Remaja yang memiliki kondisi fisik kurang sempurna, seperti Tunanetra. Tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas (Soemantri, 2007: 65). Jika seorang Tunanetra memiliki konsep diri maka dia akan memandang dan memiliki gambaran tentang dirinya secara positif. Dengan konsep diri remaja tunanetra akan menghargai dirinya meskipun dengan kondisi fisik yang kurang sempurna. Mead (dalam Burns, 1993: 19) menjelaskan pandangan, penilaian, dan perasaan individu mengenai dirinya yang timbul sebagai hasil dari suatu interaksisosial sebagai konsep diri. Remaja, seperti tunanetra jika memiliki
aspek Remaja Tuna netra faktor bentuk Konsep diri
konsep diri yang kuat maka dia dapat menggali potensi yang ada pada dirinya tanpa harus mencela kekurangan yang ada pada dirinya.
Fitts (dalam Agustiani 2006: 139-142) membagi konsep diri menjadi 2 bentuk yaitu dimensi internal dan eksternal.
a) Dimensi internal, merupakan pengamatan individu terhadap keseluruhan
dirinya sebagai suatu kesatuan yang unik dan dinamis, yang meliputi penghayatan terhadap identitas dirinya, tingkah laku dan penilaian atas dirinya. Terdapat 3 aspek dalam dimensi internal yaitu:
1) Identitas diri (the identity self). Identitas diri merupakan aspek
yang paling mendasar dari konsep diri. Didalam identitas diri terdapat seluruh label dan simbol yang digunakan untuk menggambarkan dirinya.
2) Diri sebagai perilaku (the behavioral self). Diri perilaku
merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya. Diri pelaku
berisikan segala kesadaran “apa yang dilakukan oleh diri”. Selain itu hal ini sangat erat hubungannya dengan diri sebagai identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga dia dapat mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan keduanya dapat dilihat dari pada diri sebagai penilai.
3) Diri sebagai penilai (the judging self), adalah interaksi antara
identity self dan behavioral self serta integrasinya pada keseluruhan konsep diri. Aspek ini berfungsi sebagai pengamat, penentu standar,
pembanding dan yang penting adalah sebagi penilai/evaluasi diri. Judging self juga mencakup kepuasan murni dari pemenuhan dorongan (rasa lapar, agresi, seks) atau rasa bangga dalam menahan diri terhadap dorongan yang berbahaya.
b) Dimensi eksternal, dimensi eksternal merupakan penghayatan dan
penilaian individu dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya, khususnya dalam interaksi sosial yang berkaitan dengan peran-peran individu dalam dirinya.
1) Diri Fisik (phsycal self), merupakan persepsi individu terhadap keadaan
fisik, kesehatan, penampilan, gerak motorik, dan kualitasnya.
2) Diri etik moral (moral ethical self), merupakan persepsi individu
tentang dirinya yang ditinjau dari standar pertimbangan moral, etika, dan aspek religius dari diri.
3) Diri personal (personal self), merupakan perasaan individu terhadap
nilai-nilai pribadinya terlepas dari keadaan fisik dan hubungannya dengan orang lain dan sejauh mana merasa adekuat sebagai pribadi.
4) Diri keluarga (family self), merupakan persepsi diri dan perasaan
individu sebagai bagian dari keluarganya dan sejauh mana ia merasa berharga dan merupakan bagian dari keluarga tersebut.
5) Diri sosial (social self), merupakan persepsi individu terhadap dirinya
Callhoun dan Acocella (dalam Ghufron dan Risnawati 2011: 17) mengatakan konsep diri terdiri dari tiga aspek :
a) Pengetahuan adalah apa yang individu ketahui tentang dirinya. Indiviu di
dalam benaknya terdapat satu daftar yang menggambarkan dirinya, kelengkapan atau kekurangan fisik, usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, agama dan lain-lain.
b) Harapan. Pada saat-saat tertentu, seseorang mempunyai suatu aspek
pandangan tentang dirinya. Individu juga mempunyai satu aspek pandangan tentang kemungkinan dirinya menjadi apa di masa depan.
c) Penilaian. Di dalam penilaian, individu berkedudukan sebagai penilai
tentang dirinya sendiri. Apakah bertentangan dengan (1) “Siapakah saya”, penghargaan bagi individu; (2) Seharusnya saya menjadi apa”, standar bagi individu.
Menurut Hurlock (1980: 235 ) banyak faktor dalam kehidupan remaja yang turut membentuk pola kepribadian melalui pengaruhnya pada konsep diri. Beberapa diantaranya sama dengan faktor pada masa kanak-kanak tetapi banyak yang merupakan akibat dari perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang terjadi selama masa remaja, diantaranya sebagai berikut :
a) Usia Kematangan. Remaja yang matang lebih awal, diperlakukan seperti
orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang matang terlambat yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah
dimengerti dan bernasib kurang baik, sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.
b) Penampilan Diri. Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa
rendah diri meskipun perbedaan yang ada, menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik membuat sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial.
c) Kepatutan Seks. Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku
membantu remaja mencapai konsep diri yang baik.
d) Nama dan Julukan. Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman
sekelompok menilai namanya baik atau bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemooh.
e) Hubungan Keluarga. Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang
erat dengan seorang anggota keluarga, akan mengidentifikasikan dengan orang ini dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama.
f) Teman-teman Sebaya. Teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian
remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya, dan kedua ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok.
g) Kreativitas. Remaja yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam
bermain dan dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individualitas dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep
dirinya. Sebaliknya, remaja yang sejak awal masa kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui kurang mempunyai perasaan identitas dan individualitas.
h) Cita-cita. Bila teman mempunyai cita-cita yang tidak realistik, ia akan
mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan dimana ia menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuannya, lebih banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan. Ia akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar untuk memberikan konsep diri yang lebih baik.