• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep negara hukum memandang bahwa hukum harus digunakan sebagai instrumen pengaturan mengenai kewenangan lembaga-lembaga negara, perwujudan Hak Asasi Manusi (HAM) dan keadilan.29 Perlindungan konsumen lahir seiring gerakan pengakuan HAM di berbagai negara. Dewasa ini, hukum perlindungan konsumen mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan hanya masyarakat selaku konsumen yang mendapatkan perlindungan, namun pelaku usaha mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum. 30 Dengan kata lain para pihak memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Pasal 1 angka 1 UUPK mengatur bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Berdasarkan pengertian tersebut, perlindungan konsumen diharapkan memberi kepastian hukum terhadap pihak konsumen baik dilakukan oleh pelaku usaha maupun pemerintah. Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Perlindungan konsumen sesungguhnya indentik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.31 Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini ingin mengkaji perlindungan konsumen pada tahap prakontrak dalam perjanjian baku pembiayaan kendaraan bermotor roda empat secara empiris tentang realitas hukum yang berlaku dan berkembang pada tahap prakontrak di BCA Finance.

29 John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kadaluwarsa, Jakarta: Pelangi Cendikia, 2007, hlm. 24.

30 Celine Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hlm. 1.

Pelindungan konsumen merupakan konsekuensi dan bagian dari kemajuan teknologi dan industri, karena perkembangan produk-produk industri di satu pihak, di pihak lain memerlukan perlindungan terhadap konsumen.32 Menurut Erman Rajagukguk perlindungan konsumen harus mendapat perhatian lebih, satu dan lain hal, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, di mana ekonomi Indonesia juga berkaitan dengan ekonomi dunia.33 Persaingan dalam perdagangan internasional tersebut dapat membawa implikasi negatif bagi perlindungan konsumen.

Teori ekonomi Adam Smith berpengaruh terhadap pembentukan teori hukum perlindungan konsumen. Pandangan tersebut melahirkan dua teori besar: Pertama, perlindungan oleh pasar tanpa intervensi pemerintah; Kedua, perlindungan konsumen dengan intervensi pemerintah terhadap pasar.34 Teori ekonomi mengenai hubungan antara konsumen dan produsen berimplikasi pada teori hukum yang berkembang pada era dominasi kebebasan individu dan liberalisme.35 Kekuatan konsumen melahirkan teori dan doktrin dalam kontrak, yaitu kebebasan berkontrak dan hubungan kontrak. Doktrin tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan hukum perlindungan konsumen.

Menurut Az. Nasution hukum perlindungan konsumen timbut akibat lemahnya posisi konsumen, sehingga perlu mendapatkan perlindungan hukum.

Salah satu sifat dan tujuan hukum adalah memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. Hukum perlindungan konsumen merupakan

32 Inosentius Samsul, Loc.Cit.

33 Ibid., hlm. 3.

bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas dan kaidah-kaidah, dan bersifat mengatur dan mengandung sifat melindungi konsumen.36

John F. Kennedy dalam pidatonya di Kongres Amerika Serikat pada tanggal 15 Maret 1962 melalui A special Message for the Protection of Consumer Interest yang dalam masyarakat internasional lebih dikenal dengan Declaration of Consumer Right. Empat hak dasar konsumen (the four consumer basic rights) tersebut meliputi: 1) Hak untuk mendapat/memperoleh keamanan (the right to safety); 2) Hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed); 3) Hak untuk memilih (the right to choose); 4) Hak untuk didengarkan (right to be heard).37 Resolusi PBB Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection)38 merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi meliputi:

1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.

2. Promosi dan perlindungan ekonomi sosial konsumen.

3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan kepada mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi.

4. Pendidikan konsumen.

5. Tersedianya upah ganti rugi yang efektif.

6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk

36 Ibid., hlm. 64.

menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Hak-hak konsumen dalam UUPK merupakan hak yang sudah melekat bagi siapun yang berkedudukan sebagai konsumen, sekaligus sebagai subjek.

Perlindungan konsumen di Indonesia mendapat pengakuan dengan lahirnya UUPK. Hak-hak konsumen yang berlaku secara universal dan diakui hukum internasional telah diadopsi dalam UUPK. Hak-hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK meliputi:

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Eksitensi subtansi hukum perlindungan konsumen sebenarnya berkat pada teori ekonomi (hukum) pasar.39 Perlindungan konsumen di Indonesia berdasarkan tentang hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi. Hukum perlindungan konsumen adalah peraturan perundangan, baik undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya serta putusan hakim yang subtansinya mengatur mengenai kepentingan konsumen. Pentingnya perlindungan konsumen selain untuk HAM, melainkan untuk mencapai keadilan berbagai pihak, khususnya konsumen. Tujuan hukum perlindungan konsumen secara langsung adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen. Secara tidak langsung, hukum perlindungan konsumen secara mendorong produsen untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab.40

Menurut Pasal 1313 KUHPerdata pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Istilah perjanjian sama dengan kontrak, yang pada prinsipnya terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat oleh para pihak.41

39 Ibid., hlm 26.

Esensi dari kontrak adalah kesepakatan (agreement).42 Sumber hukum perjanjian (kontrak) di Indonesia adalah KUHPerdata. Berkaitan dengan perjanjian baku lebih lanjut secara khusus diatur dalam UUPK.

Syarat syahnya suatu perjanjian diatur dalam 1320 KUHPerdata mencakup: 1) kesepakatan; 2) kecakapan para pihak; 3) suatu hal (objek) tertentu; 4) suatu sebab (kausa) yang halal. Pasal 1320 KUHPerdata sebenarnya membatasi kebebasan kontrak melalui pengaturan persyaratan sahnya perjanjian. Pada perkembanganya, ternyata kebebasan berkontrak dapat menimbulkan ketidakadilan, karena untuk mencapai asas kebebasan berkontrak harus didasarkan pada posisi tawar (bergaining position) para pihak yang seimbang.43 Asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa para pihak memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Periode atau tahap atau fase dalam kontrak secara umum dibagi menjadi 3 (tiga) meliputi: 1) Periode prakontrak (pre contractual period); 2) Periode pelakasanaan kontrak (contractual performance period); 3) Periode pascakontrak (post contractual periode).44 Suatu perjanjian (kontrak) dimulai sejak dilakukan proses penawaran atau promosi kepada konsumen atau negosiasi kontrak oleh para pihak. Lebih lanjut untuk mempermudah memahami tahap dalam kontrak dapat digambarkan sebagai berikut:

42 Ibid., hlm. 75.

Kata sepakat Berakhirnya kontrak Prakontrak | Pelakasanaan kontrak | Pascakontrak

Gambar 1.1. Periode dalam Kontrak (Sumber: Ridwan Khairandy, 2013:72)

Berdasarkan gambar di atas, periode dalam kontrak secara lebih lanjut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Periode prakontrak merupakan masa sebelum para pihak mencapai kesepakatan mengenai rencana transaksi yang mereka adakan. Pada periode ini dilakukan dengan negosiasi atau perundingan para pihak mengenai rencana kerjasama atau transaksi di antara mereka (para pihak).45 Negosiasi adalah suatu metode untuk mencapai perjanjian (kesepakatan) dengan unsur kooperatif maupun kompetitif.46

2. Periode pelaksanaan kontrak ketika para pihak yang mengadakan kontrak melaksanakan isi kesepakatan.47 Periode ini dimulai sejak para pihak mencapai kesepakatan, dan berakhir seiring dengan berakhirnya kontrak.

3. Periode pasca kontrak adalah periode yang terakhir dan setelah berakhirnya kontrak.48 Periode ini berakhir ketika konsumen telah memenuhi kewajiban, yaitu membayar angsuran sesuai jadwal dalam perjanjian atau melakukan pelunasan dipercepat sesuai kesepakatan para pihak.

45 Ibid.

46 Alan N. Schoonmaker, Langkah-langkah Memenangkan Negoisasi, Diterjemahkan oleh Burhan Wisnubrata, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1993, hlm. 6.

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik oleh para pihak.

Lebih lanjut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata mengatur bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Iktikad baik (good faith) dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu iktikad baik prakontrak dan iktikad baik pelaksanaan kontrak.49 Iktikad baik prakontrak adalah iktikad yang harus ada pada saat para pihak melakukan negosiasi atau sejak awal tahap dalam kontrak. Iktikad baik prakontrak memiliki makna kejujuran (honesty). Iktikad baik tersebut disebut iktikad baik subjektif, karena didasarkan pada kejujuran para pihak yang melakukan negosiasi. Iktikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tidak sama dengan kejujuran dalam melaksanakan kontrak.

Dengan demikian, iktikad baik prakontrak (hubungan prakontraktual) berdasarkan kejujuran para pihak dalam proses negoisasi kontrak.

Iktikad baik pelaksanaan kontrak disebut iktikad baik objektif. Hal tersebut mengacu pada isi suatu kontrak (perjanjian) yang harus patut dan rasional.50 Isi kontrak mencakup hak dan kewajiban para pihak yang melakukan atau membuat kontrak. Hak dan kewajiban yang diatur dalam kontrak tersebut harus patut dan rasional pula. Dengan demikian, iktikad baik pelaksanaan kontrak bermakna bahwa para pihak dalam melaksanakan isi kontrak secara patut dan rasional.

Asas iktikad baik berkontrak baik menurut hukum kontrak nasional dan internasional merupakan prinsip yang fundamental.51 Sehingga harus ada iktikad baik pada waktu prakontrak, pelaksanaan kontrak, dan pasca kontrak.

49 Ibid., hlm. 91-92.

Dunia bisnis membutuhkan prinsip ini agar sebuah kontrak dapat direalisasikan atas dasar rasa percaya antara para pihak. Kontrak dalam sistem hukum kontinental, mensyaratkan kewajiban iktikad baik bukan saja ketika kontrak ditandatangi, tetapi sebelum kontrak ditandatangani pula. Sebagaimana KUHPerdata Indonesia merupakan hukum peninggalan Belanda, yang esensinya menganut sistem hukum kontinental. Menurut sistem hukum kontinental, iktikad baik dalam melaksanakan kontrak mengacu pada pelaksanaan isi kontrak secara patut dan rasional.

Perjanjian dari masa ke masa mengalami perubahan bentuk dan lahirnya bentuk baru perjanjian. Salah satu bentuk perjanjian yang digunakan dan berkembang di masyarakat adalah perjanjian dengan klausula baku. Menurut Pasal 1 angka 10 UUPK Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Pasal 18 ayat (1) UUPK mengatur bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut:

1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;

2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Lebih lanjut Pasal 18 ayat (2) UUPK mengatur bahwa Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Konsekuensi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, Pasal 18 ayat (3) UUPK mengatur bahwa Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Pasal 18 ayat (4) UUPK mengatur bahwa Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Klausula baku mempunyi ciri berikut: 1) Sebuah klausula dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, yang posisinya relatif lebih kuat dibandingkan konsumen; 2) Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi klausula tersebut; 3) Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal; 4) Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong kebutuhan. Klausula baku pada umumnya mengandung klausula eksonerasi.

Menurut Sidarta, klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggungjawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual).52 Akibat perjanjian baku, tidak ada keseimbangan posisi tawar-menawar antara produsen/penyalur produk (kreditur) dengan pihak konsumen (debitur).

Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Konsumen (debitur) dan lembaga pembiayaan (kreditur) terikat hubungan kontraktual, yang ditunjukkan oleh adanya kontrak atau perjanjian yang ditandatangani oleh kedua pihak. Kontrak tersebut memuat hak dan kewajiban para pihak beserta sanksi bagi yang wanprestasi. Pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan cara pembayaran angsuran.53 Pembiayaan konsumen adalah suatu pinjaman atau kredit yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada debitur untuk pembelian barang atau jasa yang akan dikonsumsi oleh konsumen, dan bukan untuk tujuan produksi ataupun distribusi.

Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan mengatur bahwa kegiatan perusahaan pembiayaan konsumen meliputi kebutuhan konsumen: 1) Pembiayaan kendaraan bermotor;

2) Pembiayaan alat-alat rumah tangga; 3) Pembiayaan barang-barang elektronik; 4) Pembiayaan perumahan. Kendaraan bermotor adalah mobil dengan berbagai jenis, tipe, dan merk, serta sepeda motor dan scuter.54 Dengan kata lain mobil merupakan objek yang dapat dibiayai melalui kredit pembiayaan konsumen yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan.

Perusahaan pembiayaan konsumen dapat didirikan oleh institusi nonbank maupun oleh bank. Bank sebagai lembaga keuangan konvensional dinilai tidak mampu lagi menanggulangi perkembangan akan penyaluran kredit di masyarakat. Setelah itu mucul berbagai lembaga pembiayaan. Kelebihan pembiayaan melalui leasing (lembaga pembiayaan) meliputi: 1) unsur fleksibilitas; 2) ongkos lebih murah; 3) penghematan pajak; 4) pengaturannya tidak terlalu complicated; 5) kriteria bagi lessee yang longgar; 6) pemutusan kontrak leasing oleh lessee; 7) pembukuan yang lebih mudah.55 Kelemahan pembiayaan melalui leasing meliputi: 1) biaya bunga yang tinggi; 2) biaya marginal yang tinggi; 3) kurangnya pelindungan hukum; 4) proses eksekusi leasing macet yang sulit.56 Hubungan antara para pihak dalam pembiayaan kendaraan roda empat pada tahap prakontrak sebagai berikut:

54 Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hlm.

233.

55 Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek: Leasing, Factoring, Modal Ventura, Pembiayaan Konsumen, Kartu Kredit, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hlm.

Perusahaan pembiayaan Supplier (Dealer)

(Kreditur) (harga barang)

(perjanjian pembiayaan konsumen) (perjanjian jual beli)

Konsumen

(Debitur) (penyerahan barang)

Gambar 1.2. Hubungan Para Pihak dalam Pembiayaan Mobil (Sumber Munir Fuady, 1995:20)

Pembelian mobil secara kredit melalui perusahaan pembiayaan melibatkan pihak ketiga dan serta perjanjian tambahan. Konsumen sebagai pihak yang lemah dalam perjanjian baku pembiayaan kendaraan roda empat perlu mendapatkan perlindungan hukum dalam tahap prakontrak, khususnya oleh pelaku usaha. Prinsip perlindungan hukum bersumber pada pengakuan dan perlindungan HAM.57 Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian hukum konsumen yang memuat kaidah bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi konsumen.58 Perjanjian baku dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi, karena cepat, biaya murah, efektif dan efisien. Perlindungan konsumen melindungi dan memberi keseimbangan dampak hubungan hukum produsen dan konsumen.59 Sehingga erat kaitannya perlindungan konsumen dalam perjanjian pembiayaan konsumen.

57 Philipus M. Hadjono, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkup Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm. 38.

58 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar, 1995, hlm. 65

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait