• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori dan Konsepsional

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.12“Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gajala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran”.13

Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perjanjian dan hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan,

12Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6

13J.J.J. M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, M. Hisyam, Fakultas Ekonomi, Univesitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203.

pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini.

Dalam penelitian ini, teori hukum yang dipakai adalah teori kedaulatan hukum.

Tokoh dari teori kedaulatan hukum adalah H. Krabbe dan Leon Duguit.

Menurut Krabbe :

Hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan orang terbanyak yang ditundukan kepadanya. Karena sifatnya yang berusaha mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, maka hukum itu wajib ditaati oleh manusia. Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanyalah kaidah yang timbul dari perasaan hukum anggota suatu masyarakat, mempunyai kewibawaan/ kekuasaan.14

Definisi hukum kewarisan KUH Perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dimuat secara tegas, tetapi para ahli hukum memberikan atau mengemukakan tentang pengertian hukum kewarisan KUHPerdata.

Menurut para ahli hukum, khususnya mengenai hukum kewarisan Perdata sebagai berikut :

1. Pitlo mengemukakan Hukum Waris adalah : “Kumpulan peraturan yng mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari hubungan

14“Teori Hukum”, http://tubiwityu.typepad.com/blog/2010/02/teori-hukum.html, dipublikasikan tanggal 10 Februari 2010, diakses tanggal 3 Januari 2011

antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.15

2. M. Idris Ramulyo mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang mengemukakan bahwa hukum waris adalah “Hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.16

3. Dalam bukunya Sudarsono memuat beberapa pengertian hukum waris menurut ahli hukum antara lain yaitu :

a. H.D.M.Knol, mengatakan bahwa Hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris atau lebih

b. A. Winkler Prins, mengemukakan bahwa Hukum waris ialah seluruh peraturan yang mengatur pewarisan, menetukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan hukum dari seorang yang telah meninggal dunia pindah kepada orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya.

c. Vollmar berpendapat bahwa Hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dari orang yang mewariskan kepada warisnya.17

Hukum waris (erfrecht) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban (harta kekayaan) dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang

15 A.Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Diterjemahkan oleh M.Isa Arief, PT.Intermasa, Jakarta, 1986, hal 1

16 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 85

17Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal 12-13

mengatur perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.

Menurut A. Pitlo, “hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana berhubungan dengan meninggalnya seorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga”.18

Oemar Salim mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang memberikan batasan-batasan mengenai warisan antara lain:

1. Seorang yang meninggalkan warisan (erflater) pada saat orang tersebut meninggal dunia

2. Seorang atau beberapa orang ahli waris (erfnaam), yang mempunyai hak menerima kekayaan yang ditinggalkannya itu

3. Harta warisan (nalaten schap) yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan selalu beralih kepada para ahli waris tersebut.19

Tiap-tiap masyarakat memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda. Oleh karena itu keadaan warisan pada masing-masing masyarakat tergantung pada kondisi kekeluargaan serta berdampak pada kekayaan dalam masyarakat tersebut.

Oemar Salim mengutip pula Meyer yang mengatakan bahwa :

Pada mulanya Negara-negara di dunia ini tidak mengenal hak milik perseorangan (individual eigendom) atas barang-barang kekayaan melainkan hanya mengenai milik bersama dari suatu suku bangsa dan suatu keluarga (stem of familie-ergendom). Meninggalnya seseorang bukan berarti harta miliknya yang

18A. Pitlo, Op cit, hal. 3

19 Oemar Salim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Cetakan Ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 4

meninggal, melainkan hanya hal mengurus harta itu saja yang harus dilanjutkan oleh orang lain yang masih hidup.20

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.

Dengan kata lain hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepribadian, misalnya hak dan kewajibann sebagai seorang suami atau seorang ayah tidak dapat diwariskan. Sebaliknya ada juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terletak dalam lapangan hukum perbendaan atau perjanjian tetapi tidak beralih pada para ahli waris misalnya perjanjian perburuhan.

Dalam hukum waris apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi le mort saisit le vif sedangkan pengalihan segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan saisine (Pasal 955 KUH Perdata).21

Adapun syarat untuk menjadi ahli waris adalah sebagi berikut :

a. Mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris yang dapat diperoleh secara ab intestato maupun testamener. Atau terkadang seorang ahli waris memiliki hak yang diperoleh keduanya secara bersamaan.

b. Telah ada pada saat pewaris meninggal. Dalam Pasal 2 KUHPerdata, dinyatakan bahwa bayi yang masih dalam kandungan dianggap telah ada jika mempunyai kepentingan dengan syarat ia lahir hidup. Perkecualian kedua syarat tersebut tidak berlaku bagi orang yang mewarisi karena kedudukannya digantikan oleh keturunannya karena ia telah meninggal dunia namun telah ada ahli warisnya. Dalam Pasal 348 KUH Perdata ditentukan bahwa: Apabila seorang suami meninggal dunia, istri menerangkan atau setelah dipanggil secara sah untuk itu, mengakui bahwa ia sedang mengandung, maka Balai

20Oemar Salim, Ibid, hal. 5

21Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan XXIX, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal.96

Harta Peninggalan (BHP) harus menjadi pengampu atas buah kandungannya dan wajib mengadakan tindakan yang perlu yang mendesak guna menyelamatkan dan mengurus harta kekayannya baik demi kebaikan anak bila ia lahir hidup maupun demi kebaikan semua orang yang berkepentingan.

Selanjutnya dalam ketentuan Stb. 1872 Nomor 166, dalam ketentuan Pasal 44 – 46 ditentukan bahwa : Keterangan istri tersebut tidak dapat diterima bila telah lewat waktu 300 (tiga ratus) hari setelah kematian suaminya. Atas keterangan atau pengakuan adanya kehamilan dan penerimaan pengampuan tersebut maka BHP membuatkan akta dan diberitahukan kepada pegawai penuntut umum. Bagian/warisan bagi anak yang belum dilahirkan tersebut meliputi barang-barang yang akan menjadi milik anak tersebut apabila anak tersebut lahir hidup.

c. Dinyatakan cakap menerima warisan.

d. Tidak dinyatakan sebagai orang yang tidak cakap dan tidak patut .

1) Tidak cakap menerima warisan, yaitu apabila melakukan tindakan tercela seperti telah memfitnah pewaris sehingga pewaris dijatuhi hukuman pidana 2) Tidak patut, yaitu apabila seseorang membunuh pewaris untuk segera

mendapatkan harta waris; dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena memfitnah pewaris atas tuduhan suatu kejahatan yang hu-kumannya lebih dari lima tahun atau lebih; yang diancam dengan kekerasan pewaris lain untuk membuat atau mencabut waris; mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.22

Hak-hak utama ahli waris adalah :

a. Hak untuk menuntut pemecahan harta peninggalan. Diatur dalam Pasal 1066 KUHPerdata. “Tidak seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”. Meskipun demikian, bila para ahli waris sepakat untuk tidak membagikan harta waris tersebut, maka diberikan tempo 5 (lima) tahun harta tersebut untuk dapat dibagikan. Terhadap hal ini golongan Timur Asing yakni Tionghoa menganggap pasal ini adalah ben-cana, sebab harta dianggap sebagai unit ekonomis.

b. Hak saisine. Diatur dalam Pasal 955 KUHPerdata, yaitu pemindahan hak dan kewajiban dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.

Hal ini terjadi secara otomatis tanpa si ahli waris melakukan perbuatan tertentu. Hak ini berasal dari adagium Prancis yang berbunyi “le mart saisin le vif (orang yang mati berpegangan kepada orang yang hidup).

Namun karena terjadinya secara otomatis, orang yang hidup (dalam hal ini ahli waris) sering kali merasa keberatan karena harus menanggung segala utang pewaris yang bisa jadi sedemikian besar melebihi harta yang

22Badriyah Harun, Op cit, hal. 19-20

ditinggalkan, sehingga dalam KUHPerdata diperbolehkan bagi seseorang untuk menolak hak warisnya. Penolakan harus dilakukan dengan tegas dengan suatu pernyataan yang dibuat di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum terbukanya warisan tersebut. Dengan adanya penolakan, maka si ahli waris secara hukum dianggap tidak pernah menjadi ahli waris.

c. Hak heriditatis petitio, yaitu hak untuk mengajukan gugatan guna mempertahankan hak warisnya. Dengan demikian orang tersebut harus membuktikan bahwa dirinya adalah ahli waris yang sah. Hak ini akan gugur dalam jangka waktu 30 tahun sejak terbukanya warisan.23

Pewarisan dapat dilakukan dengan dua jalan, yaitu karena hubungan darah, baik sah maupun tidak sah (di luar perkawinan yang sah) dam karena perkawinan.

“Pewarisan yang terjadi karena hubungan darah didasarkan oleh adagium yang berbunyi “het bloed erfhedgoed” (yang mempunyai hubungan darah terdekatlah yang memiliki hak untuk mewarisi barang-barangnya)”.24

Tidak semua bentuk hubungan darah dapat menjadi ahli waris. Terdapat klasifikasi tertentu yang mengukur jarak jauh dan dekatnya hubungan tersebut. Jauh dan dekatnya hubungan darah dikelompokkan ke dalam golongan-golongan ahli waris, yaitu :

a. Ahlis waris Golongan I

Ahli waris golongan I adalah anak-anak beserta keturunannya dalam garis lurus ke bawah tanpa batas dan suami atau istri yang hidup lebih lama. Dalam ahli waris ini tidak terdapat perbedaan jenis kelamin bagi ahli waris sehingga antara anak yang satu dengan yang lainnya tidak terdapat pembedaan bagian waris.

23Badriyah Harun, Opc cit, hal. 20-21

24Ibid, hal. 22

Anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama dari orangtuanya.

Dalam golongan I terdapat juga kemungkinan terjadinya kewarisan berdasarkan haknya sendiri atau karena pergantian tempat. Pergantian tempat di sini misalnya cucu menggantikan kedudukan anak yang telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum pewaris.

b. Ahli waris Golongan II

Diatur dalam Pasal 854, 855, 856, 857 KUHPerdata. Menurut Pasal 854, warisan golongan II diperoleh karena haknya sendiri, sedangkan menurut Pasal 855 sampai 857 diperoleh karena pergantian tempat. Golongan II terdiri dari ayah, ibu, serta saudara-saudara si pewaris. Hal ini terjadi apabila si mati tidak memiliki anak, suami, atau istri.

1) Ayah, ibu mendapat 1/3 bagian sedangkan sisanya untuk satu saudara, baik laki-laki maupun perempuan;

2) Ayah, ibu mendapat 1/4 bagian jika si mati meninggalkan lebih dari satu saudara. Sisanya (3/4) dibagikan kepada saudaranya;

3) Ayah atau ibu (salah satunya telah tiada) dan pewaris meninggalkan satu orang saudara, maka bagian ayah atau ibu adalah ½ bagian;

4) Ayah atau ibu (salah satunya telah tiada) dan pewaris meninggalkan 2 orang saudara, balk laki-laki maupun perempuan, maka ayah atau ibu mendapat 1/3 bagian;

5) Ayah atau ibu (salah satunya telah tiada), pewaris meninggalkan lebih dari 2 saudara laki-laki atau perempuan, maka bagian ayah atau ibu adalah ¼ bagian;

6) Bila tidak memiliki ayah atau ibu, maka seluruh harta peninggalannya menjadi hak seluruh saudara-saudara si pewaris.

Dalam hal ayah dan ibu, kedua-duanya mewaris dari warisan anaknya, maka dalam Pasal 854 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa :

Apabila seorang meninggal dunia dengan tak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka mereka masing-masig mendapat 1/3 (sepertiga) dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan yang mendapat 1/3 (sepertiga) selebihnya.

“Syarat berlakunya Pasal 854 KUH Perdata adalah tidak ada keturunan maupun suami atau istri, dengan kata lain tidak ada ahli waris golongan pertama”.25

Adapun bagian dari masing-masing ayah dan ibu adalah :

1) Dalam hal bapak atau ibu mewaris sendiri, artinya tidak ada saudara-saudara yang mewaris bersama-sama dengannya, maka ia mewaris seluruh harta (Pasal 859 KUH Perdata)

2) Apabila bapak dan ibu sama-sama mewaris dengan tidak ada saudara-saudara yang mewaris bersama dengan mereka, maka masing-masing mendapat ½ (setengah) warisan.

25J. Satrio, Op cit, hal. 126

3) Dalam hal bapak dan ibu mewaris bersama-masa dengan seorang sudara laki-laki atau perempuan, maka ibu dan bapak masing-masing mendapat 1/3 sedangkan saudara mendapat sisa warisannya yaitu 1/3 (sepertiga). Apabila si pewaris meninggalkan lebih dari seorang saudara laki-laki atau perempuan dan mewaris bersama dengan bapak dan ibu pewaris, maka bapak dan ibu pewaris masing-masing memperoleh ¼ (seperempat) dari warisan, sedangkan 2/3 (dua per tiga) bagian sisanya adalah untuk saudara si pewaris tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 854 ayat (2) KUH Perdata.

c. Ahli waris Golongan III

Sesudah Golongan I dan Golongan II tidak ada lagi, maka muncullah ahli waris Golongan III yang terdiri dari sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ayah maupun ibu (Pasal 853 KUH Perdata). Yang dimaksud dengan keluarga dalam garis ayah dan ibu lurus ke atas adalah kakek dan nenek, yaitu ayah dan ibu dari ayah ibu pewaris, ayat dan ibu dari kakek maupun nenek, baik dari ayah maupun ibu dan seterusnya.

d. Ahli waris Golongan IV

Dalam Pasal 858 ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa :

Dalam hal tidak ada saudara (golongan II) dan sanak saudara dalam salah satu garis lurus ke atas (golongan II) maka ½ (setengah) bagian warisan (kloving) menjadi bagian sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas yang masih hidup (kelompok ahli waris dalam garis yang satu), sedangkan ½ bagian lainnya menjadi bagian sanak saudara dalam garis yang lain.

“Sanak saudara dalam garis yang lain adalah para paman dan bibi sekalian keturunan dari paman-paman dan bibi dan sekalian keturunan dari paman-paman dan bibi-bibi yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris”.26

Mewaris menurut undang-undang (ab intestate) dapat dibedakan antara orang-orang yang mewarisi "uit eigen hoofde" dan mereka yang mewarisi "bij plaatsvervulling." Seorang dikatakan mewarisi "uit eigen hoofde" jika ia mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si pewaris.

Seseorang dikatakan mewarisi "bij plaatsvervuling" jika sebenarnya seorang lain yang berhak atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada orang yang meninggalkan warisan. Apabila beberapa orang bersama-sama menggantikan seseorang, maka dikatakan mereka itu mewarisi "bij staken," karena mereka itu bersama-sama merupakan suatu

"staak" atau cabang.27

Dalam golongan kedua dimasukkan orang tua dan saudara-saudara dari si meninggal. Pada asasnya orang tua itu dipersamakan dengan saudara, tetapi bagi orang tua diadakan peraturan-peraturan yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari ¼ (seperempat) harta peninggalan pertama dan kedua, harta peninggalan itu dipecah menjadi dua bagian yang sama. Satu untuk para anggota keluarga pihak ayah dan yang lainnya untuk para anggota keluarga pihak ibu si meninggal. Dalam masing-masing golongan ini, lalu diadakan pembagian seolah-olah di situ telah terbuka suatu warisan sendiri. Hanya saja tidak mungkin terjadi suatu pemecahan (kloving) lagi, karena pemecahan hanya mungkin terjadi satu kali saja Jika dari pihak salah satu orang tua tiada terdapat ahli waris lagi maka seluruh warisan jatuh pada keluarga pihak orang tua yang lain.

26J. Satrio, Ibid, hal. 146

27Subekti, Op cit, hal. 98

2. Konsepsi

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.

Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.28

“Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum”.29

“Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operational (operational definition)”.30Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghidarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan lain perkataan mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat-akibatnya bagi ahli waris.

28Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 397

29Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Seuatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7

30 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta, 1983, hal.

10

“Ahli Waris adalah mereka yang mempunyai hak atas harta untuk sebagian dari si peninggal warisan”.31

Golongan kedua adalah golongan ahli waris yang warisannya diperoleh karena haknya sendiri ataupun karena pergantian tempat.

Timur Asing adalah warga negara asing yang menjadi penduduk Hindia Belanda yang memegang paspor dari negara asing non Eropa, misalnya dari negera-negara Arab, Cina, Jepang dan lain-lain.

Dokumen terkait