• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan dengan prinsip syariat (Muhammad, 2005). Pengoperasian lembaga keuangan syariah tidak mengandalkan pada bunga bank dan menjauhkan dari unsur riba, tetapi menerapkan sistem bagi hasil serta mengembangkan produknya yaitu pembiayaan dengan sistem bagi hasil.

BPRS RU, BMT KU, BMT WU dan BMT Tbu merupakan lembaga keuangan syariah yang pengoperasiannya memberikan pelayanan pembiayaan. BPRS RU memberikan pelayanan pembiayaan untuk usaha yang relatif besar di atas Rp 10.000.000 sedangkan BMT WU, BMT KU dan BMT TbU merupakan lembaga koperasi syariah yang memberikan pelayanan pembiayaan kepada anggotanya untuk skala usaha yang relatif sedang antara Rp 1.000.000 sampai Rp 10.000.000 untuk semua sektor. Keempat lembaga keuangan tersebut beroperasi sesuai dengan prinsip syariah, yaitu lebih mengutamakan keadilan dan kesetaraan dalam menerapkan instrumen pembiayaan syariah (mudharabah dan musyarakah).

Pembiayaan sistem bagi hasil dengan prinsip mudharabah dan musyarakah merupakan core product lembaga keuangan syariah yang bebas dari mekanisme bunga. Dalam penerapannya di lapangan, salah satu contoh di daerah jawa tengah dan DI Yogyakarta sebanyak 47,27 persen masyarakat menyatakan bunga bank adalah haram, 20,47 persen halal, dan 31,06persen subhat (BPS – BI, 2005). Persepsi masyarakat yang menyatakan bunga haram mengakibatkan banyak petani agribisnis menginginkan untuk mendapatkan pendanaan dari bank syariah. Menurut Muhammad (2005) menyatakan bahwa unsur-unsur perjanjian mudharabah yaitu ; 1) Ijab Qobul, 2) Adanya dua pihak (Pemilik dana dan pengusaha), 3) Adanya modal, 4) Adanya usaha, 5) Adanya keuntungan.

Produk pembiayaan dengan sistem syariah diantaranya adalah produk pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Pembiayaan sistem bagi hasil dengan prinsip mudharabah menurut Muhammad (2005) adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (sohibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola (mudharib). Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.

Sedangkan pembiayaan sistem bagi hasil dengan prinsip musyarakah menurut Zulkifli (2003) adalah akad kerja sama atau percampuran antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai nisbah yang disepakati dan risiko akan ditanggung sesuai porsi kerja sama. Kegiatan sektor agribisnis dengan berbagai jenis usaha yang sangat luas memungkinkan memakai produk pembiayaan sistem bagi hasil lembaga keuangan syariah dengan prinsip musyarakah.

Namun demikian, jika dilihat lebih jauh lagi, pembiayaan sistem bagi hasil lembaga keuangan syariah perlu dievaluasi penerapannya di lapangan. Sebab ada indikasi komposisi persentase pembiayaan sistem bagi hasil syariah relatif rendah untuk sektor agribisnis. Hal ini tampak pada nilai pangsa pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada akhir Februari tahun 2005 komposisi pangsa (share) pembiayaan mudharabah dan musyarakah masing masing sebesar 18,42 persen dan 11,80 persen (Statistik Perbankan Syariah – BI, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa komposisi pembiayaan sistem bagi hasil bank syariah relatif masih rendah di bawah 20 persen.

Begitu juga dengan rendahnya pembiayaan sektor agribisnis pada BPRS RU, BMT WU, BMT KU dan BMT TbU juga rendah. Pada pembiayaan sektor agribisnis di keempat lembaga keuangan tersebut nilai persentasenya antara 0 persen sampai 2,2 persen yang mengindikasikan masih rendahnya pembiayaan yang diberikan untuk usaha pertanian kepada petani di desa. Padahal jika diperhatikan lebih jauh lagi, keempat lembaga keuangan tersebut beroperasi di wilayah Bogor yang memang sangat cocok

untuk usaha pertanian. Sehingga dapat dibayangkan bahwa jika keempat lembaga keuangan tersebut mampu memberikan pelayanan pembiayaan kepada para petani di wilayah bogor, maka pembiayaan sektor agribisnis akan meningkat dengan menjangkau desa-desa yang potensial untuk diberikan pembiayaan.

Melihat kondisi objektif di atas, maka komposisi pembiayaan sistem bagi hasil dengan prinsip mudharabah maupun musyarakah belum mengalami pertumbuhan yang pesat. Artinya pembiayaan sitem bagi hasil lembaga keuangan syariah belum efektif penerapannya di lapangan, sehingga kebijakan pendanaannya belum optimal. Menurut Yumanita (2005) menyatakan bahwa beberapa pakar telah mengidentifikasi sumber- sumber penyebab tidak efektifnya pembiayaan lembaga keuangan syariah yang dapat dilihat dari empat aspek, yaitu ; 1) internal lembaga keuangan, 2) Nasabah, 3) Regulasi dan 4) Pemerintah dan institusi lain.

Untuk mengatasi rendahnya pembiayaan pada sektor agribisnis, maka Yayasan Peramu Bogor yang memiliki dan membina keempat lembaga keuangan tersebut membuat program UPK Ikhtiar yang dikhususkan untuk para petani di desa. Program UPK Ikhtiar merupakan program pelayanan pembiayaan dan tabungan di desa untuk para petani dalam rangka membantu petani memenuhi kebutuhan dasar (pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya) melalui pengelolaan aset ekonomi rumah tangga dan pengembangan kewirausahaan. Kegiatan utama program UPK Ikhtiar adalam melakukan pendampingan ekonomi rumah tangga petani melaui tabungan (saving) serta pendampingan usaha rumah tangga melaui pelayanan pembiayaan BMT dan BPRS yang dikhususkan pada keluarga yang dikategorikan miskin.

Terdapat empat faktor yang mempengaruhi efektifitas pembiayaan sistem syariah UPK Ikhtiar. Pertama, tabungan anggota. Hal ini merupakan salah satu cara UPK Ikhtiar untuk menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) dari anggota yang akan diputar kembali untuk dipinjamkan kepada para petani agribisnis yang ingin meminjam. Kedua, pembayaran pinjaman. Hal ini merupakan faktor penting di mana petani agribisnis mampu

mengembalikan pembiayaan dengan cara mengangsur melalui pertemuan rutin setiap minggu. Ketiga, Kesejahteraan rumah tangga petani. Faktor ini sangat mempengaruhi efektifitas pembiayaan, sebab dengan memberikan pinjaman untuk modal usaha pertanian, petani mampu menghidupi keluarganya dalam hal pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sehari-hari. Keempat, pemberdayaan agribisnis. Hal ini terkait dengan sejauh mana UPK Ikhtiar mampu membina para petani dengan melakukan pendampingan agribisnis, sehingga mampu meningkatkan pemahaman petani dalam melakukan kegiatan agribisnis.

Keempat faktor tersebut akan dianalisis dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Sebelum melakukan analisis dengan menggunakan metode AHP adalah melakukan pengumpulan data dan informasi dengan metode kualitatif maupun kuantitatif. Metode pengumpulan data kualitatif adalah dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) dan Indepth Interview yang melibatkan semua aktor yang terlibat dalam program UPK. Kemudian untuk metode kuantitatif yaitu membuat kuesioner berdasarkan hasil pengumpulan data kualitif yang diberikan kepada aktor yang terlibat dalam program UPK. Hasil dari pengumpulan data tersebut menjadi input dalam menganalisis efektifitas pembiayaan sistem syariah dengan menggunakan metode AHP.

Terdapat delapan langkah utama yang harus dilakukan dalam analisis ini. Pertama, mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan yang diinginkan. Kedua, membuat struktur hirarki dan sudut pandang manajemen secara menyeluruh. Ketiga, menyusun matriks banding berpasangan. Keempat, mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil yang diperoleh pada langkah tiga. Kelima, mamasukkan nilai–nilai kebalikannya beserta bilangan satu sepanjang diagonal utama. Keenam, melaksanakan langkah tiga, empat, dan lima untuk semua tingkat dan gugusan dalam hirarki tersebut. Ketujuh, mensintesis prioritas untuk melakukan pembobotan vektor prioritas. Kedelapan, mengevaluasi konsistensi untuk semua hirarki (Saaty, 1993). Berikut akan diperlihatkan kerangka pemikiran operasional penelitian ini pada Gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional

Dokumen terkait