BAB I PENDAHULUAN
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
Sebelum peneliti mengetahui kegunaan dari kerangka teori, maka peneliti perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai arti teori. Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.23
Sedangkan menurut Bintaro Tjokromijoyo dan Mustofa Adidjoto “teori diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan causal yang logis di antara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai
23Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal.126
kerangka berpikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut”.24
Adapun teori sistem dari Mariam Darus yang mengemukakan bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.25
Dari beberapa pengertian teori di atas dapat disimpulkan bahwa maksud kerangka teori adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta pengetahuan kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai lanjutan dari teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan untuk proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan adanya gejala-gejala yang timbul. Dengan kata lain menurut M.Solly Lubis, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis.26
Menurut Soejono Soekanto, kerangka teori pada penelitian hukum sosiologis atau empiris yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum tanpa acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan kurang relevan bagi ilmu hukum.27
24Bintaro Tjokroamidjoyo dan Mustofa Adijoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Haji Mas Agung, Jakarta, 1998, hal 12
25Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung, Alumni, 1983, hal 15
26M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.13
27Soejono Soekanto, Op.Cit, hal 127
Berkenaan dengan penelitian ini, maka kerangka teori diarahkan secara khusus pada ilmu hukum yang mengacu pada penelitian hukum normatif. Penelitian ini berupaya guna menganalisis secara hukum terhadap pemberian kredit secara cross collateral, artinya memahami asas hukum perjanjian (sebagai subjek), asas hukum jaminan (sebagai objek) serta akibat hukumnya bila terjadi wan prestasi.
Dalam perjanjian kredit yang dilaksanakan antara kreditur dan debitur memuat seperangkat hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan atau ditepati oleh para pihak yang dinamakan prestasi. Menepati (“nakoming”) berarti memenuhi isi perjanjian, atau dalam arti yang lebih luas melunasi (“betaling”) pelaksanaan perjanjian, yaitu memenuhi dengan sempurna segala isi, tujuan dari ketentuan sesuai dengan kehendak yang telah disetujui oleh para pihak.28
Dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat empat syarat untuk sahnya perjanjian yaitu, kata sepakat kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal.
Untuk mengetahui kapan terjadinya kata sepakat, KUH Perdata sendiri tidak mengaturnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori sebagai berikut:29
1. Teori Kehendak (wilstheorie) : Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi manakala para pihak menyatakan kehendaknya untuk mengadakan suatu perjanjian.
28Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Allumni,1986, hal.56
29Gatot Supramono, Op.Cit, hal.37
2. Teori kepercayaan (vetrouwenstheorie): Berdasarkan teori kepercayaan, kata sepakat dalam suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat pernyataan salah satu pihak dapat dipercaya secara obyektif oleh pihak yang lainnya.
3. Teori ucapan (uitingstheorie): Dalam teori ini yang dilihat adalah ucapan (jawaban) debitur. Kata sepakat dianggap telah terjadi pada debitur mengucapkan persetujuannya terhadap penawaran yang dilakukan kreditur. Kalau dilakukan dengan surat, maka kata sepakat terjadi pada saat menulis surat jawabannya.
4. Teori pengiriman (verzendingstheorie): Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitur mengirimkan surat jawaban kepada kreditur. Jika dilakukan pengirimannya melalui pos, maka kata sepakat dainggap telah terjadi pada saat surat jawaban tersebut distempel (cap) oleh kantor pos.
5. Teori penerimaan (ontvangstheorie): Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditur menerima surat jawaban dari debitur. Tepatnya pada saat kreditur membaca surat jawaban tersebut, karena saat itu ia mengetahui kehendak debitur.
6. Teori pengetahuan (vernemingstheorie): Menurut teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditur mengetahui bahwa debitur telah menyatakan menerima penawarannya. Tampak teori ini lebih luas dari teori penerimaan, karena dalam teori ini memandang kreditur mengetahui kehendak debitur baik melalui surat maupun secara lisan.
Dalam hukum perjanjian juga dikenal beberapa asas yaitu asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas kepribadian. 30 Asas konsensualisme adalah kesepakatan, maka asas ini menetapkan terjadinya suatu perjanjian setelah tercapainya kata sepakat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Sebagaimana telah diketahui, kata sepakat diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian.
Sedangkan menurut asas kebebasan berkontrak yaitu setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja dan macam apa saja, asalkan perjanjian itu tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Dalam KUH Perdata asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1339.
Asas tersebut sebenarnya malah membatasi kebebasan seseorang, karena tidak dapat menikmati kebebasan yang sebebas-bebasnya. Meskipun demikian asas ini dimaksudkan agar setiap orang selalu dapat membuat perjanjian demi kebaikan dan tidak merugikan pihak lain. Berikutnya yaitu asas kepribadian menurut asas ini seseorang hanya diperbolehkan mengikatkan diri untuk kepentingan dirinya sendiri dalam perjanjian. Asas tersebut diatur dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.
Pemenuhan prestasi yang dituntut pihak kreditur terhadap debitur dengan maksud agar kreditur tidak menderita suatu kerugian. Dengan mengatur saat-saat
30Ibid, hal.41
seseorang debitur berada dalam keadaan lalai, pembentuk undang-undang bermaksud untuk menentukan saat yang pasti pada pihak debitur dan kreditur dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya, sehingga dengan mudah dapat ditentukan jumlah pembayaran ganti rugi, biaya dan bunga.
Kelalaian atau kegagalan merupakan suatu situasi yang terjadi karena salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya atau membiarkan suatu keadaan berlangsung sedemikian rupa (non performance), sehingga pihak lainnya dirugikan secara tidak adil karena tidak dapat menikmati haknya berdasarkan kontrak yang telah disepakati bersama. Karena itu, biasanya cedera janji dirumuskan secara aktif dalam arti bahwa cedera janji dirumuskan secara aktif dalam arti bahwa cedera janji terjadi jika pihak yang berkewajiban tidak melaksanakan kewajibannya atau secara pasif dengan membiarkan keadaan (yang seharusnya dicegah) sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan tertentu.31
Akibat dari tidak dipenuhinya perikatan, kreditur dapat meminta ganti rugi dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi yang dideritanya.
Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang–undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai (ingebreke stelling). Lembaga pernyataan lalai ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai pada suatu fase, dimana debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestasi).
31Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak,Jakarta, Gramedia, 2001, hal 70-71
Pasal 1243 KUH Perdata mengatakan : “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,tetap melalaikannyam atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah dilampauinya.”
Jadi yang dimaksud dengan “berada dalam keadaan lalai” ialah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat itu dilampauinya, maka debitur ingkar janji (wanprestasi).32
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi , antara abstraksi dan realitas.33 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstaksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.34 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.
Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Berikut peneliti akan sampaikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi, yang berkenaan dengan penulisan tesis ini sebagai rangkaian operasional, yaitu sebagaimana yang tertera di bawah ini:
32Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal.19
33Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989, hal 34
1. Kredit adalah “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-memimjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.35
2. Perjanjian kredit Bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak alam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah (debitur).36
3. Bank adalah “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”37 4. Kreditur adalah Pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan hutang piutang
tertentu.
5. Debitur adalah Pihak yang berhutang dalam suatu hubungan hutang piutang tertentu.
6. Cross Collateral adalah jaminan yang diserahkan oleh debitur yang telah diikat sesuai dengan jenis jaminannya akan mengkait ke beberapa debitur pada bank atau kreditur yang sama.38
35Pasal 1 angka 11 Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
36Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006, hal 33
37Pasal 1 angka 2 Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
38Johannes Ibrahim, Op.cit, hal.107
7. Wanprestasi menurut Subekti adalah “Apabila ia berutang (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia dikatakan melakukan “wan prestasi”, ia alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya”.39
Sedangkan menurut Yahya Harahap yang dimaksud dengan wan prestasi adalah “Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wan prestasi, apabila ia dalam melakukan pelaksanaan perjanjian telah lalai sehingga
‘terlambat’ dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya”.40