• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.38

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum dibidang hukum acara pidana yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoriti, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penulisan tesis ini.39

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas dari teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya sehingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.40

38

J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu sosial, Asas-Asas, (Jakarta: FE UI, 1996) hal 203 39

M. Solly Lubis, Op. Cit., hal 80. 40

W. Friedman, Teori dan Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo), tt, hal. 2

Sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Jelasnya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya.

Menurut Harjono,41

Padanan kata perlindungan hukum dalam bahasa Inggris adalah “legal protection”, dalam bahasa Belanda “rechtsbecherming”. Kedua istilah tersebut juga mengandung konsep atau pengertian hukum yang berbeda untuk memberi makna Para pengkaji hukum belum secara komprehensif mengembangkan teori “perlindungan hukum” dari perspektif keilmuan hukum. Banyak tulisan-tulisan yang dimaksudkan sebagai karya ilmiah ilmu hukum baik dalam tingkatan skripsi, tesis, maupun disertasi yang mempunyai tema pokok bahasan tentang “perlindungan hukum”. Namun tidak secara spesifik mendasarkan pada konsep-konsep dasar keilmuan hukum secara cukup dalam mengembangkan konsep perlindungan hukum. Bahkan dalam banyak bahan pustaka, makna dan batasan-batasan mengenai “perlindungan hukum” sulit ditemukan, hal ini mungkin didasari pemikiran bahwa orang telah dianggap tahu secara umum apa yang dimaksud dengan perlindungan hukum sehingga tidak diperlukan lagi sebuah konsep tentang apa yang dimaksud “Perlindungan Hukum”.

Konsekwensi dari tidak adanya konsep tersebut akhirnya menimbulkan keragaman dalam pemberian Indonesia sebagai negara hukum, tidak terlepas dari falsafah negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 terutama pada alinea pertama yang mengandung nilai-nilai Pancasila. Keduanya merupakan dasar bagi penegakan hukum. Oleh karena itu, sudah seharusnya juga perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi didasarkan pada nilai-nilai kedua alinea tersebut.

41

Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, (Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2008), hal. 373

sesungguhnya dari “perlindungan hukum”. Di tengah langkanya makna perlindungan hukum itu, kemudian Harjono berusaha membangun sebuah konsep perlindungan hukum dari perspektif keilmuan hukum, menurutnya: “ theory legal protection” atau teori perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum”.42

Pada hakekatnya proses penyelenggaraan peradilan pidana yaitu melalui implementasi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil.43 Komponen sistem peradilan pidana yaitu polisi, jaksa, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan ikut bertanggungjawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan.44

Berdasarkan pada asas kesamaan dalam hukum, equality before the law, yang merupakan suatu syarat negara hukum, tidak berlebihan kiranya bila pada saksi diberikan sejumlah hak yang akan memberikan perlindungan padanya.45

42

Ibid., 357 43

Sri Mulyati Chalil, Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor dalam Tindak Pidana

Korupsi, (Jakarta: Wacana Paramita, 2007) hal 8.

44

Abdoel Djamali dan Soebekti, Pengantar Hukum Indonesia (Bandung: Raja Grafindo Persada, 1999) hal 21.

45

M. Munab Islah Ahyani, Pimpinan DPRD Jabar Harus Bisa Jelaskan Kasus Dana 15M, www.detik.com , diakses pada 21 Januari 2011.

Keberadaan saksi pelapor sangat diperlukan dalam menindaklanjuti adanya suatu perbuatan tindak pidana korupsi, dan peran serta saksi pelapor sebaiknya dimulai dari kesadaran diri

pribadi, keluarga, lingkungan dan seluruh lapisan masyarakat untuk dapat mematuhi aspek hukum dan sekaligus menjauhi perbuatan tindak pidana.

Proses hukum yang adil merupakan cita-cita dari pelaksanaan hukum acara. Akan tetapi hal ini hanya dikaitkan dengan tersangka/terdakwa. Seperti dikemukakan oleh Tobias dan Petersen bahwa unsur-unsur minimal dari due process itu adalah: “hearing, counsel, defense, evidence and a fair and impartial court”46 Kepedulian yang demikian besar kepada tersangka/terdakwa menimbulkan persepsi the pendulum has swung too far,47

Kebijakan peradilan pidana selama ini lebih mengutamakan perlindungan pelaku tindak pidana. Padahal peradilan pidana sebagai institusi yang berwenang menjatuhkan sanksi pidana pada orang yang melanggar hukum pidana seringkali menjadi tolok ukur penilaian terhadap watak penguasa dan atau masyarakatnya.

karena seolah-olah telah mengabaikan pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi.

48

46

Marc Weber Tobias dan R. David Petersen, Pre-Trial Criminal Procedure, A Survey of

Constitutional Rights, Charles Thomas Publisher, Chapter 3, seperti dikutip oleh Mardjono

Reksodiputro dalam Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP Sebagai Bagian dari Hak-Hak

Warga Negara (Civil Rights), “ Hak Asasi Menusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta:

Lembaga Kriminologi UI, 1994), hal. 27. 47

Harkristuti Harkrisno, “Perlindungan Korban dan Saksi dalam Proses Pidana dan Urgensi

Perlindungan bagi Mereka”, makalah disampaikan pada Seminar tentang Perlindungan Saksi yang

diselenggarakan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan di Bekasi, 29 Oktober 2002. 48

Mudzakkir, Akses Publik Ke Sistem Peradilan Pidana, Makalah disampaikan pada Lokakarya tentang Akses Ke Peradilan yang diselenggarakan pleh Sentra HAM FHUI bekerjasama dengan Komisi Hukum Nasional RI di Jakarta,. 31 Juli 2002

Menurut Amara Raksasataya, kebijakan (policy) adalah sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, suatu kebijakan (policy) harus memuat 3 (tiga) elemen penting yaitu :

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;

2. Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;dan

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi. 49

Sementara, taktik dan strategi itu sendiri menurut Andi Hamzah adalah suatu metode, rencana untuk mencapai tujuan tertentu.50

Soedarto mendefenisikan kebijakan kriminal (politik kriminal) sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan.

Sehubungan dengan itu diperlukan taktik atau strategi tertentu untuk dapat memberantas tindak pidana korupsi tersebut, setidaknya dapat mengurangi dan menghambat perkembangannya.

51

Kebijakan kriminal dapat diaplikasikan dalam 2 (dua) jalur yaitu jalur penal dan nonpenal.52

Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), berpusat pada dua masalah sentral, yaitu :53

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Kebijakan nonpenal dimaksud sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana lain selain hukum pidana. Dapat dikategorikan dalam

49

Amara Raksasataya, dalam M. Islam Irfany, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan

Negara Jakarta: Bina Aksara, 2002, hal 17-18.

50

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal 550. 51

Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981, hal 114. 52

Ibid. 53

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hal 158.

pendekatan nonpenal adalah pendidikan atau kerohanian dan lain-lain yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan.54

Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus juga dipandang sebagai bagian dari kebijakan pidana.55

Mengenai tujuan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat, Niniek Supami berpendapat sebagai berikut :

Tujuan penegakan hukum harus dapat memberikan jaminan terlaksananya pemerataan keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.

56

Menurut Evi Hartanti :

Keadilan dan hukum akan selalu terkait di dalam pergaulan hidup masyarakat. Keadilan dan hukum tidak dapat dipisahkan dari interaksi kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, tidaklah mungkin ada suatu masyarakat tanpa keadilan dan hukum. Keadilan dan hukum merupakan dasar dari kehidupan manusia sehingga tugas mengadili yang dibebankan pada lembaga pengadilan merupakan suatu tugas yang memerlukan kecermatan dan kematangan baik dalam menyusun pertimbangan hukumnya maupun dalam menetapkan putusannya.

57

54 Ibid. 55

Adama Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung, Alumni. 2006), hal 4.

56

Niniek Supami, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan ( Jakarta, Sinar Grafika, 2001), hal. 12.

57

Evi Hartanti, Op. Cit, hal. 1.

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang-orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum. Melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.

Korupsi itu merupakan kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime), maka upaya pemberantasannyapun seyogyanya bersifat luar biasa (Extra Ordinary Measures).58. Hal ini bertujuan agar hukum mampu berperan dalam menciptakan kontrol aktifitas negara, karena kejahatan merupakan yang sistematik/ struktural/ terorganisir yang berkaitan dengan kekuasaan.59

Made Darma Weda berpendapat sebagai berikut :60

Menurut Barda Nawawi Arif :

Upaya penegakan hukum, walaupun tujuannya sangat mulia namun sangat intens dengan keadaan-keadaan yang kontradiktif. Dimana keadaan-keadaan tersebut dapat membawa dampak ke arah dehumanisasi hukum yang sangat kontra produktif dengan upaya pembangunan manusia seutuhnya yang sedang digalakkan pemerintah saat ini. Pemahaman terhadap ketentuan hukum merupakan syarat mutlak bagi para penegak hukum.

61

1.Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; Penegakan hukum sebagai upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, yaitu :

2.Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal.

Dalam kebijakan peradilan pidana untuk penanggulangan tindak pidana korupsi, saksi menempati posisi kunci. Menurut Surastini Fitriasih :62

Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana telah dimulai sejak awal proses pidana. Harus diakui bahwa

58

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan

Masalahnya, (Bandung, PT. Alumni, 2007), hal 7.

59

Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, (Bandung, CV. Mandar Maju, 2001), hal. 131.

60

Made Darma Weda, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, (Jakarta, Guna Widya, 1999), hal 23.

61

Barda Nawawi Arif , Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996) , hal 4.

62

terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat Kejaksaan sampai pada akhirnya di Pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Saksi jelas merupakan salah satu pihak yang berkepentingan dalam sistem peradilan pidana. Menurut Surastini Fitriasih :63

Pada umumnya saksi dalam kasus tindak pidana korupsi biasanya takut untuk memberikan kesaksiannya karena belum ada terdapat instrument hukum yaitu berupa perlindungan saksi yang memadai dalam perundang-undangan kita. Menurut Dominggus Silaban :

Dalam negara hukum yang menjunjung tinggi asas equality before the law, para saksi pun mempunyai hak untuk mendapat perlindungan sebagaimana halnya tersangka/terdakwa. Kontribusi saksi dalam proses peradilan pidana, selayaknya mendapatkan jaminan agar kesaksian mereka dapat diberikan dengan baik sehingga diharapkan peradilan pidana dapat dijalankan dengan layak untuk mewujudkan keadilan yang bersifat prosedural maupun substantif.

64

Posisi saksi yang demikian penting ini nampaknya sangat jauh dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum.

Secara signifikan kita semua maklum bahwa para pelaku tindak pidana korupsi, terutama dalam kasus-kasus korupsi besar (big corruption) biasanya dilakukan oleh beberapa orang atau oleh orang-orang yang berpengaruh baik karena kekuasaannya (powers) maupun kemampuan finansialnya di dalam masyarakat.

65

63 Ibid. 64

http;//www. Blog-hukum.com (Dominggus Silaban), loc. Cit. 65

Ibid.

Dilihat dari KUHP, kedudukan saksi berada dalam posisi yang lemah. Dalam rangka mewujudkan peradilan pidana yang jujur

dan adil, seharusnya perlindungan saksi tidak berbeda dengan tersangka/terdakwa, karena :66

1. Bagi saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah;

2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya karena dianggap bersumpah palsu;

3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan;

4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya;

5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka/terdakwa.

Perlindungan bagi saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan oleh saksi dalam posisinya dalam proses peradilan pidana. Perlindungan bagi saksi merupakan salah satu bentuk penghargaan atas kontribusi saksi dalam proses peradilan pidana.67

Terlebih lagi dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain peran serta saksi Pelapor (berupa peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah merupakan upaya pencegahan/preventif disamping tindakan penindakan/represif, yang meliputi reformasi birokrasi, menata ulang dan mengkaji serta memperbaiki manajemen pengelolaan keuangan negara maupun melakukan optimalisasi lembaga-lembaga pengawasan disetiap lembaga-lembaga pemerintah.

Peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

68

66

Harkristuti Harkrisno, Op. Cit. 67

Ibid. 68

Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.69

Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.

Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya, di samping pembuktian dengan alat bukti yang lainnya, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

2. Landasan Konsepsional

70

Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.71

1. Korupsi diartikan sebagai suatu tingkah laku dan/atau tindakan seseorang yang tidak mengikuti atau melanggar norma-norma yang berlaku serta mengabaikan rasa kasih sayang dan tolong menolong dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat dengan mementingkan diri pribadi/ keluarga/ kelompok/ golongannya dan yang tidak mengikuti atau mengabaikan pengendalian diri sehingga kepentingan lahir dan bathin atau jasmani dan rohaninya tidak seimbang, tidak serasi dan tidak selaras dengan mengutamakan kepentingan lahir berupa meletakkan nafsu duniawi yang berlebihan sehingga merugikan keuangan atau kekayaan negara dan/ atau kepentingan masyarakat atau negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.72

69

Ibid, hal 287 70

Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hal

10 71

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan

Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi (Medan : PPs USU, 2002), hal 35

72

2. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP).

3. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 27 KUHAP).

4. Pelapor adalah : orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau Komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi (Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 pada bagian Penjelasannya Pasal 3 ayat (1)).

5. Perlindungan khusus didefinisikan sebagai suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara untuk memberikan jaminan rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya.73

6. LPSK dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah suatu lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau Korban.

73

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait