• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Menurut Al-Qur’an

Pembicaraan mengenai hal wakaf di dalam Al-Qur’an tidak di jumpai secara jelas , namun secara implisit ada beberapa ayat yang memerintahkan manusia untuk berinfaq sebagai sebuah perintah yang terkategori sebagai perintah untuk berwakaf secara implisit, firman Allah tersebut sebagai berikut, pada Al-Qur’an Surat Al-Hajj ayat 77 :

Artinya : “Hai orang – orang yang beriman , ruku’ dan sujud dan sembahlah Tuhan kamu dan berbuatlah kebaikan supaya kamu dapat kejayaan.”25

23

Ibid

24

Yulia Damayanti, Op. Cit. , pada intisari hal.iv

25

R. Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum , CV.Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.184

Beberapa ayat yang telah di sebutkan diatas bukan semata – mata menjelaskan dalam masalah wakaf , tetapi sekaligus dapat berbuat dengan sebaik – baiknya, dan pendapat para ulama , ayat dan hadis tersebut termasuk dalil wakaf.

Pengaturan mengenai perubahan peruntukan tanah wakaf tidak diatur secara terperinci dalam Al-Qur’an. Di dalam ajaran agama Islam mewakafkan harta benda bersifat kekal artinya untuk selama-lamanya tidak dapat ditarik kembali dengan jangka waktu yang tidak terbatas.

B. Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Menurut Hadis

Mengenai sejarah munculnya istilah wakaf, memang sulit menetapkan kapan munculnya istilah tersebut. Karena dalam buku-buku fikih tidak ditemui sumber yang menyebutkan secara tegas. Tetapi secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa sebelum Islam lahir, belum dikenal istilah wakaf. Begitu juga halnya bahwa orang- orang Jahiliyah belum pernah mengenal dan mengetahui tentang wakaf.26

Wakaf telah dikenal dalam Islam sejak masih ada Rasullullah, yaitu sejak beliau hijrah ke Madinah, disyari’atkannya pada tahun kedua Hijriyah.

Para Ulama berpendapat bahwa peristiwa atau pelaksanaan wakaf yang pertama terjadi ialah wakaf yang dilaksanakan oleh sahabat Umar bin Khattab terhadap tanahnya di Khaibar. Menurut keterangannya, kemudian sahabat Umar menyedekahkannya kepada fakir miskin, kaum sahabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu Sabil dan kepada para tamu.27

26

Abdul Halim, Hukum Perwakafan Di Indonesia , Ciputat Press, Ciputat, 2005, hal.12

27

Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa mula pertama wakaf dalam Islam ialah tanah yang diwakafkan oleh Rasulullah untuk mesjid.

Para ulama menilai bahwa wakaf itu termasuk kategori sedekah jariah yang nilai pahalanya senantiasa mengalir selagi manfaatnya bisa di petik. Dalam konteks inilah maka para fuqaha mengemukakan hadis Nabi SAW yang berbicara terhadap keutamaan sedekah jariah sebagai salah satu landasan wakaf yang di riwayatkan dari Abu Hurairah:

Artinya : “Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, Apabila manusia mati maka putuslah pahala segala amalnya kecuali tiga, yaitu sedekah jariah atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh yang selalu mendoakannya.”28

Pada dasarnya terhadap harta benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lainnya.

C. Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Menurut UU

Keberadaan wakaf, khususnya wakaf tanah, di Nusantara ini sudah di lakukan semenjak lahirnya komunitas-komunitas muslim. Lembaga wakaf muncul bersamaan dengan lahirnya komunitas muslim, sebagai sebuah komunitas pada umumnya memerlukan fasilitas-fasilitas peribadatan dan pendidikan untuk menjamin kelangsungannya, dimana dapat dipenuhi dengan cara wakaf.29

28

Al-Masyhad Husaini, Sahih Muslim Juz II ,Al-Qahariah, t.t, hal.14

29

Marpuji Ali, Wakaf dan Pemberdayaan Ekonomi Umat , Pada International Seminar On Islamics As a Solution, di Medan pada tanggal 18-19 September 2005, hal.259

Dalam perkembangan pembinaan Hukum Nasional di Negara kita, dimana Hukum Islam telah banyak memberikan pengaruh yang positif dalam berbagai macam peraturan perundang – undangan di Indonesia, hal ini di karenakan hukum Nasional kita banyak sekali yang konsep dasarnya di transformasi dari hukum Islam.

Setelah di transformasi dari Hukum Islam kedalam hukum nasional juga telah di transformasikan kedalam Hukum Nasional (peraturan perundang – undangan) tentang pertahanan, yakni tanah wakaf dan perwakafan tanah. Mengenai perwakafan ini juga asalnya semata – mata dari Hukum Islam , tidak dari hukum lain. Ia semata – mata khasanah Hukum Islam yang erat kaitannya dengan Hukum Islam.

Keharusan transformasi mengenai lembaga wakaf yang ada di dalam Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional , mengingat dalam hal seseorang beramal saleh melalui Shodaqoh jariyah yang berupa wakaf, maka ia telah mewujudkan secara konkrit ajaran Islam yang sangat esensial yakni “Hablun

minallah wa habun minannas” artinya dalam lembaga wakaf selain ia

mengandung nilai ibadat untuk pelakunya (orang yang berwakaf) dalam rangka

taqarrub kepada Allah juga terkandung di dalamnya nilai mu’alamat , yakni

hubungan antara sesama manusia (antara sesama anggota komunitas masyarakat) dengan benda yang berupa tanah yang guna pelaksanaan kesempurnaan pelaksanaannya memerlukan adanya bantuan penyelenggaraan Negara.30

Di satu segi masalah sangat erat sekali kaitannya dengan masalah keagrariaan, yaitu masalah bumi , air dan ruang angkasa yang merupakan karunia Allah SWT. Di segi lain ia (lembaga wakaf) merupakan kekayaan umat Islam

30

Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional , PT. Tatanusa, Jakarta, 2003, hal.36

sebagai sumber dana yang sangat besar dalam mensukseskan pembangunan sosial , ekonomi, kebudayaan dan keagamaan.31

Mengingat betapa pentingnya masalah tersebut dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas pemeluknya agama Islam, maka lembaga wakaf, (tanah) harus di transformasikan ke dalam Hukum Nasional guna melindungi eksistensi dan keberadaannya di tengah – tengah masyarakat.32

Menurut Pasal 49 UU No. 5/1960 tentang UUPA yang terdiri atas tiga ayat menyatakan hak-hak atas tanah untuk keperluan suci dan sosial yaitu pada ayat :

1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.

2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.

3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).33

“Pengaturannya yang sebelumnya d dasarkan kepada doktrin – doktrin fiqh yang banyak mengandung ikhtilaf, berakibat satu sama lain menimbulkan ketidak pastian.”34

Dengan ditransformasikannya Hukum Islam tentang perwakafan kedalam hukum Nasional mengakibatkan ketentuan – ketentuannya menjadi hukum positif yang bersifat Univied frame work dan Univied legal Opinion sehingga peraturannya tidak lagi berserah kepada berbagai doktrin kitab – kitab fiqh

(madzahab) yang sering mengandung ikhtial dan membawa ketidak pastian di

sebabkan tata cara dan pengatministrasiannya secara publik tidak diatur. Dengan demikain langkah kearah terwujudnya landasan kesamaan kerangka hukum dan pandangan hukum yang berwawasan Nasional telah tercipta 31 Ibid 32 Ibid 33

Ali Ahmad Chomzah, Op. Cit ,hal.58

34

dengan dituangkannya perwakafan tanah tersebut kedalam peraturan perundang – undangan yaitu UU No 5 / 1960 tentang Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) pada pasal 5 yang tidak mengesampingkan hukum Agama.35

Di dalam UU No. 5/1960 tentang UUPA tidak ada pengaturan mengenai perubahan peruntukan tanah wakaf hak milik. Pada Pasal 23 diatur mengenai peralihan tanah milik saja dan pada Pasal 49 mengatur mengenai hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial dimana perwakafan termasuk di dalamnya.

Di dalam UU Wakaf No. 41/2004 ada pengaturan mengenai perubahan status harta benda wakaf yakni pada Pasal 40 dan Pasal 41.

D. Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Menurut PP

Menurut Pasal 11 ayat 1 PP No. 28/1977 bahwa pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukkan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.36

Menurut Pasal 11 ayat 2 PP No. 28/1977 bahwa penyimpangan hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni :

a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif. b. Karena kepentingan umum.37

Menurut Pasal 11 ayat 3 PP No. 28/1977 bahwa perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaanya sebagai akibat ketentuan Pasal

35

Ibid, hal.36-37

36

Suparman Usman, Op. Cit. , hal.218

37

11 ayat 2 tersebut harus dilaporkan oleh nadzir kepada Bupati / Walikota Kepala Derah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk penyelesaian lebih lanjut.38

Menurut Pasal 49 ayat 1 PP No. 42/2006 bahwa perubahan status benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia (BWI).39

Menurut Pasal 49 ayat 2 PP No. 42/2006 bahwa izin tertulis dari Menteri hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut ;

a. Perubahan harta benda wakaf tersebut dugunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip

syariah.

b. Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf.

c. Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.40

Menurut Pasal 49 ayat 3 PP No. 42/2006 bahwa selain izin tertulis, izin penukaran harta benda wakaf hanya dapat diberkan izin ;

a. Harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b. Nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula41.

38

Ibid

39

PP No 41/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf No. 41/2004 , hal.26

40

PP No. 42/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf No. 41/2004, hal.26

41

Menurut Pasal 49 ayat 4 PP No. 42/2006 bahwa nilai dan manfaat harta benda wakaf ditetapkan oleh Bupati / Walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur ;

a. Pemerintah daerah kabupaten / kota. b. Kantor pertanahan kabupaten / kota. c. Majelis Ulama Indonesia kabupaten / kota. d. Kantor Departemen Agama kabupaten / kota. e. Nadzir tanah wakaf yang bersangkutan.42

E. Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Menurut Pendapat Para Ulama

Di lingkungan masyarakat Islam khususnya Indonesia sering memahami secara kurang proporsional tentang ajaran wakaf itu sendiri. Pemahaman masyarakat tersebut memang lebih karena dipengaruhi oleh beberapa pandangan Imam Mazhab, seperti Imam Malik dan Syafi’i yang menekankan pentingnya keabadian benda wakaf, walaupun telah rusak sekalipun.43

Pendapat-pendapat tersebut seperti : Golongan Malikiyah berpendapat “tidak boleh” menukar harta wakaf yang terdiri dari benda tak bergerak, walaupun benda itu akan rusak atau tidak menghasilkan sesuatu. Tapi sebagian ada yang berpendapat

42

Ibid

43

Depertemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf Di Indonesia , Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, 2005, hal.67

lagi. Sedangkan untuk benda bergerak, golongan Malikiyah “membolehkan”, sebab dengan adanya penukaran maka benda wakaf itu tidak sia-sia.44

Imam Syafi’i sendiri dalam masalah tukar menukar harta wakaf hampir sama dengan pendapatnya Imam Malik, yaitu sangat mencegah adanya tukar menukar harta wakaf.Imam Syafi’i berpendapat “tidak boleh” menjual mesjid secara mutlak, sekalipun mesjid itu roboh. Tapi golongan Syafi’iyyah berbeda pendapat tentang benda wakaf tak bergerak yang tidak memberi manfaat sama sekali. Sebagian menyatakan “boleh” ditukar agar harta wakaf itu ada manfaatnya, sebagian ada yang menolaknya.45

Pendapat kedua Imam tersebut nampaknya kurang fleksibelnya pandangan masyarakat Indonesia yang sampai saat ini banyak yang bersikukuh memeganginya. Akibatnya, banyak benda wakaf yang hanya dijaga eksistensinya tanpa pengelolaan yang baik, meskipun telah usang dimakan usia atau karena tidak strategis dan tidan memberi manfaat apa-apa kepada masyarakat. Bahkan tidak kalah banyaknya benda-benda wakaf justru membebani masyarakat sekitar.46

Menurut Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, yang membolehkan menukar atau menjual harta wakaf yang sudah tidak memiliki manfaat. Pendapat kedua Imam cukup luwes tersebut memberikan peluang terhadap pemahaman baru, bahwa wakaf itu harusnya lebih tepat disandarkan pada aspek kemanfaatannya untuk kebajikan umum dibandingkan hanya menjaga benda-benda tersebut tanpa memiliki kemanfaatan lebih nyata.47

Pendapat yang mengatakan bahwa benda-benda wakaf tidak boleh “diutak- atik” tanpa sentuhan pengelolaan dan pengembangan yang lebih manfaat semakin kurang relevan dengan kondisi saat ini. Yaitu sebuah kondisi dimana segala sesuatu akan bisa memberikan nilai manfaat (ekonomi) apabila dikelola secara baik.48

Dari berbagai penjabaran perubahan peruntukan tanah wakaf diatas diatas penulis sependapat dengan pendapat dari Imam Malik dan Ahmad bin Hambal Hal

44 Ibid 45 Ibid, hal.68 46 Ibid 47 Ibid 48

ini dikarenakan apa yang telah diwakafkan boleh dijual atau ditukar statusnya yang sudah tidak memiliki manfaat hal ini lebih relevan sesuai perkembangan yang ada saat ini dari pada apa yang telah diwakafkan tidak boleh dijual atau dirubah peruntukannya padahal sudah tidak memberi manfaat lagi, hal ini menjadi suatu yang sia-sia dan tidak lagi ditujukan bagi kemaslahatan masyarakat umum.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.49

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,50 yang disebut dengan defenisi operasional. Pentingnya defenisi operasional untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua dari suatu istilah yang dipakai, selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.

Tanah wakaf adalah suatu tanah dimana perbuatan hukum wakif untuk menyerahkannya untuk dimanfaatkan selamanya dengan jangka waktu tidak terbatas demi kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum demi mendapat keridhoan dari Allah SWT.

49

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei , Jakarta, LP3ES, 1989, hal.34

50

Menurut Pasal 20 UU No. 5/1960 tentang UUPA bahwa hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6 yakni semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.51

Perubahan peruntukan tanah wakaf pada dasarnya tidak dapat dilakukan , hal ini dikarenakan apa yang telah telah diwakafkan dalam ikrar wakaf oleh wakif tidak dapat dirubah atau penggunaan lainnya. Tapi hal ini dapat dilakukan penyimpangan sesuai Pasal 225 ayat 2 KHI terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari KUA Kecamatan pada Camat setempat dengan alasan sebagai berikut ;

a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif. b. Karena kepentingan umum.

Dalam penulisan Tesis ini peneliti dalam konsepsi dengan menggunakan teori kepastian hukum. Dimana dalam penelitian ini mengenai perubahan peruntukan tanah wakaf hak milik menurut hukum Islam dan UU No. 5/1960 tentang UUPA yang akan dibahas dan di paparkan dalam tesis berdasarkan kepada hukum Islam dan peraturan hukum yang berlaku pada saat ini, sehingga mempunyai suatu kepastian hukum.

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait