• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

“Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian”.6

6

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Cetakan Ke I, 1994, Hal. 80.

“Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasian dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu”.7

Adapun teori yang dipakai dalam pembuatan tesis ini adalah teori pembaharuan hukum. Istilah “ pembaharuan hukum” sebenarnya mengandung makna yang luas, mencangkup sistem hukum. Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure), substansi / materi hukum (substance). Dan budaya hukum (legal culture).8 Sehingga, ketika bicara pembaharuan hukum maka pembaharuan yang dimaksud adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi struktur hukum, materi hukum dan budaya hukum.

Roscoe pound mengatakan bahwa hukum itu sebagai suatu unsur dalam hidup masyarakat harus memajukan kepentingan umum.9 Artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi hukum masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa. Ia harus berasal dari konkretisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dari pandangan Pound dapat disimpulkan bahwa unsur normatif (ratio) dan empiris (pengalaman) dalam suatu peraturan hukum harus ada. Artinya, hukum yang pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian

7

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Ke II, 2003, Hal.23.

8

Lawrence M.Freidman, American Law, (New York : W.W.Norton & Company, 1930), pg.5-6 Dalam Mulhadi : Relevansi Teori Sociological Jurisprudence Dalam Upaya Pembaharuan

Hukum Di Indonesia, 2005, USU, Responsitory @ 2006.

9

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisuius, Yogyakarta, 2001, Hal.180.

dikonkretarisasi menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan para ahli sebagai hasil kerjanya ratio, yang seterusnya dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh negara.

Dari teori dan pandangan tersebut dapat dipahami bahwa pembaharuan hukum di Indonesia utamanya di tujukan untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil dan sejahtera, tentram dan damai serta membawa perubahan-perubahan yang baik pada struktur kehidupan. Tanpa harus merugikan pihak lain tetapi memberikan suatu pemecahan atas suatu permasalahan.

Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) yang merupakan payung hukum tertinggi terhadap pengakuan hak-hak masyarakat dalam mempergunakan berbagai sumber kekayaan yang ada di bumi, seperti hutan dan tanah atau lahan yang tujuannya sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 menyebutkan hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan lainnya segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.

Pasal ini memberikan kejelasan kepada kita bahwa hukum adat yang berlaku di dalam ketentuan ini bukanlah merupakan hukum adat yang murni akan tetapi

hukum adat yang berlaku adalah hukum adat yang telah beradaptasi dengan situasi dan keadaan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga tidak dimungkinkan dikembangkan hukum adat yang murni.

Dalam lingkungan hukum adat, tanah memiliki fungsi yang sangat fundamental, tidak semata-mata sebagai benda mati yang dapat dibentuk sedemikian rupa melainkan juga sebagai tempat untuk mempertahankan hidup atau modal esensial yang mengikat masyarakat dan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, selalu terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara hak-hak seseorang sebagai anggota masyarakat dengan hak-hak masyarakat secara umum atas tanah yang ditempati.

Satu hal yang menarik dan perlu mendapat perhatian serius bahwa hukum tanah sekarang telah mengalami unifikasi melalui UUPA. Undang-undang ini disebut sebagai peraturan yang bersandarkan pada hukum adat.10

Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa pengertian hukum adat dalam UUPA adalah identik dengan hukum yang asli, yang diartikan secara sempit dan tradisional sehingga kedudukan dan peranannya dikembalikan pada masa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia.11 Berbeda dengan Soerjono Soekanto, Otje Salman Soemadiningrat cenderung untuk mengatakan bahwa undang-undang ini telah

10

Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT. Alumni, Bandung, 2002, Hal. 160.

11

Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1984, Hal.44

merombak hukum tanah adat dengan hanya memberlakukan hal-hal tertentu saja dari padanya. Pereduksian hukum tanah adat dapat dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan negara atas tanah-tanah yang berada di wilayah Indonesia dan timbulnya hak milik yang diatur pemerintah.12

Hukum tanah adat pada pokoknya tidak terlepas dari tata susunan hukum- keluarga-adat serta hukum-tatanegara-adat, terutama apa yang dikatakan “rechtsgemeenschappen” (“persekutuan hukum”).13

Masyarakat hukum adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dulu sampai saat ini. Sedangkan pengakuan terhadap hukum adat oleh UUD 1945 terdapat dalam pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Negara menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia”.

Hal ini senada dengan apa yang tercantum dalam pasal 2 ayat (9) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Sehingga demikian keberadaan masyarakat hukum adat memang tidak boleh dipungkiri dan harus diakui, sebagaimana Undang-Undang Nomor 4

12

Otje Salman Soemadiningrat, Op Cit, Hal. 161.

13

Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pemberdayaan Pancasila Bagian

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga mengakuinya, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya sosial dan wilayah sendiri.14

Masyarakat hukum adat atau yang dikenal dengan istilah lain seperti masyarakat adat atau masyarakat tradisional atau indigenious people yaitu suatu komunitas antropologi yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar berasal dari satu nenek moyang yang sama dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan, serta tidak punya posisi yang dominan dalam struktur dan posisi politik yang ada.

Menurut Hazairin sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto memberikan uraian mengenai masyarakat hukum adat sebagai berikut :

Masyarakat-masyarakat seperti hukum adat Desa di Jawa , Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal atau bilateral) mempengaruhi

14

Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, Modul Pemberdayaan

sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan pemburuan binatang liar, pertanbangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasi dan selalu punya peranan yang besar.15

Pada hukum adat yang berlaku dimasing-masing daerah di Indonesia dikenal hak ulayat atau dengan nama lain yang berbeda sesuai dengan sebutan di daerahnya, yaitu hak bersama masyarakat hukum adat atas tanah hutan belukar yang ada di sekitar desanya untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya seperti mengambil hasil hutan, berburu, menangkap ikan bahkan membuka tanah untuk melakukan pertanian baik yang berpindah maupun yang menetap.

Berdasarkan pendapat pakar hukum adat tersebut maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut :

1. Terdapat masyarakat yang teratur. 2. Menempati suatu tempat tertentu. 3. Ada kelembagaan.

4. Memiliki kekayaan bersama.

5. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan atau berdasarkan lingkungan daerah;

6. Hidup secara komunal dan gotong royong.

15

Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal.93.

Pada masyarakat hukum adat, untuk mewujudkan kesejahteraan itu maka dalam masyarakat hukum tersebut harus memiliki struktur pemerintahan atau kepemimpinan. Dalam hal ini dipimpin oleh seorang pimpinan (ketua adat). Masyarakat hukum ini mempunyai kedaulatan penuh (soverign) atas wilayah kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai kewenangan (authority) penuh untuk mengelola, mengatur dan menata hubungan-hubungan antara warga dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk mencari keseimbangan hubungan sehingga kedamaian dan kesejahteraan yang menjadi tujuan tersebut terwujud.

Hak ulayat merupakan asal dan akhir dari hak perseorangan dalam persekutuan hukum. Hak perseorangan berada dibawah naungan hak ulayat. Semakin intensif hubungan seseorangan dengan tanah di lingkungan hak ulayat, semakin kuat hak yang dipunyainya, dan semakin lemah pembatasan hak ulayat terhadapnya. Sebaliknya semakin lemah hubungan hukum seseorang dengan tanah itu, semakin lemah haknya dan semakin kuatlah hak ulayat, inilah yang disebut oleh Ter Haar dengan “menguncup/mengempis mengembang” bertimbal balik tiada hentinya.16

16

Ramli Zein dalam Tunas Effendi dkk, Hutan Tanah Ulayat dan Permasalahannya, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan, Pekanbaru, 2005, Hal. 12

Menurut Budi Harsono, Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang- wewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.17

Menurut Ramli Zein, secara objektif subtansi masalah pertanahan berpangkal pada ketidakserasian pandangan terhadap dua faktor yaitu, faktor manusia dan faktor tanah. Hukum adat sebagai hukum asli telah menata hubungan manusia dengan tanah dengan suasana tradisional berdasarkan pandangan itu. Akan tetapi kemudian bangsa kita hampir gagal mengoperasikan pada masa pasca tradisional.18

UUPA pada dasarnya juga memberikan pengakuan terhadap hak ulayat tersebut sepanjang memang menurut kenyataannya masih ada, dan dalam hal ini pun pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Penjelasan Umum II angka 3 UUPA).

Selanjutnya pada Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa : “Hak ulayat dan hak- hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataannya masih ada”.

Pengertian lain tentang Hak Ulayat ialah Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu, atas wilayah tertentu yang

17

Kumpulan-Kumpulan Seminar Tanah Adat, Atma Jaya & B.P.N di Puncak, September, 1996.

18

merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun-temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.19

Adapun kriteria hak ulayat adalah :

1. Harus ada lingkungan daripada masyarakat hukum adat itu sendiri. 2. Adanya orang tang diangkat sebagai pengetua adat.

3. Masih didapati adanya tatanan hukum adat itu sendiri yang mengenal adanya suatu lingkungan hidup dan yang berada dalam persekutuan hukum adat.20

Wujud hak ulayat tersebut berciri sebagai berikut :

a. Masyarakat hukum adat dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam lingkungan wilayah dengan bebas yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil, berburu, mengambil ikan, mengembala ternak dan lain sebagainya.

b. Bagi yang bukan anggota masyarakat hukum adat tersebut dapat pula mempergunakan hak-hak itu hanya saja harus mendapatkan izin lebih dahulu dari kepala masyarakat hukum adat dan membayar uang pengakuan atau recognitie (diakui setelah memenuhi kewajibannya).

19

Affan Mukti, Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria, USU Press, Medan, 2006, Hal. 23

20

c. Masyarakat hukum adat bertangung jawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkungan wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat dikenal.

d. Masyarakat hukum adat tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat itu untuk selama-lamanya kepada siapa saja.

e. Masyarakat hukum adat mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli dan lain sebagainya.21

Dalam hak ulayat mengandung dua unsur /aspek, yaitu aspek hukum perdata dan aspek hukum publik. Aspek hukum perdata yaitu merupakan hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, sedangkan aspek hukum publik yaitu sebagai kewenangan mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang yang bukan warga atau orang luar.

2. Kerangka Konsepsi

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.22 Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang kongkrit.

21

Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Multi Grafik Medan, Medan, 2005, Hal. 11.

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dengan nama yang berbeda- beda. Merupakan penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.23

Tanah sebagai sumber utama bagi kehidupan manusia yang telah dikaruniakan tuhan kepada bangsa Indonesia harus dapat dikelola dan didayagunakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dipergunakan secara seimbang antara hak dan kewajiban terhadap tanah tersebut.24

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004) defenisi Otonomi Daerah sebagai berikut : “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Perundang-undangan.”

22

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1,Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal.7.

23

Rosdinar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Masyarakat Adat

Simalungun, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, Hal. 70

24

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 juga mendefenisikan daerah otonom sebagai berikut : “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Di era sekarang ini, otonomi daerah sudah dianggap sebagai obat mujarab segala penyakit pemerintahan Di Indonesia, otonomi hampir dimitoskan sebagai dewa kemajuan pemerintahan. Otonomi daerah seakan harus merupakan bagian dari reformasi pemerintahan dan bagian tak terpisahkan dari upaya demokrasi Dengan kata lain tak ada reformasi tanpa ada otonomi dan tak akan ada demokrasi tanpa otonomi daerah.25

Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, K- ampung, A-nak, I-kan. Hal tersebut mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di kampung, ditepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup airnya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian besar orang melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai berkonotasi merendahkan dan menghina karena kehidupan orang Sakai dianggap jauh dari kemajuan.26

25

M.Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia, UMM Press, Malang, 2008, Hal.2.

26

“Pemberdayaan Masyarakat Suku Sakai”, Artikel, Didownload dari http://www.katcenter.info/, diakses tanggal 2 Januari 2009.

Dokumen terkait