• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KERENDAHAN HATI MENURUT SANTO VINCENTIUS

B. Kerendahan Hati

1. Kerendahan Hati Dalam Kaul

Dalam menjalani hidup bersama sebagai saudara, setiap anggota religius

dituntut mampu menghayati dan menghidupi kaul-kaul yang diucapkannya. Dalam

persaudaraan bersama Kristus harus saling mendukung dan menguatkan. Dalam

tarekat religius seperti KYM, pengikraran kaul-kaul merupakan salah satu sarana

untuk merendahkan diri di hadapan Allah. Dengan mengucapkan kaul, maka

anggota tarekat religius tidak lagi bertindak sesuai dengan kehendak diri sendiri

tetapi ingin bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Hal ini memperlihatkan

bahwa melalui kaul-kaul, para anggota tarekat dapat belajar dan menghidupi

keutamaan kerendahan hati. Bersedia dipimpin dan diarahkan Allah sebagaimana

yang dihidupi oleh pendiri tarekat merupakan salah satu wujud nyata kerendahan

hati dari para suster.

Sebagai seorang religius yang dipanggil secara khusus yang mau

membaktikan diri seutuhnya dengan ikatan ketiga kaul, yaitu: kemiskinan,

keperawanan, dan ketaatan. Hidup religius berarti hidup sebagai manusia

kristiani yang menerima permandian dan memilih hidup berkaul sebagai jalan

khusus yang dapat membantu kedekatannya kepada Kristus. Sebagai seorang

religius, kaul merupakan sarana yang utama untuk mencapai persatuan dengan

Allah.

Kaul merupakan sarana dalam hakekat hidup membiara sekaligus ciri khas

religius yang membedakan dari orang kristiani pada umumnya. Hidup berkaul

merupakan cara hidup yang ditempuh melalui nasihat-nasihat Injili. Nasihat Injili

tersebut adalah hidup miskin, murni, dan taat. Dalam Kitab Hukum Kanonik

(KHK) Kanon 668, pengertian kaul dijelaskan:

Kaul adalah hidup yang dibaktikan dengan kaul atas nasihat-nasihat Injili, dimana orang beriman dengan mengikuti Kristus secara lebih dekat atas dorongan Roh Kudus, dipersembahkan secara utuh kepada Tuhan yang dicintai, demi kehormatan bagi-Nya dan demi pembangunan Gereja serta

keselamatan dunia. Mereka dilingkupi dengan dasar baru dan khusus mengejar kesempurnaan cinta kasih dalam pelayanan Kerajaan Allah, dan sebagai tanda unggul dalam Gereja mewartakan kemuliaan surgawi.

Dengan demikian hidup dan kegiatan para religius memiliki nilai sebagai

tanda eskatologis: mereka memaklumkan nilai-nilai kekudusan dan keselamatan

manusia yang sudah datang ke dunia. Kaul-kaul yang diucapkan oleh para religius

merupakan tantangan yang terus-menerus, baik bagi diri mereka sendiri maupun

bagi orang lain. Melalui kaul-kaul hidup mereka diarahkan kepada pewartaan

Kabar Baik dan secara kenabian menolak pemilikan berlebihan, cinta diri dan

sikap membebani orang lain yang mewujud dalam kedagingan manusia (Darminta,

2003: 48). Maka pembaktian diri menjadi inti panggilan yang diungkapkan melalui

ketiga kaul yakni: kaul kemiskinan, kemurnian, dan kaul ketaatan yang

diwujudkan dalam hidup hariannya, artinya dengan komitmen dan pemberian diri

secara total kepada Allah. Pembaktian diri dalam kaul-kaul ini juga membuat para

religius lebih bebas untuk melaksanakan karya cinta kasih yang menjadi

tanggungjawab dari kaul-kaul tersebut.

Kaul-kaul sangat membantu menyerahkan diri para anggota tarekat

kepada Allah dan sesama. Kaul kemiskinan merupakan kesadaran sebagai

orang yang berkaul sungguh miskin di hadapan Tuhan. Sadar bahwa para suster

berkaul kemiskinan memampukan mereka untuk membuat prioritas dalam

memiliki barang-barang duniawi. Juga membuat para suster rela menyerahkan

segala tenaga, waktu, dan kemampuan untuk mengabdi Tuhan dan sesama.

Tetapi kadang sulit mengendalikan diri sehingga membeli barang yang

dibutuhkan atau menggunakan barang yang diterima tanpa sepengetahuan

Pentingnya anggota tarekat religius bertumbuh dalam kerohanian

khususnya dalam kaul seperti:

a. Kaul Kemiskinan

Kaul kemiskinan merupakan salah satu tuntutan untuk merendahkan diri di

hadapan Tuhan dan sesama anggota tarekat. Melalui kaul kemiskinan, setiap

anggota tarekat menghayati kebersamaannya dengan anggota-anggota terekat

lainnya sebagai saudara. Tidak ada anggota tarekat yang kaya atau miskin tapi di

hadapan Tuhan semuanya sama.

Pentingnya anggota tarekat religius menghayati kaul kemiskinan karena dalam

diri manusia terdapa kecenderungan untuk memiliki harta benda, baik yang sangat

berharga maupun yang kurang berharga. Pemenuhan kecenderungan akan harta sering

kali justru menimbulkan hasrat lebih besar lagi, yang kadang-kadang membuat orang

menjadi buta akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai injili (KOPTARI, 2008 :54).

Kaum religius demi kaul kemiskinan melepaskan kepemilikan pribadi atas harta benda

dan menjadikannya milik bersama. Kaum religius seperti KYM demi kaul kemiskinan

membuat dirinya hidup miskin seperti kaum miskin. Komitmen ini merupakan salah

satu sarana penting untuk membangun komunitas persaudaraan, suatu komunitas yang

terbuka, baik antara anggota komunitas maupun terhadap masyarakat sekitar,

khususnya kaum miskin dan tersisih.

b. Kaul Kemurnian

Anggota tarekat religius juga dapat bertumbuh dalam kerohanian yang

Dalam Konstitusi KYM, art. 29 dikatakan “sebagai pilihan pribadi suster

menerima panggilan ini untuk memberi dan menerima cinta dalam selibat,

tanpa pasangan hidup yang khusus”. Kesendirian yang menyertainya membuat

suster lebih siap bagi Allah dan bagi sesamanya. Dalam hal ini, setiap anggota

tarekat harus saling mendukung untuk mewujudkan hidup murni. Hidup

bersama dalam sebuah sebuah komunitas, para anggota telah diikat sebagai

saudara satu sama lain. Dalam persaudaraan tersebut, para anggota tarekat

memiliki cita-cita yang sama yakni memurnikan dan mensucikan dirinya

setiap hari.

Dalam kehidupan sehari-hari penghayatan terhadap kaul kemurnian

tidaklah selalu mudah dilaksanakan. Setiap anggota tarekat menyadari bahwa

dalam dirinya ada daya tarik tertentu terhadap lawan jenis, sehingga hal

tersebut membuat para anggota tarekat seperti suster waspada dalam

pergaulan. Juga sebagai manusia memang dalam diri ada keinginan untuk

memiliki dan dimiliki oleh orang tertentu terutama lawan jenis. Tetapi

kesadaran sebagai orang berkaul selibat membantu suster untuk mengatur

sikap dan terus-menerus untuk saling menyemangati satu sama lain dalam

persaudaraan agar suster sungguh setia pada pilihannya (Konstitusi KYM, art.

33). Saling mendukung dalam persaudaran seperti menghidupi kaul

kemurnian, merupakan hal prinsip yang harus ditunjukkan setiap anggota

tarekat religius. Dengan demikian, para anggota dapat bertumbuh dalam

kerohanian yang utuh dalam persaudaraan khususnya dalam penghayatan kaul

c. Kaul Ketaatan

Anggota tarekat religius juga dapat bertumbuh dalam kerohanian yang utuh

dalam persaudaraan melalui penghayatan kaul ketaatan. Kaul ketaatan merupakan

salah satu bentuk kerendahan hati, dimana dirinya tidak lagi dengan bebas

melakukan apa yang menurutnya baik dan menyenangkan untuk dirinya sendiri

tetapi melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Allah melalui hidup bersama

dengan anggota tarekat lainnya. Ketaatan yang ditunjukkan oleh anggota tarekat

merupakan perwujudan dari ketaatan Kristus pada Bapa-Nya. Ketika Yesus

dicobai dan pada saat tergantung di kayu salib, Yesus menunjukkan ketaatan-Nya

yang sempurna kepada Bapa (Martasudjita, 1999: 71). Ketaatan Yesus ini menjadi

dasar penghayatan kaul ketaatan anggota tarekat religius seperti KYM.

Kaul ketaatan yang diikrarkan anggota tarekat religius, memiliki

konsekuensi hilangnya kepentingan-kepentingan pribadi seperti keinginan untuk

mempertahankan sesuatu seperti benda, harta sebagai hak milik. Ketika pimpinan

melihat hal itu dibutuhkan untuk kepentingan bersama, maka anggota tarekat harus

merelakannya dengan mentaati apa yang dianjurkan oleh pimpinan tersebut. Hal

yang sama juga dalam hal mempertahankan komunitas atau karya yang dimiliki

anggota tarekat. Apabila pimpinan menilai seorang anggota tarekat harus pindah

komunitas, maka anggota tersebut harus tunduk dan taat pada anjuran pimpinan

(KOPTARI, 2008: 54).

Ketaatan sering begitu mudah dilaksanakan dalam hidup persaudaraan

karena suster sadar bahwa suster yang berkaul dan setiap suster wajib mentaati

aturan-aturan dan ketetapan yang disepakati bersama dalam komunitas

(Kongregasi KYM, 2003: 10). Tetapi kadang dalam diri suster tidak ada

dalam hidup jika berhadapan dengan orang yang hanya bisa memberi perintah saja

(Kongregasi KYM, 2003:.10).

Ketaatan dalam tarekat seperti yang ada dalam tarekat KYM dapat

dicontohkan dalam majalah “Taat pada keputusan bersama” seorang mantan

pimpinan yang taat pada komunitasnya mengatakan sebagai berikut:

Warga komunitas susteran Mamamia sangat kagum dengan Suster Teladania. Suster Teladania adalah mantan provincial dan sekarang memegang karya pendidikan yang cukup besar. Ia punya banyak kenalan orang-orang besar dan orang-orang dihormati oleh orangtua siswa. Ia pun sangat sibuk dengan karya yang dipercayakan tarekat kepadanya. Namun dalam setiap pertemuan komunitas ia hadir. Ia dengan senang hati ikut menjalankan hasil pertemuan rumah, termasuk hal-hal kecil dalam hidup bersama yang harus diabaikan atau diremehkan. Bila ia berjanji apapun, selalu menepati. Dan yang lebih mengensankan lagi, perhatiannya pada setiap anggota komunitas sangat besar. Pada hari ulang tahun teman- temannya, ia tidak lupa memberi kartu ucapan (Suparno, 2005: 39).

Pengalaman tersebut dapat menyadarkan para suster dalam sebuah tarekat

untuk dapat mencontoh cara hidup suster yang ada dalam cerita di atas. Orang

sibuk mencintai diri dan segala sesuatu hanya dilakukan berdasarkan perhitungan

untung rugi bagi dirinya. Seharusnya jika suster memiliki askese batin maka ia

tetap stabil dalam mencintai, ia tetap sanggup mencintai meskipun disakiti dan

tidak membalas dendam.

Dari pengalaman dan pergulatan batin suster KYM, dapat dilihat bahwa

penghayatan panggilan sangat dipengaruhi oleh situasi batin seseorang. Jika situasi

batin tidak enak, suster tidak akan mewujudkan kesadarannya akan sesuatu yang

baik. Dapat dikatakan bahwa penghayatan panggilan sangat dipengaruhi oleh

daya-daya dan kebutuhan psikologis yang ada pada diri setiap orang (Mardi

Daya-daya atau unsur kepribadian dalam diri seseorang terdiri dari pikiran,

perasaan dan kehendak yang mendorong seseorang dalam bertindak. Kebutuhan

psikologis dalam diri seseorang tidak selamanya mendukung penghayatan

panggilan. Kebutuhan psikologis yang tidak mendukung penghayatan panggilan,

kebutuhan yang mendukung tujuan realisasi diri maupun bersifat netral.

Kebutuhan yang bersifat netral artinya dapat mendukung penghayatan panggilan

atau sebaliknya, tergantung dari motivasi yang menggerakkan pribadi dalam

bertindak (Mardi Prasetya, 1992: 72).

Penghayatan kaul-kaul oleh para anggota tarekat bukanlah suatu hal yang

mudah dan dapat dilaksanakan secara otomatis. Uraian tersebut di atas telah

memperlihatkan bahwa penghayatan kaul-kaul membutuhkan proses yang terus-

menerus dan selalu mendapat dukungan dari anggota tarekat lainnya yang hidup

dalam komunitas persaudaraan. Melalui kaul kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian

para anggota tarekat berusaha untuk selalu berlatih untuk selalu menghidupinya

dengan dengan keutamaan kerendahan hati (Mardi Prasetya, 2001: 50).

Dokumen terkait