BAB I PENDAHULUAN
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang dititikberatkan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif. “Penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.”32Dalam penelitian ini penelitian hukum yuridis normatif bertujuan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan dan hukum waris bagi masyarakat golongan Timur Asing Cina.
“Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya”.33
31Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Catakan Kedua, Sinar Grafika, 2004, hal. 74
32Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op cit, hal. 13
33Soerjono Soekanto, Op cit, hal. 10
Oleh karena tipe penelitiaan yang akan digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya berlaku bagi golongan Timur Asing Cina terutama dalam masalah perkawinan dan hukum waris.
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan.
Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum tentang hukum waris.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahann hukum primer dan sekunder; misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.34
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi dokumen, untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan penelitian, studi dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini.
34Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc cit
4. Analisis Data
“Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.35
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.36
“Analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif karena penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar”.37
35Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung , 2002, hal. 101.
36Bambang Sunggono, M e to d e Pen e li tian H uku m , Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, hal. 106
37Soerjono Soekanto, Op cit, hal. 69
BAB II
KEDUDUKAN HUKUM AHLI WARIS GOLONGAN II SETELAH TERBITNYA PENETAPAN PENGESAHAN YANG DILAKUKAN SETELAH
PEWARIS MENINGGAL DUNIA
A. Pewarisan Dalam Sistem Hukum Perdata 1. Prinsip Pewarisan Perdata
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam KUH Perdata hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II KUH Perdata tentang Benda.
“Hukum Waris erat hubungannya dengan Hukum Keluarga, karena seluruh masalah mewaris yang diatur undang-undang didasarkan atas hubungan kekeluargaan sedarah karena perkawinan”.38 “Hukum Waris sebagai bidang yang erat kaitannya dengan hukum keluarga adalah salah satu contoh klasik dalam kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen yang tidak mungkin dipaksakan agar terjadi unifikasi”.39
Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut KUH Perdata) adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.40
38Pitlo, Hukum Waris Buku Kesatu, diterjemahkan oleh F. Tengker, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 8
39Erman Suparman, Hukum Perselisihan, Refika Aditama, Jakara, 2005, hal. 128
40A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Terjemahan M.
Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 1.
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.
Dasar hukum bagi ahli waris untuk mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris KUH Perdata adalah sebagai berikut :
a. Menurut ketentuan undang-undang.
b. Ditunjuk dalam surat wasiat”.41
Dasar hukum tersebut menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak menentukan sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan oleh seseorang dimaksud.
Di samping itu, peraturan perandang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi seseorang yang akan menjadi ahli waris terhadap seseorang yang meninggal dunia adalah surat wasiat. “Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia”.42“Sifat utama
41R Subekti, Op. cit., hal. 78.
42R Subekti, Ibid., hal. 88
surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali”.43 Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia maka surat wasiat tidak dapat diubah, dicabut dan ditarik kembali oleh siapa pun termasuk yang menjadi ahli waris.
Kekayaan dalam pengertian waris adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva.
Namun, pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi karena adanya kematian. Oleh karena itu, unsur-unsur terjadinya pewarisan mempunyai tiga persyaratan sebagai berikut:
a. ada orang yang meninggal dunia;
b. ada orang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
c. ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris.44
Hukum waris menurut KUH Perdata berlaku asas “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”45 sebagaimana diatur dalam Pasal 833 jo Ps. 955 KUH Perdata. Hak-hak dan kewajiban dimaksud, yang beralih kepada ahli waris adalah termasuk ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
43Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 85
44Zainuddin Ali, Op cit, hal. 82
45R. Subekti, Op cit, hal. 79.
“Sekalipun redaksi pasal-pasal tersebut hanya berbicara tentang aktiva warisan saja, namun di dalam doktrin dari pasal-pasal tersebut ditafsirkan, bahwa yang beralih adalah baik aktiva maupun pasiva warisan”.46
Menurut Pasal 830 KUH Perdata : “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.“ Jadi harta peninggalan atau warisan baru terbuka kalau si pewaris sudah meninggal dunia dan si ahli waris masih hidup saat warisan terbuka.
M. Idris Ramulyo mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa pengertian kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu :
a. Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana hubungan seseorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana peninggal warisan berada.
b. Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. Hal ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris.
c. Harta Warisan (nalatenschap), yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris. Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada.47
Adapun syarat-syarat untuk memperoleh warisan adalah sebagai berikut : a. Syarat yang berhubungan dengan pewaris
46A. Pitlo, Op cit, hal. 58
47M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 85
Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meninggal dunia/mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 830 KUH Perdata.
Matinya pewaris dalam hal ini dapat dibedakan menjadi :
1) Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), yaitu dapat dibuktikan dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah mati.
2) Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu : tidak diketahui secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah mati.
b. Syarat yang berhubungan dengan ahli waris
Orang-orang yang berhak/ahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan:
1) Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indra.
2) Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih hidup.
Dalam hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya (Pasal 1 ayat (2) KUH Perdata).
“Menurut sistem hukum waris perdata, atas suatu pewarisan berlakulah ketentuan tentang pewarisan berdasarkan Undang-undang, kecuali pewaris mengambil ketetapan lain dalam surat wasiat”.48 Dalam hal ini terdapat asas yang penting dalam hukum waris perdata sebagaimana ditentukan dalam Pasal 847 KUH
48J. Satrio, Op cit, hal. 17
Perdata yang menentukan bahwa tiada seorangpun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku penggantinya.
Ciri khas hukum waris perdata Barat antara lain adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan. Hal itu berarti bila seseorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di pengadilan, maka tuntutan dimaksud, tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1066 KUH Perdata sebagai berikut :
1. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk membiarkan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada.
2. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut.
3. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya beberapa waktu tertentu.
4. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbarui jika masih dikehendaki oleh para pihak.
“Selain itu, dalam KUH Perdata terdapat pula sebab-sebab ahli waris tidak patut atau terlarang (onwaardig) untuk menerima warisan dari si pewaris (Pasal 838, untuk ahli waris karena undang-undang dan Pasal 912 untuk ahli waris karena adanya wasiat)”.49
Menurut Pasal 838 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Ahli waris yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan, adalah:
a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu pengaduan
49Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Darul Ulum Press, Serang, 1993, hal 58
telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman penjara lima tahun lamanya atau lebih berat.
c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris.
Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu :
a. Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
b. Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.
c. Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.
d. Asas Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris.
e. Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak ibu.
f. Asas Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.50
Di dalam KUH Perdata berlaku prinsip, bahwa dengan matinya pewaris, maka si mati berhenti sebagai persoon, dan semua hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya (Pasal 833 jo Pasal 955 KUH Perdata). Sekalipun redaksi pasal-pasal tersebut hanya berbicara tentang aktiva warisan saja, namun di dalam doktrin dari pasal-pasal tersebut ditafsirkan, bahwa yang beralih adalah baik aktiva maupun pasiva warisan. “Orang menggambarkannya dengan ungkapan le mort saisit le vif, si ahli waris melanjutkan persoon si pewaris. Hal ini berarti bahwa ahli-waris mengalihkan warisan dengan alas hak umum”.51
50M. Idris Ramulyo, Op.Cit, hal 95-96
51 J. Satrio, Surat Keterangan Waris Dan Beberapa Permasalahannya, Pertemuan Notaris, Samarinda, 14 September 2004, hal. 3
Pada asasnya yang beralih adalah seluruh kekayaan Pewaris, semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan hukum kekayaan yang seringkali disebut dengan istilah “boedel warisan”. Boedel warisan meliputi, baik hak-hak maupun kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan Hukum Kekayaan. Jika seorang suami mengingkari keabsahan seorang anak (ahli waris), maka harus dibuat akte pengingkaran keabsahan anak dalam waktu 1 bulan jika ia berada di daerah kelahrian anak atau 2 bulan jika berada di luar daerah kelahiran anak. Jika dalam jangka watu tersebut suami meninggal, dan para ahli waris tidak melanjutkan pengingkaran tersebut maka tuntutan pengingkaran keabsahan anak tersebut menjadi gugur, sehingga dalam jangka watu 2 bulan anak tersebut dapat melakukan tuntutan hukum.
Peralihan itu terjadi demi hukum, yang berarti, bahwa pada asasnya semuanya terjadi dengan sendirinya, tanpa si pewaris dan si ahli waris harus melakukan suatu tindakan atau mengambil sikap tertentu. Sudah cukup apabila pewarisnya meninggal dunia dan orang yang terpanggil untuk mewaris masih hidup, dengan pengecualian sebagai yang disebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata.
Apabila prinsip tersebut dilaksanakan secara absolut, maka akan timbul ketidakadilan. Ketidakadilan akan muncul bagi ahli waris apabila warisannya negatif yaitu apabila hutang-hutang warisan lebih besar dari aktivanya. Selain itu ketidakadilan juga muncul apabila seseorang yang pada saat meninggalnya ahli waris, ia masih hidup, namun kemudian ia meninggal dunia dan memiliki keturunan. Berpegang pada asas tersebut di atas, maka si pewaris maupun keturunannya tidak mewaris dari pewaris.52
52Ting Swan Tiong, Surat Keterangan Waris, Media. Notariat, No. 18 - 19 tahun VI - Januari 1991, hal. 160
Terhadap kemungkinan munculnya ketidakadilan tersebut di atas, KUH Perdata ternyata memberikan kesempatan kepada ahli waris untuk menentukan sikapnya terhadap warisan yang terbuka, yaitu menerima atau menolak warisan, sedang untuk menghindarkan munculnya ketidak-adilan pada peristiwa yang disebut kedua, diciptakan lembaga penggantian tempat (plaatsvervuling).
Apabila ahli waris tersebut menerima warisan, maka semua hak dan kewajiban pewaris, untuk suatu bagian tertentu, sesuai dengan hak bagian dalam pewarisan beralih kepada dirinya. Hak bagiannya atas harta warisan tersebut bercampur dengan harta pribadinya. Dalam hal hutang warisan lebih besar daripada aktivanya, maka kekurangannya untuk suatu bagian yang sebanding dengan haknya dalam pewarisan ditanggung/dibayar dengan harta pribadi ahli waris yang bersangkutan.53
Dengan demikian dalam hukum waris menurut KUH Perdata berlaku asas : 1. Menolak warisan berarti menolak seluruh warisan sebagai satu kesatuan 2. Mereka yang sudah menerima warisan tidak bisa menolak lagi.
Untuk menghindari kerugian akibat adanya pewarisan, maka tersedia lembaga:
1. Menerima secara beneficiair
Ahli-waris yang menerima warisan secara beneficiair hanya mau menerima warisan, apabila aktivanya lebih besar dari pasivanya. Untuk menentukan sikap seperti itu, maka aktiva dan pasiva warisan harus didaftar. Itulah sebabnya, bahwa penerimaan warisan secara beneficiair disebut juga menerima warisan dengan hak utama untuk mengadakan pencatatan boedel.
Terhadap ahli waris yang menerima warisan secara beneficiair, harta warisan yang jatuh kepada ahli waris yang bersangkutan untuk sementara tidak bercampur dengan harta pribadinya.
2. Menolak warisan
Mereka yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. Ia tidak menerima apa-apa dari warisan, tetapi ia juga tidak menanggung
beban-53Ting Swan Tiong, Ibid, hal. 161
beban warisan. Pada asasnya, mereka yang telah menolak warisan tidak bisa menerimanya lagi (vide perkecualian dalam Pasal 1056 KUH Perdata).54 2. Status Sebagai Ahli Waris
Ahli waris menurut KUH Perdata dapat diidentifikasi melalui adanya hubungan sedarah, semenda (ikatan perkawinan), dan orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pewaris (melalui surat wasiat). Pasal 290 ayat (1) KUH Perdata: “keluarga sedarah adalah pertalian kekeluargaan antara mereka, yang mana yang satu adalah keturunan yang lain, atau yang semua mempunyai nenek moyang yang sama”. Sedangkan cara mengatur perderajatan diatur dalam Pasal 290 (2) KUH Perdata: “Pertalian keluarga sedarah dihitung dengan jumlah kelahiran dinamakan derajat”.
Yang dimaksud garis lurus yaitu urutan perderajatan antara mereka yang satu adalah keturunan yang lain. Contohnya hubungan anak dengan orang tuanya.
Sedangkan yang dimaksud garis menyamping yaitu urutan perderajatan antara mereka yang mana yang satu bukanlah keturunan yang lain, melainkan yang mempunyai nenek moyang yang sama (Pasal 291 KUH Perdata). Contohnya hubungan antara seseorang dengan saudara saudaranya.
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
54Ting Swan Tiong, Ibid, hal. 161
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama saudara pewaris;
c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.55
Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Akan tetapi seperti juga ahli waris menurut undang-undang atau ab intestato, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari pewaris.
Berdasarkan beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHPerdata tentang surat wasiat, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya.
Ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata yang isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan ahli waris menurut undang-undang antara lain dapat dilihat dari substansi Pasal 881 ayat (2) KUH Perdata, yaitu: “Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau
55Ting Swan Tiong, Ibid, hal. 162-163
pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”.
Seseorang yang akan menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:
a. Harus ada orang yang meninggal dunia (Pasal 830 KUH Perdata);
b. Harus ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan Pasal 2 KUH Perdata, yaitu: “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya”.
Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk mewaris;
c. Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak
c. Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak