• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi Pelanggaran Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Maqa>s{id al-

BAB III SANKSI PELANGGARAN PENCATATAN PERKAWINAN

B. Sanksi Pelanggaran Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Maqa>s{id al-

Adanya regulasi terkait sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan tidak terlepas dari betapa pentingnya peraturan tentang pencatatan perkawinan itu sendiri. Dalam rangka melindungi masyarakat dalam membina keluarga, pencatatan perkawinan menjadi salah satu faktor sahnya suatu perkawinan,13 disisi lain suatu perkawinan yang melalui proses administrasi akan memiliki dasar, perlindungan, kekuatan hukum, serta memberikan jaminan akan hak-hak

13 Abdul Mannan, Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia. (Depok: Kencana, 2017), 239.

konstitusional seorang ayah, ibu juga anak, yang disebabkan dari ikatan perkawinan.14

Sebaliknya, terjadinya pelanggaran pencatatan perkawinan, yang termasuk dalam perkawinan illegal oleh negara dan tentunya tidak memiliki dasar hukum. Secara otomatis hal itu berdampak pada semua pihak, baik pihak laki-laki (suami), pihak perempuan (isteri) juga anak, setiap individu dari mereka tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini memandang bahwa, dalam hukum keluarga tidak lepas dari adanya sengketa, seperti sengketa perceraian, pembatalan perkawinan, sengketa harta kekayaan perkawinan, sengketa perwalian, tuntutan nafkah, tuntutan hak-hak anak luar kawin, pengesahan perkawinan, dan lain-lain. Bahkan membuka kemungkinan akan ada kegelisahan pada isu kesetaraan gender, dimana posisi perempuan dianggap lebih rentan derajatnya daripada laki-laki.15 Maka dari itu, untuk menghindari hal-hal yang bersifat negatif (mafsadah) terjadi, sanksi atas pelanggaran pencatatan perkawinan diregulasikan oleh negara mayoritas muslim, diantaranya Indonesia, Malaysia dan Brunei, karena bertujuan untuk mendatangkan kebaikan (mas{lah{ah).

Penerapan sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan tersebut selanjutnya bermuara pada pencapaian tujuan hukum Islam atau maqa>s{id al-syari>‘ah yang menurut ulama klasik masuk pada tingkatan ḍarūrῑyyah (keniscayaan), yang terdiri dari: hifz{ al-dῑn (pelestarian agama), hifz{ al-nafs (penjagaan nyawa),

14 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pasal 28J.

15 M. Noor Harisudin, Risalah Fiqh Wanita: Pemikiran Fiqh Perempuan Progresif KH. Muchith Muzadi, Justitia Islamica, vol. 10/no. 1/Jan.-Juni 2013.

hifz{ al-‘aql (penjagaan akal) dan hifz{ al-nasl (penjagaan keturunan), hifz{ al-ma>l (penjagaan harta).16

Akan tetapi, kelima aspek di atas masih bersifat partikular dan belum menyentuh pada upaya perlindungan terhadap hak fundamental seseorang sebagai warga negara seperti keadilan dan hak asasi seseorang untuk mendapat perlindungan dari segala perbuatan yang mengancam kehidupannya.17

Selain itu dalam menetapkan hukum, ulama klasik menggunakan rasionalisasi yang bertujuan untuk memelihara ketetapan dan ketepatan.

Sehingga sangat menjaga formallitas prosedural karena tidak menginginkan

‘illat (reason) dibalik hukum itu sendiri berubah mengikuti perubahan kondisi masyarakat yang bersifat dinamis. Pemikiran demikian mengakibatkan hukum Islam menjadi tabu karena tidak mampu menjawab tantangan perubahan yang ada di masyarakat.

Melihat kondisi tersebut, maka Jasser Auda mengusulkan perlunya pergeseran paradigma (sifting paradigm) teori maqa>s{id lama (klasik) yang bertumpu pada penjagaan dan perlindungan individu, ke teori maqa>s{id yang baru, menuju upaya pengembangan dan hak-hak asasi, sehingga hukum Islam dapat diterapkan dalam peristiwa konkrit sesuai dengan fungsinya yaitu ‘amar ma’ruf nahi munkar. Pergeseran dari teori maqa>s{id lama yang disusun oleh al-Sya>t{ibi ke teori maqa>s{id baru yang diusulkan Auda tersebut, karena dengan mempertimbangkan perkembangan pemikirann tata kelola dunia dalam bingkai negara-bangsa (nation-states).

16 Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003), 78.

17 Jasser Audah, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... 36.

Berikut adalah usulan Auda terkait ruang lingkup hifz{ nasl pelestarian keluarga (perkawinan):18

Pergeseran Paradigma Teori Maqa>s{id Klasik Menuju Kontemporer Teori Maqa>s{id Klasik Teori Maqa>s{id Kontemporer

Menjaga Keturunan (hifz{ al-Nasl)

Teori yang berorientasi kepada perlindungan keluarga; kepedulian yang lebih terhadap institusi keluarga.

Gagasan pembaharuan tersebut adalah langkah yang tepat karena pada dasarnya teori maqa>s{id al-syari>‘ah memiliki kemampuan untuk berkembang seiring perubahan ruang dan waktu. Selain itu tata kehidupan manusia dan segala permasalahannya tidak bersifat statis, melainkan selalu berkembang dan bermuara pada permasalahan yang kompleks. Hal ini paling tidak telah diharapkan banyak cendekiawan muslim agar fiqh (hukum Islam) tidak terlalu gagap dalam menghadapi perubahan global.19

Pemikiran kontemporer Jasser Auda setidaknya mengarahkan pandangan manusia bahwa konsep maqa>s{id al-syari>‘ah yang digagasnya lebih selaras dengan permasalahan masa kini dibandingkan konsep maqa>s{id al-syari>‘ah klasik. Teori maqa>s{id al-syari>‘ah kontemporer menunjukkan bahwa tujuan penerapan sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan merujuk pada konsep penjagaan hak-hak asasi semua pihak, baik suami, istri, anak dan masyarakat.

18 M. Amin Abdullah, “Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Pendekatan Filsafat Sistem dalam Usul Fikih Sosial”, Jurnal Salam, Vol. 14 No. 1 Januari - Juni 2011, 36.

19 Sri Lum’atus Sa’adah, Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer (Sebuah Tawaran Penemuan Hukum Islam melalui Metode Double Movement), Jurnal Falasifa. Vol.3 , No. 1 Maret 2012, 136.

Di Indonesia, hal tersebut sesuai dengan tujuan nasional (national goals) yang menjadi garis kebijakan umum serta landasan dalam pencapaian politik hukum di Indonesia, di mana pemidanaan diarahkan pada konsep pembaharuan hukum. Seperti yang disebutkan dalam kesimpulan Seminar Kriminologi Ketiga Tahun 1976, kurang lebih setahun setelah diterbitkannya PP No. 9 Tahun 1975, dalam seminar tersebut menyatakan bahwa:

“Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk (social defence) dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat”.

Uraian kesimpulan tersebut setidaknya memberi penjelasan bahwa pelaksanaan hukum pidana diarahkan pada tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat dari suatu keburukan (mafsadah) dan menciptakan keseimbangan serta keselarasan hidup (mas{lahah) dalam masyarakat dengan tetap memperhatikan kepentingan-kepentingan pelanggar dan keluarga itu sendiri.20

Melalui pemikiran kontemporer Jasser Auda, konsep penjagaan hak-hak asasi dan kehormatan manusia lebih mendekati pada konsep yang sempurna.

Karena cakupan perlindungannya tidak hanya terhadap kepentingan pribadi semata, melainkan juga kepentingan sosial masyarakat. Karena pelanggaran pencatatan perkawinan telah menjadi permasalahan kompleks yang memberikan dampak luas tidak hanya bagi keluarga, melainkan juga masyarakat yang tidak terlibat dalam tindak pidana tersebut.

20 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), 3.

Penerapan sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan telah menjamin kemaslahatan umum (al-mas{alih al-‘ammah) dan sesuai dengan kaidah yang berbunyi‚ al-mas{lah{ah al-‘ammah muqaddamah min al-mas{lah{ah al-khas{s{ah.

Kaidah tersebut pada hakikatnya memberikan pesan bahwa kemaslahatan umum (al-mas{alih al-‘ammah) lebih diutamakan daripada kemaslahatan khusus al-mas{lah{ah al-khas{s{ah.21

Akhirnya Penerapan sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan dapat dinilai sesuai dengan sudut pandang maqa>s{id al-syari>‘ah Jasser Auda. Karena maksud yang hendak dicapai dari penerapan sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan adalah dalam rangka penegakan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan demikian penerapan sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan diharap mampu membuka sarana kebaikan (mas{lahah) dan menutup celah keburukan (mafsadah).

21 M. Noor Harisudin, ’Urf Sebagai Sumber Hukum Islam (Fiqh) Nusantara, Jurnal Al-Fikr, volume 20 nomor 1 tahun 2016, 71.

BAB IV

MODEL REGULASI SANKSI PELANGGARAN PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA, MALAYSIA DAN BRUNEI A. Regulasi Sanksi Pelanggaran Pencatatan Perkawinan

Jika dianalisa lebih dalam, terdapat beberapa regulasi tentang sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan yang telah ditetapkan, baik itu regulasi yang ditetapkan di Indonesia, Malaysia maupun di Brunei. Regulasi-regulasi tersebut agar lebih sistematis akan peneliti uraikan sesuai herarki dari kekuatan hukum peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ke yang lebih rendah, dari masing-masing Negara.

1. Sanksi Pelanggaran Pencatatan Perkawinan di Indonesia a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Peneliti sengaja menampilkan Undang-Undang (UU) yang mencakup didalamnya terkait sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan, meskipun UU tersebut telah mengalami perubahan pada UU terbaru.

Seperti dalam UU No.22 Tahun 1946, Tentang Pencatatan Nikah, Nikah Talak dan Rujuk, yang telah diganti dengan UU No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, dan diperbarui kembali karena adanya beberapa perubahan pada tahun 2019 menjadi, UU No. 16 Tahun 2019, Tentang Perkawinan.

Adanya redaksi yang menyatakan sanksi atas pelanggaran pencatatan perkawinan, terdapat pada Pasal 3, UU No. 22 Tahun 1946.1

1 Undang-Undang No.22 Tahun 1946, Tentang Pencatatan Nikah, Nikah Talak dan Rujuk.

b. PERATURAN PEMERINTAH (PP)

Pada pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975, memuat ancaman pidana bagi mempelai dan pegawai pencatat yang melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan tentang pencatatan. Mempelai diancam dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp.7.500, apabila mempelai tidak melakukan pemberitahuan untuk kawin, perkawinan tidak dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat.

Sedangkan pegawai pencatat dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500, apabila ia tidak melakukan penelitian, atau tidak memberitahukan adanya halangan perkawinan, atau tidak menyelenggarakan pengumuman, atau tidak mendatangi pengumuman, atau melaksanakan perkawinan sebelum hari kesepuluh dari pengumuman, atau tidak menyiapkan dan menandatangani akta perkawinan, atau tidak menyimpan helai pertama, tidak memberikan helai kedua kepada panitra pengadilan dan kutipan akta perkawinan kepada suami dan istri.2

Adapun yang mengadili perkara pelanggaran ini yang menjatuhkan pidananya adalah peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, bukan peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama, walaupun yang melanggar adalah beragama Islam.3

2 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, 174.

3 Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:Galia Indonesia, 1982), 21.

Hal sanksi terhadap pelanggaran pencatatan perkawinan ini juga ditekankan dalam Penjelasan PP No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.4

c. PERATURAN MENTERI

Selanjutnya, pada Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, dalam BAB XX, Pasal 40. Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 11 Tahun 2007 tersebut, sanksi administrasi hingga pemberhentian, ditujukan hanya bagi petugas PPN (Pegawai Pencatat Nikah) dan Penghulu dikalangan Kementerian Agama RI.5

2. Regulasi Sanksi Pelanggaran Pencatatan Perkawinan di Malaysia a. AKTA

Pada Undang Malaysia (UUM) Akta 164 Membaharui Undang-Undang (Perkahwinan dan Perceraian) 1976, menegaskan bahwa: Siapa saja, yang diharuskan oleh bagian 31 untuk tampil di hadapan Panitera, gagal muncul dalam periode/kurun waktu yang telah ditentukan, ia dapat, dengan keyakinan, dipenjara untuk jangka waktu tidak lebih dari satu tahun atau denda tidak melebihi seribu ringgit atau keduanya.6

4 PP No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, 185.

5 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah. Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, 474.

6 Undang-Undang Malaysia Akta 164 Akta Membaharui Undang-undang (Perkahwinan Dan Perceraian) 1976 sebagaimana pada 1 oktober 2015, Bahagian V, Seksyen 35-46.

Selanjutnya pada Undang Malaysia Akta 303, Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984, mayoritas sama dengan Undang-Undang Malaysia Akta 164 diatas. Ada beberapa perbedaan yang tidak terlalu signifikan terlihat, misal perbedaan susunan Seksyen dan Bahagian7, perbedaan ini hanya menyangkut tata letak dan sistematisasinya saja, namun tidak pada muatan isinya/materinya.

b. ENAKMEN

Pada Enakmen 11 Tahun 2003, tentang Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Sembilan) 2003, di Bahagian IV, pasal (seksyen) 35, 8 menegaskan bahwa: Jika ada orang yang diharuskan oleh bagian 31 untuk tampil di hadapan Panitera, gagal melakukannya dalam waktu yang ditentukan, maka ia melakukan pelanggaran dan akan dihukum akan dikenakan denda tidak melebihi seribu ringgit atau dipenjara untuk jangka waktu tidak melebihi enam bulan atau dua-keduanya.

Dalam bagian Enakmen ini, peneliti rasa hanya perlu menampilkan Enakmen dari satu Negara bagian saja, yakni Enakmen 11 Tahun 2003, Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Sembilan) 2003.

Setiap Negara bagian di Malaysia mempunyai enakmen sendiri terkait Undang-Undang Keluarga Islam, namun antara satu Enakmen Negara bagian dengan Enakmen Negara bagian lainnya mempunyai kesamaan

7 Undang-Undang Malaysia Akta 303 Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984, Mengandungi Pindaan Terkini – P.U. (A) 247/2002. Bahagian IV Seksyen 35-44.

8 Enakmen 11 Tahun 2003, Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Sembilan) 2003.

yang mayoritas, khususnya dalam muatan materi sanksi atau hukuman untuk pelanggar, sedikit perbedaan terjadi pada sistematika pengaturan antara Seksyen dan Bahagian, saja. Misal pada UUKI Serawak dan UUKI Terengganu, meski letak syeksennya berbeda dengan Negara bagian yang lain, yakni di Syeksen 33, namun pada muatan materinya sama dengan negara bagian lainnya.

3. Regulasi Sanksi Pelanggaran Pencatatan Perkawinan di Brunei a. UNDANG-UNDANG NEGARA BRUNEI DARUSSALAM

Undang-Undang Negara Brunei Darussalam, Terbitan Semakan, Penggal 77 dan Laws of Brunei, Chapter 217, Islamic Family Law, paling sering dipakai untuk dijadikan refrensi dalam jurnal penelitian maupun materi seminar dunia, salah satunya pada materi MUSAWAH, sebuah organisasi dunia yang bergerak untuk kesetaraan dan keadilan dalam keluarga Muslim.9

Pada UU Negara Brunei Darussalam, Terbitan Semakan, Penggal 77, Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi, edisi revisi tahun 1984, terkait masalah mengakadkan pernikahan secara tidak sah, Bahagian X, (pasal) 179, menegaskan bahwa, siapa saja yang merayakan atau berniat untuk melakukan upacara pernikahan sesuai dengan hukum Islam, perkawinan antara orang-orang yang sama-sama menganut agama Islam yang bertentangan dengan ketentuan Bagian VI (Pernikahan dan Perceraian), atau dengan sengaja bermaksud untuk meresmikan

9 https://www.musawah.org/get-involved. Diakses pada 22 Juni 2020.

pernikahan semacam itu yang tidak berlaku di bawah ketentuan Bagian itu, melakukan pelanggaran: Hukuman, penjara selama satu bulan atau denda $ 1.000.

Juga pada masalah gagal dalam membuat laporan pernikahan atau perceraian, dalam UU Negara Brunei Darussalam, Terbitan Semakan, Penggal 77, Bahagian X (Kesalahan-Kesalahan), (pasal) 180 menerangkan bahwa: (1) Siapa pun yang ditugaskan untuk melaporkan kepada Panitera pernikahan atau perceraian, dengan sengaja mengabaikan atau gagal melakukannya, bersalah atas pelanggaran, Penalti, didenda $ 200. (2) Siapa pun yang ditugaskan untuk melaporkan atau setelah melaporkan, kepada Panitera perkawinan atau perceraian apa pun, dan setelah diminta oleh Panitera untuk memberikan informasi apa pun atau untuk melakukan atau menandatangani dokumen yang diperlukan untuk tujuan melaksanakan pendaftarannya, dengan sengaja mengabaikan atau gagal memenuhi persyaratan tersebut berarti melakukan pelanggaran: Penalti, didenda $ 200. (3) Siapa pun yang membuat Kepaniteraan secara lisan atau tertulis bukti atau pernyataan palsu sehubungan dengan masalah apa pun yang disyaratkan dalam ketentuan Undang-Undang ini untuk dicatat atau didaftarkan oleh Panitera akan bersalah atas suatu pelanggaran, hukuman penjara untuk satu bulan atau denda $ 1.000. (4) Siapa pun yang tidak melaporkan kemurtadannya dari Islam sesuai dengan ketentuan Bab 168A bersalah

atas pelanggaran, dihukum denda $ 1.000 atas hukuman oleh Pengadilan Magistrate.

Dibawah ini merupakan undang-undang Negara Brunei, Undang-Undang Keluarga Islam khususnya terkait masalah perkawinan, yang paling banyak dijadikan landasan hukum daripada beberapa dasar hukum lain terkait masalah perkawinan. Laws of Brunei, Chapter 217, Islamic Family Law, atau bisa di sebut dengan AUUKI (Akta Undang-Undang Keluarga Islam), Penggal 217, Bab 33, 34 dan 38.

Untuk lebih jelasnya, karena yang berkaitan sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan hanya pada Bab 33, 34 dan 38, maka khusus Bab tersebut, pada Akta Undang-Undang Keluarga Islam (AUUKI), Penggal 217, peneliti hadirkan fersi bahasa Melayu yang telah diunggah dalam web resmi Mahkamah-Mahkamah Syariah Negara Brunei Darussalam, yang akan disertai dengan penjelasan dari bahasa Indonesia.10

Bab 33. Tidak hadir di hadapan Pendaftar untuk mendaftarkan perkahwinannya yang telah berlaku di luar negara dalam masa enam bulan selepas sampai di negara ini

Seseorang yang gagal hadir di hadapan Pendaftar tanpa sebab-sebab yang munasabah dalam masa yang ditetapkan ini adalah melakukan kesalahan dan jika sabit kesalahan hendaklah dihukum denda tidak melebihi B$1,000 atau penjara tidak melebihi 3 bulan atau kedua-duanya sekali.

Pada Bab 33, (AUUKI), Penggal 217, dalam hal tidak menghadap Panitera untuk mendaftarkan pernikahannya yang terjadi di luar negeri dalam waktu enam bulan setelah tiba di negara ini, tersebut menjelaskan bahwa, seseorang yang gagal muncul di hadapan Panitera tanpa alasan

10 https://www.e-syariah.gov.bn/portals/syariah/branches/web/home/article_view/310/271.

yang wajar dalam waktu yang ditentukan ini akan bersalah atas pelanggaran dan akan dihukum denda yang tidak melebihi B $ 1.000 atau hukuman penjara tidak lebih dari 3 bulan atau keduanya.

Bab 34. Jurunikah yang melanggar peruntukan bab 15 (mengakadnikahkan tanpa kebenaran Pendaftar/ mengakadnikahkan di luar kawasan tauliah)

Seseorang jurunikah dengan sengaja tidak mematuhi undang-undang yang sedia ada adalah melakukan kesalahan dan jika sabit kesalahan hendaklah dihukum denda tidak melebihi $1000 atau penjara 3 bulan atau kedua-duanya sekali dan jika ianya adalah kesalahan kedua atau berikutnya hendaklah dihukum denda tidak melebihi $2000 atau penjara tidak melebihi 6 bulan atau kedua-duanya sekali

Pada Bab 34, (AUUKI), Penggal 217, dalam hal Jurunikah yang melanggar ketentuan Bab 15 (menikah tanpa izin Panitera / menikah di luar wilayah kredensial). Seorang juri secara sengaja tidak mematuhi hukum yang ada melakukan suatu pelanggaran dan jika terpidana akan didenda tidak melebihi $ 1000 atau dipenjara selama 3 bulan atau keduanya dan jika itu merupakan pelanggaran kedua atau selanjutnya harus didenda tidak melebihi $ 2000 atau dipenjara. tidak lebih dari 6 bulan atau keduanya sekaligus.

Bab 38. (1). Menjalankan pernikahan tanpa kebenaran berkahwin di luar negara seperti yang dikehendaki oleh Bab 18 atau dengan tidak di hadapan sekurang-kurang 2 orang saksi

Menjalankan pernikahan di luar negara tanpa kebenaran berkahwin atau dengan tidak di hadapan sekurang-kurangnya 2 orang saksi yang boleh dipercayai adalah melakukan suatu kesalahan dan jika sabit kesalahan hendaklah dihukum denda tidak melebihi $2,000 atau penjara tidak melebihi 6 bulan atau kedua-duanya sekali.

Pada Bab 38, AUUKI, Penggal 217, dalam hal melakukan pernikahan tanpa izin untuk menikah di luar negeri sebagaimana diminta oleh Bab 18 atau tanpa kehadiran setidaknya 2 saksi. Melakukan pernikahan di luar

negeri tanpa izin untuk menikah atau tidak di hadapan setidaknya 2 saksi yang dapat dipercaya, melakukan pelanggaran dan jika terpidana akan dihukum dengan denda tidak melebihi $ 2.000 atau penjara tidak lebih dari 6 bulan atau keduanya.

Bab 38. (2). Berkahwin bertentangan dengan kehendak undang-undang

Seseorang yang bekahwin dengan melanggar peruntukan Akta Undang-Undang Keluarga Islam, Penggal 217 atau dengan sengaja menjalankan sebarang perkahwinan yang tidak sah mengikut peruntukan undang-undang adalah melakukan suatu kesalahan dan jika sabit kesalahan hendaklah dihukum denda tidak melebihi $2,000 atau penjara tidak melebihi 6 bulan atau kedua-duanya sekali.

Pada Bab 38, AUUKI, Penggal 217, pada hal menikah yang melanggar hukum. Seseorang yang menikah dengan melanggar ketentuan Undang-Undang Hukum Keluarga Islam, Bab 217 atau dengan sengaja melakukan pernikahan ilegal apa pun sesuai dengan ketentuan hukum yang melakukan pelanggaran dan dipidana akan dikenakan denda tidak melebihi $ 2.000 atau hukuman penjara tidak melebihi 6 bulan atau kedua.

Selanjutnya, masih pada AUUKI, Penggal 217, Part IX, juga menyatakan soal sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan.11 Pada BAB 125, Part IX, dari AUUKI, Penggal 217, dalam hal tidak membuat laporan). Pada regulasi itu, jika seorang pria berkewajiban untuk membuat laporan berdasarkan pesanan ini dengan sengaja atau lalai melakukannya, dinyatakan melakukan pelanggaran, dan juga apabila

11 Perlembagaan Negara Brunei Darussalam (Perintah dibawah bab 83 (3)), Perintah Darurat (Undang-Undang Keluarga Islam), 1999.

Lihat juga:

http://www.japem.gov.bn/Themed/Forum/Isusosialhelpline/akta.pdf/Perintah%20Darurat.pdf

seseorang yang berkewajiban untuk membuat laporan atau diharuskan untuk mengajukan aplikasi berdasarkan pesanan ini atau diharuskan untuk memberikan informasi atau melengkapi atau menandatangani dokumen apa pun yang diwajibkan oleh hukum untuk tujuan dengan sengaja mendaftarkan dokumen ini atau tidak membuat laporan itu atau mematuhi kehendak itu melakukan suatu pelanggaran. Denda tidak melebihi $ 2000,00 atau penjara tidak melebihi 6 bulan atau keduanya.

B. Model Regulasi Sanksi Pelanggaran Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia dan Brunei

Regulasi sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan merupakan salah satu hal yang paling banyak diregulasikan dalam Hukum Keluarga negara-negara muslim, khususnya di Indonesia, Malaysia dan Brunei. Faktor yang menyebabkan adanya kebijakan tersebut salah satunya adalah untuk menghindari perilaku menyimpang kepada hak orang lain khususnya dalam keluarga.

Demi melihat bagaimana semangat negara-negara mayoritas muslim di Asia Tenggara tersebut dalam menerapkan sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan, berikut peneliti akan menguraikan pembahasan tentang regulasi yang telah diterapkan di tiga negara tersebut, dan peneliti mencoba menganalisa berkaitan dengan: Pertama, Muatan materi regulasinya, yang menitik beratkan kepada: a). Jenis sanksi yang diancamkan/dirumuskan, b).

Jenis lamanya (berat-ringannya) sanksi, c). Model perumusan sanksi dan, d).

Model ancaman sanksi. Kedua, kesejarahan regulasinya. Ketiga, Sistem hukum yang di anut oleh tiga negara tersebut.

1. Model Regulasi Sanksi Pelanggaran Pencatatan Perkawinan di Indonesia.

Di Indonesia, pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 Pasal 45, sanksi dapat dijatuhkan kepada petugas (pencatat) yang melakukan pencatatan perkawinan seorang (laki-laki) suami yang akan berpoligami tanpa izin pengadilan dan atau tidak melakukan pencatatan sesuai prosedural dari regulasi yang ada, maka dalam hal ini hukumannya adalah penjara/kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.12 Sedangkan bagi mempelai yang sengaja melakukan pelanggaran pencatatan perkawinan, diancam dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp.7.500, apabila ia: 1). Tidak melakukan pemberitahuan untuk kawin, 2). Perkawinan tidak dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat.13

Pada konteks saat ini, dari analisa peniliti, regulasi tersebut dapat dikatan kurang relevan untuk diterapkan, karena berdasar pada beberapa alasan: Pertama, Pada regulasi tersebut diatas, dengan jelas Negara Indonesia, berkaitan dengan muatan materi regulasinya, menekankan sanksi bagi petugas (pencatat) yang tidak melakukan tugasnya dengan baik, dengan penjara/kurungan badan atau denda. Lain halnya, ketika yang melakukan pelanggaran adalah para mempelai, sanksi yang dijatuhkan hanya sanksi denda saja, tidak ada sanksi penjara/kurungan badan. Sedang menurut jenis lamanya (berat-ringannya) sanksi, jika bagi petugas pencatat diancam

12 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 Pasal 45 ayat (2) huruf b.

13 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 Pasal 45 ayat (2) huruf a.

penjara/kurungan badan maksimal selama 3 (tiga) bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-, namun untuk mempelai hanya ancaman denda saja setinggi-tingginya Rp.7.500,-. Karena ancaman sanksi di Indonesia menggunakan redaksi model ancaman alternatif untuk pelanggar yang berstatus petugas, maka sanksinya dapat dipilih, anatara penjara/kurungan badan atau denda.

Analisa lebih lanjut, akan terpusat kepada efek atau akibat dari tidak dicatatnya suatu perkawinan atau efek daripada pelanggaran pencatatan perkawinan akan menimbulkan dampak lebih besar dari pada konsekuensi hukum diterima oleh pelanggar, yakni hanya denda tidak lebih/setinggi-tingginya Rp.7.500,-. Jika dikalkulasi nilai mata uang tersebut pada tahun 1975-an dengan saat sekarang (tahun 2020) menjadi sebesar Rp.267.506,-,14 sanksi denda demikian, menurut peneliti sangat dapat dijangkau oleh siapapun, dan siapapun memungkinan menilai sanksi ini sangat ringan dan diindikasi akan banyak pelanggaran. Hal ini diakui oleh beberapa peneliti bahwa Indonesia tidak memiliki pengaturan yang mengharuskan lembaga pemerintah melakukan ex-post review. Ketiadaan langkah pemantauan dan evaluasi, termasuk di dalamnya ex-post review dan impact assessment, mengakibatkan sulitnya mengetahui secara pasti tingkat efektivitas suatu peraturan. Padahal, dari pemantauan dan evaluasi, pembentuk peraturan atau pengambil kebijakan dapat mengukur jarak (gap) antara maksud pengaturan dengan penegakan aturan. Selain itu, pada tahap akhir pemantauan dan

14 http://www.simulasikredit.com/simulasi_past_value.php.

evaluasi, dapat diketahui pula apakah pilihan solusi yang sudah dinormakan dalam batang tubuh peraturan sudah tepat atau belum, termasuk relevansi keberadaan peraturan itu sendiri.15

Kedua, sejarah atau kronologi terbentunya Undang-Undang Perkawinan (UUP), di Indonesia. Secara ringkas, pada awal terbentuknya UU 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk, UU tersebut telah memuat secara detil sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan, meski pada saat itu UU tersebut masih efektif untuk pulau Jawa dan Madura saja. Pada tahun 1954, UU No. 22 Tahun 1946 tersebut diganti dengan UU No 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku diseluruh daerah laur Pulau Jawa dan Madura, sehingga sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan efektif untuk seluruh Indonesia.

Namun, efektifnya sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan pada UU Perkawinan tersebut hanya berlaku selama dua puluh delapan (28) tahun, dan selanjutnya pengaturan sanksi tersebut dituangkan pada Peraturan Pemerintah dan bukan lagi dalam Undang-Undang. Dengan kata lain, ada indikasi “pelunakan” kekuatan hukum, dari asalnya UU di turunkan menjadi PP, jika dilihat dari hierarki sistem perundang-undangan di Indonesia.16

Ketiga, sistem hukum yang anut oleh Negara Indonesia adalah sistem Eropa Kontinental (civil law system). Sistem yang di anut oleh Indonesia ini

15 Diani Sadiawati, dkk., Kajian Reformasi Regulasi di Indonesia: Pokok Permasalahan dan Strategi Penanganannya, (Jakarta Selatan: Yayasan Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (YSHK), 2019), 48-49.

16 Muhammad Atho Mudzhar dan Muhammad Maksum, Fikih Responsif; Dinamika Integrasi Ilmu Hukum, Hukum Ekonomi dan Hukum Keluarga. (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2017), 208. Lihat juga: Maria Farida Indrati s., Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 97.

mengharuskan Indonesia melewati beberapa prosedural dalam mengeluarkan peraturan-peraturannya dan pembentukan perundang-undangan, sehingga mengkondisikan Indonesia tidak begitu responsif dan dinamis terhadap adaptasi kondisi yang ada.17

2. Model regulasi sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan di Malaysia.

Sebelum membahas model regulasi sanksi pelanggaran pencatatan perkawinan di Malaysia, untuk diketahui bahwa Malaysia merupakan Negara yang menggunakan sistem hukum Anglo-Saxon (Common Law) yang dianut dari inggris, selain itu di Negara Malaysia terdapat empat sumber hukum pokok yaitu hukum tertulis, hukum kebiasaan, hukum Islam dan hukum adat. Hukum tertulis terdiri dari undang-undang dasar federal dan negara bagian, perundangan parlemen federal dan legisalasi negara bagian, dan legislasi tambahan (undang-undng dan peraturan). Legislasi tambahan dibuat oleh badan atau orang yang diberi kewenangan untuk melakukan tugas tersebut di bawah undang-undang parlemen federal atau legislasi negara bagian.

Negara Malaysia menjatuhkan sanksi kepada petugas (pencatat) yang melakukan pencatatan perkawinan seorang (laki-laki) suami yang akan berpoligami tanpa izin pengadilan dan atau tidak melakukan pencatatan sesuai prosedural dari regulasi yang ada, maka dalam hal ini hukumannya adalah penjara/kurungan tidak melebihi enam (6) bulan atau denda tidak melebihi seribu (RM. 1000) Ringgit Malaysia dan atau kedua-duanya yakni

17 Fajar Nurhardianto, Sistem Hukum dan Posisi Hukum Indonesia, Jurnal TAPIs, Vol.11 No.1 Januari-Juni 2015, 42.

Dokumen terkait