• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori

Dalam dokumen BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang (Halaman 31-36)

Ketahanan pangan diantaranya mencakup berbagai aspek ketersediaan pangan, konsumsi pangan hingga status gizi tingkat rumah tangga dan individu. Keadaan ketahanan pangan sangatlah penting diperhatikan karena dampaknya tidak hanya terjadinya rawan pangan saja tetapi dalam jangka panjang akan berpengaruh negatif pada kualitas sumberdaya manusia. Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi, namun dinilai belum mencukupi dalam konteks ketahanan pangan karena masih banyak variabel lain yang berpengaruh untuk mencapai ketahanan pangan tingkat daerah dan rumah tangga.

32

Berdasarkan Jawa Barat dalam Angka 2015, Jawa Barat pada tahun 2014 memiliki jumlah penduduk yang besar sejumlah 46.029.668 jiwa. Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat maka dapat dipastikan bahwa kebutuhan akan pangan juga akan semakin meningkat, dengan kata lain terjadi peningkatan konsumsi. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat yang masih tergolong perdesaan dan perekonomiannya masih menitikberatkan pada sektor pertanian terutama komoditas padi. Selain itu, Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah penyangga Ibukota Negara Republik Indonesia. Hal ini menyebabkan lahan pertanian khususnya lahan sawah semakin sedikit karena banyak beralih fungsi menjadi permukiman dan industri. Padahal, sektor pertanian di Kabupaten Bogor memegang peranan penting dalam PDRB. Luas lahan sawah di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 46.589 Ha dibandingkan dengan tahun sebelumnya seluas 47.663 Ha (BPS, 2014).

Kota Banjar merupakan daerah pengembangan di Provinsi Jawa Barat yang tergolong wilayah perkotaan. Daerah perkotaan identik dengan lemahnya potensi pertanian, namun berbeda dengan Kota Banjar. Meskipun berstatus wilayah perkotaan sebagian penduduk Kota Banjar masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencahariannya. Menurut BPS pada tahun 2014, Kota Banjar adalah salah satu kota di Jawa Barat yang luas lahan pertaniannya masih cukup luas, kurang lebih duaperlima wilayahnya adalah pesawahan, perkebunan, dan hutan rakyat (BPS, 2014).

Jumlah penduduk yang besar mengakibatkan tidak meratanya kesejahteraan penduduk. Salah satu permasalahannya ialah kemiskinan. Kemiskinan akan mempengaruhi perbedaan daya beli seseorang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari (Arijal,2013). Adapun jumlah penduduk miskin terbanyak di Jawa Barat ialah Kabupaten Bogor dan jumlah penduduk miskin terendah ialah Kota Banjar. Perbedaan tingkat kemisikinan akan mempengaruhi daya beli pangan yang rendah, sehingga sebagian rumahtangga terfokus mengkonsumsi pangan berharga murah, contohnya adalah sumber karbohidrat. Kabupaten Bogor merupakan produsen pangan

33

sumber karbohidrat yang cukup dominan (BKP, 2014). Di satu sisi, Kota Banjar merupakan daerah pengembangan yang memiliki potensi daerah pertanian yang cukup tinggi. Hampir 60 persen penduduk Kota Banjar bermata pencaharian sebagai petani. Sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar 21 persen dari total kegiatan ekonomi (BPS, 2014). Menurut Ariani (1993), daerah perkotaan identik mengkonsumsi pangan berenergi lebih sedikit dan mengkonsumsi protein lebih besar dibandingkan pedesaan. Tetapi, justru pola konsumsi energi di Kota Banjar relatif mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat (BKP,2014).

Pola konsumsi khususnya konsumsi pangan rumah tangga merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesehatan dan produktivitas rumah tangga. Dari sisi norma gizi terdapat standar minimum jumlah makanan yang dibutuhkan seorang individu agar dapat hidup sehat dan aktif beraktivitas. Dalam ukuran energi danprotein masing-masing dibutuhkan 2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari (WNPG 2004). Kekurangan konsumsi bagi seseorang dari standar minimum tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang kekurangan konsumsi pangan dalam jumlah dan kualitas (terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia.

Salah satu ukuran untuk mengetahui pola konsumsi pangan adalah dengan kuantitas dan kualitasnya. Kuantitas konsumsi pangan adalah jumlah konsumsi energi dan konsumsi protein, sedangkan kualitas konsumsi dapat diliahat dari indikator pola pangan harapan (PPH). Konsumsi pangan dipengaruhi juga oleh pola makan atau kebiasaan makan. Pola konsumsi masyarakat dapat tercermin dari pola konsumsi pangannya di tingkat rumah tangga yang diindikasikan dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG) masyarakat. Untuk itu, penting diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola konsumsi pangan rumahtangga di Kabupaten Bogor dan Kota Banjar. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.2 Bagan Kerangka Teori.

34 Gambar 1.2Bagan Kerangka Teori

Sumber : Anggoro (2015) dan Cahyaningsih (2008)

Keadaan wilayah yang dimaksud adalah sebagai pembanding untuk menjelaskan kondisi pola konsumsi pangan rumahtangga di Kabupaten Bogor dan Kota Banjar. Dalam hal ini menurut BPS, Kabupaten Bogor merupakan wilayah yang berstatus desa dan Kota Banjar merupakan wilayah yang berstatus kota. Faktor internal seperti karakteristik sosial diantaranya status wilayah, pekerjaan, jumlah anggota rumahtangga, pendidikan, pendapatan, dan proporsi pengeluaran pangan sangat mempengaruhi konsumsi pangan rumahtangga. Status wilayah akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan rumahtangga, tingkat konsumsi energi (TKE) rumahtangga di perdesaan cenderung lebih tinggi dan tingkat konsumsi proteinnya lebih rendah. Begitu sebaliknya pada rumahtangga di perkotaan (Cahyaningsih, 2008). Keadaan Wilayah Kota Banjar Kabupaten Bogor Faktor Internal : Karakteristik rumahtangga - Status wilayah, desa/kota - Pekerjaan kepala

rumahtangga

- Jumlah anggota rumahtangga - Pendidikan kepala

rumahtangga

- Pendapatan rumahtangga - Proporsi pengeluaran pangan Konsumsi pangan rumahtangga : - Tingkat konsumsi energi (TKE) - Tingkat konsumsi protein (TKP)

35

Pekerjaan kepala rumahtangga akan mempengaruhi pola konsumsinya. Kepala rumahtangga yang bekerja akan lebih mudah mengakses pangan jika dibandingkan dengan kepala rumahtangga yang tidak bekerja. Jenis pekerjaan akan menentukan tinggi rendahnya pola konsumsi. Dimana, kepala rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian akan menyebabkan pola konsumsi energi dan protein semakin rendah daripada kepala rumahtangga yang bekerja di sektor non pertanian. Nampaknya, pekerjaan di sektor pertanian kurang dapat menjamin aksesibilitas terhadap pangan dibandingkan pekerjaan di sektor non pertanian seperti sektor industri dan jasa (Ariningsih, 2008). Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat konsumsi energi dan protein adalah jumlah anggota rumah tangga (Tanziha dkk, 2010).

Menurut Hamid dkk (2013) salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan rumah tangga adalah pendidikan kepala rumah tangga. Menurut Cahyaningsih (2008) pendapatan rumah tangga merupakan salah satu variabel yang memberikan pengaruh dominanterhadap pola konsumsi rumahtangga. Menurut Widyanto (2007) proporsi pengeluaran rumahtangga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan rumahtangga. Keadaan wilayah yaitu perbandingan kabupaten/kota antara Kabupaten Bogor dan Kota Banjar yang dapat mempengaruhi faktor eksternal seperti produksi pangan, ketersediaan pangan, dan distribusi pangan.

1.9 Hipotesis

1. Perbedaan status wilayah yaitu desa/kotaakanmempengaruhi tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP) baik di Kabupaten Bogor ataupun di Kota Banjar.

2. Pekerjaan kepala rumahtangga yaitu bekerja/tidak bekerja akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP) baik di Kabupaten Bogor ataupun di Kota Banjar.

36

3. Jumlah anggota rumahtangga akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP) baik di Kabupaten Bogor ataupun di Kota Banjar.

4. Pendidikan kepala rumahtangga yaitu berdasarkan tahun sukses akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP) baik di Kabupaten Bogor ataupun di Kota Banjar.

5. Pendapatan rumahtangga akan mempengaruhi besar tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP) baik di Kabupaten Bogor ataupun di Kota Banjar.

6. Proporsi pengeluaran pangan akan mempengaruhi besar tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP) di Kabupaten Bogor ataupun di Kota Banjar.

7. Perbedaan status wilayah, sektor pekerjaan, jumlah anggota rumahtangga pendidikan, pendapatan rumahtangga, dan proporsi pengeluaran pangan akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP) baik di Kabupaten Bogor ataupun di Kota Banjar.

Dalam dokumen BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang (Halaman 31-36)

Dokumen terkait