• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. Memenuhi peraturan-peraturan legal

2.3. Kerangka Konseptual

Pada dasarnya gaya kepemimpinan banyak berpengaruh terhadap keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku pengikut-pengikutnya. Istilah gaya pada dasarnya sama dengan cara yang digunakan oleh pemimpin dalam proses mempengaruhi pengikutnya. Gaya kepemimpinan merupakan cara atau norma perilaku yang digunakan oleh seorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain yang diamati.

Seorang pemimpin dalam memimpin para bawahannya sangat perlu menggunakan sikap atau gaya kepemimpinan tertentu agar tujuan organisasi dapat tercapai. Oleh karena itu seorang pemimpin perlu menentukan gaya kepemimpinan yang paling tepat sesuai dengan situasi atau keadaan di lingkungan kerjanya.

Menurut Handoko (2008), pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, keamanan, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Sedangkan menurut Rivai (2004) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pemimpin untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin.

Lippit & White (Siagian, 2008), penelitian yang dilakukan Lippit & White, membahas berbagai hubungan antara perilaku pemimpin yang berbeda, yaitu perilaku Otoriter, Demokratis, dan Laissez Faire.

1. Gaya Otokratis, yaitu gaya kepemimpinan otoritarian dimana pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam bentuk perintah-perintah langsung kepada bawahan. Pemimpin memusatkan kuasa dan pengambilan keputusan bagi dirinya sendiri dengan memikul tanggung jawab sepenuhnya dan berwenang penuh.

Kepemimpinan ini umumnya negatif yang berdasarkan atas ancaman dan hukuman, tetapi kepemimpinan seperti ini dapat pula positif, seperti yang dilakukan pemimpin otokrat yang murah hati yang cenderung memberikan imbalan kepada para karyawan.

Adapun manfaat kepemimpinan gaya otokratis adalah bahwa gaya ini sering memuaskan pemimpin, memungkinkan pengambilan keputusan dengan cepat, dan memungkinkan pendayagunaan karyawan yang kurang kompeten dan menyediakan rasa aman dan keteraturan bagi para karyawan.

Adapun kelemahan gaya ini yang utama adalah bahwa orang-orang tidak menyukai terutama apabila mencapai suatu titik rasa takut dan keputus asaan. 2. Gaya Demokratik, yaitu gaya kepemimpinan yang dikenal pula sebagai gaya

partisipatif. Gaya ini berasumsi bahwa para anggota organisasi yang ambil bagian secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan akan lebih memungkinkan

sebagai suatu akibat, mempunyai komitmen yang jauh lebih besar pada sasaran tujuan organisasi. Pendekatan yang dilakukan ,tidak berarti para pemimpin tidak membuat keputusan, tetapi justru seharusnya memahami terlebih dahulu apakah yang menjadi sasaran organisasi sehingga mereka dapat mempergunakan pengetahuan para anggotanya.

Keputusan yang diambil tidak bersifat sepihak, dimana keputusan timbul dari upaya konsultasi dengan para pengikut dan keikutsertaan mereka. Pemimpin dan kelompok bertindak sebagai suatu unit sosial. Para karyawan memperoleh informasi dari pemimpin tentang kondisi yang mempengaruhi pekerjaan mereka dan setiap karyawan didorong untuk mengungkapkan gagasan dan mengajukan saran. Kecenderungan yang umum adalah ke arah penerapan praktek partisipasi lebih luas karena konsisten dengan model perilaku yang suportif dan kolegial. 3. Gaya Laissez Faire yaitu gaya kepemimpinan kendali bebas. Pendekatan ini bukan

berarti tidak adanya sama sekali pimpinan. Gaya ini berasumsi bahwa suatu tugas disajikan kepada kelompok yang biasanya menentukan teknik-teknik mereka sendiri guna mencapai tujuan tersebut dalam rangka mencapai sasaran-sasaran dan kebijakan organisasi. Pemimpin hanya memainkan peran kecil. Kepemimpinan bebas kendali mengabaikan kontribusi pemimpin dengan cara yang kurang lebih sama dengan kepemimpinan otokratik, yaitu mengabaikan kelompok. Kepemimpinan ini cenderung memungkinkan berbagai unit organisasi yang berbeda untuk bergerak maju dengan tujuan yang bertentangan satu sama lainnya dan ini dapat menimbulkan kekacauan. Dengan alasan inilah gaya bebas kendali

tidak digunakan sebagai gaya yang dominan, tetapi bermanfaat dalam situasi dimana pemimpin dapat memberi peluang sepenuhnya kepada kelompok untuk melakukan pilihan mereka sendiri.

Tabel 2.1 Ciri-ciri Gaya Kepemimpinan Otokratis, Demokratis dan Laissez Faire

Otoriter Demokratis Laissez Faire

Pemimpin menentukan semua keputusan mengenai

kebijakannya.

Semua kebijakan dirumuskan

melalui musyawarah dan

diputuskan oleh kelompok,

sedangkan pemimpin mendorong. Kelompok mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk mengambil keputusan dengan

partisipasi minimal dari pemimpin.

Setiap langkah kegiatan dengan cara pelaksanaannya untuk setiap saat ditentukan

oleh pemimpin sehingga

langkah berikutnya tidak pasti.

Ditetapkan kegiatan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan kelompok. Apabila diperlukan saran dan teknis,

pemimpin mengajukan

alternatif untuk dipilih.

Kegiatan diberikan

pemimpin dengan

keterangan bahwa ia akan

memberikan penjelasan

jika diminta.

Pemimpin biasanya

memberikan penugasan

tertentu pada setiap anggota kelompok.

Setiap anggota bebas bekerja sama dengan siapapun dan pembagian tugas diserahkan kepada kelompok.

Pemimpin tidak pernah berpartisipasi secara penuh.

Otoriter Demokratis Laissez Faire

Pemimpin cenderung lebih dari pribadi dalam pemberian

penghargaan dan kritik

terhadap setiap anggota kelompok.

Pemimpin bersikap objektif dan senantiasa berdasarkan

fakta dalam memberikan

penghargaan dan kritik.

Kadang-kadang pemimpin

memberikan komentar

spontan terhadap kegiatan anggota atau pertanyaan

dan tidak bermaksud

menilai atau mengatur

suatu kejadian. Sumber: Pasolong (2008)

Menurut Kuswadi (2004) bahwa gaya kepemimpinan yang kurang pas atau kurang cocok dilaksanakan pimpinan kepada karyawannya, dapat menurunkan motivasi, kinerja dan akhirnya kepuasan kerja. Disamping itu, hal lain yang dapat mempengaruhi kinerja adalah kepuasan kerja. Kepuasan kerja pada dasarnya

merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistim nilai yang berlaku pada dirinya.

Menurut Rivai (2006), ”Kepuasan kerja merupakan evaluasi yang

menggambarkan seseorang atas perasaan sikap senang atau tidak puas dalam

bekerja”. Senada dengan itu Robbins (2002) menyatakan banyak faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, yaitu:

1. Pekerjaan yang secara mentalitas memberi tantangan : karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka, tugas-tugas yang bervariasi, kebebasan dan umpan balik tentang seberapa baik mereka dalam bekerja. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. 2. Karyawan menginginkan sistem penghargaan yang layak dan kebijakan promosi

dibuat dengan cara yang adil dan wajar, tidak membingungkan dan sejalan dengan harapan mereka.

3. Karyawan menaruh perhatian yang besar terhadap lingkungan kerja mereka, baik dari segi kenyamanan pribadi maupun kemudahan untuk melakukan pekerjaan dengan baik seperti : lingkungan fisik yang aman, nyaman, bersih dan memiliki tingkat gangguan minimum.

4. Karyawan akan menginginkan sesuatu dari pekerjaannya yang lebih dari pada sekedar uang dan prestasi. Bagi sebagian besar karyawan, bekerja juga dapat memenuhi kebutuhan untuk berinteraksi sosial seperti : rekan-rekan kerja yang ramah dan mendukung.

Seseorang dengan tingkat kepuasan tinggi mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya, jika tingkat kepuasan rendah maka karyawan akan bersikap negatif terhadap pekerjaannya. Hubungan kepuasan dan kinerja pada hakekatnya dapat

diringkaskan dalam pernyataan ” seorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang produktif” (Robbins, 2002).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa gaya kepemimpinan dan kepuasan kerja dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Kemampuan karyawan dalam mencapai tingkat kinerja yang tinggi sangat diperlukan untuk peningkatan kinerja yang efisien, efektif dan produktif.

Mathis dan Jackson (2006) menyatakan bahwa kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi pada organisasi antara lain, yaitu :

1. Jangka waktu output: mengacu pada penyelesaian tugas dalam waktu yang diperkenankan.

2. Kehadiran di tempat kerja: mengacu pada ketaatan jadwal kerja sebagaimana ditugaskan.

3. Sikap kooperatif: mengacu pada kerjasama dan komunikasi dengan supervisi dan rekan kerja serta bekerja sesuai dengan beban kerja yang diberikan.

4. Kuantitas kerja: volume kerja yang dihasilkan dibawah kondisi normal.

Peningkatan kinerja karyawan dapat dimulai dari peningkatan kinerja individu dan selanjutnya kinerja organisasi akan meningkat dengan sendirinya. Kinerja individu merupakan tingkat pencapaian atau hasil kerja seseorang dari sasaran yang

harus dicapai atau tugas yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, sedangkan kinerja organisasi adalah tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang harus dicapai oleh perusahaan dalam kurun waktu tertentu (Mathis dan Jackson, 2002).

Kerangka konseptual pada penelitian ini dapat dilihat melalui Gambar 2.1 berikut ini:

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Dokumen terkait