• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka pemikiran teoritis merupakan alur pikir peneliti yang dijadikan sebagai peta pemikiran yang melatarbelakangi penelitian ini. Adapun sudut pandang pemikiran dan teori yang memberikan arahan dan patokan bagi peneliti untuk dapat memahami serta mendeskripsikannya dari sebuah perialku komunikasi komunitas info vespa bandung yaitu melalui studi fenomenologi.

Fenomenologi pada dasarnya mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran, yang terentang dari persepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, kemauan, sampai sebuah tindakan sehingga, disiplin ilmu tersebut memahami struktur pengalaman sadar (dari sudut pandang orang pertama).

Alfred Schutz (1899-1959) seorang tokoh teori fenomenologi yang membawa fenomenologi ke dalam ilmu sosial mengatakan inti dari fenomenologi yaitu :

Fenomenologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial melalui penafsiran. Proses penafsiran dapat digunakan untuk memperjelaskan atau memeriksa maka yang sesungguhnya, sehingga dapat memberikan konsep kepekaan yang implisit. Schutz meletakkan hakikat manusia dalam pengalaman subjektif, terutama ketika mengambil tindakan dan mengambil sikap terhadap dunia kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Schutz mengikuti pemikiran Husserl, yaitu proses pemahaman aktual kegiatan kita, dan pemberian makna terhadapnya, sehingga ter refleksi dalam tingkah laku. (Kuswarno, 2013:18)

Membahas perilaku komunikasi komunitas info vespa bandung dalam pendekatan fenomenologis tidak bisa terlepas dari lambang verbal dan non verbal yang menjadi inti dari komunikasi. Karena komunikasi tidak akan pernah berlangsung bila tidak adanya lambang-lambang yang saling dipertukarkan dari penganut kultur Mod tersebut. Perilaku komunikasi (penggunaan lambang-lambang komunikasi) (Kuswarno 2013:103).

Mengacu juga pada pemikran Schutz, manusia akan memilki motif yaitu berorientasi kemasa depan (in order to motive) dan berorientasi ke masa lalu (because motive). Sehingga perilaku yang ditunjukan manusia akan memiliki motif yang menggambarkan sebab (orientasi masa lalu), dan untuk (orientasi masa depan).

Hal diatas pun diperkuat oleh adanya suatu pandangan dari interaksi simbolik dalam terminologinya yanng dipikirkan oleh Mead terhadap perilaku komunikasi yaitu setiap isyarat non verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti sangat penting. Dengan demikian interaksi simbolik berasumsi bahwa manusia dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman.

Sehingga dari asumsi tersebut sangat berhubungan dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini bahwa dengan demikan fenomenologi akan memimpin peneliti pada latar belakang dan kondisi-kondisi dibalik sebuah pengalaman khusunya pada perilaku komunikasi komunitas info vespa bandung

Douglas (1970) dalam buku filsafat ilmu komunikasi juga memberikan penjelasan mengenai pengertian interaksi simbolik yang terkait dengan konsep dan asumsi dasar interaksi simbolik..

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi. (Mulyana 2008:136)

Simbol gaya hidup seperti pakaian, musik, dan kendaraan seringkali dapat mengkomunikasikan makna-makna, dan mengorganisasi interpretasi orang lain secara cukup tepat, dan digunakan untuk berinteraksi secara bermakna satu sama lain, hal itu merupakan interaksi sosial yang bermakna.

Perspektif interaksi simbolik memunculkan bahwa makna dan tindakan itu sesungguhnya saling mempengaruhi dan proses interpretif yang terjadi di dalamnya melibatkan pertukaran makna, suatu transaksi dimana sebab dan akibat tidak dapat dibedakan. Manusia bertindak dengan mempertimbangkan segala hal yang diamati dan mengarahkan perilakunya pada suatu perbuatan sebagaimana yang ia interpretasikan. (Mulyana, 2008: 29)

Menurut pandangan interaksi simbolik, manusi dipandang sebagai pelaku, pelaksana, pencipta, dan pengarah bagi dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa dan semangat bebas dilihat dari kualitas manusia yang tercipta secara sosial. Tindakan tidak selalu diarahkan pada diri sendiri, namun juga ada alternatif-alternatif lain, seperti emosi, luapan perasaan, dan kebiasaan - kebiasaan lain. Hal ini membawa kita pada respons yang dilakukan tanpa berpikir, tanpa pemecahan masalah, tanpa mempertimbangkan masa lalu dan masa depan, dan tanpa pengambilan peran yang ditetapkan secara baku.

Interaksi Simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna khusus dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Sementra menurut Mead, esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. (Mulyana, 2008: 68).

Menurut Bluumer (Spardley, 1997:7, dalam Mulyana, 2008) ada beberapa premis interaksionisme simbolik yang perlu dipahami peneliti budaya, yaitu sebagai berikut :

Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka.

Kedua, dasar interasionisme simbolik adalah “makna berbagai hal itu

berasal dari, atau muncul dari interasik sosial seorang dengan orang lain.”

Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.

Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagi hal yang dia hadapi.

Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir ( 2000: 184-185, dalam Mulyana, 2008) menambahkan tujuh proposisi, yakni : Pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang menggejala. Kedua, pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam interaksi sosial. Ketiga, komunitas manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia berkembangn secara dialektik. Keenam, perilaku manusia itu, wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif. Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna.

Melalui premis dan proposisi di atas, muncul tujuh prinsip interaksionisme simbolik dalam Muhadjir ( 2000: 184-185, dalam Mulyana, 2008) yaitu :

1. Simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melaikan harus sampai pada konteks.

2. Karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subyek penelitian.

3. Peneliti sekaligus mengaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengintarinya.

4. Perlu direkam situasi yang melukiskan simbol.

5. Metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya. 6. Perlu menangkap makna dibalik fenomena.

7. Ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik.

Dalam setiap gerak, perilaku budaya akan berinteraksi dengan yang lain. Pada saat itu, mereka secaa langsung maupun tidak langsung telah memberikan stock of culture yang luar biasa banyaknya.

Menurut pandangan model interaksionisme simbolik, perilaku budaya akan berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi komunitasnya. Jadi, bukan sebaliknya interaksi mereka dibingkai oleh aturan - aturan mati, melainkan melalui interaksi simboik akan muncul aturan-aturan yang disepakati secara kolektif. Makna budaya akan tergantung proses interaksi perilaku. Makna biasanya muncul dalam satuan interaksi yang kompleks, dan kadang-kadang juga dalam interkasi kecil antar individu.

Interaksi selalu berorientasi ke masa depan, kepada apa yang akan dilakukan oleh orang lain, dan satu-satunya cara bagi seseorang untuk menduga masa depan adalah dengan cara saling mengambil peranan. Dalam deskripsi

bahwa peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan demikian, mereka mencoba mencari arti maksud yang oleh pihak lain diberikan kepada aksinya, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. (dalam Sobur, 2013:195)

Intraksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik. Masing-masing hal tersebut mengidentifikasikan sebuah konsep sentral mengenai tradisi yang dimaksud (Littlejohn, 1996:159-160 dalam Mulyana, 2008:196)

Maka dengan adanya asumsi tersebut maka perilaku komunikasi yang dilakukan oleh manusia diproyeksikan melalu adanya proses pertukaran simbol-simbol yang berujung pada penamaan suatu makna yang dimengertinya.

Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis diatas, peneliti menggambarkan dan menjelaskan mengenai perilaku komunikasi komunitas Info Vespa Bandung dalam menjalani kehidupannya di kota Bandung. Perilaku komunikasi komunitas info vespa bandung dibagi kedalam tiga bahasan, yaitu perilaku komunikasi yang menggunakan komunikasi verbal, perilaku komunikasi yang menggunakan komunikasi non verbal, serta motif yang melatari perilaku komunikasi tersebut.

Komunikasi dengan menggunakan lambang verbal terjadi ketika seorang penganut kultur Mod menggunakan kata-kata, dengan bahasa lisan, lalu komunikasi non verbal adalah ketika seorang penganut kultur Mod di komunitas imfo vespa bandung tersebut menggunakan simbol selain kata-kata seperti

penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan. Serta semua perilaku komunikasi tersebut dilatari oleh adanya sebuah motif yang terdiri dari motif sebab dan motif untuk.

Melalui interaksi simbolik dapat menunjukan kemampuan penganut kultur Mod pada komunitas info vespa bandung untuk dapat merespon simbol-simbol kepada dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Hal ini akan menunjukan sejauhmana seseorang penganut kultur Mod memahami dirinya sendiri. Maka, seorang penganut kultur Mod tersebut dituntut untuk memahami dan memaknai simbol yang ada sehingga ia mampu berperilaku untuk beradaptasi.

Perkembangan diri mengarah pada sejauhmana seorang penganut kultur Mod akan mengambil peran. Pengambilan peran ini akan merujuk pada bagaimana ia memahami dirinya dari perspektif orang lain. Serta mengarah pada hasil intrepretasi yang berwujud perilaku komunikasi seorang penganut kultur Mod tersebut melalui penyampaian pesan verbal dan pesan non verbal. Interaksi hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan olehnya akan dilatari oleh adanya motif pada dirinya karena adanya dorongan dari dalam, sehingga menghasilkan keterlibatan dalam perilaku yang mereka lakukan secara aktif. Serta dengan simbol, seorang penganut kultur Mod tidak memberikan respon yang pasif, tetapi secara aktif menciptakan dan mencipta ulang dunia tempat mereka berperan.

Suatu bentu komunikasi seorang penganut kultur Mod dapat ditelusuri atau dicari melalui simbol-simbol dihubungkan dengan intrepretasi, aksi dan interaksi. Sehingga melalui perspektif interaksi simbolik memberikan suatu

tindakan kreatif ketika menggunakan simbol-simbol. Proses penyesuaian dan perubahan melibatkan interaksi penganut kultur Mod itu sendiri dan segi-segi yang menyangkut norma ataupun aturan yang ada.

Gambar 2.1

Model Alur Kerangka Pemikiran

Komunitas Info Vespa Bandung

Fenomenologi

Memahami perilaku komnita info vespa bandung melalui penafsiran. Proses penafsiran tidak hanya melihat tetapi dengan cara memahami dan memaknai

apa yang dilakukan dengan terjun langsung dan juga larut kedalam lingkungan hidup penganut kultur Mod

pada komunitas

Interaksi Simbolik

Kemampuan penganut kultur Mod di komunitas info vespa bandung untuk dapat bisa merespon simbo – simbol

kepada dirinya sendiri serta lingkungannya

Perilaku Komunikasi Komunitas Info Vespa Bandung dalam Penggunaan Culture MOD sebagai

Gaya Hidup Komunikasi Verbal 1. Tindakan Perkenalan 2. Tindakan Emosional 3. Bahasa Identitas Mod Komunikasi Non Verbal 1. Waktu 2. Penampilan 3. Gerak Tubuh Ruang

Motif 1. Motif sebab 2. Motif agar

63 3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan studi fenomenologi sebagai desain penelitiannya. Pada penelitian ini peneliti menerapkan paradigma konstruktivis, sehingga peneliti memandang keadaan sosial sebagai analisis sistematis terhadap “socially meaningfull action” melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial dalam setting kehidupan sehari- hari yang wajar atau alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka.

Paradigma konstruktivis ialah paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka.

Paradigma ini menyatakan bahwa (1) dasar untuk menjelaskan kehidupan, peristiwa sosial dan manusia bukan ilmu dalam kerangka positivistik, tetapi justru dalam arti common sense. Menurut mereka, pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya sehari-hari, dan hal tersebutlah yang menjadi awal penelitian ilmu-

ilmu sosial; (2) pendekatan yang digunakan adalah induktif, berjalan dari yang spesifik menuju yang umum, dari yang konkrit menuju yang abstrak, (3) ilmu bersifat idiografis bukan nomotetis, karena ilmu mengungkap bahwa realitas tertampilkan dalam simbol-simbol melalui bentuk-bentuk deskriptif; (4) pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui indra karena pemahaman mengenai makna dan interpretasi adalah jauh lebih penting; dan (5) ilmu tidak bebas nilai. Kondisi bebas nilai tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting dan tidak pula mungkin dicapai. (Sigit Mangun Wardoyo : 2001,33)

Peneliti menggunakan paradigma konstruktivis karena peneliti ingin mendapatkan pengembangan pemahaman yang membantu proses interpretasi suatu peristiwa. Sedangkan subjek penelitian seorang khalayak dewasa dini yang dianggap sudah memiliki pengalaman terhadap hubungan intim merupakan sebuah kajian yang unik dan menarik untuk diteliti. Pengalaman mengenai hubungan intim adalah pengalaman yang sangat personal bagi setiap individu, sehingga akan menghasilkan pemaknaan yang unik.

“Penelitian kualitatif adalah penelitian yang secara holistik bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian, baik itu perilakunya, persepsi, motivasi maupun tindakannya, dan secara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.” (Moleong, 2007 : 6)

Pendekatan ini diarahkan pada latar individu tersebut secara holistik (utuh atau menyeluruh). Jadi pendekatan ini bertujuan untuk memahami para penganut kultur Mod dalam perilaku komunikasinya.

Adapun pengertian kualitatif lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Denzin dan Lincoln (1987) dalam Moleong, menyatakan:

“Bahwa penelitian kualitatif adalah penlitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada” dari segi pengertian ini, para penulis masih tetap mempersoalkan latar alamiah dengan maksud agar hasilnya dapat digunakan untuk menafsirkan fenomena dan yang dimanfaatkan untuk penelitian kualitatif adalah berbagai macam metode penelitian. Dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen. (Moleong, 2007:5).

Dalam Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yang membedakannya dengan penelitian jenis lainnya. Dari hasil penelaahan kepustakaan ditemukan bahwa Bogdan dan Biklen (1982:27-30) mengajukan 5 ciri, sedangkan Lincon dan Guba (1985, 39-43) mengulas sepuluh ciri penelitian kualitatif. Hasil pengkajian dan sintesis kedua versi ciri penelitian tersebut adalah :

1. Latar alamiah (natural setting)

2. Manusia sebagai instrumen (human instrument)

3. Penggunaan pengetahuan yang tidak eksplisit (utilization of tacitknowledge)

4. Metode-metode kualitatif (qualitative methods) 5. Sampel purposif (purposive sampling)

6. Analisis data induktif (inductive data analysis)

8. Desain penelitian mencuat secara alamiah (emergent design) 9. Hasil penelitian berdasarkan negoisasi (negotiated outcomes) 10.Cara pelaporan studi kasus (sace study reporting mode) 11.Interpretasi idiografik/kontekstual (idiographic interpretation) 12.Aplikasi temuan tentatif (tentative application of findings) 13.Batasan ditentukan fokus (focus-determined boundaries)

14. Keterpercayaan dengan kriteria khusus (special criteria for trustworthiness). (Moleong 2007:8)

Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam- dalamnya melalui pengumpulan data sebanyak-banyaknya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya.

Dalam penelitian ini fenomenologi digunakan sebagai desain penelitiannya. Dengan kata lain, fenomenologi mempelajari struktur pengalaman sadar (dari sudut pandang orang pertama), bersama dengan kondisi-kondisi yang relevan. Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan suku kata

phainomenon yang berarti “yang menampak”.

“Alfred Schutz, dengan fenomenologi kita akan dapat mempelajari bentuk - bentuk pengalaman dari sudut pandang orang yang mengalaminya langsung, seolah-olah kita mengalamainya sendiri.” (Kuswarno, 2013:10)

Fenomenologi adalah The science of phenomena as distinct from being (ontology), dan b. Division of any science with describe and classifies its phenomena. Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain, fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak didepan kita, dan bagaimana penampakannya. (Kuswarno, 2013:11)

Lebih lanjut dikatakan oleh Alfred Schutz, salah satu tokoh fenomenologi yang menonjol bahwa :

“Fenomenologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial melalui penafsiran. Proses penafsiran dapat digunakan untuk memperjelas atau memeriksa makna yang sesungguhnya, sehingga dapat memberikan konsep kepekaan yang implisit. Hubungan-hubungan sosial antara manusia ini kemudian akan membentuk totalitas masyarakat. jadi, setiap individu menggunakan simbol-simbol yang telah diwariskan padanya, untuk memberi makna pada tingkah

lakunya sendiri”. (Kuswarno, 2013:18)

Pada fenomenologi perilaku orang merupakan aspek subjektif, maka dalam hal ini peneliti berusaha untuk masuk kedalam dunia konseptual para subjek yang akan di teliti sedemikian rupa, dalam hal ini adalah masuk pada dunia konspetual para penganut kultur Mod sehingga mendapat informasi yang akan dipahami oleh peneliti.

Adapun ciri-ciri penelitian fenomenologi yang sejalan dengan penelitian kualitatif adalah sebagai berikut :

1. Fokus pada sesuatu yang nampak, kembali kepada yang sebenarnya (esensi), keluar dari rutinitas, dan keluar dari apa yang diyakini sebagai kebenaran dan kebiasaan sehari-hari.

2. Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati entitas dari berbagai sudut pandang dan perspektif, sampai didapat pandangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati.

3. Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penampakan, dengan institusi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide, konsep, penilaian, dan pemahaman yang hakiki.

4. Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan atau menganalisisnya. Sebuah deskriptif fenomenologi akan sangat dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas, dan sifat-sifat penunjang) dari sesuatu. Sehingga deskripsi akan mempertahankan fenomena itu seperti apa adanya, dan menonjolkan sifat alamiah dan makna dibaliknya. Selain

itu, deskripsi juga akan membuat fenomena “hidup” dalam term yang

akurat dan lengkap. Dengan kata lain sama “hidup”-nya antara tampak dalam kesadaran dengan yang terlihat oleh panca indera.

5. Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan demikian penelitian fenomenologi akan sangat dekat fenomena yang diamati. Analoginya, peneliti itu menjadi salah satu bagian puzzle dari sebuah kisah biografi.

6. Integrasi dari subjek dan objek. Persepsi penelitian akan sebanding/sama dengan apa yang dilihat/didengarnya. Pengalamannya akan suatu tindakan akan membuat objek menjadi subjek, dan subjek menjadi objek.

7. Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjektif, realitas adalah salah satu bagian dari proses secara keseluruhan.

8. Data yang diperoleh (melalui berpikir, instuisi, refleksi, dan penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam pengetahuan ilmiah.

9. Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan dengan sangat hati- hati. Setiap kata harus dipilih, dimana kata yang terpilih adalah kata yang paling utama, sehingga dapat menunjukkan makna yang utama pula. (Kuswarno,2013:37)

Dengan melihat karakteristik penilitian fenomenologi tersebut maka tugas peneliti dalam penelitian ini untuk mengakses pemikiran sadar para penganut kultur Mod dengan secara lebih mendalam serta menafasirkan motif-motif, tindakan, pengalaman serta dunia kehidupan mereka dari sudut pandang mereka. 3.2Informan Peneliti

3.2.1 Informan

Pemilihan informan-informan pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, sebagaimana maksud yang disampaikan oleh Sugiyono dalam buku Memahami Penelitian Kualitatif, adalah :

“Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data

dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti.” (Sugiyono, 2014:53-54)

Wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara dengan 5 orang informan. Dimana informan ini penulis pilih karena menurut penulis informan ini merupakan bagian dari komunitas Info Vespa Bandung yang sangat menggunakan kultur Mod dalam kehidupannya. Data informan tersebut ditampilkan sebagai berikut :

Tabel 3.1 Informan Penelitian

No Nama Usia Keterangan

1 Dicky Rustiawan (23 tahun) Seorang Wirausaha Maklun

2 Danu (25 tahun) Seorang Sales Mobil

Honda

3 Anjar (27 tahun) Seorang Pegawai

Swasta Sebuah Perusahaan Makanan

Instan

4 Billy Bejun (23 tahun) Seorang Wirausaha

Pakaian Anak

5 Hendra (28 tahun) Seorang Pegawai Bank

BNI Sumber : Penulis, 2015

Pemilih memilih kelima informan ini dikarenakan informan ini merupakan anggota dari komunitas Info Vespa Bandung. Mereka

merupakan anggota yang sudah cukup lumayan lama bergabung dengan komunitas ini. Dan mereka pun merupakan anggota komunitas Info Vespa Bandung yang bisa dibilang penganut dari kultur Mod.

Peneliti memilih Dicky Rustiawan karena Dicky merupakan salah satu pendiri komunitas Info Vespa Bandung. Dicky Rustiawan merupakan seorang pengusaha maklun berbagai macam pakaian. Dia merupakan Sarjana Ekonomi yang baru saja menyelesaikan jenjang pendidikannya di tingkat Universitas. Dia sudah cukup lama menggunakan Vespa, hampir sudah 7 (Tujuh) tahun Dicky menggunakan Vespa sebagai kendaraan favorit nya. Meskipun dia memiliki sebuah motor sport yang cukup bagus dan keren, tetapi Dicky Rustiawan sangat sering dan sangat menyukai Vespa. Dimana dia adalah salah satu penganut kultur Mod yang cukup

Dokumen terkait