• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Pendapatan Usahatani

Menurut Soekartawi (1986), ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu, dan pengelolaan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Ilmu usahatani juga diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi, 2002).

Tingkat keuntungan dapat diukur dengan pendapatan usahatani yang umumnya digunakan untuk mengevaluasi kegiatan suatu usahatani dengan tujuan untuk membantu perbaikan pengelolaan usahatani. Analisis pendapatan usahatani bertujuan untuk menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan dapat menggabarkan keadaan yang akan datang.

Dalam usahatani tentunya para petani memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan serta memperhitungkan penerimaan yang diperoleh. Menurut Soekartawi et, al (1986), biaya atau pengeluaran total usahatani adalah semua nilai masukan yang habis dipakai atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi

usahatani. Biaya usahatani dapat dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan.

1. Biaya tunai

Biaya tunai usahatani didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

2. Biaya yang diperhitungkan

Biaya yang diperhitungkan merupakan pengeluaran secara tidak tunai yang dikeluarkan oleh petani, biaya ini dapat berupa faktor produksi yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti sewa lahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, dan penyusutan peralatan.

Berdasarkan sifatnya biaya produksi usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: (a) Biaya tetap (fixed cost); dan (b) Biaya tidak tetap (variabel cost).

(a) Biaya tetap

Biaya tetap ini umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh sedikit atau banyak. Jadi besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Contoh biaya tetap: sewa tanah, pajak dan alat-alat pertanian.

(b) Biaya variabel

Di sisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contohnya biaya untuk sarana produksi: tenaga kerja, pupuk, pestisida. Jika

ingin menambah jumlah produksi, maka jumlah sarana produksi juga harus ditambah.

Menurut Tjakrawiralaksana (1983), biaya adalah semua pengeluaran, dinyatakan dengan uang, yang diperlukan untuk menghasilkan sesuatu produk dalam satu periode produksi. Biaya disebut pula “ongkos-ongkos” yang merupakan nilai dari seluruh pengorbanan (unsur produksi) yang disebut pula “input”. Termasuk biaya-biaya tersebut adalah: sarana produksi yang habis terpakai, lahan, biaya alat-alat produksi tahan lama, tenaga kerja, dan biaya lain-lain.

Soekartawi, et al (1986), menyatakan bahwa penerimaan usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu yaitu jumlah komoditi dikalikan dengan harga satuan komoditi. Sedangkan pengeluaran usahatani adalah nilai semua input yang habis dipakai dalam proses produksi.

Berkaitan dengan ukuran pendapatan dan keuntungan, Soekartawi, et al (1986) mengemukakan beberapa definisi yaitu :

a. Penerimaan tunai usahatani (farm receipt): nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani.

b. Pengeluaran tunai usahatani (farm payment): jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

c. Pendapatan tunai usahatani (farm net cash flow): selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani.

d. Penerimaan kotor usahatani (gross return): produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.

e. Pengeluaran total usahatani (total farm expenses): nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi termasuk biaya-biaya yang diperhitungkan.

f. Pendapatan bersih usahatani (net farm income): selisih antara penerimaan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani.

Secara harafiah pendapatan usahatani dapat didefinisikan sebagai sisa dari pengurangan nilai penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Pendapatan yang diharapkan tentu saja memiliki nilai positif dan semakin besar nilainya semakin baik.

Menurut Tjakrawiralaksana (1983), pendapatan usahatani adalah jumlah yang tersisa setelah biaya, yaitu semua nilai input untuk produksi, baik yang benar-benar dibayar maupun yang hanya diperhitungkan, telah dikurangkan dari penerimaan. Pendapatan pengelola itu sendiri terdiri dari 2 unsur, yaitu:

1. Imbalan jasa manajemen, ”upah” atau honorarium petani sebagai pengelola.

2. Sisanya atau laba, yaitu net profit, merupakan imbalan bagi resiko usaha. Inilah yang sebenarnya merupakan keuntungan atau laba, dalam pengertian ekonomi perusahaan.

3.1.2 Laba/Pendapatan Maksimum

Nicholson (2001), menyatakan bahwa dalam melakukan aktivitasnya, perusahaan akan menjual barang pada berbagai tingkat output (Q). Dari penjualan pengusaha akan menerima pendapatan (revenue) sebanyak P (Q).Q = R (Q). Terlihat bahwa besar penerimaan tergantung pada jumlah barang yang terjual. Dalam produksinya, dibutuhkan biaya besar C (Q), yang jumlahnya juga

tergantung dari jumlah barang yang diproduksi. Perbedaan antara penerimaan total dengan biaya inilah yang disebut laba. Lebih jelas lagi, laba yang diterima adalah: π (Q) = P (Q). Q – C (Q) = R (Q) – C (Q). (3.1) Kondisi syarat pertama untuk memilih nilai Q yang memberikan laba yang paling maksimum adalah apabila derivative, atau turunan pertama dari equasi terhadap Q sama dengan nol, yaitu:

dπ dR dC

= π (Q) = - = 0 (3.2) dQ dQ dQ

sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi syarat pertama untuk laba maksimum adalah:

dR dC

= (3.3) dQ dQ

Secara sederhana ini berarti bahwa untuk memperoleh laba yang paling maksimum, maka peneriman ekstra, atau marjinal revenue atau (MR) yang diterima dari penjualan 1 unit barang terakhir harus sama dengan biaya ekstra (marginal cost = MC) untuk memperoduksi 1 unit barang terakhir tersebut. Artinya untuk memperoleh laba yang paling maksimum perusahaan akan memilih tingkat output pada saat mana penerimaan marjinal (Marginal Revenue = MR) sama dengan biaya marjinal (Marginal Cost = MC),

MR = dR/dQ = dC/dQ = MC (3.4)

Bila perusahaan memutuskan untuk menghasilkan output pada saat MR > MC, maka laba yang diterima tidaklah maksimum, sebab dengan menghasilkan 1 unit output tambahan akan menghasilkan MR yang lebih besar dari ongkos yang harus dikeluarkan. Begitu juga jika MR < MC, ongkos yang harus dikeluarkan

untuk memproduksi 1 unit barang terakhir lebih besar dari penerimaan yang akan diperoleh seandainya barang tersebut dijual. Hubungan di atas bisa dilihat ilustrasinya pada Gambar 1.

C.R

C (Q) = TC

R (Q) = TR

0 Q (Output)

Gambar 1. Total Revenue, Total Cost, Laba Maksimal (Nicholson, 2001)

Gambar 1, memperlihatkan fungsi-fungsi biaya dan penerimaan (C dan R). Jika kita hanya memproduksi sedikit output, biaya yang mesti dikeluarkan yaitu C (Q), lebih besar dari penerimaan R (Q). Makin banyak barang diproduksi, jarak antara biaya dengan penerimaan makin kecil dan kalau terus ditambah, kita akan memperoleh laba yang positif, sebab R (Q) > C (Q). Laba yang maksimum dicapai ketika garis singgung TR dan MR sejajar.

Dokumen terkait