasis.

Penggunaan alat pelindung diri merupakan salah satu upaya pencegahan untuk memutus mata rantai penularan penyakitSchistosomiasis. Serkaria masuk ke dalam tubuh manusia maupun hewan mamalia melalui kulit. Untuk mencegah masuknya serkaria (cacingSchistosoma) kedalam tubuh dibutuhkan alat pelindung diri berupa sepatu boot dan sarung tangan karet pada waktu kontak denga air yang terinfeksi serkaria baik pada saat bekerja maupun melewati daerah fokus.

Adanya perilaku masyarakat yang memiliki kebiasaan memelihara hewan ternak juga dapat memicu penularan penyakit Schistosomiasis apabila kondisi kandang ternak tidak dibersihkan dan dibiarkan kotor. Selain itu kandang yang terdapat disekitar daerah fokus akan memungkinkan hewan ternak mamalia terinfeksi cacingSchistosoma japonicum.

Kebiasaan masyarakat yang tidak memanfaatkan program kesehatan dalam hal pengendalian penyakit Schistosomiasis meliputi: mengikuti kegiatan penyuluhan, pemeriksaan tinja dan melakukan usaha pemberantasan fokus keong akan berisiko untuk terinfekiSchistosomiasis.

Setiap variabel yang merupakan faktor risiko atau pengaruh tersebut, diuji signifikansinya terhadap kejadian Schistosomiasis berbasis perilaku masyarakat. Apabila didapatkan variabel dengan hasil uji signifikan, dilanjutkan dengan pengujian secara simultan terhadap setiap variabel yang signifikan tersebut untuk mendapatkan indikator. Indikator tersebut selanjutnya digunakan untuk memprediksi kejadianSchistosomiasisberbasis perilaku pada masyarakat.

3.2 Hipotesis

Berdasarkan gambaran kerangka konseptual dapat disusun hipotesis dalam penelitian ini yaitu:

1. Ada pengaruh karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan riwayat Schistosomiasis) yang dapat dijadikan indikator kejadian Schistosomiasis berbasis perilaku masyarakat di Dataran Tinggi Lindu Kabupaten Sigi.

2. Ada pengaruh faktor perilaku masyarakat (penggunaan jamban, penggunaan sumber air, melewati daerah fokus, penggunaan alat pelindung diri, kebiasaan beraktivitas di sungai/parit, memelihara hewan ternak dan pemanfaatan program kesehatan) yang dapat dijadikan indikator kejadian Schistosomiasis

Dokumen terkait