• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori dan Konsepsi

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Bank bagi masyarakat secara umum adalah tempat menyimpan dan meminjam uang bagi yang membutuhkan. Hal ini sesuai dengan definisi bank berdasarkan pasal

1 angka 2 Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tentang Perbankan yang selanjutnya disebut Undang-Undang-Undang-Undang Perbankan, yaitu bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarkat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin, credere, yang berarti kepercayaan. Misalkan seorang nasabah debitor yang memperoleh kredit dari bank adalah tentu seseorang yang mendapatkan kepercayaan dari bank. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur adalah kepercayaan.15

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 5 Peraturan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga termasuk: a) cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dibayar lunas pada akhir hari ; b) pengambilan tagihan dalam rangka kegiatan anjak-piutang ; dan c) pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.

15

Menurut OP.Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, yang dengan demikian transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung resiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa mendatang.16Secara umum kredit diartikan sebagai ”The ability to borrow on the opinion conceived by the lender that he will be repaid”17

Dalam kredit dapat ditemukan sedikitnya 4 (empat) unsur, yaitu:18

1. Kepercayaan. Disini berarti bahwa si pemberi kredit yakin bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.

2. Tenggang waktu, yaitu waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang akan diterima pada masa yang akan datang.

16

OP.Simorangkir, Seluk beluk Bank Komersial, ( Jakarta: Aksara Persada Indonesia,1986) hlm 91

17

Meriam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, ( Bandung,:Citra Aditya Bakti, 1991) hlm 23

18

3. Degree of risk, yaitu risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. Semakin panjang jangka waktu kredit diberikan maka makin tinggi pula tingkat risikonya, sehingga terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko. Karena adanya unsur risiko ini maka dibutuhkan jaminan dalam pemberian kredit.

4. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun karena kehidupan modern sekarang ini didasarkan pada uang maka transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktek perkreditan. Intisari dari kredit adalah unsur kepercayaan. Unsur lainnya adalah mempunyai pertimbangan tolong menolong. Selain itu, dilihat dari pihak kreditur, unsur penting dalam kegiatan kredit sekarang ini adalah untuk mengambil keuntungan dari modal dengan mengambil kontraprestasi; sedangkan dipandang dari segi debitur, adalah adanya bantuan dari kreditur untuk menutupi kebutuhan yang berupa prestasi. Hanya saja antara prestasi dan kontraprestasi tersebut ada suatu masa yang memisahkannya. Kondisi ini mengakibatkan adanya risiko yang berupa

ketidaktentuan, sehingga oleh karenanya diperlukan suatu jaminan dalam pemberian kredit tersebut.19

Dalam ilmu hukum perkreditan, diajarkan bahwa hukum menuntut tanggung jawab tidak hanya semata-mata dari debitur, tetapi pihak kreditur pun harus memikul tangung jawab yuridis dalam hal-hal tertentu. Secara teoritis universal, beberapa teori yuridis yang telah berkembang sampai saat ini, antara lain sebagai berikut 20:

1. Teori Instrumentalis

Dalam hubungan dengan tanggung jawab pihak kreditur, maka teori instrumentalis mengatakan bahwa kreditur akan bertanggung jawab secara hukum jika terdapat hal-hal yang merugikan pihak debitur atau pihak lain seandainya pihak kreditur ikut campur kelewat banyak dalam bisnis kreditur, sehingga kreditur mempunyai kontrol ”total” dan ”aktual” terhadap perusahaan dan bisnis debitur.

2. Teori Keagenan

Teori ini mengatakan bahwa pihak kreditur akan bertanggung jawab secara yuridis atau kerugian pihak debitur atau pihak lainnya, seandainya kreditur tersebut mempunyai kekuasaan pengontrolan yang substansial terhadap kegiatan-kegiatan debitur.

3. Teori Kemitraan De Facto

Teori ini mengatakan bahwa bila antara kreditur dengan debitur mempunyai hubungan sedemikian rupa sehingga hubungan tersebut secara hukum dipandang sebagai hubungan kemitraan secara de facto maka setiap kerugian terhadap pihak lain yang dilakukan oleh pihak debitur harus ditanggung bersama oleh debitur dan kreditur secara sendiri-sendiri untuk seluruhnya (severally) dan secara bersama-sama (jointly)

4. Teori tentang Perbuatan Melawan Hukum

Penerapan teori perbuatan melawan hukum terhadap penentuan tanggung jawab dari kreditur akan memberi arti bahwa jika dalam menata bisnisnya debitur, pihak kreditur ikut campur dan bahkan ada unsur kesengajaan atau minimal kurang hati-hati sehingga menimbulkan kerugian debitur/pihak lain, maka kreditur sudah semestinya bertanggung jawab. 5. Teori Itikad Baik

19

Mohammad Djumhana op.cit.hlm 231.,

20

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung:Citra Aditya Bakti,2002), hlm.28-30.

Jika perjanjian tidak dilakukan dengan itikad baik atau terdapat kolusi dengan debitur sehingga mengabaikan obyektivitas dalam pengucuran kredit, maka kreditur dapat dimintai pertanggungjawabannya.

Untuk menjaga tanggung jawab antara kreditur dan debitur, maka diperlukan perjanjian antara bank sebagai kreditur kepada debitur yang disebut dengan perjanjian kredit. Tetapi sebelum membahas mengenai perjanjian kredit, terlebih dahulu diketahui dasar hukum dari perjanjian. Perjanjian dalam pasal 1313 Buku III KUH Perdata mengatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Pasal 1313 KUH Perdata menimbulkan suatu hubungan antara 2 (dua) orang yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.21

Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menerangkan bahwa semua perjanjian yang dapat dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal ini mencerminkan asas kebebasan berkontrak, sehingga para pihak leluasa untuk membuat bermacam perjanjian asal saja tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

21

Selain asas kebebasan berkontrak masih ada asas-asas lainnya dalam suatu perjanjian yaitu:22

1. Asas Konsesualisme

Asas dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah semua. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyampaikan keinginannya (will), yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian.

2. Asas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, maka kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya pejanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

3. Asas Kekuatan Mengikat

Dalam perjanjian terkandung asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.

4. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak ke dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuatan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan ada kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

5. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi melalui kekayaan debitur namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk

22

Mariam Darus Badulzaman Dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung:Citra Aditya Bakti,2001) hlm. 87-89

memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

6. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu sebagai undang-undang bagi para pihak.

7. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari phak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatan juga asas ini terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan dari hati nuraninya.

8. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

Perjanjian pemberian kredit adalah salah satu di antara macam-macam perjanjian. Karena itu syarat sah dan asas-asas hukumnya mengikuti ketentuan yang berlaku pada perjanjian secara umum. Pasal 1754 KUH Perdata menyebutkan bahwa pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Berdasarkan pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan, disebutkan perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, dan tergolong dalam perjanjian pinjam-meminjam.

Dalam memberikan kredit, pihak bank harus wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan23. Lebih lanjut tentang jaminan ini ini dapat dilihat pada penjelasan pasal 8 Undang-Undang Perbankan yang menyebutkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko sehingga dalam pelaksanannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut maka jaminan pemberian kredit, dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Pemberian kredit dapat diberikan kepada orang perorangan ataupun badan hukum. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Yayasan yang menegaskan bentuk yayasan sebagai badan hukum, menyatakan sebuah yayasan dapat diberikan kredit oleh pihak bank. Yayasan membutuhkan kredit agar dapat mengembangkan badan usaha yang didirikannya. Karena dengan adanya badan usaha , yayasan tidak selalu bergantung kepada bantuan luar seperti, sumbangan, hibah atau lainnya. Keuntungan dari hasil usaha yayasan tersebut, dipergunakan untuk tujuan sosial dari yayasan dapat terwujud.

Pitlo menguraikan bahwa suatu yayasan adalah sebagai berikut :

23

“Sebagaimana halnya untuk tiap-tiap perbuatan hukum maka untuk pendirian yayasan harus ada sebagai dasar suatu kemauan yang sah, pertama-tama harus ada maksud untuk mendirikan yayasan, selanjutnya perbuatan hukum itu harus ada memenuhi tiga syarat materiil, yakni adanya pemisahan kekayaan, tujuan organisasi dan suatu syarat formil24

Menurut N.H.Bregstein yayasan adalah suatu badan hukum yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk membagikan kekayaan dan atau penghasilan kepada pendiri atau penguasanya di dalam yayasan itu kepada orang-orang lain.25

Menurut Meijers pada yayasan pokoknya terdapat: 1. Penetapan tujuan dan organsasi para pendirinya; 2. Tidak ada anggotanya;

3. Tidak ada hak bagi pengurusnya untuk mengadakan perubahan yang berkaitan jauh dalam tujuan organisasi;

4. Perwujudan dari suatu tujuan, terutama dengan modal yang diperuntukkan untuk itu.

Bahwa suatu badan hukum dapat merupakan atau terdiri dari kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu adalah berdasarkan Teori Kekayaan Bertujuan yang pada mulanya diajukan oleh A.Brintz. menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum. Akan tetapi merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tidak ada satu manusia pun yang menjadi pendukung hak itu. Apa yang dinamakan

24

Pitlo En Meyling.G.Het.Personenrecht Naar Hed Ned, dalam M.Hasballah Thaib, Fiqih Waqaf, (Program Pasca Sarajana Hukum USU, Medan, 2003) hlm 39

25

hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai gantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan yang terikat oleh suatu atau kekayaan yang dimiliki oleh tujuan tertentu. Pada yayasan tujuan itu adalah bersifat idealistis,sosial dan kemanusiaan. Teori ini secara selintas mendukung pula pandangan bahwa yayasan adalah milik masyarakat.26

Yayasan sebagai badan hukum adalah sebuah legal entity yang terpisah dari pendirinya (seperate legal entity), dengan demikian yayasan mempunyai kepribadian hukum (legal personality) yang bersifat mandiri.

Sebagai konsekuensinya yayasan mempunyai hak dan kewajiban sendiri, dan dapat menuntut dan dituntut di hadapan pengadilan. Dalam keadaan ini yayasan dipandang dapat mempertanggungjawabkan semua tindakannya. Kekayaan yayasan yang terpisah dari kekayaan pendirinya tidak saja sebagai modal yayasan mencapai tujuannya, tetapi juga adalah jaminan terhadap kewajiban-kewajiban yayasan terhadap pihak lain, termasuk dalam perjanjian kredit bank.

Bank dalam memberikan kredit berdasarkan kepercayaan bahwa debitur memiliki kemampuan mengembalikan pinjaman dan bunganya. Yayasan berdasarkan Undang-Undang Yayasan dapat mendirikan badan usaha, sehingga yayasan dapat memperoleh keuntungan dari badan usaha yang didirikannya. Keuntungan yang dimiliki yayasan dapat dijadikan dasar bagi bank untuk memberikan kredit, apabila yayasan mengajukan permohonan kredit kepada pihak bank. Karena keuntungan dari

26

badan usaha yayasan tersebut sebagai jaminan kepercayaan dari bank kepada yayasan sebagai kemampuan membayar hutang.

2. Kerangka Konsep

Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama dalam judul penelitian bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikanya semata-mata kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun peneliti sendiri di dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan.27

Beberapa konsep yang digunakan antara lain:

1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau dalam bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.28

2. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.29

3. Kredit Bank adalah pinjaman dana yang diberikan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha, dan atau konsumsi. Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada dunia usaha guna membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan atau kredit dari bank kepada

27

Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999) hlm. 107-108.

28

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

29

individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang atau jasa.30

4. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian pinjam meminjam yang didasarkan pada kesepakatan antara bank dengan nasabah ( kreditur dengan debitur ).31

5. Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.32

6. Debitur adalah oang atau badan usaha yang memiliki hutang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau undang-undang.33

7. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.34

8. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.35

9. Badan hukum merupakan istilah hukum yang resmi di Indonesia dan merupakan terjemahan istilah hukum Belanda yaitu rechtspersoon, juga

30

Budi Untung, loc cit, hlm. 5

31

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung:Mandar Maju, 2000) hlm.67.

32

Riduan Tobing dan Bill Nikholaus, Kamus Istilah Perbankan,(Jakarta:Atalya Rileni Sudeco, 2003) hlm.118

33

ibid

34

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung:Penerbit Alumni, 2006) hlm.31.

35

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.16 tentang Yayasan.

merupakan terjemahan peristilahan persona moralis (latin), legal persons (Inggris)36.

10. Kekayaan Yayasan merupakan modal bagi usaha yayasan yang berasal dari modal pendiri sebagai modal awal, dan kekayaan yang berasal dari sumber-sumber lain, dan yang dapat diperoleh dari sumbangan atau bantuan tidak mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat, dan perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku37

11. Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus dan Pengawas oleh undang-undang atau Anggaran Dasar.38

12. Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan.39

13. Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberikan nasehat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan.40

36

Chaidir Ali,loc cit, hlm.15.

37

Pasal 26 ayat 1 dan ayat 2 Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.16 tentang Yayasan.

38

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.16 tentang Yayasan.

39

Pasal 31 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.16 tentang Yayasan.

40

Pasal 40 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.16 tentang Yayasan.

Dokumen terkait