• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Mengenai alat bukti dan sistem pembuktian. a. Pengertian Alat Bukti

Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka, 2003 : 11).

b. Alat Bukti Yang Sah.

Pasal 172 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer mengatur mengenai alat bukti yang sah yaitu: 1) Keterangan Saksi 2) Keterangan Ahli 3) Keterangan Terdakwa 4) Surat 5) Petunjuk

Adapun penjelasan serta keterangan mengenai alat bukti yang sah tersebut adalah sebagai berikut :

xxv

Dasar Hukum mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 172 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

”Keterangan Saksi sebagai barang bukti adalah keterangan yang dinyatakan Saksi di sidang pengadilan” ( Pasal 173 ayat (1)UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer).

Apabila dikaji dari visi praktek peradilan, pada hakikatnya agar keterangan saksi harus mempunyai nilai pembuktian yaitu harus memenuhi hal-hal berikut :

a) Syarat Obyektif

(1) Tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa. (2) Tidak boleh ada hubungan keluarga.

(3) Mampu bertanggung jawab, yakni sudah berumur 15 (lima belas) tahun atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan.

b) Syarat Formal.

(1) Kesaksian harus diucapkan dalam sidang.

(2) Kesaksian tersebut harus diucapkan di bawah sumpah. (3) Tidak dikenal asas unus testis nullus testis.

c) Syarat Subyektif atau material.

(1) Saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia dengar.

(2) Dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar dan mengalami.

Alat bukti keterangan saksi dalam hukum acara pidana merupakan hal yang sangat penting dan diutamakan dalam

xxvi

membuktikan kesalahan terdakwa, Hakim harus sangat cermat dan teliti dalam menilai alat bukti keterangan saksi ini, karena dengan alat bukti keterangan saksi ini akan lebih mengungkap peristiwanya. Keterangan saksi dinilai mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, apabila diikuti sumpah dan janji. Seseorang yang akan dimintai kesaksiannya harus terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji menurut keyakinannya masing-masing.

Kekuatan pembuktian keterangan saksi adalah sebagai berikut : a) Mempunyai kekuatan pembuktian bebas.

Dalam alat bukti kesaksian tidak melekat sifat pembuktian sempurna (volledig bewijskracht), dan juga tidak melekat didalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht).Artinya bahwa alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian ”bebas”.

b) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim 2) Keterangan Ahli

Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 174 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pasal tersebut menyatakan bahwa keterangan ahli sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan seorang ahli di sidang pengadilan.

Pada hakikatnya keterangan ahli itu adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Konkretnya, keterangan ahli sebagai

xxvii

gradasi kedua alat bukti yang sah adalah ”apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.

Keterangan ahli ini juga dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit pula dibedakan secara tegas.Kadang-kadang, seorang ahli merangkap sebagai seorang saksi, namun isi dari keterangan ahli dan keterangan saksi itu berbeda.Keterangan saksi adalah mengenai apa yang dialami oleh saksi itu sendiri, sedangkan keterangan ahli dimaksudkan untuk menjernihkan persoalan yang timbul di sidang pengadilan.

3) Keterangan terdakwa.

Keterangan terdakwa secara limitatif diatur dalam Pasal 175 UU No.31 Tahun 1997 yang berbunyi bahwa :

a) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

b) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. c) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya

sendiri.

d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

xxviii

Pada dasarnya, pengertian keterangan terdakwa adalah lebih luas dibanding dengan pengakuan terdakwa. Oleh karena itu, dengan memakai keterangan terdakwa dapat dikatakan lebih maju daripada pengakuan terdakwa. Keterangan terdakwa ada kemungkinan berisi pengakuan terdakwa, sedangkan keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan terdakwa. Oleh karena aspek ini mengandung makna bahwa segala sesuatu yang diterangkan oleh terdakwa sekalipun tidak berisi pengakuan salah merupakan alat bukti yang sah. Dengan demikian, proses dan prosedural pembuktian perkara pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengejar dan memaksakan agar terdakwa mengaku.

Di dalam memberikan keterangan, keterangan terdakwa itu harus bersifat bebas artinya:

a) Dalam pemeriksaan, penyidik atau dalam persidangan tidak boleh dilakukan penekanan dalam bentuk apapun.

b) Kadang-kadang terdakwa dalam praktek juga sering memberikan keterangan dalam keadaan tertekan dengan kehadiran saksi atau sesama terdakwa.

c) Kebijaksanaan hakim ketua sidang yang diambil juga sama seperti memeriksa saksi yabg tertekan, yakni mengeluarkan saksi atau terdakwa lainnya.

4) Surat.

Didalam Undang-Undang Peradilan Militer secara substansial Alat bukti ”surat” ini ditentukan dalam Pasal 176 yang selengkapnya berbunyi demikian : “ Surat sebagai alat bukti yang sah, apabila dimuat atas nama sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah berupa,

xxix

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang didalamnya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan orang yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Macam-macam surat antara lain : surat biasa, surat otentik, surat di bawah tangan. Tidak ada pengaturan khusus tentang cara memeriksa alat bukti surat, maka harus diingat bahwa harus ada keyakinan dari hakim terhadap alat bukti yang diajukan di persidangan. Nilai alat bukti itu bersifat bebas.

5) Petunjuk.

Dalam Pasal 177 UU 31 Tahun 1997 diatur petunjuk sebagai alat bukti yaitu , Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

xxx

Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 177 tersebut hanya dapat diperoleh dari :

a) Keterangan Saksi. b) Keterangan Terdakwa c) Surat

“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.

Tidak setiap petunjuk mempunyai kekuatan pembuktian yang sama.Lemah atau kuatnya kekuatan pembuktian tergantung pada hubungan yang banyak atau kurang antara perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai petunjuk tersebut dengan perbuatan yang dituduhkan dan kesalahan terdakwa. Ada perbuatan-perbuatan yang keadaannya sedemikian pasti menunjukan kesalahan terdakwa, sehingga setiap orang yang berpikiran harus menarik kesimpulan tersebut tidak sedemikian mudahnya ditarik.

c. Pengertian Sistem Pembuktian

Adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim itu harus membentuk keyakinannya.

xxxi

Suatu pembuktian pada dasarnya untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang masa lalu tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana dalam sistem pembuktian dikenal berbagai macam sistem.Menurut Andi Hamzah, didalam teori dikenal 4 (empat) sistem pembuktian yaitu:

1) Conviction In Time

a) Ajaran pembuktian Conviction in time adalah suatu ajaran pembuktian yang menyandarkan pada keyakinan hakim semata.

b) Hakim di dalam menjatuhkan putusan terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan putusaannya tidak menjadi masalah..Hakim tidak boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada di persidangan. c) Akibatnya dalam memutuskan perkara menjadi subyektif

sekali, hakim tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya. Seseorang bisa dinyatakan bersalah dengan tanpa bukti yang mendukungnya. Demikian sebaliknya hakim bisa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan, meskipun bukti-bukti yang ada menunjukan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.

Aliran ini sering disebut aliran bebas (vrijstesel), karena sistem ini memberi kebebasan pada hakim terlalu besar sehingga sulit diawasi.Pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan pengambilan sumpah saksi, pembacaan berkas perkara terdapat pada semua perunda-undangan acara pidana, termasuk sistem keyakinan hakim.

xxxii

d) Sistem pembuktian Conviction in time dipergunakan dalam sistem peradilan juri (Jury rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika Serikat.

2) Conviction in Raisone

Ajaran pembuktian ini juga masih menyandarkan pula kepada keyakinan hakim. Hakim tetap tidak terikat pada alat-alat yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh Undang-undang.Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seorang bersalah atau tidak berdasar keyakinannya, yaitu keyakinan yang didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan pada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.Sistem atau teori ini dapat juga dikatakan pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.

3) Sistem Pembuktian Positif

Sistem pembuktian positif (positif wetelijk) adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan pada undang-undang, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.Tentu saja sistem Positief wettelijk ini mengandung kelemahan, karena jika alat bukti sudah memenuhi ketentuan dalam undang-undang, mau tidak mau terdakwa harus dihukum, walaupun hakim yakin.Seorang terdakwa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya didasarkan pada alat bukti

xxxiii

yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh Undang-Undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan.

4) Sistem Pembuktian Negatif

Sistem pembuktian negatif (Negatief wettelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisonee. Didalam sistem negatif ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni:

(1) WETTELIJK : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. (2) NEGATIEF : adanya keyakinan (nurani)dari hakim,

yakni berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. KUHAP menganut sistem atau teori Pembuktian berdasarkan undang-undang negatif(negatief wetelijk).Hal tersebut dapat disimpulkan dari pasal 183 KUHAP yang menyatakan :”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dalam hukum pembuktian pada acara pidana ada tiga bagian yang penting yaitu :

1. Menyebutkan alat-alat yang dapat dipakai oleh Hakim untuk mendapatkan gambaran dari peristiwa pidana masa lampau. 2. Menggunakan cara bagaimana alat-alat bukti itu

dipergunakan.

xxxiv

b. Tinjauan Mengenai Pemeriksaan perkara di Peradilan Militer Berdasarkan Undang-Undang No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menentukan tentang pemeriksaan perkara di depan Pengadilan Militer, yaitu :

1) Acara Pemeriksaan Biasa

Mengenai acara pemeriksaan biasa diatur dalam Bab IV bagian keempat Paragraf 1 Pasal 141 sampai dengan Pasal 197 Undang-Undang tersebut. Dalam bagian ini diatur antara lain hal-hal yang berhubungan dengan Hakim, Jaksa, pembela, Saksi, Terdakwa, pengunduran diri sebagai saksi kewajiban memberi keterangan sebagai ahli, pembuktian, tuntutan pidana, pembelaan, penggabungan perkara ganti rugi, musyawarah hakim dan putusan pengadilan.

Sebagaimana ditentukan dalam pasal 132, dalam hal pengadilan menerima surat pelimpahan berkas perkara dari Oditur Militer, maka Kepala Pegadilan Militer segera mempelajarinya, apakah perkara itu termasuk wewenang Pengadilan yang dipimpinnya.Apabila Kepala Pengadilan Militer berpendapat bahwa perkara pidana tersebut temasuk wewenangnya, maka Kepala Pengadilan menunjuk Majelis hakim yang akan menyidangkan perkara yang bersangkutan. Hakim ketua yang ditunjuk sesudah mempelajari berkas perkara menetapkan hari sidang dan memerintahkan supaya Oditur memanggil terdakwa atau saksi.

2) Pemeriksaan koneksitas

Sebelum berlakunya KUHAP, peraturan tentang koneksitas diatur di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1950 Pasal 2 yaitu :

xxxv

”Kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh mereka yang termasuk golongan yang dimaksudkan dalam Pasal 3 sub a, b, dan c bersama-sama dengan orang yang tidak termasuk golongan itu, diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum, kecuali jikalau menurut penetapan menteri Pertahanan dengan persetujan Menteri Kehakiman perkara itu diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan ketentaraan.Setelah berlakunya KUHAP, maka peraturan mengenai koneksitas diatur di dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 95. Yang dimaksud dengan tindak pidana koneksitas itu adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang sipil bersama-sama dengan seorang anggota ABRI atau lebih.Dimana orang-orang sipil tersebut seharusnya yang berwenang mengadilinya adalah peradilan umum, sedangkan anggota ABRI diadili oleh pengadilan militer. Dengan adanya peraturan mengenai koneksitas, maka perkara tersebut dapat diadili oleh pengadilan umum, dan dapat juga diadili oleh pengadilan militer. Hal tersebut dilihat dari titik beratnya perkara yang ada. Suatu perkara koneksitas diadili oleh pengadilan militer, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Kehakiman. Apabila di dalam keputusan bersama Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Kehakiman menetapkan bahwa perkara pidana yang diajukan ditetapkan untuk diadili oleh pengadilan umum, maka susunan majelis hakim terdiri dari Hakim Ketua dai lingkungan peradilan umum dan Hakim anggota masing-masing secara berimbang dari peradilan umum dan peradilan militer. Jika dalam hal perkara koneksitas diadili oleh pengadilan dalam lingkungan militer, maka susunan majelis haim terdiri dari Hakim Ketua dari lingkungan Peradilan

xxxvi

Militer dan Hakim Anggota secara berimbang dari peradilan militer dan peradilan umum. Hakim anggota yang berasal dari peradilan umum dalam sidang diberi pangkat militer tituler. Dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, ketentuan-ketentuan mengenai perkara koneksitas diatur dalam Pasal 198 sampai dengan 203 yang bunyi serta maksudnya sama dengan yang diatur di dalam KUHAP.

3) Acara Pemeriksaan Khusus

Acara pemeriksaan khusus ini tidak berlaku untuk semua peradilan militer, hal ini hanya berlaku khusus untuk pengadilan pertempuran sebagaimana dimaksud oleh Pasal 204 Undang-Undang No.31 Tahun 1997 yaitu :

a) Acara Pemeriksaan khusus dilaksanakan oleh Pengadilan Militer

b) Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana dalam tingkat pertama dan terakhir

c) Pengadilan Militer pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran. d) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

terdakwa atau oditur hanya dapat mengajukan kasasi. 4) Acara Pemeriksaan Cepat

Acara pemeriksaan cepat diatur dalam Bagian ketujuh dari Pasal 211 sampai dengan Pasal 214 Undang-Undang No.31 Tahun 1997.Acara pemeriksaan cepat diatur di dalam KUHAP diatur dalam Bagian Keenam BXVI

xxxvii

terdiri dari 2 paragraf yaitu Paragraf 1 mengenai Pemeriksaan tindak pidana ringan dan Paragraf 2 mengenai acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas.

2. Tinjauan Mengenai Tindak Pidana Insubordinasi. a. Pengertian Tindak Pidana Insubordinasi.

Tindak pidana Insubordinasi adalah ketidakpatuhan kepada atasan atau peraturan perintah atau penolakan perintah, dapat pula diartikan dengan perbuatan yang bertentangan dengan pengabdian.Tindak pidana Insubordinasi ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 459 ayat (1) dan Pasal 460 ayat (2) yang berkaitan mengenai perbuatan awak kapal yang melawan terhadap atasannya.Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer, Tindak Pidana Insubordinasi diatur dalam Pasal 106, 107, 108, dan 108.Dalam KUHPM, Tindak pidana insubordinasi ini diatur berkaitan dengan perbuatan seorang bawahan dalam hal ini seorang tentara yang memiliki pangkat lebih rendah terhadap atasan yang pangkatnya lebih tinggi darinya. Pembagian kategori tindak pidana insubordinasi dapat dijelaskan dalam bagan sebagai berikut:

xxxviii

Insubordinasi ( Pasal 105)

Insubordinasi dengan tindakan nyata (INDAKTA) ( Pasal 106)

______________________________________ INDAKTA yang INDAKTA oleh INDAKTA dalam Direncanakan 2 orang atau lebih waktu perang atau = Muiterij Muiterij dikapal (Pasal 107) (Pasal 108) ( Pasal 109) b. Ruang lingkup Tindak Pidana Insubordinasi.

Dalam Pasal 106 KUHPM, perbuatan yang dapat dihukum dalam Pasal ini dinamakan ” Insubordinasi” dengan perbuatan yang terdiri dari :

1). Menyerang dengan tindakan.

Yang dimaksud disini ialah dengan sengaja menyerang tubuh seorang atasan, yang dilakukan dengan perbuatan tertentu. Perbuatan itu dapat dilakukan secara langsung misalnya menendang, memukul, menumbuk atau dapat pula dilakukan secara tidak langsung misalnya menembak, melempar, atau menggunakan berbagai alat lainnya. Penyerangan itu harus sedemikian rupa sehingga tubuh atau pakaian atasan tersebut tersentuh walau atasan itu tidak merasa sakit. Memegang kemeja atau baju atasan sehingga kancing bajunya terlepas, dianggap juga sebagai penyerangan dengan tindakan

xxxix

atau perbuatan. Akan tetapi melakukan pemukulan atau menendang yang tidak mengenai tubuh atasan yang dituju tidak dapat dikatakan melakukan penyerangan dengan tindakan atau perbuatan.

2) Melawan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

Istilah kekerasan di dalam Pasal ini harus diartikan lebih luas daripada istilah yang sama dalam Pasal 212 KUHP. Seorang anggota militer yang melakukan perlawanan sewaktu akan ditangkap oleh yang berwajib dengan jalan menyentakkan tanganya atau berpegang pada suatu benda, termasuk melawan dengan kekerasan. Jika dibandingkan dengan Pasal 105 KUHPM, terdapat persamaan dalam hal mengancam dengan kekerasan. Perbedaannya ialah bahwa ancaman dalam Pasal 106 ini khusus ditujukan untuk mengadakan perlawanan kepada atasan, sebagai reaksi atas tindakan seorang atasan.

3). Merampas kemerdekaan untuk berbuat

Merampas kemerdekaan untuk berbuat dari seorang atasan, dengan sengaja menghalang-halaangi kemerdekaan atasan untuk atau mengambil tindakan-tindakan dianggap perlu atau memberikan perintah-perintah dan sebagainya. Memberikan obat tidur, mengurung didalam sebuah kamar, mengikat kaki dan tangan, merupakan perbuatan perampasan kemerdekaan seorang atasan.

xl

4). Memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk melakukan atau mengabaikan suatu pekerjaan dinas.

Perbuatan yang dapat dihukum dalam hal ini serupa dengan kejahatan paksaan terhadap pekerjaan jabatan seperti dimaksud dalam Pasal 211 KUHP.Perbedaannya yaitu dalam Pasal 211 KUHP harus dengan syarat bahwa pekerjaan jabatan itu harus pekerjaan jabatan yang sah menurut hukum, dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap pegawai negeri yang sedang melakukan pekerjaan jabatannya.Sedangkan Pasal 106 KUHPM ini yang dilindungi ialah seorang atasan yang mana tidak perlu atasan itu sedang melakukan suatu pekerjaan jabatannya, dapat terjadi ketika atasan itu sedang diluar jabatannya, asalkan si pelaku mempunyai maksud supaya atasan itu berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan dinasnya sebagai seorang atasan.

xli B. Kerangka Pemikiran

______________________________________________________

Suatu perkara tindak pidana militer baru dapat diperiksa dan diselesaikan oleh hakim pengadilan militer, apabila perkaranya telah disidik dan diserahkan kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Tahap penuntutan termasuk dalam tahap penyerahan perkara dan pelaksanaan penuntutan dilakukan oleh oditur Militer. Pembuktian adalah salah satu cara untuk dapat mengetahui kebenaran suatu peristiwa berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan.Dalam proses perkara pidana militer, saksi merupakan bukti yang paling penting. Setelah hakim

TINDAK PIDANA INSUBORDINASI

Peradilan Militer

( Undang-Undang No.31 Tahun 1997)

Tahap Pemeriksaan dalam persidangan

Pembuktian

Saksi Ahli Terdakwa Surat Petunjuk

xlii

mengetahui peristiwanya dan telah menemukan hukumnya, hakim akan segera menjatuhkan putusannya.

xliii BAB III

Dokumen terkait