• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.3. Kerangka Pemikiran

kebutuhan kedelai dalam negeri cenderung meningkat pada lima tahun terakhir, dan produksi kedelai dalam negeri hanya mampu memenuhi 29-42 persen dari kebutuhan tersebut. Saat ini lebih dari 50 persen kebutuhan kedelai nasional diperoleh dari hasil impor, suatu kondisi yang dapat mengancam kedaulatan pangan Indonesia jika suatu saat negara pengekspor kedelai menghentikan ekspornya.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, pemerintah Indonesia melalui Kementan telah menargetkan Indonesia untuk berswasembada kedelai pada tahun 2014 dengan produksi sebesar 2,70 juta ton. Dalam rencana strategis Kementan dicantumkan bahwa target produksi tersebut diharapkan tercapai dengan adanya kenaikan produksi secara bertahap dari tahun ke tahun mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2014. Pada tahun 2010, sasaran produksi kedelai di Pulau Jawa adalah sebesar 780.900 ton.

Dalam realisasi di lapangan, catatan BPS menunjukkan produksi kedelai di Pulau Jawa pada tahun 2010 adalah sebesar 633.212 ton. Sehingga bisa disimpulkan angka sasaran produksi kedelai yang telah ditetapkan oleh Kementan tidak tercapai. Dengan terjadinya hal ini maka upaya-upaya peningkatan produksi kedelai harus dilakukan dengan lebih baik lagi.

Gambar 2.2. Alur kerangka pemikiran

Produksi kedelai, seperti produksi-produksi lainnya dalam ilmu ekonomi, merupakan suatu fungsi dari input-input produksinya. Sehingga untuk meningkatkan produksi kedelai, terlebih dahulu perlu diketahui faktor produksi apa saja yang berpengaruh terhadap produksi kedelai. Selanjutnya dengan melakukan analisis terhadap fungsi produksi kedelai dapat diperoleh informasi tentang elastisitas produksi dari setiap faktor produksi. Nilai elastisitas produksi

Impor kedelai > Produksi

tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan produksi kedelai.

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder hasil survei SOUT (Struktur Ongkos Usaha Tani) kedelai yang diselenggarakan oleh BPS pada tahun 2010. Berdasarkan lokasinya, sampel-sampel untuk mewakili pulau Jawa tersebar di empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Sampel di Provinsi Jawa Barat berasal dari Kabupaten Garut, Majalaya, Sukabumi, dan Tasikmalaya. Untuk sampel di Provinsi Jawa Tengah berasal dari Kabupaten Blora, Boyolali, Cilacap, Demak, Grobogan, Sukoharjo, dan Wonogiri. Untuk sampel di Provinsi DI Yogyakarta berasal dari Kabupaten Gunung Kidul, dan Kulon Progo. Sedangkan untuk sampel di Jawa Timur berasal dari Kabupaten Gresik, Jember, Jombang, Kediri, Lamongan, Madiun, Malang, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Pacitan, Pamekasan, Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo, Sampang, Sidoarjo, Sumenep, Trenggalek, Tuban, dan Tulungagung. Distribusi sampel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penjelasan mengenai beberapa variabel yang dikaji adalah sebagai berikut:

1. Produksi kedelai, yaitu jumlah produksi kedelai yang dihasilkan oleh petani pada bidang lahan yang terakhir kali dipanen oleh petani. Produksi akan dicatat dengan satuan kilogram biji kering.

2. Luas panen, yaitu luas tanaman kedelai yang dipungut hasilnya pada bidang lahan yang terakhir kali dipanen oleh petani setelah tanaman tersebut cukup umur. Luas panen dicatat dalam satuan meter persegi.

3. Penggunaan benih, yaitu jumlah penggunaan benih pada bidang lahan yang terakhir kali dipanen oleh petani yang berasal dari pembelian dan bukan pembelian (produksi sendiri maupun pemberian pihak lain). Penggunaan benih dicatat dalam satuan kilogram. dalam kegiatan pengolahan lahan (mencangkul, membajak), penanaman dan penyulaman, pemeliharaan/penyiangan, pemupukan, pengendalian hama/OPT, pemanenan dan pengangkutan hasil panen, pengeringan dan pengupasan. Tenaga kerja dicatat dalam satuan banyaknya orang hari (OH).

3.2. Metode Analisis Data

Ada dua metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu analisis deskriptif dan analisis inferensia. Analisis deskriptif dilakukan melalui analisis tabel dan grafik mengenai ukuran-ukuran statistik. Sedangkan analisis inferensia dilakukan melalui analisis regresi linier berganda dengan metode kuadrat terkecil (OLS: Ordinary Least Square). Pengolahan data dalam penelitian

ini menggunakan bantuan program aplikasi Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS 16.

3.2.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menggambarkan keadaan suatu hal atau fenomena secara umum. Tujuan dari analisis deskriptif adalah untuk mempermudah penafsiran atau penjelasan. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif juga digunakan sebagai pendukung untuk menambah dan mempertajam analisis inferensia.

Beberapa teknik yang digunakan adalah dengan menyusun data ke dalam bentuk tabel atau grafik disertai dengan interpretasi dan argumentasi terhadap data yang disajikan. Analisis deskriptif dengan tabulasi maupun grafis merupakan metode yang paling sederhana tetapi memiliki kemampuan yang cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antar variabel yang diamati.

3.2.2. Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Bentuk perluasan fungsi produksi Cobb-Douglas tanaman kedelai dengan enam variabel bebas dapat ditulis dalam persamaan matematis sebagai berikut:

= ( , , , , , ) = (3.1)

Untuk memudahkan dalam analisis regresi maka fungsi produksi tersebut dapat ditransformasi dalam bentuk fungsi linier menjadi:

= + + + + + + + (3.2)

Keterangan:

y = produksi kedelai (kg)

x1 = input luas panen (m2)

u = residual (kesalahan atau error).

Berdasarkan uraian pada Bab II, nilai koefisien dari persamaan estimasi (b1, b2, b3, b4, b5, b6) menunjukkan besarnya elastisitas dari masing-masing faktor produksi. Penjumlahan dari enam koefisien tersebut menunjukkan skala hasil usaha produksi dan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

1). Increasing return to scale, terjadi pada saat nilai (b1+b2+b3+b4+b5+b6)> 1 2). Constant return to scale, terjadi pada saat nilai (b1+b2+b3+b4+b5+b6)= 1 3). Decreasing return to scale, terjadi pada saat nilai (b1+b2+b3+b4+b5+b6)< 1

3.2.3. Pemeriksaan dan Pengujian Asumsi Model

Pemeriksaan dan pengujian asumsi dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya pelanggaran terhadap keempat asumsi dalam model regresi linier berganda dengan metode OLS. Tiga asumsi yang pertama, yakni kenormalan, autokorelasi dan heteroskedastisitas berkaitan dengan sisaan dalam model, sehingga jika salah satu tidak terpenuhi maka estimator menjadi kurang valid atau tidak efisien dan tidak bersifat BLUE. Sedangkan asumsi multikolinieritas berkaitan dengan hubungan yang kuat antar variabel bebas. Jika asumsi

multikolinieritas tidak terpenuhi, estimator masih bersifat BLUE namun memiliki varian dan kovarian yang besar sehingga sulit dipakai sebagai alat estimasi.

a. Uji Kenormalan

Analisis regresi linear mengasumsikan setiap sisaan mengikuti distribusi normal dengan dengan rata-rata nol dan varians 2 (Gujarati, 2004). Apabila variabel tidak bebas dan variabel bebas mengikuti distribusi normal, maka sisaannya juga akan mengikuti distribusi normal. Uji kenormalan dapat dilakukan dengan melihat plot dari sisaan. Jika plot dari sisaan mengikuti bentuk kurva normal atau plot quantil (Q-Q Plot) mengikuti garis normal (lurus) maka asumsi kenormalan dapat diterima.

b. Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah adanya korelasi antar variabel sisaan. Salah satu asumsi dalam analisis regresi linier klasik adalah model tidak mengandung autokorelasi baik positif maupun negatif. Jadi asumsi yang harus dipenuhi adalah bahwa unsur sisaan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur sisaan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun (Gujarati, 2004).

Salah satu cara untuk menguji asumsi ini adalah dengan melihat nilai statistik uji Durbin-Watson. Mekanisme pendeteksian autokorelasi dengan uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut:

1. Nilai batas d adalah antara 0 dan 4.

2. Nilai kritis dL dan dU untuk ukuran sampel tertentu dan jumlah variabel bebas tertentu dapat dilihat pada tabel Durbin-Watson.

3. Hipotesis dalam pengujian menyatakan tidak ada autokorelasi negatif maupun positif dalam model. Kriteria pengujian dan pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

a. Jika nilai d<dL berarti ada autokorelasi positif dan jika d > 4 – dL berarti ada autokorelasi negatif, sehingga keputusannya adalah menolak hipotesis nol.

b. Jika dU < d < 4 – dU, maka keputusannya adalah menerima hipotesis nol yang berarti tidak ada autokorelasi

c. Jika dL d  dU dan 4 - dU  d  4 - dL maka pengujian yang dilakukan menghasilkan keputusan yang tidak meyakinkan atau ragu-ragu.

c. Uji Heteroskedastisitas

Asumsi ketiga yang harus dipenuhi dalam model regresi linier berganda dengan adalah homoskedastisitas (homoscedasticity) atau tidak terjadi heteroskedastisitas (heteroscedasticity). Homoskedastisitas atau varian konstan menunjukkan distribusi probabilitas sisaan yang sama untuk seluruh nilai variabel bebas (Gujarati, 2004).

Adanya heteroskedastisitas menyebabkan estimator tidak memiliki varian yang minimum atau tidak menghasilkan estimator yang BLUE, hanya Linier Unbiased Estimator (LUE). Konsekuensi jika tetap menggunakan metode

OLS dengan adanya heteroskedastisitas adalah penghitungan standard error tidak bisa dipercaya kebenarannya dan interval estimasi dan uji hipotesis berdasarkan uji t dan uji F tidak bisa dipercaya untuk evaluasi hasil regresi.

Untuk mendeteksi adanya masalah heteroskedastisitas bisa dilakukan dengan uji Park. Metode deteksi heteroskedastisitas dengan uji Park mempunyai tiga prosedur utama. Pertama, melakukan regresi terhadap model dengan metode OLS dan mendapatkan nilai residualnya. Kedua, melakukan regresi terhadap residual kudrat dengan semua variabel bebas. Ketiga, melakukan uji t terhadap koefisien persamaan yang dihasilkan. Jika nilai t hitung lebih kecil dibandingkan nilai t tabel atau probabilitas t lebih besar dari =0,05 maka tidak ada masalah heteroskedastisitas. Sebaliknya, jika nilai t hitung lebih besar daripada nilai t tabel atau probabilitas t kurang dari =0,05 maka terdapat masalah heteroskedastisitas.

d. Uji Multikolinieritas

Asumsi terakhir yang harus dipenuhi dalam melakukan analisis regresi linier berganda adalah tidak adanya multikolinieritas atau hubungan linier diantara variabel-variabel bebasnya (Gujarati, 2004). Salah satu metode untuk mendeteksi adanya multikolinieritas dalam sebuah model adalah dengan menghitung Variance Inflation Factor (VIF) dan Torelance (TOL). Nilai VIF dan TOL bisa

menunjukkan ada tidaknya multikolinieritas diantara variabel bebas. Tanda bahwa tidak ada multikolinieritas adalah jika nilai VIF lebih kecil dari sepuluh dan nilai TOL mendekati satu.

3.2.4. Pengujian Parameter Model

Tahapan selanjutnya yang dilakukan setelah model fungsi produksi didapatkan adalah melakukan pengujian hipotesis secara statistik terhadap semua parameter dalam model. Tujuannya adalah untuk menguji kelayakan model dan

menguji apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis.

Beberapa pengujian statistik yang dilakukan terhadap paremeter model adalah uji koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi parsial (uji t) dan uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-test/uji F).

3.2.4.1.Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji kesesuaian (goodness of fit) dilakukan dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan. Nilai R2 menunjukkan seberapa besar variabel bebas secara bersama-sama mampu menjelaskan proporsi keragaman variabel tidak bebasnya, atau berapa persen tingkat output dapat dijelaskan oleh faktor-faktor produksi yang digunakan (Gujarati, 2004). Koefisien determinasi merupakan nilai korelasi yang dikuadratkan, sehingga nilainya positif dan berkisar antara nol sampai satu.

Nilai R2 yang semakin mendekati nol menyatakan hubungan antara variabel tidak bebas dan variabel bebas tidak kuat. Sebaliknya, Nilai R2 yang mendekati satu memiliki arti hubungan antara variabel tidak bebas dan variabel bebas sangat kuat atau dengan kata lain perubahan pada variabel tidak bebas lebih banyak dijelaskan oleh variabel dari dalam model.

3.2.4.2.Uji Koefisien Regresi Secara Menyeluruh (Uji F)

Tingkat kekuatan hubungan antara variabel tidak bebas dengan semua variabel bebas yang menjelaskan secara menyeluruh dalam sebuah persamaan regresi dapat diketahui dengan menggunakan uji statistik F (Gujarati, 2004).

Prosedur pengujian dengan uji F adalah sebagai berikut:

1. Menyusun hipotesis signifikansi (probabilitas) dalam output hasil pengolahan. Kriteria pengujian dan pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

a. Jika Fobs > Ftabel ( ;k-1,n-k) atau probabilitas F kurang dari =0,05 maka H0

ditolak dan H1 diterima. Artinya secara bersama-sama variabel-variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel tidak bebas.

b. Jika Fobs < Ftabel ( ;k-1,n-k) atau probabilitas F lebih dari =0,05 maka H0

diterima dan H1 ditolak. Artinya varibel bebas secara bersama-sama tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel tidak bebas.

3.2.4.3.Uji Koefisien Regresi Parsial (Uji t)

Uji koefisien regresi secara parsial (uji t) digunakan untuk menguji tingkat signifikansi masing-masing koefisien variabel bebas secara individu terhadap variabel tidak bebas (Gujarati, 2004). Beberapa langkah dalam pengujian koefisien regresi secara parsial (uji t) adalah sebagai berikut:

1. Menyusun hipotesis untuk masing-masing koefisien regresi

H0 : i = 0, artinya tidak ada pengaruh variabel bebas Xi terhadap variabel tidak bebas Y.

H1 : i ≠ 0, artinya ada pengaruh variabel bebas Xi terhadap variabel tidak bebas Y, i = 0,1,2, ... k

2. Mencari nilai t hitung untuk masing-masing koefisien regresi dan mencari nilai t tabel.

3. Membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau dengan melihat nilai signifikansi (probabilitas) untuk membuat keputusan menolak atau menerima H0. Alternatif keputusannya adalah:

a. jika tobs  t/2;(nk) atau probabilitas t kurang dari =0,05, maka H0

ditolak atau H1 diterima. H0 ditolak berarti bahwa variabel bebas ke-i berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas yang diteliti.

b. Jika nilai tobs  t/2;(nk) atau probabilitas t lebih dari =0,05, maka H0

diterima atau H1 ditolak. H0 diterima berarti bahwa variabel bebas ke-i tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas yang diteliti.

Berdasarkan hasil pengujian secara parsial dengan uji-t, dapat diketahui variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan maupun yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap model estimasi.

GAMBARAN UMUM

4.1. Gambaran Umum Karakter Demografi Petani Kedelai

Karakter demografi petani kedelai yang dibahas dalam penelitian ini mencakup jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan. Berdasarkan hasil pengolahan data sekunder survei SOUT kedelai yang dilaksanakan oleh BPS pada tahun 2010 diperoleh informasi untuk wilayah Pulau Jawa sebanyak 90,08 persen petani kedelai adalah laki-laki dan 9,92 persennya perempuan.

Dari segi usia, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1 lebih dari setengah (52,48%) petani kedelai telah berusia 50 tahun atau lebih. Hanya 1,8 persen petani kedelai di Pulau Jawa yang berusia kurang dari 30 tahun, selanjutnya ada 14,93 persen petani berusia diantara 30-39 tahun, dan 30,7 persen berusia diantara 40-49 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muda tidak terlalu tertarik untuk melakukan usaha budi daya tanaman kedelai.

Gambar 4.1. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut kelompok umur

15-29 tahun

Tingkat pendidikan petani merupakan salah satu indikator demografi yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan petani dan tingkat pengetahuan/keterampilan petani dalam menerapkan teknologi budi daya tanaman kedelai. Gambar 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar petani kedelai berpendidikan sekolah dasar (46,66%) dan tidak tamat sekolah dasar (37,94%).

Data ini menunjukkan bahwa budi daya kedelai di Pulau Jawa banyak dilakukan oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah, sedangkan penduduk yang memiliki pendidikan tinggi nyaris tidak tertarik sama sekali terhadap usaha ini.

Gambar 4.2. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan

4.2. Gambaran Umum Usaha Tani Kedelai

Gambaran umum tentang usaha tani kedelai di Pulau Jawa tahun 2010 merupakan sebuah deskripsi tentang input produksi dan informasi lainnya yang berkaitan dengan usaha tani kedelai. Tabel 4.1 menyajikan deskripsi singkat dari rata-rata penggunaan faktor produksi yang dipelajari dalam penelitian ini.

Tidak tamat SD

Tabel 4.1. Rata-rata penggunaan input produksi di Pulau Jawa tahun 2010

Kedelai merupakan jenis tanaman pangan yang dapat diusahakan pada lahan sawah maupun lahan bukan sawah. Sebanyak 47,56 persen rumah tangga usaha tani kedelai di Pulau Jawa mengusahakan kedelai pada lahan sawah, dan 52,44 persen mengusahakannya pada lahan bukan sawah. Kedelai di Pulau Jawa pada umumnya (80,53%) diusahakan rumah tangga pada lahan milik sendiri.

Kemudian sebanyak 9,47 persen rumah tangga mengusahakan kedelai pada lahan sewa, dan sebanyak 10 persen pada lahan bebas sewa dan lainnya.

Rata-rata luas panen petani kedelai di Pulau Jawa tahun 2010 ialah seluas 2.522,46 m2 dengan standar deviasi 1.770,62. Luas panen yang paling rendah ialah sebesar 250 m2 dan yang tertinggi ialah 18.000 m2. Berdasarkan data ini bisa dilihat bahwa perbedaan pada luas panen kedelai memiliki rentang yang jauh antara nilai paling kecil dan paling besar.

Berdasarkan Gambar 4.3, lebih dari setengah (58,37%) petani kedelai di Pulau Jawa melakukan usahanya dengan luas panen kurang dari 2.500 m2. Hanya

sedikit (1,16%) petani yang luas panennya mencapai luas satu hektar atau lebih.

Jika luas panen ini dianggap merepresentasikan komponen modal dalam usaha tani kedelai, maka dapat disimpulkan bahwa usaha tani kedelai di Pulau Jawa mayoritas dilakukan oleh petani dengan modal kecil.

Gambar 4.3. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut kelompok luas panen

4.2.2. Benih

Penggunaan varietas benih sangat menentukan produktivitas kedelai yang diusahakan. Rumah tangga sebenarnya diarahkan untuk menggunakan benih dengan produktivitas tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bibit unggul untuk di Pulau Jawa sudah cukup tinggi. Sebanyak 72,74 persen rumah tangga usaha tani kedelai menggunakan bibit unggul dan 27,26 persen menggunakan benih lokal. Namun berdasarkan sertifikasi benih yang digunakan, ternyata penggunaan benih yang bersertifikat masih di bawah 50 persen.

0% 50% 100%

Persentase Petani Kedelai Menurut Kelompok Luas Panen (%)

<2.500 m2 58,37

2.500-4.999 m2 31,03

5.000-7.499 m2 8,07

7.500-9.999 m2 1,38

>=10.000 m2 1,16

Sebanyak 53,96 persen rumah tangga masih menggunakan benih yang tidak bersertifikat, dan 46,04 persen sisanya menggunakan benih bersertifikat.

Rata-rata jumlah benih yang digunakan ialah sebanyak 57,88 kg/hektar.

Penggunaan benih paling rendah sebanyak 5 kg/hektar dan tertinggi ialah 160 kg/hektar. Dari segi angka rata-rata jumlah benih yang digunakan, penggunaan benih dalam usaha tani kedelai di Pulau Jawa sudah cukup baik karena telah berada dalam kisaran angka yang ideal yaitu 50-75 kg/hektar. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (50,83%) petani kedelai di Pulau Jawa menggunakan benih dalam jumlah yang tepat.

Gambar 4.4. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut jumlah benih yang digunakan

4.2.3. Pupuk

Rata-rata jumlah pupuk urea yang digunakan ialah sebanyak 163,34 kg/hektar. Penggunaan pupuk urea bervariasi mulai dari yang tidak menggunakan sampai yang tertinggi sebesar 601,23 kg/hektar. Berdasarkan angka rata-rata

0% 50% 100%

Persentase Petani Kedelai Menurut Jumlah Benih yang Digunakan (%)

<25 kg/ha 4,55

25-49,99 kg/ha 25,51

50-75 kg/ha 50,83

75,01-100 kg/ha 18,32

> 100 kg/ha 0,79

penggunaan pupuk urea ini sebenarnya penggunaan pupuk urea oleh petani telah melebihi dosis yang ideal yaitu 50-75 kg/hektar.

Gambar 4.5 menunjukkan bahwa lebih dari setengah (71,22%) petani kedelai menggunakan pupuk urea dengan dosis lebih dari 75 kg/hektar, dan hanya 9,54 persen yang menggunakannya pada dosis 50-75 kg/hektar. Namun di luar kg/hektar. Penggunaan pupuk TSP/SP36 bervariasi mulai dari yang tidak menggunakan sampai yang tertinggi sebesar 300 kg/hektar. Tidak seperti penggunaan pupuk urea, rata-rata penggunaan pupuk TSP/SP36 pada tanaman kedelai telah cukup baik. Rata-rata penggunaan pupuk TSP/SP36 oleh petani di Pulau Jawa telah berada pada kisaran dosis yang tepat yaitu 50–100 kg/hektar.

0% 50% 100%

Persentase Petani Kedelai Menurut Jumlah Pupuk Urea yang Digunakan (%)

Walaupun angka rata-rata penggunaan pupuk TSP/SP36 telah berada pada kisaran dosis yang tepat, tetapi berdasarkan data pada Gambar 4.6 ternyata sebenarnya petani yang menggunakan pupuk TSP/SP36 pada dosis yang tepat hanya sebanyak 17,53 persen. Kelompok yang paling besar ialah kelompok petani kedelai yang tidak menggunakan pupuk TSP/SP36 (37,58%). Jika persentase petani yang tidak menggunakan pupuk TSP/SP36 ini dijumlahkan dengan 9,08 persen petani yang menggunakan pupuk TSP/SP36 dalam dosis kurang dari 50 kg/hektar, maka akan didapat sekitar 46,66 persen petani kedelai yang menggunakan pupuk TSP/SP36 kurang dari dosis yang seharusnya digunakan.

Gambar 4.6. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut jumlah pupuk TSP/SP36 yang digunakan

Rata-rata jumlah pupuk KCl yang digunakan ialah sebanyak 4,70 kg/hektar. Penggunaan pupuk KCl bervariasi mulai dari yang tidak menggunakan sampai yang tertinggi sebesar 300 kg/hektar.

0% 50% 100%

Persentase Petani Kedelai Menurut Jumlah Pupuk TSP/SP36 yang Digunakan (%)

Gambar 4.7. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut jumlah pupuk KCl yang digunakan

Berbeda dengan tingkat penggunaan pupuk urea dan TSP/SP36, rata-rata penggunaan pupuk KCl oleh petani di Pulau Jawa sangat rendah. Dapat dilihat pada Gambar 4.7, sebagian besar petani tidak menggunakan pupuk KCl dalam usahanya. Hal ini mengakibatkan angka penggunaan KCl masih berada di bawah dosis yang dianjurkan (50–100 kg/hektar).

4.2.4. Pestisida

Ada beberapa hal yang bisa mengurangi tingkat produksi usaha tani kedelai, salah satu hal diantaranya ialah serangan hama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada cukup banyak rumah tangga usaha kedelai di Pulau Jawa yang mengalami serangan hama. Sebanyak 69,38 persen rumah tangga usaha kedelai di Pulau Jawa mengalami serangan hama.

0% 50% 100%

Persentase Petani Kedelai Menurut Jumlah Pupuk KCl yang Digunakan (%)

Tidak menggunakan 95,76

<50 kg/ha 1,54

50-100 kg/ha 0,7

100,01-150 kg/ha 0,57

> 150 kg/ha 1,43

Gambar 4.8. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut tingkat serangan hama yang dialami

Namun dari 69,38 persen rumah tangga tersebut hanya 9,04 persen yang mengalami serangan hama pada tingkatan yang berat, sisanya 26,14 persen mengalami serangan hama pada tingkatan sedang dan 34,19 persen mengalami serangan hama pada tingkatan ringan (Gambar 4.8). Pengendalian hama dengan secara kimiawi melalui penggunaan pestisida ialah cara yang paling banyak dilakukan oleh petani. Pada rumah tangga usaha yang tanaman kedelainya terkena serangan hama sebanyak 81,92 persen melakukan upaya pengendalian hama secara kimiawi.

Rata-rata jumlah pestisida yang digunakan ialah sebanyak 700,20 cc/hektar. Penggunaan pestisida bervariasi mulai dari yang tidak menggunakan sampai yang tertinggi sebesar 11.200 cc/hektar. Berdasarkan Gambar 4.9 ada 41,65 persen petani kedelai yang tidak menggunakan pestisida. Untuk petani yang menggunakan pestisida, paling banyak berada kelompok penggunaan pestisida di bawah 500 cc/hektar (18,05%) dan 500-999,99 cc/hektar (16,52%). Hal ini sesuai dengan data pada Gambar 4.8 bahwa sebagian besar petani yang mengalami gangguan hama mengalami gangguan hama dalam intensitas ringan sehingga hanya memerlukan penggunaan pestisida dalam jumlah yang lebih sedikit.

Tidak

Gambar 4.9. Persentase petani kedelai di Pulau Jawa menurut jumlah pestisida yang digunakan

4.2.5. Tenaga Kerja

Rata-rata jumlah tenaga kerja yang digunakan ialah sebanyak 162,16 OH/hektar. Jumlah penggunaan tenaga kerja paling sedikit ialah 32,01 OH/hektar dan tertinggi 319,83 OH/hektar. Rata-rata jumlah tenaga kerja dalam usaha tani

Rata-rata jumlah tenaga kerja yang digunakan ialah sebanyak 162,16 OH/hektar. Jumlah penggunaan tenaga kerja paling sedikit ialah 32,01 OH/hektar dan tertinggi 319,83 OH/hektar. Rata-rata jumlah tenaga kerja dalam usaha tani

Dokumen terkait