• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

K. Kerangka Pemikiran

Perilaku manajemen laba merupakan tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan untuk mengelabui pihak eksternal terkait kinerja keuangan perusahaan demi mendapatkan keuntungan pribadi. Perilaku manajemen laba tidak akan pernah terlepas dari motivasi manajer dalam

melakukan manajemen laba, seperti motivasi untuk mendapatkan bonus yang tinggi sebagai bentuk penghargaan atas kinerja dalam mengelola perusahaan. Keberhasilan dalam mengelola perusahaan ditunjukkan dengan kemampuan menghasilkan laba yang tinggi pada akhir periode.

Praktik manajemen laba banyak ditemukan pada periode sebelum IPO, tetapi banyak perusahaan terbukti masih melakukan praktik manajemen laba pada periode setelah IPO. Praktik ini tetap dilakukan oleh manajemen perusahaan sebagai konsekuensi dari tindakan manajemen laba sebelum IPO yang terkait dengan kebijakan accruals. Selain, itu perusahaan juga dapat melakukan manajemen laba setelah IPO melalui praktek ilegal dan tidak mengikuti regulasi akuntansi.

Penelitian oleh Saiful (2004) berhasil menemukan manajemen laba disekitar IPO, yaitu pada periode dua tahun sebelum IPO dan tahun kedua setelah IPO. Hasil penelitian ini tidak menemukan adanya indikasi manajemen laba periode t-1 dan periode t+1 setelah IPO.

Penelitian oleh Joni (2008) berhasil menemukan bukti bahwa perusahaan melakukan manajemen laba periode dua tahun setelah IPO. Bukti ini ditunjukkan lewat angka mean dari DA t+1 dan t+2 yang lebih besar dari nol, serta secara statistik signifikan untuk kedua periode tersebut.

Penelitian Amin (2007) menghasilkan rata-rata nilai discretionary accrual (DA) positif yang mengindikasikan bahwa perusahaan yang melaksanakan IPO terindikasi melakukan kebijakan manajemen laba tiga

tahun sebelum pelaksanaan IPO dan tiga tahun setelah pelaksanaan IPO dengan cara memainkan komponen-komponen accruals. Namun jika dilihat perbedaan DA sebelum pelaksanaan IPO dan setelah pelaksanaan IPO, perbedaannya tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan masih melanjutkan kebijakan manajemen laba sampai tiga tahun setelah IPO.

Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis yang dinyatakan sebagai berikut:

Ha1: Perusahaan yang terdaftar di BEI melakukan manajemen laba periode satu tahun dan dua tahun setelah IPO

2. Pola Manajemen Laba Income-Increasing (Decreasing)

Hasil penelitian dari Joni (2008) mendapatkan hasil bahwa pola perusahaan melakukan manajemen laba periode t+1 dengan kepemilikan institusi ≥ 40% adalah menaikkan laba (income increasing). Hal ini ditunjukkan melalui 66,67% sampel yang mempunyai DA positif. Kemudian periode t+2 perusahaan melakukan manajemen laba dengan motivasi menaikkan laba (income increasing) dengan 96% sampel mempunyai DA (positif).

Saiful (2004) melakukan penelitian mengenai manajemen laba yang dilakukan dengan menaikkan laba (income increasing). Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa pada periode satu tahun setelah IPO manajemen laba dilakukan dengan income increasing. Manajemen laba periode dua tahun setelah IPO dilakukan dengan income decreasing. Penelitian

Setiawati (2002) dalam Meilita (2008) menemukan bukti bahwa dalam laporan keuangan periode pertama sebelum dan setelah IPO, terkandung manajemen laba yang dilakukan dengan income increasing discretionary accruals.

Penelitian Meilita (2008) berhasil menemukan bukti bahwa pada laporan keuangan setelah IPO (satu tahun dan dua tahun setelah IPO) terdapat praktik manajemen laba. Namun penelitian ini tidak berhasil membuktikan secara statistik bahwa manajemen laba tersebut dilakukan dengan income decreasing discretionary accruals.

Berdasarkan penelitian terdahulu, banyak perusahaan yang melakukan manajemen laba dengan pola income increasing setelah IPO. Hal ini menandakan bahwa tidak semua praktik manajemen laba dilakukan dalam lingkup batas regulasi akuntansi, tetapi perusahaan dapat melakukan manajemen laba secara ilegal. Sehingga setelah IPO manajemen laba tetap dilakukan dengan cara income increasing.

Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis yang dinyatakan sebagai berikut:

Ha2: Perusahaan melakukan manajemen laba dengan menaikkan laba (income increasing) pada periode satu tahun setelah IPO

Ha3: Perusahaan melakukan manajemen laba dengan menaikkan laba (income increasing) pada periode dua tahun setelah IPO

3. Manajemen Laba, Kepemilikan Institusional dan Return Saham Menurut Porter (1992) dalam Rajgopal., et al (1999: 1)

Institutional investors are transient owners who are overly focused on short-term earnings. Fearing that a short-term profit disappointment will lead institutions to liquidate their holdings (leading to at least a temporary decline in equity value), managers are compelled to take actions that increase short-term profit.

Investor institusional memiliki potensi untuk mempengaruhi kegiatan manajemen secara langsung melalui kepemilikan mereka, dan secara tidak langsung dengan perdagangan saham mereka (Gillan dan Starks, 2003: 1). Menurut (Hand, 1990; Kim., et al, 1997 dalam Rajgopal., et al, 1999: 2) investor institusional diakui memiliki kelebihan dalam memperoleh dan mengolah informasi dibandingkan dengan investor individu. Sehingga semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin tinggi pula tindakan monitoring terhadap kinerja manajemen dan diharapkan dapat meminimalkan praktik manajemen laba.

Penelitian (Joni dan Jogiyanto, 2009) menggunakan kepemilikan institusi sebagai proksi kecerdasan investor dan cutoff 40% atau lebih kepemilikan institusi menunjukkan investor cerdas. Penelitian (Joni dan Jogiyanto, 2009) memperoleh hasil koefisien hubungan manajemen laba dengan return saham yang mempertimbangkan faktor kecerdasan investor bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen laba yang tinggi menyebabkan nilai harga saham rendah ketika mempertimbangkan faktor kecerdasan investor.

Brav dan Gompers (1997) yang dikutip dalam Joni (2008) mengatakan bahwa return saham perusahaan setelah IPO dalam jangka panjang akan turun. Hal ini disebabkan karena investor terlalu optimis, sehingga harga saham akan lebih tinggi pada awal penawarannya dan berangsur-angsur turun dalam jangka panjang.

Penelitian oleh Rajgopal., et al, 1999 berhasil menemukan bukti hubungan negatif yang kuat antara nilai absolut dari discretionary accruals dengan kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional dalam penelitian ini dipandang sebagai proksi kecerdasan investor. Hubungan negatif berarti semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin rendah manajemen laba dan juga sebaliknya. Penelitian oleh Saiful (2004) berhasil menemukan bahwa return saham satu tahun setelah IPO rendah, namun tidak berhasil menemukan hubungan antara rendahnya return saham setahun setelah IPO dengan manajemen laba disekitar IPO.

Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis yang dinyatakan sebagai berikut:

Ha4: Kepemilikan institusional memoderasi hubungan antara manajemen laba satu tahun setelah IPO dengan return saham

Ha5: Kepemilikan institusional memoderasi hubungan antara manajemen laba dua tahun setelah IPO dengan return saham

24

Dokumen terkait