• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKANAN DI CATERING MITRA SHAFIRA PERSPEKTIF FIQH MUAMALAH” (Studi Kasus di Klodran, Colomadu, Karanganyar)

F. Kerangka Teori

Allah mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan dari-Nya untuk hamba-Nya. Semua manusia secara pribadi memiliki kebutuhan seperti sandang, pangan dan lainnya. Keperluan ini tidak akan putus dan berhenti selama manusia masih hidup tak seorangpun dapat memenuhi hidupnya, oleh karena itu dituntut berhubungan dengan lainnya. Dalam hubungan ini tidak ada yang sempurna dalam pertukaran (jual beli) memberikan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.14

Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua macam yaitu jual beli yang sah dan jual beli yang tidak sah. Jual beli yang sah adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara‟ baik rukun maupun syaratnya, sedangkan jual beli yang tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi syarat maupun rukunnya. Sehingga jual beli itu menjadi rusak atau batal.15

Akad jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar barang atau benda yang memiliki nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda dan pihak yang lainnya menerima uang sebagai

14

Gunawan Wihananto, Penerapan Khiyar..., hlm 8

11

kompensasi barang, dan sesuai dengan perjanjian dan ketentuan yang telah dibenarkan syara‟ dan disepakati16

Praktik jual beli yang juga tidak disandarkan pada keimanan, akan mendorong para pelaku bisnis mengabaikan nilai-nilai moralitas. Jual beli dianggapnya sebagai aktifitas ekonomi manusia yang bertujuan mencari laba semata-mata, apapun yang dilakukan demi meraih tujuan tersebut yaitu mencari laba. Hal semacam itu tidak dibenarkan, didalam aturan agama alasan-alasan rasional tentang tindakan manusia dalam semua aspek kehidupannya, tidak terkecuali aktifitas bisnis.17

Adapun rukun dan syarat jual beli: 1. Rukun jual beli

Para ulama fiqih telah sepakat bahwa, jual beli merupakan suatu bentuk akad atas harta. Adapun rukun jual beli adalah sebagai berikut : a. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)

b. Nilai tukar barang (uang) dan barang yang dibeli c. Shigat (Ijab qabul) .18

Transaksi jual beli harus memenuhi rukun-rukun ini. Jika salah satu rukunnya tidak terpenuhi, maka tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli. Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa rukun yang terdapat dalam transaksi jual beli ada tiga, yaitu penjual dan

16 Masjupri, Buku Daras Fiqih Muamalah 1..., hlm 105.

17Gunawan Wihananto, Penerapan Khiyar...., 2006, hlm 9.

18

Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 1996), hlm. 34.

12

pembeli, barang yang dijual dan nilai tukar sebagai alat membeli, dan ijab qabul atau serah terima.19

2. Syarat jual beli

Pertama tentang subjeknya, yaitu kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual beli (penjual dan pembeli) disyaratkan:

a. Berakal sehat

b. Dengan kehendaknya sendiri (tanpa paksaan) c. Kedua belah pihak tidak mubadzir

d. Baligh atau Dewasa.20

Kedua, tentang objeknya. Yang dimaksud objek jual beli adalah benda yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli. Benda tersebut harus memenuhi syarat-syarat:

a. Suci barangnya b. Dapat di manfaatkan

c. Milik orang yang melakukan akad d. Mampu menyerahkan objeknya e. Mengetahui objeknya.

Dalam perspektif Islam, jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus diletakkan dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari ajaran Islam, yakni Al-Qur ‟an dan Hadis. Karena itu,sistem nilai yang Islami yang mendasari perilaku perdagangan merupakan masalah penting untuk diungkapkan. Dari perspektif Islam

19

Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah,(Jakarta:RajawaliPress,2010),hal.70.

20

13

tersebut,perdagangan ternyata memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Perdagangan yang dijalankan berlandaskan nilai-nilaiIslam dalam penelaahan ini dipahami sebagai yang berdimensi ukhrawi, dan demikian sebaliknya berdimensi duniawi apabila suatu aktivitasperdagangan terlepas dari nilai-nilai Islam.21

Fiqh muamalah merupakan gabungan dari dua kalimat dari Arab

al-fiqh dan al-muamalah. Secara terminologi, fiqh adalah salah satu

bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun hubungan manusia dengan Penciptanya. Rumusan hukum yang ada dalam fiqh merupakan produk pemikiran para Imam Mujtahid.22

Pengertian luas fiqh muamalah adalah kumpulan hukum yang disyariatkan Agama Islam yang mengatur hubungan kepentingan antar sesama manusia dalam berbagai aspek. Dalam pengertian ini fiqh muamalah membahas semua hal yang terkait dengan pengaturan perilaku manusia baik pada aspek perdata, pidana hukum privat, politik dan lain-lain.23

Fiqh muamalah dalam pengertian sempit, yaitu hukum-hukum yang mengatur tentang transaksi kebendaan mulai dari cara

21Jusmaliani , Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.14.

22

M Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan

Syaraih, (Yogyakarta:Logung Printika, 2009), hlm 3

23

14

memperoleh hingga pendistribusiannya. Dalam perspektif ini, fiqh muamalah menurut al-fikri dibagi menjadi :

a. Al-mu‟amalah al-madiyah b. Al-muamalah al adabiyah

Di dalam fiqh muamalah terdapat beberapa hal yang dijadikan prinsip terkait dengan muamalah adabiyah dan muamalah

al-madiyah. Hal-hal tersebut adalah:

a. Hak dan b. Milik.

Bai istishna‟ adalah akad jual beli antara pemesan (mustashni‟) dengan penerima pesanan (sani‟) atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu‟) . Istishna‟ juga merupakan jasa pembiayaan engan mengambil bentuk transaksi jual beli. Istishna‟ berarti meminta dibuatkan/dipesankan, akad yang mengandung tuntutan agar tukang atau ahli (shani) membuatkan suatu pesanan dengan ciri khusus. Istishna‟ adalah jual beli antara pemesan dan penerima pesanan, dimana spesifikasi dan harga barang disepakati diawal sedangkan pembayaran dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan.24

Rukun Istishna.

24

Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan syariah produk-produk dan aspek-aspek hukumnya,

15

Menurut ulama Hanafiah rukun istishna‟ adalah ijab dan qabul. Sementara jumhur ulama menetapkan rukun istishna‟ ada tiga, sebagai berikut:

a. „Aqid.

b. Ma‟qud „alaih.

c. Shighat, atau ijab dan qabul.

Adapun syarat-syarat istishna‟ adalah sebagai berikut.

a. Pihak yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli. b. Ridha

c. Apabila isi akad disyaratkan shani‟ (pembuat barang) hanya bekerja saja, maka akad ini bukan lagi Istishna‟, tetapi menjadi akad ijarah (sewamenyewa).25

d. Pihak yang membuat menyatakan kesanggupan untuk mengadakan atau membuat barang itu.

e. Mashnu‟ (barang atau objek pesanan).

f. Barang tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara‟.

Dokumen terkait