• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Teori Penatagunan Tanah

Kemunculan UUPA setelah Indonesia merdeka merupakan wujud untuk memabangun masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yaitu mewujudkan kesehjateraan rakyat. UUPA sendiri terdiri dari lima bagian, yaitu pertama mengenai Undang-Undang tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, kedua tentang ketentuan konversi, ketiga tentang perubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan perombakan hukum agraria menurut UUPA akan diatur tersendiri, keempat tentang hak-hak wewenang Swapraja hapus dan beralih kepada Negara, dan kelima tentang sebutan Undang-Undang Pokok Agraria.

Sedangkan dasar-dasar dan ketentuan pokok UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria adalah sebagai beikut:

1. Bumi, air dan ruang angkasa adalah kekayaan nasional (Pasal 1 Ayat (2)

2. Bumi, air dan ruang angkasa dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 Ayat (1). Dalam hal ini hak menguasai Negara memberi wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi , air, dan ruang angkasa;

12

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Dari ketiga wewenang tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum agraris Indonesia mengandung unsur-unsur hukum benda dan hukum perikatan.

3. Hukum agraria Indonesia adalah hukum adat (Pasal 5) 4. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6)

5. Penguasaan tanah dan pemilikan tanah yang melampaui dilarang (Pasal 7)

6. Yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa hanya warga Negara Indonesia (Pasal 9)

7. Setiap orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif (Pasal 10).12

Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyatnya masih bersifat agraris, dimana perekonomiannya masih bertumpu pada ekonomi pertanian, maka diperlukan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang

12 Ibid., hlm. 110-112.

13

status kepemilikan tanah. Indonesia memiliki ketentuan khusus yang mengatur tentang pertanahan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria yang kemudian disebut UUPA. Perlindungan terhadap tanah pertanian diatur lebih lanjut dalam UUPA Pasal 7, Pasal 10 Ayat (1),13 dan Pasal 17.14

Peraturan yang mengatur pemilikan tanah secara absentee adalah Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah pemberian ganti kerugian, Pasal 3 Ayat 1 dan Ayat 3, jo PP Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961. Dan dasar hukum dari pada larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee adalah Pasal 10 Ayat (1) UUPA.

Berkenaan dengan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee (guntai) dalam UUPA, tidak secara khusus ditemukan istilah absentee.

Akan tetapi, dalam Pasal 10 UUPA, dikatakan bahwa setiap orang dan badan hukum yang memiliki suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Dalam penjelasan umumnya

13Ayat (1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

14 Pasal 17 Tanah yang merupakan kelebihan batas maksimum diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Kelebihan luas maksimum perlu diatur agar tercapainya pemerataan pemilikan tanah oleh masyarakat.

14

dikatakan bahwa, asas ini telah dijadikan dasar perubahan stuktur pertanahan hampir diseluruh dunia. Dan untuk memaksakan asas ini perlu diwujudkan batas maksimum dan minimum luas tanah pertanian yang boleh dimiliki oleh seorang petani agar dapat hidup layak.

2. Teori Negara Kesehjateraan/ Grand Theory

Grand Theory dalam penelitian ini menggunakan teori Negara Kesejahteraan (Welfare State).15 Menurut konsep Negara Kesejahteraan, tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara tersebut.

Tanah sebagai salah satu unsur yang sangat penting dari pada kemakmuran rakyat harus dapat memberikan kebahagiaan dan kesehjateraan lahir bathin bagi seluruh rakyat Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara menguasai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun

15 Konsep negara kesejahteraan pada dasarnya adalah model ideal pembangunan yang menempatkan negara sebagai lembaga yang berperan penting dalam memberikan pelayanan sosial secara menyeluruh terhadap warga negara. Lihat Firman Muntaqo, Win-Win Solution Sebagai Prinsip Pemanfaatan Tanah Dalam Investasi Bidang Perkebunan Yang Mensejahterakan Rakyat, (Materi Kuliah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya), hlm.

45.

15

penguasaan ini dibatasi yaitu harus dipergunakan untuk sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat.16

3. Teori Keadilan/ Middle Range Theory

Middle Range Theory dalam penelitian ini menggunakan Teori Keadilan. Teori ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna melengkapi kebutuhan pembahasan mengenai dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah.

Secara teoritis kepemilikan tanah pertanian secara absentee akan membawa akibat negatif kepada produktitas tanah pertanian. Karena pemilik tanah yang bersangkutan tidak dapat mengusahakan sendiri tanah pertaniannya. Selain itu, juga memberikan kemungkinan bagi orang-orang kaya untuk menguasai tanah pertanian yang sangat luas dan menjadikannya sarana eksploitasi terhadap masyarakat petani yang dianggap miskin dan bodoh. Kelanjutannya pun sudah pasti yakni terhimpunnya tanah pertanian dalam kekuasaan tuan-tuan tanah (landlord). Hal ini lah yang dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial dibidang penguasaan tanah pertanian.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan segala kekayaan yang tergantung didalamnya adalah dikuasai oleh

16 CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta:

Rineka Cipta, 1997), hlm. 20.

16

negara dan diusahakan sebesar-besarnya guna meningkatkan kemakmuran masyarakat banyak. Artinya penguasaan tanah pertanian oleh kalangan tertentu saja, apalagi bukan oleh petani tidak diperbolehkan. Jadi secara konstitusional penguasaan tanah pertanian wajb diatur oleh pemerintah negara agar tercipta keadilan sosial.

4. Teori Kepastian Hukum

Seiring terjadi permasalahan dalam upaya mencapai tujuan kepastian hukum dari dilakukannya pelaksanaan larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee, karena sekalipun ada larangan kepemilikan tersebut masih saja muncul pihak-pihak yang secara material akhirnya bisa menguasai tanah pertanian tersebut. Hal ini terjadi karena melanggar asas yang ada dalam Pasal 10 UUPA tentang larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Karena asas tersebut membuka kesempatan pihak lain untuk memahami esensi yang merupakan ketentuan dari absentee.

Timbulnya larangan kepemilikan tanah secara absentee secara filosofis merupakan suatu perlindungan hukum terhadap kepentingan para petani yang relatif lemah jika berhadapan dengan para pemilik modal yang melihat tanah sebagai faktor produksi semata. Perlindungan ini diimplementasikan dalam UUPA dan dijadikan salah satu asas dalam rangka mengadakan sturkturisasi pemilikan tanah pertanian.

17

Sebagai patokan untuk melakukan perombakan pemilikan tanah telah dikeluarkan Undang-Undang Landreform yang menetapkan luas maksimum tanah pertanian yang bisa dimiliki seseorang. Patokan ini juga berlaku sebagai parameter untuk menentukan luas tanah pertanian yang dapat dimiliki secara absentee. Untuk mengendalikan restrukturisasi kepemilikan tanah pertanian kepada orang yang memiliki kelebihan tanah pertanian dilarang mengalihkannya secara langsung kepada pihak lain dengan ancaman pidana.17

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang berhubungan dengan larangan pemilikan tanah secara absentee, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian;

2. Peraraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Pemberian Ganti Kerugian yang juga dikenal dengan Peraturan Redistribusi (selanjutnya idisebut Undang-undang Redistribusi);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961 Pelaksanaan Pembagian Tanah Pemberian Ganti Kerugian;

17 Undang-undang Nomor 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Pasal 10 jo Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Pasal 19.

18

4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian secara Absente e (Guntai) Bagi para Pensiun Pegawai Negeri.

5. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak lanjut Pelaksanaan land Reform.

5. Teori Hak Menguasai Dari Negara Atas Tanah

Negara kesehjateraan seperti yang dimaksud pada penjelasan diatas adalah adanya peran serta yang aktif dari pemerintah dalam kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Salah satu penerapan prinsip tersebut adalah adanya peran aktif negara dalam penguasaan atas tanah. Hal tersebut merupakan aplikasi dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPA, yaitu:

“Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.18

Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bagi pembentukan politik dan Hukum Agraria nasional yang berisi perintah kepada Negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang diletakkan dalam penguasaan Negara itu digunakan untuk

18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.

19

mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.19 Penguasaan oleh Negara atas tanah merupakan bentuk dari konsep Negara Kesehjateraan (welfare state), dan bukan berarti penguasaan dalam arti kekuasaan mutlak yang tidak diperuntukkan untuk kemakmuran rakyat.

Negara menguasai atas tanah agar digunakan sebagaimana amanatUUD 1945 untuk mencapai kemakmuran dan kesehjateraan rakyat.

Menurut aturan Pasal 2 Ayat (1) UUPA di atas, yang menyatakan

“dikuasai” oleh Negara bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia pada tingkatan tertinggi untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya.

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.20

Adapun kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, baik yang dimiliki oleh seseorang maupun

19 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.

50. 20 Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hlm. 162.

20

yang tidak. Kekuaaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak tersebut, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah kekuasaan Negara tersebut.21

Dokumen terkait