TINJAUAN PUSTAKA
D. Kerangka Pikir
Pelayanan bimbingan dan konseling semakin populer dikenal oleh masyarakat, khususnya di sekolah, sebab pelayanan bimbingan dan konseling terus digalakkan pelaksanaannya. Bimbingan dan konseling pada dasarnya merupakan upaya bantuan untuk mewujudkan perkembangan manusia secara optimal baik secara kelompok maupun individual, sesuai dengan hakikat kemanusiaannya dengan berbagai potensi, kelebihan dan kekurangan, kelemahan, serta permasalahannya.
Keberadaan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah dipertegas oleh Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990 (tentang Pendidikan Menengah). Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa:
1. Bimbingan dalam rangka menemukan pribadi siswa, dimaksudkan untuk membantu siswa mengenal kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya;
2. Bimbingan dalam rangka mengenal lingkungan, dimaksudkan untuk membantu siswa menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, ekonomi, budaya serta alam yang ada;
3. Bimbingan dalam rangka merencanakan masa depan, mempersiapkan diri untuk langkah yang dipilihnya setelah tamat belajar pada sekolah menengah serta kariernya di masa depan (Prayitno, 2004: 30)
Proses pelaksanaan bimbingan dan konseling tentunya melibatkan anggota masyarakat, lingkungan, dan kebudayaan yang ada. Selama ini nilai-nilai bimbingan dan konseling yang diterapkan di Indonesia sebagian besar bersumber dari teori-teori barat dan belum banyak mengembangkan budaya lokal sebagai sumber pengembangan baru. Padahal kebudayaan sebagai suatu proses yang menjangkau semua lini kehidupan masyarakat memegang peran yang penting dan sebagai generasi muda kita wajib untuk mempelajari, menghubungkan nilai kebudayaan yang dipelajari untuk selanjutnya dikembangkan ke generasi selanjutnya.
Budaya karia sebagai salah satu falsafah hidup masyarakat Muna mengajarkan para remaja khususnya remaja perempuan untuk mengenali dirinya, mengenali potensi yang dimiliki, mengembangkan diri, memahami kodratnya sebagai seorang wanita, calon istri, calon ibu serta mampu bertanggung jawab sebagai perempuan dewasa dalam masyarakat. Prosesi budaya karia terdiri dari delapan langkah yang harus dilaksanakan yakni:
a. Kafoloku (dimasukkan dalam ruang pingitan)
Proses kafoloku merupakan saat dimana peserta karia dimasukkan dalam tempat yang telah dikemas khusus, tempat karia yang disebut suo khusus bagi putri-putri raja dan songi untuk golongan masyarakat umum. Tujuan dari prosesi ini adalah agar peserta karia memahami bahwa mereka berasal dari dalam rahim seorang ibu (tempat yang gelap) dan suatu saat mereka juga harus siap untuk melakoni peran seorang ibu yang mengandung.
Beberapa perangkat dimasukkan dalam ruang pingitan seperti palangga, padjamara, kampak, kuncup bunga pinang, jagung dan umbi-umbian, kapas dan benang, anyaman daun kelapa, tikar, dan kain putih. Perubahan yang diharapkan dari proses
kafoloku yaitu agar persepsi peserta karia tentang kehidupan pernikahan itu berubah
bahwasanya kehidupan pernikahan itu penuh tantangan dan sebagai remaja perempuan hendaknya mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan tentang kehidupan termasuk kehidupan berkeluarga.
b. Kabhansule (perubahan posisi)
Proses kabhansule yaitu proses perubahan posisi yang dipingit. Perubahan yang diharapkan dari prosesi ini adalah adanya keseriusan dari peserta karia untuk menghadapi tantangan kehidupan di masa mendatang dan ada keinginan yang kuat dari mereka untuk memahami seluk beluk kehidupan rumah tangga.
c. Kalempagi (proses peralihan)
Tujuan yang ingin dicapai dari prosesi kalempagi adalah agar peserta karia dapat berubah menjadi dewasa dan melewati proses peralihan dari remaja ke usia dewasa dengan baik serta mampu mengembangkan diri dalam masyarakat.
d. Kafosampu (pemindahan peserta karia ke panggung)
Pada prosesi kafosampu peserta dipindahkan dan duduk di atas panggung dengan khusyu. Diharapkan dari prosesi ini peserta karia dapat berubah menjadi perempuan yang lebih siap dalam menghadapi dan menjalani kehidupan dunia yang penuh tantangan serta menjadi pribadi yang selalu menjaga keimanan kepada penciptanya.
e. Katandano wite (sentuhan tanah)
Katandano wite yaitu sentuhan tanah pada ubun-ubun, dahi, dan selanjutnya
seluruh persendian hingga pada telapak kaki peserta karia. Hasil yang diharapkan dari prosesi ini adalah peserta karia dapat mengenali dirinya secara utuh sebagai perempuan dewasa yang telah siap untuk menjalani kehidupan berumah tangga.
f. Linda (tari)
Perubahan yang diharapkan dari prosesi menari tari linda yaitu timbulnya kemampuan untuk menunjukkan sesuatu yang indah dan berseni termasuk dalam hal mengenali serta mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki. Selain itu, peserta karia diharapkan sudah mampu hidup mandiri dan bersosialisasi dengan lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat.
Kahapui adalah acara ritual pemotongan pisang yang telah ditanam atau
disiapkan di depan rumah pembuat acara karia. Tujuan dari pelaksanaan kahapui adalah sebagai wujud rasa syukur orang tua dan keluarga peserta karia atas selesainya rangkaian acara. Pemotongan pisang menjadi simbol bahwa peserta karia menjadi pewaris generasi berikutnya dan mereka diharapkan mampu meneruskan generasi keluarga yang lebih baik dan membanggakan.
h. Kaghorono bhansa (melepaskan etika buruk)
Kaghorono bhansa adalah proses menghanyutkan mayang pinang yang
digunakan selama masa pingitan dalam ruang songi atau suo. Perubahan yang diharapkan adalah peserta karia dapat berubah menjadi individu yang lebih baik dan melepaskan segala etika buruk yang selama ini mereka miliki. Untuk lebih jelasnya maka kita dapat melihat diantara langkah-langkah ini ada yang mengandung nilai bimbingan dan konseling seperti yang digambarkan pada tabel berikut:
Tabel 2.2. Prosesi dan Nilai Budaya Karia Prosesi Budaya
Karia
Nilai-nilai yang ditanamkan Bidang Bimbingan dan Konseling 1. Kafoluku Pengenalan diri (who am I) Keluarga
2. Kabhansule Pemahaman peran Keluarga
3. Kalempagi Pemahaman diri Keluarga
4. Katandano Wite Sifat rendah hati dan amanah
Pribadi/sosial
Kedelapan langkah dalam prosesi budaya karia secara keseluruhan mengandung makna pembelajaran bagi seorang remaja perempuan. Secara umum tujuan pelaksanaan budaya karia sejalan dengan sasaran bimbingan dan konseling yaitu untuk mengenal, memahami dan mengembangkan diri tiap individu secara optimal sehingga mampu bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, dan lingkungannya. Adapun bagan kerangka pikir dari penelitian ini yaitu:
Prosesi Budaya Karia: 1. Kafoluku 2. Kabhansule 3. Kalempagi 4. Katandano Wite 5. Linda Bimbingan dan Konseling Internalisasi Budaya Karia dalam layanan dasar Bimbingan Keluarga
Bimbingan Keluarga
Gambar 2.2. Kerangka Pikir 1. Menganalis nilai-nilai budaya
karia dalam masyarakat Muna
2. Mengidentifikasi implikasi nilai-nilai budaya karia dalam layanan BK
BAB III