• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUN TEORITIS A. Perkawinan Menurut Islam

D. Kerangka Konseptual

Suatu kenyataan, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi, sebab keduanya merupakan nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan terhadap kekuatan yang adikodrati, sedangkan kebudayaan adalah nilai dan simbol yang mengarahkan manusia agar bisa hidup dilingkungannya. Berbeda dengan kebudayaan yang sifatnya dapat berubah, agama seperti yang diyakini oleh sebagian besar pemeluknya bersifat “final” dan tidak mengenal perubahan. Tetapi

meskipun agama disebut bersifat “abadi” atau “final”, karena ia berada dalam ruang

dan proses sejarah maka dapat saja kedudukan agama itu tergeser oleh kebudayaan. Hubungan dua arah itu tejadi karena baik agama dan kebudayaan merupakan kenyataan sejarah.195 Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar dunia sudah sejak awal masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh dan terus berkembang hingga kini, ia telah memberi sumbangsih terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara.

Di saat Islam menjadi kekuatan utama budaya dan agama di kepulauan nusantara, Islam banyak mengalami “persentuhan” dengan tradisi lokal yang sudah lebih dulu ada, yaitu tradisi yang dibangun sejak zaman Animisme, Dinamisme maupun Hindu-Budha. Tak terkecuali di Buton, Islam banyak mengalami pribumisasi

sebagai wujud perkawinan kultural yang biasa dialami oleh dua entitas yang masing-masing saling membutuhkan dukungan untuk meneguhkan eksistensinya.

Sejak orang Buton memeluk agama Islam sampai sekarang, menunjukkan adanya asimilasi antara budaya Islam dengan tradisi perkawinan adat Buton. Asimilasi merupakan proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latarbelakang kebudayaan yang berbeda yang saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan unsure masing-masing berubah menjadi unsur kebudayaan campuran.

Dalam konteks tradisi lokal adat perkawinan Buton terjadi asimilasi dengan ajaran Islam, dan inilah yang diwariskan sejak dahulu sampai sekarang secara turun temurun. Perkawinan bagi masyarakat Buton merupakan salah satu upacara yang dianggap sakral karena bagi mereka perkawinan hanya diinginkan hanya terjadi sekali seumur hidup, sehingga pelaksanaannyapun tidaklah mudah. Perkawinan adalah cara menyatukan dua buah keluarga secara utuh, dilakukan untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan merekatkan keluarga yang renggang, keluarga yang jaraknya sudah menjauh didekatkan dan dihubungkan kembali dengan perkawinan.

Islam datang di tengah masyarakat Buton, maka terjadi islamisasi doktrin ajaran keislaman yang terintegrasi ke dalam unsur tradisi dalam perkawinan, yang walaupun dalam perkembangannya, seiring dengan kemajuan pola pikir masyarakat terhadap paham keislaman yang orisinil, maka dalam hal-hal tertentu sebagian

masyarakat Buton mengamalkan ajaran Islam secara murni tanpa memasukkan unsur budaya atau tradisi, sebagiannya lagi tetap berpegang pada budaya seperti tradisi perkawinan dan ajaran Islam sekaligus.

Dalam Islam, adat atau tradisi dipandang sebagai salah satu sumber hukum.

Hal ini berarti bahwa hukum Islam (syari’at) memberikan ruang bagi adat atau budaya yang dapat diadaptasi dalam konsep syari’at yang utuh. Adat atau tradisi yang dapat diadaptasi dalam sistem syari’at disebut dengan istilah urf. Kata ‘urf

pengertiannya tidak melihat dari segi berulang-kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Dua kata itu pengertiannya sama, yaitu suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak, sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali.

Pengambilan adat ataupun kebiasaan sebagai sebuah sumber hukum juga dapat diterima berdasarkan statement yang diungkapkan oleh Bahrun Ulum-nya umat ini karena merupakan sahabat yang didoakan Rasulullah Saw. dalam hal pemahaman

keilmuwan Islam yaitu Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa:

ِءْﻲَﺳ ِﷲ َﺪْﻨِﻋ َﻮُﮭَﻓ ﺎًﻨﱢﯿَﺳ اْواَر ﺎَﻣَو ًﻦَﺴَﺣ ِﷲَﺪْﻨِﻋ َﻮُﮭَﻓ ﺎًﻨَﺴَﺣ َنْﻮُﻤِﻠْﺴُﻤْﻟا ىأَرﺎَﻤَﻓ

Artinya :

Apa-apa yang dilihat oleh kaum muslimin sebagai sebuah kebaikan maka hal itu baik pula di sisi Allah swt dan apapun yang mereka pandang sebagai sesuatu yang buruk maka ia juga buruk di sisi Allah.

Berkenaan dengan adat, dalam hukum Islam memiliki ketetapan hukum sebagaimana disebutkan dalam kaidah ushul bahwa:

ُﺔَﻤ َﻜ َﺤُﻣ ُهَدﺎَﻌْﻟأ

“adat merupakan

sebuah sumber hukum.” Dalam teks lain disebutkan:

ُﺔَﻤَﻜَﺤُﻣ ُﺔَﻌْﯾِﺮَﺷ ُهَدﺎَﻌْﻟأ

“adat

merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum.

Sehubungan dengan jenis-jenis adat tersebut, maka dalam proses islamisasi suatu budaya lewat adat akan terseleksi dengan sendirinya. Berdasarkan hasil seleksi tersebut, adat dapat dibagi atas empat kelompok yaitu:

1. ‘Adat yang lama secara substansial dan dalam pelaksanaannya mengandung

unsur kemaslahatan. ‘Adat dalam bentuk ini diterima sepenuhnya dalam hukum

Islam.

2. ‘Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur

maslahat, (tidak mengandung unsur mafsadat atau mudharat), namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh Islam, ‘Adat dalam bentuk ini dapat

diterima dalam Islam namun dalam pelaksanaan selanjutnya mengalami perubahan dan penyelesaian.

3. Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadat (merusak). Maksudnya, yang dikandungnya hanya unsur perusak dan tidak memiliki unsur maslahat-nya, atau ada unsur manfaatnya tetapi unsur perusaknya lebih besar.

4. Adat atau ‘urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak karena

syara’ yang datang kemudian, namun secara jelas belum terserap ke dalam syara’, baik secara langsung atau tidak langsung. Adat atau ‘urf dalam bentuk ini

jumlahnya banyak sekali dan menjadi perbincangan di kalangan ulama.

Proses seleksi penyerapan adat dalam Islam tersebut di atas, ada empat syarat atau indikator diterimanya sebuah adat. yaitu: (1) ‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat

dan dapat diterima akal sehat. (2) ‘Adat atau ‘urf tersebut berlaku umum dan merata

dikalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan adat itu atau dikalangan

sebagian besar warganya. (3) ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum

itu telah ada (berlaku) pada saat itu, bukan ‘urf yang muncul kemudian. (4) ‘Adat

tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan

prinsip yang pasti.

Oleh karena ‘adat itu berlaku dan diterima oleh orang banyak karena

mengandung kemaslahatan. Kapan tidak memakai ‘adat seperti ini berarti menolak

maslahat, sedangkan semua pihak telah sepakat untuk mengambil sesuatu yang

bernilai maslahat, meskipun tidak ada nash yang secara langsung mendukungnya.

Adat dan syara’ terkadang saling bersinergi dalam permasalahan yang muncul

di tengah-tengah masyarakat namun dapat terselesaikan dengan baik. Bahkan tradisi masyarakat yang bertentangan dengan hukum Islam lambatlaun dapat terkikis, sehingga adat kebiasaan tersebut dapat disesuaikan dengan hukum Islam.

Kenyataan seperti yang digambarkan di atas juga terjadi pada masyarakat Buton, atau secara lebih spesifik terjadi pada hubungan tradisi lokal orang Buton

dengan ajaran agama Islam yang mereka anut. Orang Buton sebagai masyarakat yang berbudaya sudah barang tentu memiliki ciri dan karateristik tersendiri yang membedakannya dengan etnik atau masyarakat lain, perbedaan tersebut terbangun beriringan dengan proses perjalanan sejarah peradaban mereka, dan agama sebagai sekumpulan nilai yang hidup dalam masyarakat tanpa terelakkan ikut dalam arus sejarah yang terbangun. Atas dasar realitas kesejarahan itu maka nuansa nilai-nilai lokal pra Islam dari agama yang terbangun dalam suatu komunitas sulit untuk dapat dihindari, karena ia lahir dari proses tradisi masyarakat terkait.

Sistem ritual perkawinan misalnya terjadi perpaduan yang seimbang antara pengaruh lokal dengan Islam. Konsep berkawin juga sudah ada sebelum Islam datang, sehingga ketika Islam muncul, maka antara konsep lokal dan Islam terjadi akomodasi kultural. Hasil dari akomodasi tersebut wujudnya adalah, sistem pernikahannya mengikuti cara Islam tetapi beberapa sistem tata cara yang meneyertai ritual tersebut tetap menampakkan warna lokal. Misalnya tata cara pelamaran, bentuk mahar, persandingan dan sebagainya, sehingga proses yang semula merupakan

akomodasi berubah menjadi asimilasi, dimana masing-masing nilai saling

berintegrasi satu sama lainnya.

Sebelum Islam datang tradisi kawin sebagai upaya mengikat dua jenis anak manusia telah dikenal di wilayah ini. Setelah datangnya Islam, corak berkawin mengambil bentuk warna Islam seperti adanya taaruf, khitbah, pemberian mahar pelaksanaan ijab kabul, pembacaan ikrar syahadat serta bacaan doa dan zikir lain,

kesemuanya merupakan tradisi yang bersumber dari norma Islam. Namun asesoris perkawinan mulai dari bentuk perjodohan, pelamaran, pelaksanaan perkawinan maupun prosesi pasca perkawinan serta tradisi-tradisi lainnya secara umum merupakan tradisi lokal. Kenyataan ini mengindikasikan adanya hubungan antara ajaran Islam dengan tradisi lokal yakni tradisi perkawinan adat Buton, yang dalam prosesinya syarat dengan simbol, makna dan nilai kebajikan.

Peninggalan jalur tradisi perkawinan adat Buton sampai sekarang ini masih dipraktekkan oleh masyarakat Buton. Tradisi perkawinan adat di Buton mengajarkan dalam mencari pasangan hidup biasanya memilih salah satu dari empat jalur proses pernikahan yang ditempuh yaitu:

1. Melalui jalur poboisa yaitu merupakan salah satu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan melalui suatu pemufakatan atau persetujuan pihak orang tua atau keluarga pria dan orang tua atau keluarga wanita, jalan ini adalah cara yang ideal dan diharapkan hampir setiap masyarakat. Prosesi-prosesinya yaitu:

a. Lukuti yaitu upaya untuk menjajaki atau menyelidiki perempuan yang akan

dilamar, baik dilakukan sendiri oleh calon pengantin pria, maupun diwakili oleh orang tuanya atau orang lain yang dipercayainya. Dalam Islam hal ini sama dengan bertaaruf yaitu proses saling mengenal antara seseorang dengan orang lain dengan maksud agar bisa saling mengerti dan memahami untuk tujuan meminang atau menikahi.

b. Pesoloi adalah pelamaran rahasia dan tidak resmi, dimaksudkan untuk

mengetahui keadaan perempuan yang meliputi kepribadian dan sudah dipinang atau tidak oleh pria orang lain.

c. Losa adalah penyampaian lamaran secara resmi pihak pria kepada pihak

wanita. Bagi masyarakat Buton pinangan seseorang dianggap sah apabila telah diutarakan secara jelas dan tegas pada acara losa oleh karena itu, losa pada prinsipnya wadah pelamaran secara langsung dari pihak pria dan sekaligus penerimaan atau penolakan dari pihak wanita.

d. Tauraka terdiri dari tauraka mayidi-yidi dan tauraka maoge. Tauraka mayidi-yidi adalah untuk menguatkan kesepakatan antara pihak pria dan

pihak wanita pada acara losa oleh karenanya, bila pada acara losa lamaran pihak pria dinyatakan telah diterima oleh pihak wanita (kadang dilakukan

dalam bentuk tunangan/pemasangan cincin pengikat yang disebut

katangkana pogau. Sedangkan pada acara tauraka maoge adalah menegaskan kembali dengan membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan.

e. Kawia adalah rangkaian pelaksanaan pernikahan yang dimulai dengan

mengantaran pengantin pria, kemudian dijemput oleh keluarga pengantin wanita dan dilanjutkan dengan prosesi nikah.

f. Karia adalah mempersandingkan antara kedua mempelai di tempat yang

yang dapat dilihat oleh indra penglihatan, sebagai persaksian bahwa kedua mempelai telah sah sebagai suami-istri dan ucapan do’a restu mempelai, yang dihadiri oleh para handai tolan, karib-kerabat, dan sahabat-sahabat, secara undangan.

g. Jagani, yang dimaksudkan dalam proses tersebut adalah menjaga sang

pengantin pria dan pengantin wanita, agar tidak berhubungan intim terlebih dahulu sebelum mendapatkan bimbingan tentang kehidupan berumah tangga, dan tujuan lainnya sebagai masa menunggu tuntutan dari berbagai pihak jika ada yang dirugikan dalam pernikahan tersebut.

h. Pobongkasia adalah prosesi adat setelah mendapatkan pengetahuan berumah

tangga dalam jagani. Maksud lainnya merupakan saatnya sang pengantin bersama dan mencari waktu yang baik untuk menanam benih. Masyarakat Buton meyakini bahwa waktu yang tepat dalam melakukan sesuatu mempunyai peran dalam menentukan hasil dari sesuatu tersebut.

i. Dingkana umane adalah penyatuan pakaian suami dan istri serta kebutuhan

lain dalam rumah tangga yang baru secara resmi, yang diantar dan disaksikan beramai-ramai oleh pihak keluarga ke rumah pengantin wanita atau kunjungan keluarga pria ke rumah wanita.

j. Landakiana banua adalah berkunjungnya kedua pengantin ke rumah orang

tujuan saling memperkenalkan sanak saudara kepada keluarga suami dan istri dan merupakan jalan menjalin silaturrahim bagi keluarga pengantin. 2. Melalui jalur uncura (naik duduk) adalah tata cara adat dalam perkawinan

dengan jalan seorang pria datang ke rumah keluarga wanita dan mengutarakan maksudnya hendak menikahi anak gadis tuan rumah, dilakukan karena tidak memungkinkan hubungan perkawinan melalui jalur pobaisa.

3. Melalui jalur popalaisaka yaitu perkawinan yang dilakukan dengan cara kawin lari, membawa lari wanita, atau lari bersama (silariang menurut adat makassar). Cara ini biasanya dilakukan apabila salah satu pihak (keluarga pria atau wanita) tidak merestui hubungan mereka meskipun telah dilakukan upaya berkali-kali seperti yang dilakukan pada tata cara pobaisa .yang biasanya karena si pemuda dan si gadis saling mencintai, dan karena jalan pobaisa dan uncura sulit ditempuh.

4. Melalui jalur humbuni ialah perkawinan dengan cara memaksa dengan

mengancam akan membunuh wanita idamannya dan dirinya sendiri bila hasrat ingin menikahinya tidak direstui.

Berdasarpada uraian di atas, tentu masyarakat memiliki persepsi yang berbeda tentangnya, dan kajian penelitian ini akan difokuskan pada hubungan timbal balik antara ajaran Islam dengan tradisi lokal pada tradisi perkawinan adat yang ada di Buton Provinsi Sualwesi Tenggara, sebagai kontruksi kerangka konseptual dalam

tindak lanjut operasional disertasi ini dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

HASIL PENELITIAN HUBUNGAN ISLAM DAN TRADISI LOKAL HUBUNGAN FUNGSIONAL

MASYARAKAT BUTON

Pobaisa Uncura Popalaisaka Humbuni

AJARAN ISLAM TRADISI LOKAL

AL-‘URF PERKAWINAN ADAT BUTON

- Lukuti - pesoloi - Losa - Tauraka - Kawia - Karia - Jagani - Pobongkasia - Dingkana Umane - Landikiana Banua ASIMILASI

BAB III

METODE PENELITIAN